Kekecewaan.
Amarah.
Kesedihan.
Jai masih tidak percaya pacarnya telah memutuskan hubungan mereka hanya karena dia miskin. Ya, itu artinya Meghan tidak layak untuk Jai. Wanita itu tidak pantas menerima semua hal yang telah Jai berikan untuknya. Tabungannya... Uang yang Jai dapatkan selama ini...
Seandainya saja Jai bisa putus lebih cepat. Itu adalah hal yang paling Jai sesali dalam hubungannya dengan Meghan.
“Kamu miskin.”
Suara Megan menggelegar di ruang gelap tak terhingga tempat Jai berada saat ini.
Intensitas rasa sinis dalam suaranya membuat Jai kesal bukan main. Dia berharap tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Kalau nanti dirinya sudah kembali ke kota, Jai akan memastikan kalau Meghan atau Chen atau apa pun itu, tidak akan ada yang bisa menghancurkan kehidupan Jai di hari esok dan sisa hidupnya di masa depan. Ah, Jai bahkan tidak akan tanggung untuk pergi ke Jerman kalau memungkinkan.
Tidak berselang lama suara lain muncul. Sebuah suara yang terdengar seperti letusan kecil.
"Sekarang apa lagi?" sungut Jai.
Beberapa saat kemudian, muncul sebuah percikan cahaya di depan Jai. Sebuah percikan cahaya yang terlihat seperti letusan kembang api di langit malam. Namun, hanya dalam hitungan milidetik cahaya itu berubah menjadi letusan nuklir zat napalm yang membakar habis segala hal. Bukan hanya itu, warna letusannya bukan merah atau orange, melainkan putih dan biru.
Api biru pun menyebar dari arah kanan ke depan, diikuti oleh sebuah topan yang juga terlihat seperti api biru dari arah kirinya. Kedua api biru itu bertemu dan saling memutari satu sama lain hingga membentuk sebuah naga raksasa yang terbuat dari api biru dan putih.
Jai teramat sangat heran dengan apa yang baru saja terjadi, tapi kemudian beberapa bayangan siluet muncul. Siluet itu berukuran besar dan kecil. Bayangan yang pertama kali muncul berwarna hitam, tetapi kemudian berubah menjadi abu-abu gelap dan berbentuk manusia. Para bayangan itu sebagian besar tengah duduk dan berlutut di tanah. Beragam suara pun mulai terdengar oleh Jai.
Jai menyadari kalau suara itu kebanyakan berupa rengekan dan tangisan, dan suara-suara itu datang dari bayangan yang Jai lihat.
Hal itu membuat Jai sadar kalau mereka adalah manusia yang tengah ketakutan.
Tidak lama kemudian, muncul lebih banyak bayangan yang sedang membawa senjata. Beberapa bayangan membawa pedang dan perisai, beberapa membawa tombak, dan beberapa lagi terlihat menggunakan busur dan anak panah. Mungkinkah mereka tentara? Jai menerka.
Beberapa pemanah menarik busur mereka sambil berlutut dan beberapa sambil berdiri, tetapi mereka semua mengarahkan busur mereka pada titik yang sama, orang-orang yang tengah duduk dan berlutut di tanah. Para prajurit menargetkan manusia? Tidak, bukan hanya itu. Bukankah mereka yang sedang ketakutan terlihat seperti warga sipil?
Gambaran tempat pun berubah. Api berwarna biru-putih itu kini menjadi lebih tenang, tidak lagi berbentuk seperti naga besar. Sebaliknya, api itu memperjelas gambaran tempat yang Jai lihat. Lantai dan dinding yang terbuat dari batu bata, spanduk yang digantung, dan semacam tempat duduk yang lebih cocok disebut dengan singgasana yang terletak di tengah ruangan. Bayangan seseorang pun muncul di depannya. Dilihat dari siluetnya, bayangan itu terlihat seperti seorang pria. Pria itu memegangi perutnya sambil perlahan mengeluarkan pisau belati yang tertancap di sana. Dia mendesis dan mengerang kesakitan saat menarik pisaunya keluar.
Satu bayangan lagi muncul tidak jauh di depan pria yang meringis. Sebuah tawa pun terdengar dari bayangan baru itu. Suaranya begitu keras dan terdengar jahat.
Kemudian, kilauan listrik putih menyembur dari tangan sang pria yang terluka, dia pun meninjukan tangannya ke hadapan pria yang ada di depannya untuk membalas. Namun, gerakannya terlalu lambat dan lawannya bisa mengelak dengan mudah sambil tertawa hingga bayangan mereka menghilang.
Gambaran yang ada di hadapan Jai berubah lagi. Kali ini, api kembali berkobar. Api itu tidak membentuk naga. Namun berbentuk abstrak dan lebih terlihat seperti kobaran api yang sangat besar, berputar-putar di sekitar tempat itu dengan sangat gila.Sebuah gelombang besar melahap pepohonan dari arah kiri ke kanan, kemudian gelombang itu menyala seperti sebuah api besar yang kemudian membakar pepohonan.
Sekali lagi, semua bayangan itu memudar. Orang-orang yang ketakutan itu muncul kembali di tengah hutan yang terbakar. Mereka membentuk lingkaran dan saling berpegangan satu sama lain. Tangisan mereka semakin pecah ketika bayangan para prajurit bermunculan di sekitar mereka.
Dua bayangan lagi muncul, terlihat seperti dua pria dari bayangan sebelumnya. Pria yang terluka itu berjongkok di depan orang-orang, dan pria lain yang dianggap Jai sebagai pria jahat itu berdiri tegak di depannya.
Jai tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dia bisa melihat kobaran api yang tidak biasa itu semakin besar dan terang. Dengan cepat, cahaya itu memenuhi seluruh pandangan mata Jai. Cahayanya begitu terang hingga Jai memilih untuk menutup matanya. Meski cahaya ini sangat terang, tetapi tidak telalu menyilaukan. Jai dapat merasakan hawa hangat yang mulai memanas di dalam dirinya.
Jai masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi.
Cahaya silau itu pun kemudian memudar perlahan dan membentuk siluet seorang pria. Siluetnya berwarna biru putih, begitu kontras dengan kegelapan yang kembali memenuhi lingkungan sekitar Jai.
“Jai.” Sebuah suara bergema dengan nada serius.
Jai mengerutkan keningnya. Suara itu sangat familiar. Jai bahkan bisa merasakan tatapan yang datang dari siluet pria itu. Terasa sangat serius, tapi juga hangat. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Jai Waetford.” Suara itu kembali menggema.
Jai terkejut dan berhati-hati merespon panggilan itu. Suaranya mulai bisa Jai kenali. Ini adalah suara milik bayangan pria yang ditusuk perutnya. Hanya saja, bagaimana orang ini tahu nama lengkap Jai? Ada apa sebenarnya?
“Bagaimana kau tahu namaku?! Kau siapa?!" tanya Jai.
"Bunuh dia. Bunuh naga putih itu.” Jawaban dari pria itu tidak sesuai dengan pertanyaan Jai.
Jai mengerutkan kening lebih dalam karena kesal, tetapi dia berusaha menenangkan diri dan mencoba bertanya lagi.
"Kau siapa? Kenapa aku harus mendengarkanmu?”
Pria itu kemudian berbicara lagi, "Bunuh dia untukku... Dan jawabanmu akan terungkap."
Sebelum Jai sempat bertanya lagi, siluet pria itu berubah menjadi kelopak putih yang terbang seolah bunga dandelion yang tertiup angin.
Kegelapan memenuhi tempat itu sekali lagi, tapi perasaan hangat itu masih ada.
Jai sangat bingung dengan segala hal yang sudah dia saksikan, terlebih permintaan pria itu, kenapa bisa semua itu terjadi? Ketimbang diliputi kebingungan tidak terkira seperti ini, Jai jauh lebih memilih tersesat saat sedang mengirimkan paket makanan, itu bahkan terdengar jauh lebih menyenangkan.
Tiba-tiba saja ada sesuatu yang berlendir meluncur ke atas dan ke bawah di pipi kiri Jai. Sontak saja Jai terbangun. Dia mengerutkan wajahnya lalu melirik ke sebelah kiri, terlihat seekor anak kucing putih yang balas menatapnya.
Anak kucing itu pun mengeong dan melompat ke arah Jai. Seketika Jai menggerutu karena gerakan yang tiba-tiba itu. Dia lekas mengulurkan tangannya dan menarik anak kucing dari pundaknya. Anak kucing itu berukuran cukup kecil hingga Jai bisa memegang tubuhnya hanya dengan satu tangan.
"Usha... Turun..." Gumam Jai, suara paginya terdengar sedikit lebih serak dari yang diharapkan.
Jai menatap anak kucing yang tergantung di udara. Anak kucing itu balas menatapnya. Mereka melakukannya selama beberapa detik sebelum anak kucing itu mengeong sebagai tanggapan. Jai pun terkekeh.
Sebuah ketukan pun terdengar dari pintu. “Jai? Apa kamu sudah bangun?"
Itu adalah suara Miria. Jai mengerjapkan matanya beberapa kali dan mencoba untuk lebih terjaga. Paling tidak Jai sudah tidur, meski mimpinya dihiasi kegelapan dan api biru-putih dengan segala tetek bengeknya. Jai tidak ingin memikirkannya dan lekas menyadarkan diri.
"Ya Miria, aku sudah bangun."
“Syukurlah, bisakah kamu ikut denganku ke pasar? Aku ingin membuatkanmu sarapan sebelum kamu pergi. Kakek juga sudah pergi melaporkan kejadian kemarin.”
"Tentu."
"Baik. Aku akan menunggu di depan pintu.”
Derap langkah Miria pun terdengar menjauh.
Jai meletakkan anak kucing di kepalanya. Dia pun berdiri dan mulai meregangkan tubuhnya. Anak kucing itu terlihat ketakutan dan memegangi kepala Jai dengan kedua cakarnya ketika Jai meregangkan lehernya. Setelah selesai, Jai pun melirik si anak kucing berbulu dan tersenyum.
“Jangan membuat Miria menunggu, ya?”
Kemudian mereka pun pergi bersama Miria ke pasar.
Jai dan Miria berjalan berdampingan menuju pasar. Usha kecil ada di antara mereka, berjalan dengan begitu anggunnya seperti pemilik jalan. Sudah beberapa kali Usha melewati pergelangan kaki Miria seolah-olah memang bermaksud melakukan hal itu. Tindakannya itu mengejutkan dan menarik perhatian Miria setiap saat. Meski begitu, Miria tidak merasa terganggu, dia bahkan menganggap apa yang dilakukan oleh Usha sebagai tindakan yang menggemaskan.Jai bersyukur dengan apa yang dilakukan oleh Usha. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatian Miria darinya dan Jai bisa lebih memikirkan lagi tentang mimpinya semalam.Jai tidak salah ingat. Dia bermimpi tentang api biru dan putih, dengan api putih mendominasi warna biru. Ada juga beberapa bayangan orang. Sebagian bayangan itu bisa Jai kira sebagai pihak militer, dan sebagian lain adalah orang-orang yang berstatus lebih rendah, mungkin lebih tepatnya penduduk biasa. Suasananya terlihat seperti medan perang, tetapi tidak terlalu b
Bila saja Jai percaya lebih awal kalau para pengguna elemen yang disebut dengan Elemer itu benar-benar ada. Tentunya Jai akan menanyakan sedetail mungkin pada Miria agar keadaan tidak seburuk saat ini. Ya, Jai terlihat seperti orang bodoh saat melihat apa yang dilakukan oleh lawannya tepat di hadapannya sendiri.Baik Usha maupun Jai refleks terkejut saat melihat salah satu pria bertubuh besar menghentakkan kakinya di tanah hingga segumpal tanah seukuran kelapa tiba-tiba melayang tepat di sampingnya. Bagi Jai, apa yang dia lihat saat ini bagaikan sebuah omong kosong yang membuatnya terlihat menyedihkan. Namun, untung saja Usha mengalihkan perhatian semua orang dari Jai. Reaksi anak kucing yang sedang tersentak diikuti raungan dan desisan terlihat sangat menggemaskan bagi semua orang yang memandangnya.‘Bagaimana bisa dia melakukannya? Apakah dia seorang wibu yang begitu fanatik dengan animasi sihir seperti Korra?’ Batin Jai bertanya-tanya. Apakah ini yang di
Pernahkah kau berpikir kalau di alam semesta yang tidak berujung ini terdapat kehidupan lain selain di bumi? Sebuah kehidupan yang penuh dengan orang-orang kuat dengan kemampuan sihir yang berasal dari alam. Para pengguna element.Alam dengan sendirinya memilih siapa orang terpilih yang bisa melintasi ruang dan waktu untuk hidup di dunianya yang lain. Sebuah dunia yang penuh dengan pertarungan dan perjuangan.Ya, itulah kisahnya. Kisah Jai. Seorang anak manusia yang terpilih sebagai pengguna elemen petir terakhir di dunianya yang baru. Semuanya itu berawal dari sini...**Manhattan, New York. 21 Februari 2016.Bicara soal kehidupan. Apa yang lebih menyakitkan selain melihat kekasih hati terang-terangan berselingkuh bersama pria lain tepat di hari ulang tahunmu? Dan itulah yang dirasakan oleh Jai saat ini. Dia teramat kesal karena melihat pacarnya bermesraan di depan umum.“Megan, apa yang kamu lakukan?!” tanya Jai dengan sorot mata yang penuh dengan kemarahan.Perempuan yang ada di ha
Kepala Jai berdenyut-denyut seperti orang gila, dan dia seharusnya mengatasinya terlebih dahulu daripada berlari ke sumber teriakan dari seseorang yang tidak dikenal. Dia melihat bulan terbelah menjadi dua! Tunggu, itu terdengar salah. Masa bodo!Jai mendengar kucing seputih salju itu mengeong, dia pun segera memeluknya dengan erat ke dada sebelum mempercepat langkahnya. Melewati berbagai pohon-pohon mati di sisinya, dia pun tiba di jalan setapak yang membentang ke samping. Tanahnya kini berbeda, karena berwarna abu-abu dan tampak lebih kokoh ketimbang tanah merah yang dia tapaki sebelumnya. Jai sedikit mengerucutkan bibirnya.'Ke mana sekarang?' Pikirnya.Tidak lama kemudian Jai mendengar tawa samar dari sebelah kanannya. Suara itu terdengar cukup jauh. Dia pun berlari ke kanannya.Tidak butuh waktu lama bagi Jai untuk tiba di tempat kejadian. Dia bisa melihat beberapa pria bersenjata mengelilingi seorang pria tua di tanah tanpa senjata, dan di sebelah k
Jai dengan santai menarik gerobak yang ada di belakangnya. Dia berjalan dengan penuh semangat, seolah-olah Jai tidak baru saja melawan delapan pria yang mencoba merampok seorang kakek tua. Batin sang kakek yang saat ini sedang duduk di gerobak yang sedang Jai tarik, menjadi sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Di pangkuannya ada seekor anak kucing putih yang sedang tertidur tanpa peduli dengan dunia sekitarnya.Mereka sudah berjalan selama hampir satu jam lamanya dan Jai pun telah berusaha mengobrol dengan sang kakek. Jai dengan hati-hati bertanya siapa dia, bagaimana perasaan sang kakek tua itu saat ini, apa yang ada di gerobak, atau siapa orang-orang yang telah menyerangnya itu. Hal-hal semacam itu.Kakek tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Barun. Dia memiliki seorang cucu perempuan bernama Miria, dan mereka tinggal di sebuah desa bernama Letush. Letush adalah desa kecil yang terletak di barat daya Kerajaan Aeronvein.
Barun mengarahkan Jai melewati gerbang. Mereka melewati beberapa rumah kecil dan juga beberapa gudang lumbung. Setelah itu mereka sampai di sebuah halaman kecil dengan sumur batu di tengahnya.Jai melihat seorang gadis sedang duduk di tepi sumur, wajahnya menunduk ke bawah. Jai menyadari kalau gadis itu mengerutkan kening saat mereka berjalan mendekat. Tidak berapa lama, Barun yang ada di belakangnya memanggil, "Miria!"Gadis itu mendongak dan ekspresinya langsung berubah menjadi sangat gembira."Kakek!" seru Miria. Dia pun lekas berlari ke arah Jai dan Barun dengan gembira."Apa yang kamu lakukan di sini, cucuku? Kenapa memakai pakaian seperti itu?” tanya Barun, nada khawatir terselip di suaranya.“A-Aku menunggumu, kakek… aku khawatir…” Miria membela dirinya. Dia tersenyum meminta maaf kepada sang kakek.Sekarang gadis itu hanya berjarak dua kaki dari Jai, dia bisa melihatnya dengan lebih baik. Gadis itu mem