Home / Fantasi / Sang Pengubah Takdir / Kotoran Kelelawar Bahan ejekan

Share

Kotoran Kelelawar Bahan ejekan

Author: Black Jack
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.

Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.

Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.

Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.

“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.

“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi lagi. Ajak saja siapa yang mau ikut!” kata Rangga.

“Beres. Asalkan bayarannya 6 perak, pasti banyak yang mau meski di sana sangat bau dan susah bernafas! Sebenarnya untuk apa kotoran itu? Pupuk di ladangmu?” tanya Boneng.

“Tentu saja untuk aku jual lagi!” kata Rangga.

“Hah! Dasar gila! Siapa yang mau membelinya! Tapi terserah kau saja. Yang penting kau membayarku! Mau sampai goa itu bersih juga aku kerjakan!” kata Boneng. Setelah itu ia pergi sambil mengembalikan pedati yang dipinjam dari tetangganya.

Citra keluar dari rumah untuk menyambut Rangga.

“Astaga… kangmas bau sekali… apa itu yang diwadahi karung?” tanya Citra.

“Jangan dekat-dekat dulu. Aku mau ke belakang lewat samping. Itu kotoran kelelawar yang hendak aku jual jika sudah terkumpul banyak!” kata Rangga.

“Kotoran kelelawar?” ucap Citra heran. Ia semakin bingung dengan jalan pikiran suaminya. Sungguh nyleneh.

“Nanti aku jelaskan. Sekarang tolong siapkan baju bersih untukku dan bawalah ke kamar mandi…” kata Rangga.

“E—baik, Kangmas…” kata Citra.

Rangga tak mau terlihat buruk di depan istrinya. Tubuhnya sangat kotor dan bau. Maka ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

“Kangmas… bajumu aku taruh di mana?” ujar Citra.

“Terserah nimas saja… kau bawakan sampai ke dalam juga boleh…” goda Rangga.

Citra tentu saja malu jika mengantar pakaian itu sampai ke dalam dan melihat suaminya mandi. Ya, ia masih malu pastinya sebab rasa-rasanya, pernikahan itu baru saja dimulai kembali dan mereka belum pernah sekalipun saling melihat dalam keadaan tanpa busana.

“Ndak mau. Aku taruh di dekat pintu… aku siapkan makanan untukmu, Kangmas… jika butuh apa-apa, panggil aku…” kata Citra.

“Aku membutuhkanmu, Nimasku… aku mencintaimu…” goda Rangga dari dalam kamar mandi.

“Kangmas! Jangan buat aku malu. Sudah ah, aku ke dapur saja!” kata Citra berlalu meninggalkan kamar mandi sambil senyum-senyum sendiri.

Rangga mengguyur kembali tubuhnya. Andai Citra tidak sedang datang bulan, ia pun ingin menarik istrinya itu dan mengajaknya mandi berdua.

***

Rangga bangun pagi-pagi sekali dan duduk sambil minum teh hangat untuk menunggu Boneng datang. Citra menemaninya. Semalam itu Rangga tak bercerita banyak sebab setelah makan sang suami yang agak ‘hilang ingatan’ itu terlelap pulas karena kelelahan.

“Jadi siapa yang mau beli, Kangmas?” tanya Citra.

“Ada. Tapi jangan mengatakan hal ini kepada yang lain. Aku ingin menghabiskan dulu semua kotoran kelelawar di sana, sebab jika sudah laku, yang lain pun pasti ikut-ikutan!” kata Rangga.

“Lha iya… tapi siapa yang mau beli?” tanya Citra.

“Saudagar dari negri utara. Mereka berani membayar mahal untuk tiap karung kotoran itu. Lima keping emas setiap karungnya. Mungkin bisa lebih!” kata Rangga.

Citra gelisah, sejujurnya. Dalam benaknya, ia yakin jika Rangga seperti tidak baik-baik saja; semacam kenthir alias gila.

“Aku tahu kau bingung, Nimasku sayang. Tapi percayalah, aku baik-baik saja dan kau tak perlu pusing bagaimana aku mencari uang,” kata Rangga.

Citra mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum meski sejujurnya ia cemas. Namun setidaknya, Rangga sudah berusaha bekerja, seaneh apapun idenya, semua tetap jauh lebih baik daripada dia hanya berjudi dan mabuk-mabukan.

Empat hari kemudian, Rangga, Boneng dan beberapa teman boneng yang membantu akhirnya bisa mengeruk seluruh kotoran kelelawar di goa itu. Sebenarnya masih ada jauh di dalam sana. Namun mereka semua takut sebab semakin ke dalam, mereka semakin melihat hal yang aneh-aneh.

Bahkan, mereka menemukan kulit ular yang benar-benar besar sehingga mereka memutuskan untuk berhenti saja.

Kini tumpukan kotoran kelelawar itu benar-benar menggunung di samping rumah Rangga dan semua kotoran itu menjadi bahan bagus bagi setiap orang untuk mengolok-olok Rangga.

Setiap hari, setiap waktu di mana Rangga bertemu orang, mereka pasti selalu menyindir soal kotoran itu.

Kadang beberapa teman Rangga sengaja datang untuk melihat langsung kotoran itu dan lagi-lagi mereka menertawakan Rangga. Sebenarnya tujuan mereka datang hanyalah untuk sekadar melihat betapa cantik dan moleknya istri Rangga.

“Kangmas, aku sedih semua orang mengolok-olokmu…” kata Citra petang itu.

“Biarkan saja, Nimasku…” kata Rangga.

“Kapan Kangmas menjual kotoran itu? Semakin lama baunya semakin menempel sampai masuk ke dalam rumah…” kata Citra.

“Bersabarlah. Beberapa hari lagi pasti akan ada rombongan saudagar asing yang akan lewat sini dan mampir di pasar. Saat itulah aku akan menjual kotoran ini kepadanya!” kata Rangga.

“Semoga laku, Kangmas. Berapapun itu daripada hanya menumpuk dan bau. Melihatmu berusaha sampai seperti ini aku sudah sangat bahagia…” kata Citra.

“Aku lebih bahagia lagi saat mendengar kau mengatakan jika kau bahagia. Ngomong-ngomong, apakah datang bulannya sudah selesai? Bagaimana jika malam ini aku membuatmu menjadi wanita sejati yang merasakan kebahagiaan yang sebenarnya?” ujar Rangga. Ia cukup kebelet sebenarnya. Tapi ia tidak tahu apakah istrinya sudah selesai dengan hajat bulanannya atau belum.

Citra tersipu dan menunduk malu-malu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
amelia
lanjutkan cak...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sang Pengubah Takdir   Saudagar Asing Dari Utara

    Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.Rangga tertawa mendengarnya.“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.***Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja mel

  • Sang Pengubah Takdir   Dagangan Laku, Tetangga Heran

    Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya b

  • Sang Pengubah Takdir   Rencana Baru

    Para tetangga sudah mendapatkan bukti bahwa kotoran itu memang laku dijual. Dan kini mereka pun ingin tahu banyak soal kotoran tersebut kepada Rangga; siapa yang membeli dan sebenarnya untuk apa kotoran tersebut dijual dengan harga mahal?Rasa-rasanya memang sulit dipercaya.“Citra, ayo masuk ke dalam rumah…” ajak Rangga yang sedang malas dengan para tetangganya yang sudah tampak gelagatnya ingin bertanya macam-macam.“Iya, Kangmas…” kata Citra. Hatinya masih senang.“Rangga, tunggu dulu, hehehe… tadi itu kenalanmu?” tanya Ki Panut.“Iya, Ki…” balas Rangga singkat.“Hehehe, begini Rangga… bisakah kau membantu kami? Jika kami mengumpulkan kotoran kelelawar, bagaimana jika kau memanggil kenalanmu itu untuk membeli apa yang kami kumpulkan?” kata Ki Panut. Tetangga yang lain menganggukkan kepala pertanda mereka memiliki pertanyaan serupa.“Orang itu hanya mau membeli kepadaku. Kalian bisa mencobanya jika tidak percaya. Dan lagipula, dia hanya mau beli dalam jumlah banyak!” kata Rangga men

  • Sang Pengubah Takdir   Nawang Datang

    Mereka berdua makan malam dengan perasaan senang. Suasana rumah itu terasa syahdu dengan bantuan beberapa lampu teplok (lampu minyak) yang terpasang di beberapa titik dinding rumah.Kulit Citra cenderung berwarna kuning langsat untuk ukuran orang pribumi desa itu yang rata-rata cenderung menggelap karena mereka bekerja di ladang berjemur dengan matahari. Dengan cahaya temaram seperti itu, Citra terlihat begitu cantik dengan kulit wajahnya yang tampak keemasan.“Kenapa Kangmas menatapku terus-terusan?” ujar Citra salah tingkah.“Rasanya tidak bosan aku terus memandangimu…” kata Rangga.“Gombal…” kata Citra. Padahal hatinya senang juga mendapatkan perhatian seperti itu.“Kau tidak pernah percaya padaku!” balas Rangga.“Sebab rasanya terlalu tiba-tiba. Sebelum ini, Kangmas benar-benar membenciku…” kata Citra.“Itu karena aku buta. Dan dewata kini sudah membuka mataku dan hatiku; menyadarkanku bahwa istriku lebih indah dari apapun di dunia ini!” lagi-lagi Rangga berucap manis.Hati Citra

  • Sang Pengubah Takdir   Nawang Memaksa

    Rangga sangat berang dengan apa yang dilakukan Nawang. Ia sadar jika pasti Citra merasa sedih dan lagi-lagi malam itu ia pasti tak akan berhasil lagi untuk memadu asmara.“Nawang! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan!” teriak Rangga sambil berusaha mendorong Nawang sampai wanita itu hampir jatuh.Nawang terlihat kaget dan tak percaya dengan apa yang dilakukan Rangga padanya.“K-kangmas… kenapa kau kasar padaku…” ucap Nawang sambil terisak.“Nawang, aku sudah beristri. Pergilah. Jangan pernah lagi datang kemari!” kata Rangga mengusir.“K-kenapa? Apa salahku? Aku selalu mencintaimu dan kau pun demikian. Aku tahu itu Kangmas. Teman-temanmu menceritakan hal itu padaku. Kau tersiksa selama aku pergi. Demikian halnya denganku! Tinggalkan istri sialanmu itu dan ayo hidup denganku. Apalagi yang menghalangimu? Kedua orang tuamu sudah tiada dan kau berhak menentukan hidupmu sendiri!” kata Nawang.“Lancang! Beraninya kau bicara seperti itu, Nawang!” Bentak Rangga dengan tatapan berang.Citra mende

  • Sang Pengubah Takdir   Kejutan Pahit

    Wajah Citra seketika merona merah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Mandi bersama? Ia tidak siap tentu saja.“Tidak mau. Aku malu, Kangmas…” kata Citra sambil menutup wajahnya.“Kenapa malu? Kan kita suami istri. Bukan hal aneh jika sepasang suami istri mandi bersama!” kata Rangga.“Belum siap, Kangmas… aku malu…” kata Citra.“Hahaha. Ya sudah sana kau mandi duluan. Nanti aku juga mandi dan setelah itu kita pergi mencari sarapan…” kata Rangga.Rangga lega istrinya hanya ngambeg semalam. Hari ini ia harus lebih banyak bersikap romantis agar nanti malam ia berhasil bercinta dengan istrinya. Rasanya gemas sekali selalu gagal.Usai mandi dan berganti pakaian, mereka berdua jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan di dekat pasar. Baru pertama kali mereka berdua terlihat jalan-jalan. Para tetangga tentu menatap heran. Namun banyak juga yang senang; para ibu-ibu yang selama ini kasihan dengan hidup Citra.Dan disepanjang jalan itu, raut wajah mereka menampakkan kebahagiaan

  • Sang Pengubah Takdir   Ditinggalkan Citra

    Tanpa pikir panjang, Teja yang sangat marah dengan hal itu langsung melayangkan pukulan-pukulan menghajar Rangga. Untung kemudian para tetangga datang melerai sehingga Rangga pun tak sampai cacat. Rangga juga dilarikan ke tempat lain agar Teja tidak terus-terusan mengamuk. Hal itu benar-benar menjadi bahan gunjingan banyak orang. Ratri pun pergi entah kemana. Benar-benar lenyap dan tak ada yang menyadari kapan wanita itu pergi. Ia takut dengan situasi itu. Sedangkan Teja mengurus adiknya yang pingsan; ia segera membawanya masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Citra siuman. Ia seperti orang yang linglung dan yang ia dapati hanyalah Teja seorang. “Minumlah dulu…” Teja mengambilkan air. Dengan enggan, Citra mengambil air itu dan meminumnya. “Aku tidak pernah ingin kau tidak bahagia, Citra. Percayalah, aku ini kakakmu. Aku yang paling menyayangimu lebih dari siapapun juga. Aku jarang salah menilai orang. Aku rasa kini aku paham kenapa suamimu menjadi baik padamu; karena dia mengham

  • Sang Pengubah Takdir   Ujian Kesetiaan

    Rangga sangat panik melihat perbuatan Nawang yang nekad itu. Bagaimana pun, Rangga adalah lelaki normal. Harus ia akui bahwa tubuh yang terpampang jelas di depannya itu sangat menggoda.Nawang memang cantik dan bertubuh indah. Kulitnya mulus kuning langsat membungkus segala keluk tubuhnya yang serba menonjol sempurna; menantang para lelaki untuk berkelana mengarungi lautan cinta.“A-apa yang kau lakukan… keluar dari sini!” kata Rangga. Wajahnya sudah merah padam karena malu dan marah.“Kangmas… kau jangan membohongi dirimu sendiri. Aku tahu kau masih menyukaiku. Lidahmu berkata tidak, tapi bagian tubuhmu yang lain tidak demikian!” kata Nawang sambil melirik sesuatu yang ditutupi Rangga dengan kedua tangannya. Benda itu memang sudah tegap mengeras memanjang ke atas dan tak tertutup sempurna oleh kedua tangan Rangga.Nawang bergerak mendekat lalu berlutut di depan Rangga. Ia tetap menjaga senyumnya terus mengembang untuk bisa menggoda lelaki itu.Dengan lembut Nawang berusaha menyingkir

Latest chapter

  • Sang Pengubah Takdir   Akhir Cerita

    Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan

  • Sang Pengubah Takdir   Hancurnya Benteng Wonobhumi

    Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin

  • Sang Pengubah Takdir   Mendekati Benteng Musuh

    Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap

  • Sang Pengubah Takdir   Sampai Di Kotaraja Wonobhumi

    Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja

  • Sang Pengubah Takdir   Citra Hamil?

    Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain

  • Sang Pengubah Takdir   Memporak-Porandakan Musuh Dengan Ledakan

    Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang

  • Sang Pengubah Takdir   Menunggu Musuh lewat

    Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem

  • Sang Pengubah Takdir   Mempersiapkan Jebakan Di Jalur Gunung

    Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba

  • Sang Pengubah Takdir   Meledakkan Petasan Di Kerumunan Musuh

    Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j

DMCA.com Protection Status