Rangga bergegas membuka pintu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba itu. Apalagi, Teja terlihat tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja; Teja menatapnya dengan tatapan penuh amarah.
“K-kang Teja…” sapa Rangga.
“Bajingan keparat! Apa yang kau lakukan pada adikku!” bentak Teja. Ia langsung memberikan sebuah tendangan telak di bagian dada yang membuat Rangga sampai terpental dan jatuh ke lantai rumahnya.
Citra tentu saja kaget mendengar suara teriakan yang disusul suara jatuhnya Rangga itu. Lantas Citra segera bergegas ke ruang depan dan mendapati suaminya tergeletak di lantai dan juga kakak kandungnya yang terlihat sangat marah.
“Kang Teja… apa yang kau lakukan?” kata Citra panik dan kaget saat ia mendapati kakaknya telah datang dan suaminya sedang terkapar di lantai. Citra paling takut jika Teja sudah marah sebab dia bisa melakukan apa saja. Bahkan membunuh orang.
Dengan tubuh tinggi, besar dan gagah yang membuatnya berhasil masuk di keprajuritan istana, pastinya Rangga hanya akan dijadikan bulan-bulanan.
“Biarkan aku menghajar bajingan yang memperlakukanmu dengan buruk itu!” Teja mengabaikan adiknya dan melangkah cepat ke arah rangga yang masih terkulai di lantai. Teja mengangkatnya dan membantingnya dengan keras.
Citra menjerit seketika! “Kakang! Jangan pukul suamiku! Dia suamiku! Kau ini kenapa!”
Langsung saja Citra berlari dan membentengi Rangga dari amukan Teja.
“Kenapa kau masih membelanya, Citra! Dia bahkan tega menjualmu kepada teman-temannya! Suami macam apa itu!” kata Teja.
“Kakang, itu tidak benar! Suamiku tak menjualku kepada siapapun! Kakang mendapatkan berita bohong itu dari mana!” kata Citra.
“Citra! Aku tak habis pikir dengammu! Bukan sekali ini saja aku mendengar kau diperlakukan dengan buruk oleh suamimu, tapi kau masih membelanya!” kata Teja masih marah.
Di rumah kedua orang tuanya, Citra selalu dielu-elukan dan menjadi anak perempuan yang disayangi semua orang. Apalagi Teja; sang kakak itu begitu sayang kepada adiknya. Jika ada seseorang yang berani mengganggu adiknya saja, ia tak segan menghajar orang itu sampai babak belur. Maka Teja jelas tidak terima setelah mendengar jika Rangga bersikap jahat kepada Citra.
“Kang Teja… ini rumah tanggaku. Dia suamiku. Aku lebih tahu apa yang kami alami daripada siapapun! Sebaiknya Kang Teja pulang saja jika datang kemari hanya untuk memukuli suamiku!” kata Citra.
Rangga mendengar itu semua. Hatinya sungguh berbunga-bunga. Seperti yang ia yakini, meski Citra mendiamkannya, namun dia pasti masih akan peduli padanya.
Teja tentu saja tidak tenang. Ia juga cukup kecewa dengan sikap adiknya. Ia hanya ingin memastikan adiknya baik-baik saja dan bahagia. Tak ingin membuat sang adik bertambah kalut, maka Teja pergi dari rumah itu. Namun, ia tak pergi dari desa itu. Ia memilih untuk menyewa sebuah penginapan untuk memantau adiknya.
Selepas Teja pergi, Citra membantu Rangga berbaring di ranjang.
“Mana yang sakit, Kangmas?” ucap Citra. Melihat Rangga seperti itu ia menjadi tidak tega untuk bersikap tak peduli seperti sebelumnya.
“Tidak apa-apa, Citra… paling hanya memar karena ditendang dan dibanting. Aku layak mendapatkan hal ini dan yang aku dapat tidak sebanding dengan sakit hatimu selama ini. Aku tidak marah kepada Kang Teja… seharusnya dia menghajarku lebih dari ini…” kata Rangga.
“Jangan bicara seperti itu. Kang Teja jika sudah kalap bisa saja gelap mata. Sudahlah. Aku akan buatkan obat balur untukmu…” kata Citra. Ia segera bergegas ke belakang untuk merebus air dan menumbuk obat balur untuk luka memar yang didapatkan Rangga.
Dulu Teja pun marah besar ketika tahu Rangga membuang Citra. Namun demikian, Citra sendiri lah yang menyembunyikan aib Rangga dengan cerita sedemikian rupa sehingga selamatlah Rangga dari amukan Teja. Citra seorang diri menanggung penderitaannya.
Rangga tahu betul soal itu dan kini ia sungguh merutuki dirinya berkali-kali karena kebodohan yang pernah ia lakukan. Tekad Rangga semakin kuat ingin membahagiakan istrinya.
Citra kembali dan kemudian mulai membaluri memar di dada, punggung dan pinggang Rangga.
“Citra… terimakasih… aku tahu kau masih marah dan kecewa kepadaku… tapi aku tahu kau masih perhatian kepadaku… aku sangat berharap kau memaafkan aku dan mau menerimaku kembali. Aku akan membuktikan kepadamu jika aku sudah berubah dan akan terus berubah menjadi lelaki yang lebih baik untukmu…” kata Rangga sambil memegang tangan istrinya.
Namun Citra dengan halus menarik tangannya. Masih ada banyak ganjalan dalam benak Citra. Terutama soal harta karun yang tadi dibawa Rangga pulang.
“Kakang mendapatkan perhiasan dan uang emas itu dari mana? Judi lagi? Atau jangan-jangan kau mencuri!” tanya Citra.
“Aku tidak pernah mencuri meski aku lelaki buruk, Citra… dan aku sudah bersumpah kepadamu tidak akan berjudi. Aku menemukan kotak itu di sungai… kau lihat sendiri lumpurnya saat aku bersihkan di belakang…” kata Rangga.
Citra menghela nafas panjang. Ia masih sulit untuk percaya. Aneh sekali tiba-tiba Rangga mendapatkan harta karun di sungai. Bahkan tidak biasanya Rangga pergi ke sungai.
“Kangmas simpan saja perhiasan itu. Aku takut menyimpannya. Dan juga uang itu… aku takut menggunakannya. Kecuali kangmas memberiku uang hasil bekerja. Aku ke belakang dulu. Jika butuh sesuatu, panggil aku…” kata Citra.
Lumayan. Setidaknya Citra sudah mau bicara. Dan dia sudah tidak tampak ketakutan. Diam-diam Rangga berterimakasih kepada Teja. Tanpa kejadian itu, Citra mungkin masih akan mendiamkannya.
***
Tiga hari berlalu dan Teja akhirnya pulang ke rumah orang tuanya setelah tak mendapati ada hal yang aneh di rumah adiknya. Ia juga mendapati jika Rangga tidak pergi ke tempat-tempat judi atau kedai arak untuk mabuk-mabukan.
Selama tiga hari itu Rangga berpikir keras dan mengingat segala peluang yang sudah ia ketahui.
Maka petang itu setelah makan malam, Rangga mengajak Citra bicara.
“Citra, bisa kita bicara sebentar?” tanya Rangga
Citra yang baru saja membereskan peralatan dapur mengernyit heran.
“Bicara apa, Kangmas?” tanya Citra.
“Aku ingin izin padamu…” kata Rangga.
“Izin?” Citra semakin heran. Mana ada Rangga meminta izin atas apapun yang ia lakukan sebelumnya?.
“Aku ingin beternak kuda. Lebih tepatnya aku ingin membeli kuda jantan anakan dan membesarkannya. Jadi sebelum itu, aku ingin membeli tanah milik Ki Panut yang ada di belakang rumah kita itu. Tanahnya luas dan dia hanya meminta dua ratus keping emas. Sebagian akan aku gunakan untuk membangun kandang, sebagian lagi untuk bercocok tanam…” kata Rangga.
“Kuda? Memangnya kangmas bisa? Kenapa bukan kambing atau kerbau saja yang lebih mudah?” tanya Citra.
“Dua tahun lagi, harga kuda akan melambung tinggi karena kotaraja membutuhkannya untuk perang!” jawab Rangga sedikit keceplosan.
“Hah? Dari mana kakang tahu? Jangan sembarangan bicara soal perang! Itu tak mungkin terjadi!” kata Citra semakin heran. Ia menjadi yakin jika suaminya agak bermasalah dengan otaknya. Dia tiba-tiba baik, perhatian, halus, berhenti judi dan minum, lalu kini dia membicarakan kuda dan mengatakan jika akan ada perang.
“Ya… kau mungkin tak akan percaya. Tapi… aku meminta pendapatmu soal ternak kuda itu… boleh?” tanya Rangga.
“B-boleh saja…” kata Citra. Apapun itu tentu tetap lebih baik daripada Rangga tak melakukan apa-apa dan sangat disayangkan jika Rangga kembali judi, mabuk-mabukan dan bersikap kasar.
Bagaimana pun, Citra sudah mulai bisa sedikit menikmati hidupnya tanpa dibentak dan dipukul. Bahkan suaminya pun mau membantu beres-beres rumah dan mencuci baju. Ia harus bersyukur karena itu. Dan ia tahu, seorang istri sebaiknya memberi dukungan kepada suaminya.
“Jangan khawatir, aku akan mendapatkan banyak uang untukmu. Aku janji…” kata Rangga.
Citra menundukkan wajahnya dan menekan jari-jari tangannya tanpa sadar. Rangga memperhatikan hal itu.
“Citra… kau istriku. Kau berhak mengatakan pendapatmu. Aku akan mendengarkannya…”
“Sebenarnya… yang aku butuhkan bukan uang yang melimpah… tapi…” Citra menjeda ucapannya. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa malu dan di saat yang sama ia merasa agak mules.
“Tapi apa?” tanya Rangga.
“Aku membutuhkan sikap Kangmas yang seperti ini. Aku harap, kebaikan Kangmas kali ini bukan sebuah kebohongan…” kata Citra.
“Aku tidak bohong, Citra… aku sayang padamu. Aku mencintaimu. Mungkin kau tidak percaya karena hal ini tiba-tiba. Tapi aku akan sangat menyesal jika tak langsung menjadi seperti ini. Bahkan… sejak kita menikah… kita belum pernah itu… jika kau siap, aku ingin memberikan nafkah batin untukmu… aku ingin kau melahirkan anak-anak kita…” kata Rangga.
Mendengar ucapan itu, jantung citra tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Sebagai seorang istri, seorang wanita, tentu saja ia pun juga mendambakan hal itu. Sialnya selama ini Rangga tak pernah menyentuhnya.
Rangga menggeser duduknya merapat. Lalu ia menarik dagu Citra, menatap wajahnya, dan kemudian ia mendekatkan bibirnya untuk mencium bibir sang istri tersayang itu.
Persaan Rangga menghangat saat ia mendapati wajah istrinya merona merah dan si jelita yang masih perawan itu terlihat malu-malu.Dua bibir itu semakin dekat dan kemudian berlabuh. Ada rasa bahagia yang berbeda yang dirasakan oleh Rangga dan Citra.Dulu Rangga tak mengakui Citra lantaran ia masih mencintai Nawang. Segala kecantikan yang Citra miliki seolah tak terlihat di mata Rangga.Kini ia merasakan betapa lembutnya bibir ranum sang perawan yang telah ia nikahi itu. Rangga tahu, Citra bukan wanita murahan. Justru kelak Rangga mendapati bahwa Nawang lah yang sebenar-benarnya merupakan wanita murahan yang rela pula ditiduri lelaki lain demi harta.Sementara itu, dalam suasana mesra yang baru saja tercipta, Citra hanya bisa membeku dan pasif saat bibirnya ia serahkan pertama kali untuk suaminya. Jantungnya berdebar kencang dan nyawanya seolah melayang-layang.Rangga melepaskan tautan bibirnya dan menatap sang istri dengan tatapan penuh kebahagiaan, “Apakah kau sudah siap, Nimas Citra?”
Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi
Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.Rangga tertawa mendengarnya.“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.***Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja mel
Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya b
Para tetangga sudah mendapatkan bukti bahwa kotoran itu memang laku dijual. Dan kini mereka pun ingin tahu banyak soal kotoran tersebut kepada Rangga; siapa yang membeli dan sebenarnya untuk apa kotoran tersebut dijual dengan harga mahal?Rasa-rasanya memang sulit dipercaya.“Citra, ayo masuk ke dalam rumah…” ajak Rangga yang sedang malas dengan para tetangganya yang sudah tampak gelagatnya ingin bertanya macam-macam.“Iya, Kangmas…” kata Citra. Hatinya masih senang.“Rangga, tunggu dulu, hehehe… tadi itu kenalanmu?” tanya Ki Panut.“Iya, Ki…” balas Rangga singkat.“Hehehe, begini Rangga… bisakah kau membantu kami? Jika kami mengumpulkan kotoran kelelawar, bagaimana jika kau memanggil kenalanmu itu untuk membeli apa yang kami kumpulkan?” kata Ki Panut. Tetangga yang lain menganggukkan kepala pertanda mereka memiliki pertanyaan serupa.“Orang itu hanya mau membeli kepadaku. Kalian bisa mencobanya jika tidak percaya. Dan lagipula, dia hanya mau beli dalam jumlah banyak!” kata Rangga men
Mereka berdua makan malam dengan perasaan senang. Suasana rumah itu terasa syahdu dengan bantuan beberapa lampu teplok (lampu minyak) yang terpasang di beberapa titik dinding rumah.Kulit Citra cenderung berwarna kuning langsat untuk ukuran orang pribumi desa itu yang rata-rata cenderung menggelap karena mereka bekerja di ladang berjemur dengan matahari. Dengan cahaya temaram seperti itu, Citra terlihat begitu cantik dengan kulit wajahnya yang tampak keemasan.“Kenapa Kangmas menatapku terus-terusan?” ujar Citra salah tingkah.“Rasanya tidak bosan aku terus memandangimu…” kata Rangga.“Gombal…” kata Citra. Padahal hatinya senang juga mendapatkan perhatian seperti itu.“Kau tidak pernah percaya padaku!” balas Rangga.“Sebab rasanya terlalu tiba-tiba. Sebelum ini, Kangmas benar-benar membenciku…” kata Citra.“Itu karena aku buta. Dan dewata kini sudah membuka mataku dan hatiku; menyadarkanku bahwa istriku lebih indah dari apapun di dunia ini!” lagi-lagi Rangga berucap manis.Hati Citra
Rangga sangat berang dengan apa yang dilakukan Nawang. Ia sadar jika pasti Citra merasa sedih dan lagi-lagi malam itu ia pasti tak akan berhasil lagi untuk memadu asmara.“Nawang! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan!” teriak Rangga sambil berusaha mendorong Nawang sampai wanita itu hampir jatuh.Nawang terlihat kaget dan tak percaya dengan apa yang dilakukan Rangga padanya.“K-kangmas… kenapa kau kasar padaku…” ucap Nawang sambil terisak.“Nawang, aku sudah beristri. Pergilah. Jangan pernah lagi datang kemari!” kata Rangga mengusir.“K-kenapa? Apa salahku? Aku selalu mencintaimu dan kau pun demikian. Aku tahu itu Kangmas. Teman-temanmu menceritakan hal itu padaku. Kau tersiksa selama aku pergi. Demikian halnya denganku! Tinggalkan istri sialanmu itu dan ayo hidup denganku. Apalagi yang menghalangimu? Kedua orang tuamu sudah tiada dan kau berhak menentukan hidupmu sendiri!” kata Nawang.“Lancang! Beraninya kau bicara seperti itu, Nawang!” Bentak Rangga dengan tatapan berang.Citra mende
Wajah Citra seketika merona merah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Mandi bersama? Ia tidak siap tentu saja.“Tidak mau. Aku malu, Kangmas…” kata Citra sambil menutup wajahnya.“Kenapa malu? Kan kita suami istri. Bukan hal aneh jika sepasang suami istri mandi bersama!” kata Rangga.“Belum siap, Kangmas… aku malu…” kata Citra.“Hahaha. Ya sudah sana kau mandi duluan. Nanti aku juga mandi dan setelah itu kita pergi mencari sarapan…” kata Rangga.Rangga lega istrinya hanya ngambeg semalam. Hari ini ia harus lebih banyak bersikap romantis agar nanti malam ia berhasil bercinta dengan istrinya. Rasanya gemas sekali selalu gagal.Usai mandi dan berganti pakaian, mereka berdua jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan di dekat pasar. Baru pertama kali mereka berdua terlihat jalan-jalan. Para tetangga tentu menatap heran. Namun banyak juga yang senang; para ibu-ibu yang selama ini kasihan dengan hidup Citra.Dan disepanjang jalan itu, raut wajah mereka menampakkan kebahagiaan
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j