Rangga menatap sosok mantan istrinya yang kini sedang duduk di sebelah ranjangnya dengan tatapan penuh penyesalan.
“Kenapa kau masih mau menemuiku dan merawatku setelah apa yang aku perbuat padamu, Citra?” ucap Rangga dengan suara parau.
“Karena hanya kau yang aku akui sebagai suamiku terlepas dari apa yang sudah kau lakukan padaku,” balas Citra. Ia tersenyum sambil mengelus punggung tangan suaminya yang telah rapuh itu.
Air mata Rangga mengalir deras. Kini ia tak berdaya dan sudah di ambang ajal. Segala yang ia miliki telah lenyap dan ketika ia hidup dalam keterpurukan, semua orang yang dulu memuja dirinya kini meninggalkannya.
Justru sang istri yang telah ia hancurkan hidupnya kini malah berada di sampingnya; menemaninya dengan segala ketulusan yang terpancar dari sorot matanya.
‘Dewata, jika ada kesempatan untuk kembali ke masa lalu, aku ingin memperbaiki segalanya… aku ingin membahagiakan istriku…’ ucap Rangga dalam hati. Lalu perlahan-lahan semua terlihat gelap.
Rangga berpikir ia sudah mati sebab ia merasa sedang melayang-layang dalam kegelapan dan kemudian terjatuh di depan satu sosok mengerikan yang berpenampilan serba hitam.
“S-siapa kau?” ujar Rangga.
“Anggap saja aku dewa kematian! Aku mendengar apa yang kau katakan tadi. Kau akan mendapatkan satu kesempatan untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki hidupmu. Jika sampai kau gagal membahagiakan istrimu seperti yang tadi kau ucapkan, dan jika dalam waktu 3 bulan kau gagal membuat istrimu hamil tanpa paksaan, maka aku akan mengambil nyawamu dan jiwamu akan aku panggang di tungku neraka di sebelah sana itu!” kata sosok hitam itu sambil menunjuk ke satu arah.
Rangga menoleh dan melihat ke arah itu di mana yang terlihat di sana adalah gambaran kehidupan kaum pendosa di tungku neraka dalam rangka penyucian jiwa.
“A-aku tidak mau ke sana… beri aku kesempatan itu… aku mohon…” kata Rangga sambil menggigil ketakutan.
Usai mengatakan hal itu, Rangga kembali merasa segalanya menjadi gelap dan ia merasa seperti terlempar begitu saja di sumur tanpa dasar.
“AAARRGHHHHH” Rangga terbangun dengan nafas terengah-engah. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Dengan sedikit linglung, ia memandangi ruang di sekelilingnya. Semua itu serasa tidak asing.
‘Sungguhkah ini? Apakah aku kembali ke masa lalu?’ ucap Rangga dalam hati. Ia menampar wajahnya sendiri dan rasanya sakit. Lalu ia segera beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah cermin. Ia melihat dirinya yang masih muda.
Rangga berdebar-debar. Ia merasa senang luar biasa telah mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya.
‘Di mana Citra… aku ingin sekali memeluknya… mulai saat ini, aku akan membahagiakannya!’ ucap Rangga dalam hati. Buru-buru ia keluar kamar dan mencari istrinya.
Rangga bergegas ke belakang sebab ia mendengar suara di dapur. Di sana ia melihat istrinya sedang memasak untuk makan malam.
Citra menoleh gugup ke arah Rangga begitu ia mendapati suaminya itu datang dengan raut wajah aneh.
“K-kangmas… maaf jika aku terlalu berisik saat memasak dan membangunkanmu… a-aku tadi tidak sengaja menjatuhkan sesuatu…” ujar Citra dengan ekspresi takut.
“Apa yang kau masak, sayang?” tanya Rangga.
Belum pernah Citra mendengarkan ucapan manis dari suaminya seperti itu. Ia sungguh kaget dan merasa ada yang tidak beres. Seharusnya Citra senang, namun kini ia berdebar cemas jika tiba-tiba suaminya akan menghajarnya lagi.
“A-aku… memasak… sayur lodeh…” jawab Citra dengan suara lirih dan ia menundukkan kepalanya dalam-dalam tak berani menatap suaminya.
Rangga tersenyum dan ia berjalan mendekat. Citra mulai sedikit gemetaran. Ia segera menyiapkan diri untuk mendapatkan tamparan lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Namun tiba-tiba Rangga justru memeluk Citra.
“K-kangmas… ampun… aku sudah salah…” ucap Citra sambil menggigil. Ia menganggap suaminya akan membanting tubuhnya.
“Kau tidak salah… sungguh tidak. Justru aku yang bersalah karena selama ini selalu menyakitimu. Maafkan aku, Citra… mulai saat ini, aku akan berusaha menjadi suami baik untukmu…” bisik Rangga tanpa melepaskan pelukannya.
Di momen itu, Rangga merasa sangat bahagia. Bahkan sebelum ia kembali ke masa lalu, ia belum pernah sebahagia itu.
‘Betapa aku sudah buta tak pernah mensyukuri kehadiran istriku yang selalu setia meski aku selalu menyia-nyiakannya dan menyakitinya… kini aku tak akan mengabaikannya sedikitpun…’ ucap Rangga dalam hati.
Di saat yang sama, Citra sungguh heran mendengar bisikan suaminya. Maka pelukan sang suami itu kini terasa nyata dan sepertinya ia tak akan dibanting atau dipukul.
Namun demikian, Citra terlalu kaku dan ia hanya diam membeku saat suaminya memberikan pelukan. Ia sungguh tak tahu apa yang harus ia lakukan dan masih berada dalam situasi antara percaya dan tidak dengan apa yang terjadi.
Yang jelas, Citra merasa masih takut.
Rangga meregangkan pelukannya dan mengecup mesra kening sang istri. Ia menatapi Citra yang menundukkan wajah tak berani untuk menatap.
“Masih banyak yang harus kau kerjakan? Aku akan membantumu…” kata Rangga dengan lembut.
Kebaikan dan perubahan Rangga yang tiba-tiba itu tentu saja sangat aneh. Takutnya, semua itu hanya jebakan dan ia akan mendapatkan pukulan lagi yang lebih mengerikan dari sebelumnya.
“T-tidak, Kangmas… itu sudah harus diangkat. Sudah matang semuanya…” kata Citra masih takut dan gemetaran.
“Kalau begitu, biar aku yang mengangkatnya. Kau mandi saja dulu. Sudah hampir gelap. Nanti kau kedinginan…” kata Rangga sambil kembali mengecup kening istrinya.
“A-apakah tidak apa-apa?” ucap Citra. Ia sedikit memberanikan diri untuk mencari tahu sebenarnya apa maksud lelaki itu.
“Kenapa kau takut begitu padaku. Tidak apa-apa! Bersikaplah sedikit manja. Aku ini suamimu dan kau berhak meminta sesuatu dariku. Mandilah, aku akan membereskan dapur. Setelah itu aku juga akan mandi dan kita makan malam bersama…” kata Rangga.
“B-baik, kangmas…” balas Citra. Ia hanya tak berani membantah. Jika suaminya sudah memerintah, sebaiknya ia segera saja melakukannya.
Sejak pernikahan hasil perjodohan itu, Rangga sama sekali tak pernah menyentuh istrinya; dia masih perawan. Rangga tidak mencintainya meski istrinya itu berwajah cantik dan bertubuh bagus sebab saat itu Rangga sendiri sudah memiliki seorang kekasih.
Rangga menyalahkan Citra sebab setelah pernikahan itu, kekasih Rangga yang bernama Nawang menghilang entah kemana. Sejak saat itu pula Rangga merasa hancur dan tak memiliki semangat hidup.
Dulu Rangga tak bisa menolak perjodohan berujung pernikahan karena ia menyiksa sendiri tak mungkin menentang kehendak orang tuanya yang mengancam tak akan memberikan warisan jika tak mau menikahi Citra.
Selama setahun itu dan selama kedua orang tuanya hidup, Rangga memang tak pernah berbuat kasar. Namun sikapnya kepada Citra sangat dingin. Lalu kedua orang tua Rangga meninggal karena sebuah kecelakaan di mana kereta yang ditumpangi oleh mereka masuk jurang.
Rangga mendapatkan warisan semua kekayaan orang tuanya. Dan setelahnya, ia mulai main tangan dan sering memukul Citra hanya karena wanita itu melakukan kesalahan kecil. Bahkan kadang Rangga memukulnya meski Citra tidak salah. Semua itu untuk melampiaskan segala kekesalahnya karena Nawang menghilang.
Rangga menganggap Citra sebagai petaka dalam hidupnya. Nawang kembali muncul sekian tahun kemudian dan saat itu Citra sudah benar-benar terpuruk.
Kemunculan Nawang lantas membuat Rangga tak ragu lagi untuk benar-benar membuang istrinya.
Makanan sudah tersaji di meja makan. Citra sudah mandi dan demikian halnya dengan Rangga. Lalu mereka duduk bersama di ruang makan.
Suasana masih terasa canggung dan menakutkan bagi Citra yang mendapati keanehan pada suaminya. Ada yang benar-benar janggal.
“Ayo kita makan, sayang…” kata Rangga.
“Aku ambilkan untukmu, Kangmas…” kata Citra segera beringsut. Biasanya pun demikian; ia selalu mengambilkan makanan jika Rangga meminta makan. Telat sedikit saja, makian akan ia dapatkan. Kadang juga pukulan.
“Aku saja yang mengambilkan untukmu…” kata Rangga. Lagi-lagi sikap manis suaminya itu membuat Citra semakin cemas.
Rangga masih terus berusaha untuk bersikap baik demi mendapatkan hati istrinya.
Dan jika mungkin malam itu ia tidur dengan istrinya, maka akan ia lakukan dengan sebaik-baiknya agar Citra lekas hamil dan dengan demikian Rangga berhasil menjalankan tujuannya tanpa harus mati lagi dan masuk ke tungku neraka di alam kematian.
“Citra, tak usah kau cuci semua ini. Besok saja aku yang mengerjakan. Ayo kita mengobrol di kamar kita…” ajak Rangga.
“Kamar kita?” ujar Citra sambil berdebar tak karuan. Belum pernah Rangga mengizinkannya berada di kamarnya. Ia selalu tidur di kamar belakang dekat dapur.
“Ya. Mulai malam ini dan seterusnya, kita akan tidur di ranjang yang sama, istriku sayang…” kata Rangga.
Di hari sebelumnya, Rangga kalah banyak saat berjudi. Ia sebenarnya punya uang, namun rasanya tak rela untuk memberikan uang itu. Sehingga, sebagai gantinya, Rangga memberikan istrinya untuk ditiduri oleh ketiga temannya.
Dan setelah itu, seharusnya, Citra dijadikan pelacur oleh Rangga; itu adalah momen pelik ketika Rangga benar-benar menghancurkan kehidupan istrinya.
Begitu mereka hendak bergegas menuju ke kamar, di luar terdengar suara ketukan pintu dan beberapa suara yang memanggil Rangga.
“Kangmas… sepertinya ada tamu…”
“Haduh… malam-malam begini… mengganggu saja!” kata Rangga kesal karena gangguan itu.
“B-biar aku saja yang membukakan pintu lalu menyiapkan minuman,” kata Citra.
“Aku saja yang membuka pintu dan aku akan mengusir mereka! Aku hanya ingin berdua saja denganmu, Citra…” kata Rangga. Ia segera ke depan dan membuka pintu rumahnya.
Yang datang adalah Parwo, Gatot dan Teguh. Ketiga lelaki itu datang dengan wajah sumringah.
“Ada apa kalian datang kemari?” tanya Rangga dengan nada datar. Ia ingat siapa ketiga orang itu dan tak mungkin melupakannya tentu saja. Di masa depan, ketiga teman itu pun adalah bajingan yang mengkhianatinya.
“Hei Rangga! Jangan pura-pura lupa. Bukankah malam ini kami akan mendapatkan bayaran bagus!” kata Parwo.
“Bayaran bagus apa?” ujar Rangga mencoba mengingat momen apakah itu.
“Sialan kau Rangga! Kemarin kau kalah dan berhutang banyak! Kau menjanjikan istrimu yang masih perawan itu sebagai bayarannya!” kata Gatot dengan suara keras.
Ucapan Gatot yang cukup keras itu terdengar oleh Citra. Kini Citra berpikir jika semua kebaikan Rangga yang tiba-tiba itu ternyata memang ada maksud dibaliknya.Citra rela dipukuli dan dimaki-maki oleh Rangga. Namun tentu saja ia tidak sudi jika dijual oleh suaminya itu.Air mata Citra langsung mengalir deras. Ia bergegas ke kamar belakang, masuk dan segera mengunci pintunya. Ia langsung menangis begitu saja.Otak Rangga berpikir keras dan akhirnya ia ingat juga momen itu; suatu hari di mana untuk pertama kalinya ia membuat Citra sangat hancur. Jantung Rangga berdegub keras. Ia tidak cukup siap untuk menghadapi situasi itu.Rangga sempat menoleh ke arah istrinya yang saat itu segera ke belakang. Ia mengumpati situasi itu. Padahal, ia sudah mendapatkan sebuah jalan mudah untuk memperbaiki hubungan tersebut. Namun tidak tahunya ia malah harus menghadapi situasi tak terduga tersebut.“Bagaimana Rangga, apakah kau sudah memasukkan obat perangsang dan memberikannya pada istrimu agar dia ji
Apapun itu, Rangga harus meluruskan segalanya. Ia berdiri di depan pintu dan ia mendengar suara tangisan istrinya. Dulu ia tak peduli jika istrinya menangis. Namun kali ini tangisan Citra membuat hatinya terasa ngilu.Rangga mengetuk pintu kamar istrinya dan memanggilnya dengan suara pelan, “Citra… bisakah kita bicara sebentar?”Tak ada balasan.“Citra… yang tadi kau dengar itu karena kejadian kemarin… aku mabuk dan tak sadar dengan apa yang aku lakukan… aku sudah menyuruh mereka pulang. Tentu saja aku tak akan memberikanmu kepada siapapun. Kau istriku. Sampai kapan pun kau adalah istriku dan aku berjanji akan berubah menjadi suami baik untukmu… Citra… kumohon… bukalah pintunya…” ucap Rangga.Tetap tak ada balasan.Rangga tak ingin memaksa dan membuat situasi itu memburuk. Maka ia memilih untuk membiarkan Citra mengurung diri di kamar.Semalaman Rangga menunggu di belakang sambil rebahan di kursi kayu panjang. Lalu pagi itu, Citra keluar dari kamar.Rangga belum berani menyapa; hanya
Rangga bergerak dengan kalut menuju ke sumber suara yang ia dengarkan itu. Di sana ia melihat Citra sedang dikerjai lima orang lelaki dalam rombongan itu. Mereka semua berdiri mengelilingi Citra yang terlihat kacau dan ketakutan di tengah-tengah; berusaha mencari celah untuk melarikan diri, namun ia tak berdaya.Pakaian Citra sedikit robek; tanda jika tadi mungkin ia sedang memberontak saat dipegangi tubuhnya sampai bajunya robek.Darah Rangga mendidih seketika melihat hal itu. “CITRAAAA!!!” teriak Rangga dan teriakannya membuat semua orang menoleh dan menatap heran.“Kangmas… tolong…” ucap Citra. Meski ia pergi karena kecewa, namun bagaimanapun kali ini Rangga lah satu-satunya harapan untuk selamat dari pelecehan itu. Dan lagipula, Rangga adalah suaminya. Satu-satunya orang yang berhak mendapatkan mahkotanya.Tubuh Rangga, meski tinggi dan gagah, namun tak terlatih untuk berkelahi meski ia pernah juga belajar kanuragan. Hanya saja, jiwa Rangga dari masa depan itu masih membawa memori
Rangga pergi ke sebuah sungai di desa itu. Tak terlalu jauh dari rumahnya. Di masa depan, salah satu tetangganya membongkar bebatuan yang ada di sana dan menemukan sebuah kotak berisi uang emas dengan jumlah cukup banyak. Orang itu menjadi kaya setelahnya. Rangga ingin mendahuluinya.Uang itu nantinya ingin Rangga gunakan untuk modal. Ia tahu bisnis apa yang bagus dan di masa depan ia sangat memahami seluk beluk bisnis yang membuatnya kaya raya. Ia juga tahu batu sandungannya.Namun Rangga sadar, semua itu bisa saja berubah sebab ia sudah merubah keadaan dengan kembali ke masa lalu. Hanya saja, apa yang ia ketahui di masa depan itu bisa menjadi petunjuk yang bagus.Rangga masih ingat di mana lokasi tetangganya itu menemukan harta karun. Ia segera menuju ke sana mumpung hari masih pagi.‘Jika tidak salah, itu dia tempatnya…’ Rangga melihat lempengan batu besar di tepi sungai. Siapa yang akan mengira jika di bawah lempengan batu itu ada harta karunnya.Tetangga Rangga menemukannya hanya
Rangga bergegas membuka pintu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba itu. Apalagi, Teja terlihat tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja; Teja menatapnya dengan tatapan penuh amarah.“K-kang Teja…” sapa Rangga.“Bajingan keparat! Apa yang kau lakukan pada adikku!” bentak Teja. Ia langsung memberikan sebuah tendangan telak di bagian dada yang membuat Rangga sampai terpental dan jatuh ke lantai rumahnya.Citra tentu saja kaget mendengar suara teriakan yang disusul suara jatuhnya Rangga itu. Lantas Citra segera bergegas ke ruang depan dan mendapati suaminya tergeletak di lantai dan juga kakak kandungnya yang terlihat sangat marah.“Kang Teja… apa yang kau lakukan?” kata Citra panik dan kaget saat ia mendapati kakaknya telah datang dan suaminya sedang terkapar di lantai. Citra paling takut jika Teja sudah marah sebab dia bisa melakukan apa saja. Bahkan membunuh orang.Dengan tubuh tinggi, besar dan gagah yang membuatnya berhasil masuk di keprajuritan istana, p
Persaan Rangga menghangat saat ia mendapati wajah istrinya merona merah dan si jelita yang masih perawan itu terlihat malu-malu.Dua bibir itu semakin dekat dan kemudian berlabuh. Ada rasa bahagia yang berbeda yang dirasakan oleh Rangga dan Citra.Dulu Rangga tak mengakui Citra lantaran ia masih mencintai Nawang. Segala kecantikan yang Citra miliki seolah tak terlihat di mata Rangga.Kini ia merasakan betapa lembutnya bibir ranum sang perawan yang telah ia nikahi itu. Rangga tahu, Citra bukan wanita murahan. Justru kelak Rangga mendapati bahwa Nawang lah yang sebenar-benarnya merupakan wanita murahan yang rela pula ditiduri lelaki lain demi harta.Sementara itu, dalam suasana mesra yang baru saja tercipta, Citra hanya bisa membeku dan pasif saat bibirnya ia serahkan pertama kali untuk suaminya. Jantungnya berdebar kencang dan nyawanya seolah melayang-layang.Rangga melepaskan tautan bibirnya dan menatap sang istri dengan tatapan penuh kebahagiaan, “Apakah kau sudah siap, Nimas Citra?”
Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi
Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.Rangga tertawa mendengarnya.“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.***Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja mel
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j