Persaan Rangga menghangat saat ia mendapati wajah istrinya merona merah dan si jelita yang masih perawan itu terlihat malu-malu.
Dua bibir itu semakin dekat dan kemudian berlabuh. Ada rasa bahagia yang berbeda yang dirasakan oleh Rangga dan Citra.
Dulu Rangga tak mengakui Citra lantaran ia masih mencintai Nawang. Segala kecantikan yang Citra miliki seolah tak terlihat di mata Rangga.
Kini ia merasakan betapa lembutnya bibir ranum sang perawan yang telah ia nikahi itu. Rangga tahu, Citra bukan wanita murahan. Justru kelak Rangga mendapati bahwa Nawang lah yang sebenar-benarnya merupakan wanita murahan yang rela pula ditiduri lelaki lain demi harta.
Sementara itu, dalam suasana mesra yang baru saja tercipta, Citra hanya bisa membeku dan pasif saat bibirnya ia serahkan pertama kali untuk suaminya. Jantungnya berdebar kencang dan nyawanya seolah melayang-layang.
Rangga melepaskan tautan bibirnya dan menatap sang istri dengan tatapan penuh kebahagiaan, “Apakah kau sudah siap, Nimas Citra?” ujar Rangga.
Citra malu setengah mati. Ia hanya menundukkan kepala sambil mengangguk. Rangga sangat senang. Ia tak mengira ternyata tak akan terlalu lama ia bisa membenihi istrinya. Jika sampai Citra hamil, maka ia akan terus hidup apabila perjanjiannya dengan sang malaikat maut itu benar adanya.
Namun mendadak Citra merasa mules dan seperti ada sesuatu yang terdorong keluar dari rahimnya; sesuatu yang khas dan ia tahu apa itu.
“K-kangmas… a-aku…”
“Ya…”
“A-aku datang bulan… ini… sudah rembes keluar… maafkan aku…” kata Wulan. Matanya mulai berkaca-kaca; Ia malu dan juga takut suaminya kecewa.
“Hahaha… tidak apa-apa, istriku sayang… sana ambil kain pembalutmu sebelum semakin rembes di pakaianmu…” kata Rangga.
Sebenarnya pahit sekali rasanya; Rangga sendiri sudah berhasrat ingin menyentuh istrinya. Namun datang bulan sialan itu kok ya datang tak tepat waktu.
‘Kenapa selalu saja ada halangan! Sial!’ ucap Rangga dalam hati. Ia tidak tahu berapa hari biasanya Citra mengalami datang bulan. Namun setidak-tidaknya lima hingga tujuh hari ke depan, ia masih belum bisa menabur benih di ladang sang istri.
***
Keesokan harinya, Rangga membeli tanah milik Ki Panut tetangganya. Setelah mengurus beberapa hal di tempat Ki Lurah, tanah yang cukup luas itu resmi menjadi miliknya.
Keinginannya untuk memelihara kuda itu sudah ia pikirkan dan ia perhitungkan dengan baik.
Hari itu juga Rangga mencari tukang kayu dan juga belanja bahan. Ia tak ingin membuang waktu agar kandang kudanya bisa segera jadi. Kandang yang sedang ia bangun itu nantinya bisa muat untuk memelihara sekitar 50 ekor kuda.
Rangga juga membuat model kandang yang jauh lebih baik dari kandang kuda pada umumnya di desa itu. Di masa depan, Rangga sudah melihat kandang-kandang bagus di daerah lain dan ia cukup paham bagaimana caranya membesarkan kuda untuk kuda balap dan kuda perang.
Pembangunan kandang itu akan makan banyak waktu. Ia tak akan membeli kuda sebelum kandang itu selesai dan semuanya siap.
Dan sambil menunggu pengerjaan itu selesai, Rangga sudah punya rencana lain yang harus ia kerjakan.
Keesokan harinya setelah belanja banyak bahan untuk membuat kandang, Rangga mampir di kedai untuk membeli minuman Pelepas dahaga. Ternyata di sana beberapa temannya.
“Hei Rangga, sebentar lagi judi di tempat Kang Wira akan dimulai. Ayo kita ke sana!” tiba-tiba ada seseorang menepuk pundak Rangga dari belakang. Dia adalah Suta, salah satu teman Rangga, anak juragan kayu yang masih lajang meski usianya setara Rangga, 22 tahun.
Di jaman itu, para wanita sudah dinikahkan saat usianya telah 16 tahun. Bahkan ada yang lebih muda lagi dan itu sangat wajar. Rangga menikah dengan citra di usia 20 tahun dan saat itu Citra masih berusia 17 tahun.
“Aku tidak akan berjudi lagi, Suta!” balas Rangga.
“Kau habis kalah banyak ya? Hahaha! Paling-paling nanti jika punya uang kau akan kambuh berjudi lagi. Ayo ikut aku saja. Kalau pun kau tidak berjudi, di sana masih ada banyak pelayan wanita yang bisa menyenangkanmu!” kata Suta.
“Tidak lagi, Suta… aku tak akan datang ke tempat seperti itu lagi!” kata Rangga.
“Lalu jika tidak berjudi, apa yang akan kau lakukan? Melamun sepanjang hari? Yang benar saja!” ledek Suta.
“Aku sedang membuat usaha!” balas Rangga.
Suta tertawa mendengarnya. Lalu ia berteriak kepada kawan-kawan yang lain di meja seberang, “Woy dengar! Rangga mau membuat usaha! Sepertinya dia kerasukan setan!”
Orang-orang tertawa mendengar ucapan Suta. Betapa tidak; selama ini Rangga dikenal tak pernah bisa bekerja dan hanya menghamburkan warisan orang tuanya. Siapapun juga tahu jika Rangga selalu bersikap kasar kepada istrinya.
“Memangnya kau mau usaha apa, Rangga?” salah satu orang di kedai itu bertanya dengan nada meremehkan.
“Ternak kuda!” jawab Rangga.
Lagi-lagi mereka semua tertawa. “Yang benar saja! Harga kuda sedang jatuh dan kau malah mau beternak kuda. Lebih baik kau beternak kerbau atau kambing. Harganya sedang naik!” ucap salah satu teman Rangga memberi nasehat. Namanya Taji dan kebetulan dia adalah anak pedagang ternak; kambing, kerbau, ayam hingga kuda sehingga ia tahu jika harga kuda sedang buruk-buruknya.
Rangga tak mau ambil pusing dan ia tak menghiraukan ucapan Taji. Percuma saja menjelaskan kepadanya. Lagipula, Rangga tak mau ada pesaing bisnis kuda dua tahun mendatang di desanya.
“Seharusnya kau meniru jejak ayahmu, Rangga! Dia adalah pengusaha ulung. Carilah kabar apa yang bagus di kotaraja saat ini, lalu kau bisa mencari barang di desa-desa dan menjualnya ke sana. Begitu yang dulu dilakukan oleh ayahmu!” kata Ki Seno yang dulu merupakan teman ayahnya Rangga.
“Ki Seno benar. Sambil menjalankan ternak, aku juga akan membuat usaha sampingan. Jika saat ini ada yang butuh pekerjaan, aku bisa membayar kalian. Sehari empat keping perak bayarannya!” kata Rangga.
“Memangnya pekerjaan apa yang kau tawarkan?” tanya Jarot.
“Mengumpulkan kotoran kelelawar di Goa Lowo!” kata Rangga. Jawaban itu malah dianggap penghinaan bagi beberapa teman Rangga.
“Bedebah! Jika bergurau jangan keterlaluan, Rangga!” kata Jarot.
“Aku sungguh-sungguh. Aku pasti membayarnya. Sehari 4 keping perak. Itu sudah ongkos yang cukup tinggi. Buruh tani saja hanya mendapatkan 1 perak sehari!” kata Rangga.
“Memangnya kenapa kau ingin mengumpulkan kotoran kelelawar?” kali ini Ki Seno penasaran.
“Akan aku simpan dulu. Jika sudah banyak, aku akan menjualnya!” kata Rangga.
“Huahahaha!!! Semakin lama kau semakin aneh, Rangga. Dari kemarin-kemarin aku tak melihatmu di tempat judi. Kabarnya kau juga berbaikan dengan istrimu. Kau menjual sawah warisan, lalu tiba-tiba membeli tanah dan membangun kandang kuda. Jangan-jangan kau mulai sakit jiwa!” sindir Suta.
“Pokoknya itu pekerjaan yang aku tawarkan dan aku pasti akan membayarnya jika ada yang mau membantuku mencari kotoran kelelawar. Jika tidak ada ya sudah. Tak usah banyak bicara!” kata Rangga.
Selebihnya Rangga benar-benar diolok-olok oleh teman-temannya. Namun ia diam saja dan tak peduli dengan olokan teman-temannya itu sebab memang wajar mereka tak percaya sebab mereka belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Saat Rangga meninggalkan tempat itu, seorang teman yang sedari tadi hanya diam saja berjalan menyusul. Namanya Boneng. Sesuai namanya, gigi depan lelaki itu memang boneng dan membuat penampilannya pun sering membuat orang membully dirinya.
Dulu Rangga pun juga sering menghina Boneng. Namun kali ini tidak lagi. Rangga tahu, meski boneng berpenampilan ‘Mengerikan’ seperti itu, namun dia orang yang jujur dan pekerja keras.
“Rangga… kau sungguhan soal tawaran pekerjaan itu? Jika memang bukan gurauan, aku mau mengambilnya!” kata Boneng.
“Itu benar. Ayo kalau begitu. Aku akan membayarmu 6 perak untuk hari ini jika kau bisa kerja dengan bagus!” kata Rangga.
“Hwehehehe… jika benar dan besok masih ada pekerjaan itu lagi, aku akan mengajak yang lain untuk membantumu. Apakah kau keberatan dengan itu?” tanya Boneng.
“Tak masalah. Semakin banyak orang semakin bagus. Tapi pekerjaan itu tidak tetap. Jika tak ada lagi kotoran kelelawar yang bisa kita ambil, ya sudah. Tunggu beberapa bulan lagi sampai ada kotoran yang bisa diambil!” kata Rangga.
Semua memang tidak tahu jika kotoran kelelawar itu bisa menjadi pundi-pundi emas jika tahu caranya.
Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi
Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.Rangga tertawa mendengarnya.“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.***Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja mel
Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya b
Para tetangga sudah mendapatkan bukti bahwa kotoran itu memang laku dijual. Dan kini mereka pun ingin tahu banyak soal kotoran tersebut kepada Rangga; siapa yang membeli dan sebenarnya untuk apa kotoran tersebut dijual dengan harga mahal?Rasa-rasanya memang sulit dipercaya.“Citra, ayo masuk ke dalam rumah…” ajak Rangga yang sedang malas dengan para tetangganya yang sudah tampak gelagatnya ingin bertanya macam-macam.“Iya, Kangmas…” kata Citra. Hatinya masih senang.“Rangga, tunggu dulu, hehehe… tadi itu kenalanmu?” tanya Ki Panut.“Iya, Ki…” balas Rangga singkat.“Hehehe, begini Rangga… bisakah kau membantu kami? Jika kami mengumpulkan kotoran kelelawar, bagaimana jika kau memanggil kenalanmu itu untuk membeli apa yang kami kumpulkan?” kata Ki Panut. Tetangga yang lain menganggukkan kepala pertanda mereka memiliki pertanyaan serupa.“Orang itu hanya mau membeli kepadaku. Kalian bisa mencobanya jika tidak percaya. Dan lagipula, dia hanya mau beli dalam jumlah banyak!” kata Rangga men
Mereka berdua makan malam dengan perasaan senang. Suasana rumah itu terasa syahdu dengan bantuan beberapa lampu teplok (lampu minyak) yang terpasang di beberapa titik dinding rumah.Kulit Citra cenderung berwarna kuning langsat untuk ukuran orang pribumi desa itu yang rata-rata cenderung menggelap karena mereka bekerja di ladang berjemur dengan matahari. Dengan cahaya temaram seperti itu, Citra terlihat begitu cantik dengan kulit wajahnya yang tampak keemasan.“Kenapa Kangmas menatapku terus-terusan?” ujar Citra salah tingkah.“Rasanya tidak bosan aku terus memandangimu…” kata Rangga.“Gombal…” kata Citra. Padahal hatinya senang juga mendapatkan perhatian seperti itu.“Kau tidak pernah percaya padaku!” balas Rangga.“Sebab rasanya terlalu tiba-tiba. Sebelum ini, Kangmas benar-benar membenciku…” kata Citra.“Itu karena aku buta. Dan dewata kini sudah membuka mataku dan hatiku; menyadarkanku bahwa istriku lebih indah dari apapun di dunia ini!” lagi-lagi Rangga berucap manis.Hati Citra
Rangga sangat berang dengan apa yang dilakukan Nawang. Ia sadar jika pasti Citra merasa sedih dan lagi-lagi malam itu ia pasti tak akan berhasil lagi untuk memadu asmara.“Nawang! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan!” teriak Rangga sambil berusaha mendorong Nawang sampai wanita itu hampir jatuh.Nawang terlihat kaget dan tak percaya dengan apa yang dilakukan Rangga padanya.“K-kangmas… kenapa kau kasar padaku…” ucap Nawang sambil terisak.“Nawang, aku sudah beristri. Pergilah. Jangan pernah lagi datang kemari!” kata Rangga mengusir.“K-kenapa? Apa salahku? Aku selalu mencintaimu dan kau pun demikian. Aku tahu itu Kangmas. Teman-temanmu menceritakan hal itu padaku. Kau tersiksa selama aku pergi. Demikian halnya denganku! Tinggalkan istri sialanmu itu dan ayo hidup denganku. Apalagi yang menghalangimu? Kedua orang tuamu sudah tiada dan kau berhak menentukan hidupmu sendiri!” kata Nawang.“Lancang! Beraninya kau bicara seperti itu, Nawang!” Bentak Rangga dengan tatapan berang.Citra mende
Wajah Citra seketika merona merah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Mandi bersama? Ia tidak siap tentu saja.“Tidak mau. Aku malu, Kangmas…” kata Citra sambil menutup wajahnya.“Kenapa malu? Kan kita suami istri. Bukan hal aneh jika sepasang suami istri mandi bersama!” kata Rangga.“Belum siap, Kangmas… aku malu…” kata Citra.“Hahaha. Ya sudah sana kau mandi duluan. Nanti aku juga mandi dan setelah itu kita pergi mencari sarapan…” kata Rangga.Rangga lega istrinya hanya ngambeg semalam. Hari ini ia harus lebih banyak bersikap romantis agar nanti malam ia berhasil bercinta dengan istrinya. Rasanya gemas sekali selalu gagal.Usai mandi dan berganti pakaian, mereka berdua jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan di dekat pasar. Baru pertama kali mereka berdua terlihat jalan-jalan. Para tetangga tentu menatap heran. Namun banyak juga yang senang; para ibu-ibu yang selama ini kasihan dengan hidup Citra.Dan disepanjang jalan itu, raut wajah mereka menampakkan kebahagiaan
Tanpa pikir panjang, Teja yang sangat marah dengan hal itu langsung melayangkan pukulan-pukulan menghajar Rangga. Untung kemudian para tetangga datang melerai sehingga Rangga pun tak sampai cacat. Rangga juga dilarikan ke tempat lain agar Teja tidak terus-terusan mengamuk. Hal itu benar-benar menjadi bahan gunjingan banyak orang. Ratri pun pergi entah kemana. Benar-benar lenyap dan tak ada yang menyadari kapan wanita itu pergi. Ia takut dengan situasi itu. Sedangkan Teja mengurus adiknya yang pingsan; ia segera membawanya masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Citra siuman. Ia seperti orang yang linglung dan yang ia dapati hanyalah Teja seorang. “Minumlah dulu…” Teja mengambilkan air. Dengan enggan, Citra mengambil air itu dan meminumnya. “Aku tidak pernah ingin kau tidak bahagia, Citra. Percayalah, aku ini kakakmu. Aku yang paling menyayangimu lebih dari siapapun juga. Aku jarang salah menilai orang. Aku rasa kini aku paham kenapa suamimu menjadi baik padamu; karena dia mengham
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j