Kepala Jai berdenyut-denyut seperti orang gila, dan dia seharusnya mengatasinya terlebih dahulu daripada berlari ke sumber teriakan dari seseorang yang tidak dikenal. Dia melihat bulan terbelah menjadi dua! Tunggu, itu terdengar salah. Masa bodo!
Jai mendengar kucing seputih salju itu mengeong, dia pun segera memeluknya dengan erat ke dada sebelum mempercepat langkahnya. Melewati berbagai pohon-pohon mati di sisinya, dia pun tiba di jalan setapak yang membentang ke samping. Tanahnya kini berbeda, karena berwarna abu-abu dan tampak lebih kokoh ketimbang tanah merah yang dia tapaki sebelumnya. Jai sedikit mengerucutkan bibirnya.
'Ke mana sekarang?' Pikirnya.
Tidak lama kemudian Jai mendengar tawa samar dari sebelah kanannya. Suara itu terdengar cukup jauh. Dia pun berlari ke kanannya.
Tidak butuh waktu lama bagi Jai untuk tiba di tempat kejadian. Dia bisa melihat beberapa pria bersenjata mengelilingi seorang pria tua di tanah tanpa senjata, dan di sebelah kiri mereka ada gerobak kayu terbalik dengan beberapa buah dan benda lain berserakan di sekitarnya. Menghubungkan titik-titik itu, tidak butuh waktu lama bagi Jai untuk mengerti lalu menerjangnya.
Salah satu pria bersenjata—yang bertopi besar dan sangat kekar—maju tiga langkah ke depan pria tua di tanah. Dia hendak mengayunkan pedangnya saat sebuah kaki menyentuh wajahnya.
“YEOWWW!!” Dia berteriak. Tendangan tiba-tiba membuatnya terpental beberapa kaki ke belakang dan dia pun jatuh di pantatnya.
Orang-orang lain tersentak, "Ahrush!", Beberapa dari mereka bergegas untuk membantu bos mereka untuk bangkit kembali.
“Lor af roti ?!” Teriak salah satu pria itu, lalu menunjuk Jai dengan belatinya.
“Ahrush shon lor bahretti?!” Salah satu dari mereka berbicara dengan marah, ia juga menunjuk Jai dengan belati lain.
Jai mengabaikan mereka saat dia berlutut.
“Apakah Anda baik-baik saja, Tuan? Apakah Anda terluka?” Jai bertanya pada pria tua yang masih berada di tanah. Pria tua itu menatap Jai dengan mata lebar, terlihat seolah dirinya masih ketakutan.
Jai bisa melihat pria itu memiliki luka di pipinya. Luka itu ringan dan tidak terlalu kritis, jadi Jai pun lanjut memeriksa apakah ada luka di tangan dan kaki pria tua itu.
Pria tua itu melihat ke arah Jai, dan kemudian pada pria di depan mereka, dan kemudian Jai lagi. Kakek tua itu sepertinya tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
“Mhar! Hallya'khru opser kon!" Pria yang ditendang Jai mendorong pria lain menjauh saat dia bangun. Matanya melihat sekeliling dan berhenti tepat di punggung Jai yang berjarak beberapa meter darinya.
“Greminte! Ahrush shon lor bahresoma?!” Dia berteriak.
Jai tidak menjawab.
Pria itu mendengus dan tampak semakin marah. “Groshi kurushon lor jubraste!”
Jai masih tidak menjawab.
“Jubraste!!” Pria itu mengulangi.
Tidak ada tanggapan.
“Jubraste! Greminte!” Kali ini, pria lain yang berseru. Namun, sekali lagi, Jai tidak menanggapinya.
Kakek tua di hadapan Jai melihat antara Jai dan para bandit lagi. Ekspresinya menjadi lebih ketakutan. Dia mencoba memberi isyarat kepada Jai untuk melihat ke belakang, tetapi Jai sibuk menepuk kaki kakek tua itu dan memakaikan kembali sandalnya.
Mata bandit itu berkedut. Dia menghirup udara penuh dan berteriak, "JUBRASTE!!"
Mata Jai terbelalak mendengar volume itu. Dia pun meletakkan kucing putihnya di tangan sang kakek tua yang tengah kaget, tetapi kemudian menarik kucing itu sedekat mungkin. Setelah itu, Jai pun berdiri dan berbalik.
Jai menatap pria itu dengan tenang sambil mencoba mencari tahu apa yang dikatakan olehnya. Jai sama sekali tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan saat dia datang ke sini. Jai pikir kepalanya masih kacau, untuk sementara dia kehilangan kemampuannya untuk bersosialisasi.
Ketika Jai terus saja tidak menanggapi apa pun selain berkedip, bandit yang marah itu berteriak lagi, "Jubraste!!"
Terdengar sebuah dengungan di telinga Jai yang membuatnya mengerutkan kening. Kepalanya pasti benar-benar kacau karena dia tidak bisa mengerti satu hal pun yang dikatakan berandalan ini. Wajah Jai berubah seperti antara jijik dan jengkel.
“Jubraste, jubraste. Bicaralah seperti manusia normal, dasar bola tanah raksasa yang kurang ajar,” cecar Jai.
Perkataan Jai membuat wajah sang bandit memerah mati karena sangat marah. Ekspresi kaget bercampur takut terlihat dari bandit lainnya. Bandit yang marah itu pun memberi isyarat kepada anak buahnya, "BUNUH DIA!!"
Salah satu pria menerjang ke kiri Jai dengan sebuah belati. Dia mengayunkan belatinya dari atas, mencoba menebas ke bawah. Jai dengan mudah menghindarinya dan mengirim pukulan ke dagunya, diikuti dengan tendangan ke kanannya untuk melawan serangan yang akan datang dari pria lain.
Jai tidak berhenti di situ. Para berandalan ini seperti rempeyek. Mereka tidak terkoordinasi dan menyerangnya dengan marah. Itu akan menjadi pertempuran yang mudah bagi Jai, tetapi Jai tidak ingin lengah. Bisa saja kakek tua itu disandera saat Jai sedang bertarung. Itu tidak baik.
Kalau saja Jai bisa berbicara dengan binatang, dia akan meminta anak kucing itu untuk bekerja sama dengannya dan siapa tahu—suruh si bola bulu untuk mencakar bola mata para lalat ini, atau, masuk ke celana mereka dan melakukan sesuatu di tempat yang tidak terkena sinar matahari.
Ugh... Goresan yang terakhir itu. Bagaimana dia bisa?
Jai menarik sikunya ke bawah dan memukul bandit lain yang ada di belakang punggungnya. Pria itu pun jatuh. Jai telah selesai dengan orang kedelapan. Jai kemudian menatap pria di jam dua yang meringkuk ketakutan dan melarikan diri. Mata Jai pun tertuju pada pria terakhir di samping bandit yang marah. Pria itu tidak berbeda. Ketakutan menyapu wajahnya dan dia mencengkeram sarung belati ke dadanya seolah-olah itu adalah boneka beruang berbulu. Orang-orang melakukan hal-hal aneh ketika mereka kehilangan akal. Ini bukan pertama kalinya untuk Jai melihat orang seperti pria itu.
Jai menyipitkan matanya ke pria itu dengan tatapan mengancam, pria itu pun jatuh pingsan.
Jai melihat ke yang terakhir, sang bos bandit.
Mata pria itu dipenuhi ketakutan yang tak terbayangkan. Tapi dia terlihat tidak mau mundur. Masih dengan ketakutan di matanya, dia dengan gemetar memegang pedangnya.
Jai menggemelutukkan giginya dan menggeram seperti anjing pitbull yang kesal.
Bandit itu pun menciut dan lari, dia bahkan tidak melirik anak buahnya sama sekali.
Jai mendengus, "Astaga." Dia kemudian berjalan kembali ke kakek tua itu.
Kakek tua itu sudah berdiri. Jai memperhatikan saat kakek tua itu meletakkan tangannya yang kosong di perutnya.
"Apakah mereka melukai perutmu, Tuan?" tanya Jai khawatir.
"Ah... Ya... Mereka memukulku di sini, tepat di kancingku." Kakek tua itu mendengus kecil.
"Ini, biarkan aku membantumu membalikkan ini." Jai tidak membuang waktu. Dia membalikkan gerobak sang kakek dan memberi isyarat kepada kakek itu untuk menaikinya. Namun, Kakek itu tampak bingung.
“Apa yang kamu lakukan, Nak?” tanya lelaki tua itu dengan tatapan tidak yakin.
“Anda terluka. Aku akan mengantarmu ke rumahmu dengan gerobak kereta ini. Kita dapat menempatkan barang-barang yang tersisa di depan Anda ke dalam gerobak.” Jawab Jai santai.
Kakek tua itu mengedipkan matanya, lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak, aku hanya akan menjadi beban. Desaku jauh dari sini, aku bisa pergi—“
“Justru hal itu menguatkan alasanku untuk membantumu. Terlebih, saya tersesat. ” Jai tersenyum malu.
Kakek tua itu berhenti melihat Jai. Dia sepertinya merenungkan sesuatu saat dia menatap Jai dengan mata yang tidak karuan. Tapi kemudian dia menghela napas, dan mengangguk.
Kakek tua itu naik kereta dengan bantuan Jai. Setelah Kakek tua itu duduk di gerobak, Jai pergi untuk mengumpulkan buah-buahan dan benda-benda lain yang jatuh ke tanah selama kecelakaan tadi. Dia mengabaikan bandit yang tidak sadarkan diri di sekitar mereka—menendang mereka dengan sengaja ketika dia mendekati salah satu dari mereka untuk mengambil buahnya. Jai meletakkan buah-buahan dan barang-barang lainnya di gerobak, tepat di samping kakek tua itu dan memastikan buah-buahan itu tidak dalam kondisi yang terlalu buruk. Setelah selesai, Jai pun berjalan ke tarikan gerobak.
Jai menoleh pada sang kakek tua itu sambil tersenyum, "Apakah Anda siap?"
Kakek tua itu membalas tatapan Jai dan mengangguk. “Pelan-pelan, Nak.”
"Tentu saja. Jaga baik-baik temanku di sana, ya? Terima kasih."
Kakek tua itu hampir lupa bahwa dia membawa anak kucing di tangannya. Segera saja dia langsung melihat ke bawah untuk memeriksanya, tetapi segera santai karena anak kucing itu tampaknya telah membuat dirinya nyaman di pangkuan sang kakek tua.
Jai dengan santai menarik gerobak yang ada di belakangnya. Dia berjalan dengan penuh semangat, seolah-olah Jai tidak baru saja melawan delapan pria yang mencoba merampok seorang kakek tua. Batin sang kakek yang saat ini sedang duduk di gerobak yang sedang Jai tarik, menjadi sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Di pangkuannya ada seekor anak kucing putih yang sedang tertidur tanpa peduli dengan dunia sekitarnya.Mereka sudah berjalan selama hampir satu jam lamanya dan Jai pun telah berusaha mengobrol dengan sang kakek. Jai dengan hati-hati bertanya siapa dia, bagaimana perasaan sang kakek tua itu saat ini, apa yang ada di gerobak, atau siapa orang-orang yang telah menyerangnya itu. Hal-hal semacam itu.Kakek tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Barun. Dia memiliki seorang cucu perempuan bernama Miria, dan mereka tinggal di sebuah desa bernama Letush. Letush adalah desa kecil yang terletak di barat daya Kerajaan Aeronvein.
Barun mengarahkan Jai melewati gerbang. Mereka melewati beberapa rumah kecil dan juga beberapa gudang lumbung. Setelah itu mereka sampai di sebuah halaman kecil dengan sumur batu di tengahnya.Jai melihat seorang gadis sedang duduk di tepi sumur, wajahnya menunduk ke bawah. Jai menyadari kalau gadis itu mengerutkan kening saat mereka berjalan mendekat. Tidak berapa lama, Barun yang ada di belakangnya memanggil, "Miria!"Gadis itu mendongak dan ekspresinya langsung berubah menjadi sangat gembira."Kakek!" seru Miria. Dia pun lekas berlari ke arah Jai dan Barun dengan gembira."Apa yang kamu lakukan di sini, cucuku? Kenapa memakai pakaian seperti itu?” tanya Barun, nada khawatir terselip di suaranya.“A-Aku menunggumu, kakek… aku khawatir…” Miria membela dirinya. Dia tersenyum meminta maaf kepada sang kakek.Sekarang gadis itu hanya berjarak dua kaki dari Jai, dia bisa melihatnya dengan lebih baik. Gadis itu mem
Kekecewaan.Amarah.Kesedihan.Jai masih tidak percaya pacarnya telah memutuskan hubungan mereka hanya karena dia miskin. Ya, itu artinya Meghan tidak layak untuk Jai. Wanita itu tidak pantas menerima semua hal yang telah Jai berikan untuknya. Tabungannya... Uang yang Jai dapatkan selama ini...Seandainya saja Jai bisa putus lebih cepat. Itu adalah hal yang paling Jai sesali dalam hubungannya dengan Meghan.“Kamu miskin.”Suara Megan menggelegar di ruang gelap tak terhingga tempat Jai berada saat ini.Intensitas rasa sinis dalam suaranya membuat Jai kesal bukan main. Dia berharap tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Kalau nanti dirinya sudah kembali ke kota, Jai akan memastikan kalau Meghan atau Chen atau apa pun itu, tidak akan ada yang bisa menghancurkan kehidupan Jai di hari esok dan sisa hidupnya di masa depan. Ah, Jai bahkan tidak akan tanggung untuk pergi ke Jerman kalau memungkinkan.Tidak berselang lama suara lain muncul. Sebuah suara yang terdengar seperti letusan kecil.
Jai dan Miria berjalan berdampingan menuju pasar. Usha kecil ada di antara mereka, berjalan dengan begitu anggunnya seperti pemilik jalan. Sudah beberapa kali Usha melewati pergelangan kaki Miria seolah-olah memang bermaksud melakukan hal itu. Tindakannya itu mengejutkan dan menarik perhatian Miria setiap saat. Meski begitu, Miria tidak merasa terganggu, dia bahkan menganggap apa yang dilakukan oleh Usha sebagai tindakan yang menggemaskan.Jai bersyukur dengan apa yang dilakukan oleh Usha. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatian Miria darinya dan Jai bisa lebih memikirkan lagi tentang mimpinya semalam.Jai tidak salah ingat. Dia bermimpi tentang api biru dan putih, dengan api putih mendominasi warna biru. Ada juga beberapa bayangan orang. Sebagian bayangan itu bisa Jai kira sebagai pihak militer, dan sebagian lain adalah orang-orang yang berstatus lebih rendah, mungkin lebih tepatnya penduduk biasa. Suasananya terlihat seperti medan perang, tetapi tidak terlalu b
Bila saja Jai percaya lebih awal kalau para pengguna elemen yang disebut dengan Elemer itu benar-benar ada. Tentunya Jai akan menanyakan sedetail mungkin pada Miria agar keadaan tidak seburuk saat ini. Ya, Jai terlihat seperti orang bodoh saat melihat apa yang dilakukan oleh lawannya tepat di hadapannya sendiri.Baik Usha maupun Jai refleks terkejut saat melihat salah satu pria bertubuh besar menghentakkan kakinya di tanah hingga segumpal tanah seukuran kelapa tiba-tiba melayang tepat di sampingnya. Bagi Jai, apa yang dia lihat saat ini bagaikan sebuah omong kosong yang membuatnya terlihat menyedihkan. Namun, untung saja Usha mengalihkan perhatian semua orang dari Jai. Reaksi anak kucing yang sedang tersentak diikuti raungan dan desisan terlihat sangat menggemaskan bagi semua orang yang memandangnya.‘Bagaimana bisa dia melakukannya? Apakah dia seorang wibu yang begitu fanatik dengan animasi sihir seperti Korra?’ Batin Jai bertanya-tanya. Apakah ini yang di
Pernahkah kau berpikir kalau di alam semesta yang tidak berujung ini terdapat kehidupan lain selain di bumi? Sebuah kehidupan yang penuh dengan orang-orang kuat dengan kemampuan sihir yang berasal dari alam. Para pengguna element.Alam dengan sendirinya memilih siapa orang terpilih yang bisa melintasi ruang dan waktu untuk hidup di dunianya yang lain. Sebuah dunia yang penuh dengan pertarungan dan perjuangan.Ya, itulah kisahnya. Kisah Jai. Seorang anak manusia yang terpilih sebagai pengguna elemen petir terakhir di dunianya yang baru. Semuanya itu berawal dari sini...**Manhattan, New York. 21 Februari 2016.Bicara soal kehidupan. Apa yang lebih menyakitkan selain melihat kekasih hati terang-terangan berselingkuh bersama pria lain tepat di hari ulang tahunmu? Dan itulah yang dirasakan oleh Jai saat ini. Dia teramat kesal karena melihat pacarnya bermesraan di depan umum.“Megan, apa yang kamu lakukan?!” tanya Jai dengan sorot mata yang penuh dengan kemarahan.Perempuan yang ada di ha