Tanpa pikir panjang, Teja yang sangat marah dengan hal itu langsung melayangkan pukulan-pukulan menghajar Rangga. Untung kemudian para tetangga datang melerai sehingga Rangga pun tak sampai cacat. Rangga juga dilarikan ke tempat lain agar Teja tidak terus-terusan mengamuk. Hal itu benar-benar menjadi bahan gunjingan banyak orang. Ratri pun pergi entah kemana. Benar-benar lenyap dan tak ada yang menyadari kapan wanita itu pergi. Ia takut dengan situasi itu. Sedangkan Teja mengurus adiknya yang pingsan; ia segera membawanya masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Citra siuman. Ia seperti orang yang linglung dan yang ia dapati hanyalah Teja seorang. “Minumlah dulu…” Teja mengambilkan air. Dengan enggan, Citra mengambil air itu dan meminumnya. “Aku tidak pernah ingin kau tidak bahagia, Citra. Percayalah, aku ini kakakmu. Aku yang paling menyayangimu lebih dari siapapun juga. Aku jarang salah menilai orang. Aku rasa kini aku paham kenapa suamimu menjadi baik padamu; karena dia mengham
Rangga sangat panik melihat perbuatan Nawang yang nekad itu. Bagaimana pun, Rangga adalah lelaki normal. Harus ia akui bahwa tubuh yang terpampang jelas di depannya itu sangat menggoda.Nawang memang cantik dan bertubuh indah. Kulitnya mulus kuning langsat membungkus segala keluk tubuhnya yang serba menonjol sempurna; menantang para lelaki untuk berkelana mengarungi lautan cinta.“A-apa yang kau lakukan… keluar dari sini!” kata Rangga. Wajahnya sudah merah padam karena malu dan marah.“Kangmas… kau jangan membohongi dirimu sendiri. Aku tahu kau masih menyukaiku. Lidahmu berkata tidak, tapi bagian tubuhmu yang lain tidak demikian!” kata Nawang sambil melirik sesuatu yang ditutupi Rangga dengan kedua tangannya. Benda itu memang sudah tegap mengeras memanjang ke atas dan tak tertutup sempurna oleh kedua tangan Rangga.Nawang bergerak mendekat lalu berlutut di depan Rangga. Ia tetap menjaga senyumnya terus mengembang untuk bisa menggoda lelaki itu.Dengan lembut Nawang berusaha menyingkir
Rangga terbangun dan sedikit berteriak kaget. Ternyata yang barusan ia alami hanya mimpi yang seolah terasa nyata. Keringat dingin langsung membasahi tubuhnya.‘Sial… sampai terbawa mimpi!’ ucap Rangga dalam hati. Ia ingin pipis saat itu juga. Ada rasa enggan untuk ke belakang, namun tidak kuat juga jika harus menahan diri sampai pagi.Dengan perasaan was-was, Rangga menuju ke belakang. Sebelum ia membuka pintu, ia membuka terlebih dahulu jendela kecil yang ada di ruang belakang, mengamati dapur dan sekitarnya untuk sekadar memastikan tak ada siapapun.‘Aman…’ ucap Rangga dalam hati. Lalu ia segera menuntaskan hasrat buang air kecilnya.Di belakang rumahnya, Rangga memikirkan sesuatu. Jika ia pergi menyusul Citra, ia tak mungkin pula membawa semua uangnya dan juga perhiasan yang ia berikan untuk Citra.Sehingga, Rangga punya rencana untuk menyimpan sebagian yang tidak ia bawa di dalam kotak kayu. Lalu malam itu juga, ia melubangi lantai kamarnya dengan linggis dan menaruh kotak uangny
Rangga makan dengan cepat. Pikirannya tidak tenang dan matanya terus mengawasi halaman rumah orang tua Citra.‘Jika ini sebuah tipuan, Jika ayah mertuaku tidak sakit, seharusnya Citra tahu. Ah, sial! Dia pasti sakit hati gara-gara Ratri datang dan mengatakan jika aku menghamilinya. Jika ternyata itu ulang Kang Teja, maka aku tak akan sungkan lagi. Sekalipun aku kalah jika berkelahi dengannya, tapi aku tak akan diam saja dia memukuliku!’ ucap Rangga dalam hati.“Den bukan orang sini, kan?” tanya penjual makanan itu.“E—iya…” kata Rangga.“Kok bisa tahu jika di depan itu rumah Ki Suryo? Kok tadi tanya apakah Ki Suryo sakit?” si ibu penjual makanan itu mulai mencari tahu.“Aku teman Kang Teja, Bibi…” balas Rangga.“Owalah… lha kok ndak masuk saja ke sana…” kata Si Bibi itu.“Ndak enak, Bi… kan sedang ada tamu itu… nunggu di sini boleh?” tanya Rangga.“Monggo saja Den… mau tambah lagi minumannya?”“Boleh. Tolong buatkan yang manis-manis saja, bi…” kata Rangga.Hari mulai sore dan akhirnya
Rangga menuruti kata Citra untuk pergi dari rumah itu. Tentu saja ia tak akan kembali ke desanya. Di desa itu, ia segera mencari tempat yang bisa ia sewa untuk menginap dan ia mendapatkan sebuah rumah yang ia sewa dengan harga sekeping emas untuk satu bulan.Rumah itu tak terlalu besar, namun jelas sangat cukup bagi Rangga untuk hidup sendirian di sana. Jarak rumah itu dari kediaman Citra tidak dekat, namun juga tidak terlalu jauh.Rangga bingung harus melakukan apa. Tapi ia tahu, Teja tak akan lama berada di rumah karena pasti dia pun akan kembali ke kotaraja karena hari liburnya tentu akan habis juga.Dan tak lama setelah Rangga pergi, Teja memang pulang. Kedua orang tuanya segera mengatakan kepada sang anak sulung itu jika barusan Rangga datang ke rumah.“Kemana anak itu pergi?” tanya Teja dengan geramnya setelah tahu Rangga baru saja pergi.“Entahlah. Semoga saja dia kembali ke desanya!” kata Ki Suryo.“Itu tidak mungkin! Bedebah! Jika dia berani muncul, aku benar-benar akan merem
Saat itu Rangga ada di dalam kamar untuk berbenah. Ia cukup kaget mendengar suara teriakan yang ia tahu pasti yang datang adalah Teja.Sebenarnya Rangga ingin menghindari Teja karena jika berkelahi pun, ia pasti kalah. Namun karena Teja justru sudah datang, mau tak mau pun ia harus keluar.“Kau! Berani-beraninya kau datang kemari! Hari ini aku benar-benar akan mematahkan tulang lehermu!” bentak Teja setelah ia turun dari kuda. Wajahnya mengisyaratkan kemarahan.Rangga pun kali ini juga tak bisa dan tak mau terus ditekan. Jika perlu melawan ya ia akan melawan. Tak peduli dengan apa hasilnya nanti. Kalau pun harus remuk babak belur, ya sudah!“Kang Teja, aku masih menghormatimu. Kau adalah seorang Prajurit dan seharusnya bisa lebih bijaksana menyikapi hal ini. Aku rela pisah dengan Citra jika ada lelaki baik yang menjadi suaminya. Tapi Kusuma itu, aku tahu siapa dia! Bukan hanya sekali dia mencari wanita-wanita cantik di desa-desa, menikahinya, memboyongnya, dan di kotaraja dia menjadik
Selepas Rangga pergi, Citra langsung merasa seperti hidup setelah beberapa hari itu ia sama sekali kehilangan semangat. Bahkan ia hanya makan sekali dalam sehari dan itu pun sedikit. Tubuhnya pun banyak susutnya dalam waktu itu.Sebenarnya Citra ingin lekas menemui Rangga. Namun saat itu rumah sedang kosong. Ayah dan ibunya pergi entah kemana sejak pagi. Tapi Citra menebak, ayah dan ibunya pasti mencari orang pintar.Sudah dua kali ada dua orang pintar yang didatangkan untuk menangkal guna-guna. Dalam hati Citra sangat jengkel sebab memang ia tak diguna-gunai. Ia sangat sadar dengan hal itu. Betapa tidak jengkel; wajahnya pun sampai digepyok dengan daun kelor oleh si dukun itu. Yang ada malah wajahnya menjadi gatal-gatal.Dan akhirnya dugaan Citra benar. Ayah dan ibunya pulang membawa serta satu sosok tua berpakain seba putih.Citra benar-benar malas menanggapinya sebab ia berpikir jika orang-orang seperti itu hanyalah dukun jadi-jadian.“Citra, kemari dulu!” perintah sang ayah. “Ki T
Citra menatap Rangga dengan tatapan aneh dan hal itu membuat Rangga semakin gugup.“Kau menunggu ceritanya?” tanya Rangga dengan ekspresi bodoh serba salah.“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Citra. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak sehingga ia pun tak bisa berpura-pura tenang.Rangga menghela nafas, lalu ia bercerita secara singkat garis besar cerita yang ia alami ketika Nawang menyusup di kamar mandinya.“Seharian itu aku, boneng dan yang lain mengurusi kotoran kelelawar. Lalu aku pulang mandi. Tiba-tiba Nawang masuk ke kamar mandi dan membuka bajunya. Aku sangat marah. Lalu aku lari ke dalam rumah. Semua pintu aku kunci. Nawang menunggu di dapur dan memohon agar aku membukakan pintu. Tapi aku lari ke tempat Boneng. Saat aku mengajak tetangga untuk mengusirnya, Nawang sudah menghilang…” kata Rangga dengan ekspresi was-was.Tapi ternyata yang terjadi Citra malah tertawa terpingkal-pingkal; ia membayangkan betapa lucunya Rangga lari dari kamar mandi dalam keadaan tak memakai baju.C
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j