Pernahkah kau berpikir kalau di alam semesta yang tidak berujung ini terdapat kehidupan lain selain di bumi? Sebuah kehidupan yang penuh dengan orang-orang kuat dengan kemampuan sihir yang berasal dari alam. Para pengguna element.
Alam dengan sendirinya memilih siapa orang terpilih yang bisa melintasi ruang dan waktu untuk hidup di dunianya yang lain. Sebuah dunia yang penuh dengan pertarungan dan perjuangan.
Ya, itulah kisahnya. Kisah Jai. Seorang anak manusia yang terpilih sebagai pengguna elemen petir terakhir di dunianya yang baru.
Semuanya itu berawal dari sini...**
Manhattan, New York. 21 Februari 2016.
Bicara soal kehidupan. Apa yang lebih menyakitkan selain melihat kekasih hati terang-terangan berselingkuh bersama pria lain tepat di hari ulang tahunmu? Dan itulah yang dirasakan oleh Jai saat ini. Dia teramat kesal karena melihat pacarnya bermesraan di depan umum.
“Megan, apa yang kamu lakukan?!” tanya Jai dengan sorot mata yang penuh dengan kemarahan.
Perempuan yang ada di hadapannya malah tertawa. Dia bahkan dengan sengaja melingkarkan tangannya ke badan seorang laki-laki yang ada di sampingnya.
“Jai, aku cinta dia. Lebih baik kita putus,” ucap Megan dengan begitu santainya. Laki-laki yang ada di dalam rangkulannya tersenyum senang atas perkataan Megan.
“Apa kamu bilang?!” Jai tersentak. Suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya.
Jai tidak terima dengan perkataan Megan. Terlebih karena hubungannya dengan Megan sudah berjalan selama lima tahun. Bagaimana mungkin Megan memutuskannya begitu saja? Apa yang salah?
“Apa kau tuli? Dia tidak menginginkanmu, jadi pergilah sekarang juga,” ujar si laki-laki.
Jai tahu betul siapa dia, laki-laki itu adalah Chen, seorang anak orang kaya di kampusnya. Dia sejak dulu memang dikabarkan menyukai Megan. Mulanya Jai tidak percaya kalau Chen menyukai Megan dan tidak begitu peduli pada rumor itu.
Hubungan Jai dan Megan selama ini baik-baik saja, tapi sekarang kenyataannya terbalik. Megan malah lebih memilih bersama Chen ketimbang dirinya. Apa ada yang salah pada dirinya?
Apa ini karena Jai hanya seorang kurir antar makanan? Lantas pengorbanan Jai selama ini dianggapnya apa? Hati Jai benar-benar hancur.
“Megan, apa benar kamu lebih memilih dia? Selama ini kau pikir aku apa?” tanya Jai sambil menatap Megan dengan lekat.
“Kamu miskin. Memangnya aku mau hidup sama orang kayak kamu? Mana mungkin kamu bisa memanjakan aku seperti Chen,” ujar Megan lantang tanpa malu sedikit pun.
“Kalau begitu kembalikan tabungan milikku,” pinta Jai. Selama ini dia selalu menitipkan sebagian besar penghasilannya pada Megan untuk persiapan menikah mereka.
“Apa? Tabunganmu yang hanya secuil itu? Tidak ada. Sudah aku pakai mengecat kuku jariku. Itu pun hasilnya tidak bagus.” Megan melihat jemari tangannya dengan sorot wajah merendahkan Jai.
Jai terhenyak. Selama ini dia berkerja siang dan malam tanpa kenal lelah demi dirinya. Dan bila dihitung, tabungannya itu sudah bisa untuk membeli rumah di pinggir kota. Namun sialnya, semua uang itu telah lenyap dipakai Megan tanpa ada perasaan menyesal sedikit pun.
“Kau ini mengganggu saja.” Chen terlihat kesal karena Jai belum juga pergi dari hadapannya.
Tangan Jai mengepal. Semua kesabarannya sudah berada di ambang batas. Dia tidak ingin pergi begitu saja. Setidaknya dia harus bisa menghajar Chen terlebih dahulu.
“Maumu apa, huh?” Chen menyadari kalau Jai tidak ingin pergi begitu saja. Dia pun menjentikkan jemarinya.
Hanya satu jentikan saja, dua orang laki-laki bertubuh besar di belakang Chen langsung maju mendekati Jai.
“Hajar aja tuh bocah ingusan!” seru Chen memberikan perintah. Kedua pria berbadan besar itu pun mengangguk dan menyeringai saat melihat Jai.
Tubuh Jai yang tidak sebesar mereka membuatnya terlihat sangat mudah untuk dikalahkan. Mereka hanya tidak tahu saja kalau Jai sebenarnya sudah mahir bela diri sejak kecil.
BRUAK.. Hanya dalam waktu singkat, serangan kedua pria itu berhasil Jai halau dengan baik. Jai bahkan bisa melakukan kuncian sambil menendang tengkuk kepala pria yang lain.
“Ba-bagaimana bisa?” Chen dan Megan terlihat kaget. Mereka selama ini menganggap kalau Jai adalah seorang pengecut yang tidak pernah melawan pada orang lain.
Setelah membuat dua pria berbadan besar tersungkur di tanah oleh tinju dan tendangannya, Jai pun berjalan ke arah Chen dan Megan. Dia sudah tidak ingin menyembunyikan kekuatannya lagi.
“Kau... Kau berani padaku?” Chen terlihat gelagapan. Megan yang ada di sampingnya tampak masih kaget.
DUAK.. Jai menghantamkan kepalan tangannya di mata kiri Chen hingga badannya terjungkal ke belakang.
“Jai, apa yang kau lakukan?!” Megan terbelalak menatap Jai dengan penuh amarah. Chen memegangi bagian matanya yang sebelah kiri, dia terlihat meringis kesakitan.
“Memangnya aku peduli?” tanya Jai sambil mengambil sebuah botol minuman yang ada di meja.
“JAI?!” Megan tersentak saat Jai mengucurkan seluruh isi botol ke rambut Meghan. Jai sudah tidak mau peduli lagi pada Megan.
CRASH.. Botol yang isinya telah habis dilempar Jai ke tembok hingga pecah.
“Rambutku, ahh.” Megan terlihat sedih campur kesal karena rambut indahnya sudah tidak indah lagi.
Jai membuang muka. Dia pun pergi menjauh tanpa tahu tujuannya akan ke mana. Saat ini dia sudah tidak memiliki semangat untuk apa pun lagi.
Seiring Jai melangkah. Perasaan Jai sangat campur aduk. Di satu sisi dia senang karena berhasil menghajar wajah sialan Chen dan menyiram kepala Megan. Mereka pantas untuk itu. Dan di sisi lain, Jai sedih karena perasaan dan kerja kerasnya selama ini telah disia-siakan. Termasuk tentang tabungan Jai. Tentu saja, Jai tidak bisa merelakan tabungannya lenyap demi apa pun itu yang namanya cinta. Keringat, air mata, dan segala kesulitan yang dilakukannya demi mendapatkan uang...
Kerja kerasnya.
Jai bersyukur karena hubungannya dengan perempuan jalang itu telah usai. Satu penyesalan baginya, andai saja saat di swalayan dirinya membeli deterjen sebelum menemukan mereka. Tentunya hal itu akan membuatnya lebih puas saat merusak rambut Meghan.
Dan di lain sisi Jai merasa bersalah karena telah melepaskan pukulannya. Bukan karena merasa bersalah pada bajingan Chen, tapi karena seni bela diri yang dia pelajari selama ini tidak seharusnya digunakan untuk hal-hal seperti ini. Kakeknya akan sangat kecewa bila tahu dirinya menggunakan kemampuannya untuk hal remeh. Hanya karena tidak bisa mengontrol emosinya.
Suara gemericik air membawa Jai kembali ke kenyataan dan membuatnya sadar kalau saat ini dirinya ada di sebuah jembatan. Jai pun berjalan ke tepi jembatan dan melihat ke sungai yang ada di bawah jembatan. Arusnya cukup deras dan begitu riuh. Suara yang dibuatnya membuat Jai tertarik untuk mendengarkannya.
Jai menghela napasnya. Dia sangat marah dan kecewa dengan apa yang sudah terjadi. Namun, dirinya tidak ingin memikirkan hal itu lagi. Beruntunglah, melihat dan mendengarkan suara air membuatnya merasa lebih tentram. Seolah semua kemarahannya terbawa pergi oleh aliran sungai, amarahnya tergantikan dengan perasaan yang jauh lebih lembut. Jai menutup matanya dan membuang napasnya pelan, membiarkan suara gemericik air sungai menenangkan nadinya.
“Meow~”
Jai membuka matanya saat mendengar suara baru selain suara sungai. Ada seekor kucing dari arah samping yang mendekatinya, kucing itu berjalan di atas pembatas jalan.
“Hai manis,” ucap Jai sambil tersenyum. Kucing berbulu putih seperti salju itu kembali mengeong dan berhenti di dekat Jai.
“Siapa namamu?” tanya Jai sambil menyentuh kepala kucing dengan lembutnya. Kucing itu terlihat nyaman dengan sentuhan Jai.
“Meow.” Sang kucing kembali mengeong. Dia pun kembali melangkahkan kakinya di pembatas jembatan.
“Eh?!” Mata Jai terbelalak saat melihat kucing putih tadi kehilangan keseimbangannya lalu terpeleset ke sungai. Segera saja Jai meloncati para pembatas untuk menyelamatkannya. Beruntung saja Jai berhasil menangkap tengkuknya. Dia menelan salivanya sendiri sebelum kemudian menyadari kalau kakinya melayang dan badannya semakin turun. Jai berusaha mencengkram pagar pembatas jembatan, tapi licin dan tangannya tergelincir. Jai yang panik akhirnya berhasil memegang sisi trotoar jalan dengan satu tangannya.
“Hampir saja.” Jai bernapas lega. Dia kemudian mendekapkan si kucing yang ada di tangan kanannya ke dada.
Jai melihat ke atas. Pada tangan kirinya yang memegang sisi trotoar jalan dengan kuat. Dia harus bisa kembali ke atas jembatan sesegera mungkin, dirinya tidak ingin terjatuh dan menjadi basah. Terlebih karena aliran sungainya cukup deras. Jai berusaha untuk menarik dirinya ke atas tepat ketika seseorang memanggil namanya.
“Hai, Jai.”
Terdengar suara seseorang yang teramat sangat familiar di telinga Jai. Dia adalah orang yang paling tidak ingin Jai temui, terlebih di situasi genting seperti saat ini. Karena mereka telah bertemu beberapa saat yang lalu---dan Jai sudah meninju wajahnya.
Ya, itu suara si bajingan.
“Chen?!” Jai tidak menyangka kalau Chen bisa mengejarnya sampai ke jembatan.
Chen menyeringai. “Sepertinya kau butuh bantuanku.” Dia pun menginjak jemari tangan kiri Jai yang mencengkram bibir trotoar jembatan.
Jai dapat merasakan rasa sakit di jemarinya, tapi dia tidak bisa bergerak karena bisa membuat dirinya dan kucing dalam dekapannya terjatuh. Bukan karena Jai terlalu takut menyelam ke air sungai, tapi saat ini alirannya sangat deras. Dia bisa saja mati ditelan suara air sungai. Ya, suara itu memang menenangkan, tapi itu tidaklah sama seperti meloncat ke dalamnya.
Satu injakan lagi membuatnya meringkih.
"Dengan senang hati aku akan menolongmu. Hahaha!" Chen tertawa puas sebagaimana dirinya memberikan injakan lagi pada Jai. Kali ini dirinya menekan alas sepatunya seperti sedang mematikan rokok di jalan.
Jai kembali meringis. Jemari tangannya terasa sangat sakit saat ini, tapi dirinya tetap tidak bisa pergi.
Chen mendecak. Dia menatap Jai dengan tatapan jijik, matanya menyipit sinis. "Tidak ada seorang pun yang berani memukul wajahku. Tidak ada seorang pun, tapi kamu melakukannnya. Dan itu sangat sakit sekali. Jadi, sekarang aku akan membalasnya."
Jai sangat ingin merespon perkataan Chen. Teramat sangat ingin, tapi dirinya tidak bisa memikirkan apa pun. Jemarinya kembali merasakan sakit yang lain.
"Makan ini!" teriak Chen sambil memberikan injakan yang lain. Namun, kali ini dia melanjutkannya dengan menendang jemari tangan Jai hingga terlepas dari bibir jembatan.
Mata Jai terbelalak. Chen hanya menyeringai puas.
Ketika menyadari pegangannya telah terlepas, Jai menghirup banyak udara dan mendekap erat kucingnya ke dada sesaat sebelum mereka terjatuh ke dalam air.
BRUSH
Suara air terdengar sangat keras, Chen pun pergi dari jembatan. Dia tertawa penuh dengan rasa kemenangan.**
“Meow.”
Jai mendengar suara kucing yang begitu jelas di telinganya.“Meow.”
Suara itu kembali terdengar, seolah sedang memanggilnya.Jai mengusap wajahnya, merasakan dirinya telah selamat. Dia pun mengerjapkan matanya dan membukanya perlahan. Dua bulan kembar berwarna abu terlihat dengan jelas di hadapannya. Oh, apakah kepalanya telah terbentur? Kini bulan terbagi menjadi dua.
“Meow.”
Suara ngeongan kembali terdengar. Kali ini, kucing berwarna putih yang Jai selamatkan menjilati pipi Jai. Segera saja Jai bangkit.“Kau masih hidup?” bisik Jai, sebuah senyuman terlukis di bibirnya.
Tidak lama dirinya pun merasakan hantaman sakit yang teramat sangat di dalam kepalanya hingga membuatnya meringis. Kepalanya pasti membentur sesuatu, rasa sakitnya sangat tidak tertahankan.
Jai kemudian berusaha untuk bangkit. Itu adalah sebuah pilihan yang buruk saat mengetahui kalau kepalanya masih sakit. Meski begitu Jai masih bisa mengingat kalau tadi dirinya terjatuh ke sungai. Arusnya pasti telah membawanya ke tempat yang tidak diketahuinya saat ini.
Setelah bangkit, Jai menggemerutukan giginya dan merenggangkan ototnya, dia lantas melihat ke segala arah. Keningnya pun mengkerut karena merasa aneh dengan lingkungan sekitar. Tidak ada sungai di sekitarnya. Jai sangat ingat kalau dirinya terjatuh ke sungai, tapi sekarang sungainya ada di mana?
Jai berusaha untuk lebih fokus memperhatikan sekitanya. Dia menemukan kalau tanah yang ada di sekitarnya berwarna merah dan ada beberapa pohon berwarna coklat kehitaman seperti telah habis terbakar.
“Di mana ini?”
Jai kembali melihat langit untuk melihat bulan berwarna kuning yang biasa dia lihat, tapi nyatanya bulan yang dia lihat saat ini masih berupa dua bulan kembar berwarna abu.
Jai mengucek matanya penuh kebingungan kemudian membuka mulutnya dengan refleks, "Mana mungkin..."
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH.”
Jai dan sang kucing seketika melompat kaget. Itu adalah sebuah suara teriakan yang sangat nyaring. Tanpa membuang waktu, Jai lekas membawa sang kucing yang tengah melompat lalu Jai berlari menuju sumber suara.
Bersambung
Kepala Jai berdenyut-denyut seperti orang gila, dan dia seharusnya mengatasinya terlebih dahulu daripada berlari ke sumber teriakan dari seseorang yang tidak dikenal. Dia melihat bulan terbelah menjadi dua! Tunggu, itu terdengar salah. Masa bodo!Jai mendengar kucing seputih salju itu mengeong, dia pun segera memeluknya dengan erat ke dada sebelum mempercepat langkahnya. Melewati berbagai pohon-pohon mati di sisinya, dia pun tiba di jalan setapak yang membentang ke samping. Tanahnya kini berbeda, karena berwarna abu-abu dan tampak lebih kokoh ketimbang tanah merah yang dia tapaki sebelumnya. Jai sedikit mengerucutkan bibirnya.'Ke mana sekarang?' Pikirnya.Tidak lama kemudian Jai mendengar tawa samar dari sebelah kanannya. Suara itu terdengar cukup jauh. Dia pun berlari ke kanannya.Tidak butuh waktu lama bagi Jai untuk tiba di tempat kejadian. Dia bisa melihat beberapa pria bersenjata mengelilingi seorang pria tua di tanah tanpa senjata, dan di sebelah k
Jai dengan santai menarik gerobak yang ada di belakangnya. Dia berjalan dengan penuh semangat, seolah-olah Jai tidak baru saja melawan delapan pria yang mencoba merampok seorang kakek tua. Batin sang kakek yang saat ini sedang duduk di gerobak yang sedang Jai tarik, menjadi sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Di pangkuannya ada seekor anak kucing putih yang sedang tertidur tanpa peduli dengan dunia sekitarnya.Mereka sudah berjalan selama hampir satu jam lamanya dan Jai pun telah berusaha mengobrol dengan sang kakek. Jai dengan hati-hati bertanya siapa dia, bagaimana perasaan sang kakek tua itu saat ini, apa yang ada di gerobak, atau siapa orang-orang yang telah menyerangnya itu. Hal-hal semacam itu.Kakek tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Barun. Dia memiliki seorang cucu perempuan bernama Miria, dan mereka tinggal di sebuah desa bernama Letush. Letush adalah desa kecil yang terletak di barat daya Kerajaan Aeronvein.
Barun mengarahkan Jai melewati gerbang. Mereka melewati beberapa rumah kecil dan juga beberapa gudang lumbung. Setelah itu mereka sampai di sebuah halaman kecil dengan sumur batu di tengahnya.Jai melihat seorang gadis sedang duduk di tepi sumur, wajahnya menunduk ke bawah. Jai menyadari kalau gadis itu mengerutkan kening saat mereka berjalan mendekat. Tidak berapa lama, Barun yang ada di belakangnya memanggil, "Miria!"Gadis itu mendongak dan ekspresinya langsung berubah menjadi sangat gembira."Kakek!" seru Miria. Dia pun lekas berlari ke arah Jai dan Barun dengan gembira."Apa yang kamu lakukan di sini, cucuku? Kenapa memakai pakaian seperti itu?” tanya Barun, nada khawatir terselip di suaranya.“A-Aku menunggumu, kakek… aku khawatir…” Miria membela dirinya. Dia tersenyum meminta maaf kepada sang kakek.Sekarang gadis itu hanya berjarak dua kaki dari Jai, dia bisa melihatnya dengan lebih baik. Gadis itu mem
Kekecewaan.Amarah.Kesedihan.Jai masih tidak percaya pacarnya telah memutuskan hubungan mereka hanya karena dia miskin. Ya, itu artinya Meghan tidak layak untuk Jai. Wanita itu tidak pantas menerima semua hal yang telah Jai berikan untuknya. Tabungannya... Uang yang Jai dapatkan selama ini...Seandainya saja Jai bisa putus lebih cepat. Itu adalah hal yang paling Jai sesali dalam hubungannya dengan Meghan.“Kamu miskin.”Suara Megan menggelegar di ruang gelap tak terhingga tempat Jai berada saat ini.Intensitas rasa sinis dalam suaranya membuat Jai kesal bukan main. Dia berharap tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Kalau nanti dirinya sudah kembali ke kota, Jai akan memastikan kalau Meghan atau Chen atau apa pun itu, tidak akan ada yang bisa menghancurkan kehidupan Jai di hari esok dan sisa hidupnya di masa depan. Ah, Jai bahkan tidak akan tanggung untuk pergi ke Jerman kalau memungkinkan.Tidak berselang lama suara lain muncul. Sebuah suara yang terdengar seperti letusan kecil.
Jai dan Miria berjalan berdampingan menuju pasar. Usha kecil ada di antara mereka, berjalan dengan begitu anggunnya seperti pemilik jalan. Sudah beberapa kali Usha melewati pergelangan kaki Miria seolah-olah memang bermaksud melakukan hal itu. Tindakannya itu mengejutkan dan menarik perhatian Miria setiap saat. Meski begitu, Miria tidak merasa terganggu, dia bahkan menganggap apa yang dilakukan oleh Usha sebagai tindakan yang menggemaskan.Jai bersyukur dengan apa yang dilakukan oleh Usha. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatian Miria darinya dan Jai bisa lebih memikirkan lagi tentang mimpinya semalam.Jai tidak salah ingat. Dia bermimpi tentang api biru dan putih, dengan api putih mendominasi warna biru. Ada juga beberapa bayangan orang. Sebagian bayangan itu bisa Jai kira sebagai pihak militer, dan sebagian lain adalah orang-orang yang berstatus lebih rendah, mungkin lebih tepatnya penduduk biasa. Suasananya terlihat seperti medan perang, tetapi tidak terlalu b
Bila saja Jai percaya lebih awal kalau para pengguna elemen yang disebut dengan Elemer itu benar-benar ada. Tentunya Jai akan menanyakan sedetail mungkin pada Miria agar keadaan tidak seburuk saat ini. Ya, Jai terlihat seperti orang bodoh saat melihat apa yang dilakukan oleh lawannya tepat di hadapannya sendiri.Baik Usha maupun Jai refleks terkejut saat melihat salah satu pria bertubuh besar menghentakkan kakinya di tanah hingga segumpal tanah seukuran kelapa tiba-tiba melayang tepat di sampingnya. Bagi Jai, apa yang dia lihat saat ini bagaikan sebuah omong kosong yang membuatnya terlihat menyedihkan. Namun, untung saja Usha mengalihkan perhatian semua orang dari Jai. Reaksi anak kucing yang sedang tersentak diikuti raungan dan desisan terlihat sangat menggemaskan bagi semua orang yang memandangnya.‘Bagaimana bisa dia melakukannya? Apakah dia seorang wibu yang begitu fanatik dengan animasi sihir seperti Korra?’ Batin Jai bertanya-tanya. Apakah ini yang di