Rose membawa pria bertopeng ke dalam kamarnya yang sudah dihias dengan begitu indah. Di atas kasur bertebaran bunga-bunga mawar yang berbentuk love, sangat harum.
Bukannya merasa takjub, Levon justru merasa jijik melihat pemandangan ini. Bukan karena hiasan yang jelek, melainkan Levon memikirkan istrinya yang begitu rendah di matanya. Seharusnya kamar ini untuk Rose dan dirinya sebagai Levon, bukan sebagai pria bertopeng.
“Kemarilah, pria tampan,” goda Rose yang sudah menghempaskan bokongnya di tepi ranjang. “Nikmati hadiahmu.”
Levon tetap berdiri di hadapan Rose, ia tersenyum licik menatap buas pada istrinya. Lalu, ia mengeluarkan sebuah pistol yang diselipkan di celana belakang. Tentu itu membuat Rose gemetar, meskipun ia berusaha menutupi dengan senyuman.
“Pistol?” tanya Rose dengan memicingkan mata. Lalu di detik berikutnya ia tertawa. “Menagapa kau menggunakan pistol untuk mengambil hadiah ini, Tampan?”
Apa yang kau akan lakukan padaku?” tanya Rose dengan tatapan panik saat pria bertopeng menarik sebuah sprei yang ada di atas ranjang. Lalu, ia mendekati dirinya dengan aura yang terlihat seperti ingin membunuh.Levon meraih kasar tangan Rose dan menyeret paksa ke kursi yang biasa istrinya gunakan untuk berdandan.“Apa yang kau akan lakukan padaku?” Rose semakin panik saat pria bertopeng mulai melingkarkarkan sprei itu di tubuhnya, mengikatnya dengan sangat erat ke kursi yang diduduki hingga tubuhnya sedikit mengeras dan menggelinjang karena kesulitan bernapas.“Apa kau sudah lupa, Nona? Kau sendiri yang memberikan tubuhmu padaku. Jadi aku berhak melakukan apa saja pada hadiahku!” Akhirnya pria bertopeng alias Levon bersuara. Tatapannya sangat bringas, membuat Rose melotot ke arahnya.Dalam hati Rose, ia menyesali keputusannya menggunakan cara ini untuk menghancurkan pria bertopeng.“Aku memberikan hak
Tidak ... aku tidak ingin mati konyol, batin Rose memberontak. Lalu ia memberi isyarat melalui kedipan matanya pada pria bertopeng agar menarik pistol yang tertanam di mulutnya. “heuhhhh ....” Rose bernapas lega karena pistol itu sedikit menyakiti mulutnya. Lalu ia menatap ke arah pria bertopeng. “Aku akan memberikan 80 persen saham perusahaan milik keluargaku padamu.” “Tolong jangan ambil semuanya. Perusahaan itu seperti nyawa bagi keluarga kami,” kata Rose lagi dengan tatapan memelas, membuat pria bertopeng tertawa renyah. Rose terpaksa mengatakan ini, daripada nyawanya melayang. Selain itu, tujuan Rose adalah mengelabuhi pria bertopeng. Ia memberikan 80 persen saham saja agar masih punya hak terhadap perusahaan milik keluarganya. Dengan begitu, ia akan mudah merebut perusahaan itu kembali. “Jangan membohongiku, Nona!” desis pria bertopeng dengan tatapan tajam, tapi di detik berikutnya bibirnya mengulas senyum licik. “Sepertinya aku harus memb
Amelia terbangun dari tidurnya, ia tersenyum saat mendapati dirinya sudah berbaring nyaman di kamarnya sendiri.“Terima kasih, Leo. Kau sudah menyelamatkan nyawaku.” Amelia merentangkan kedua tangannya dan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke luar kamar dengan senyuman miring, “Pasti Leo sekarang sedang menghukum wanita iblis itu.”Amelia menuju ruangan tengah, disana ada Azmir dan Emma yang sedang bersantai sambil mengobrol bak sepasang kekasih yang terlihat begitu mesra.“Ehemmm ...” Amelia berdehem keras, membuat Azmir dan Emma menoleh dan tersipu malu melihat sepupunya Levon sudah berdiri di belakang mereka.Amelia mendaratkan tubuhnya ke sofa, tepat di tengah-tengah kedua orang tua Levon, “Kalian terlihat sepasang kekasih yang baru bertemu,” goda Amelia tersenyum menatap mereka secara bergantian. “Aku iri melihatnya.”“Kalau b
“Katakan,” kata Amelia lagi karena Levon hanya tersenyum, tak kunjung memberikan jawaban. “Sekarang aku lebih siap. Aku akn berpikir jernih sebelum bertindak. Aku tidak akan mudah dikelabuhi lagi oleh Rose.”“Buatkan aku kopi, Nona,” jawab Levon dengan memasang wajah konyolnya, membuat kedua orang tuanya tertawa bahagia.“Kau masih belum berubah, menyebalkan.” Amelia mendesis, ia mencubit lengan Levon dengan keras.“Sakitttt ....”“Biarin,” pekik Amelia, lalu wajahnya mendekat pada telinga Levon dan membisikkan sesuatu, “Aku akan buatkan kopi untukmu asal ceritakan hukuman yang sudah kau berikan pada Rose.”“Em baiklah,” respon Levon sambil melangkah menuju sofa dan mendaratkan tubuhnya di tengah-tengah kedua orang tuanya. “Aku akan ceritakan semuaya. Duduklah.”Amelia tak beranjak, ia memberi isyarat pada Levon melalui lirikan matanya
“Dalam menghadapi para pengkhianat, kita tidak boleh lengah. Kita harus menyelidiki kehidupan para pengkhianat sampai ke akar-akarnya,” jawab Levon tersenyum dan menatap penuh arti pada Amelia. “Itu juga yang aku lakukan pada Frankie dan Rose. Aku mencari tahu masa lalunya melalui orang-orang kepercayaanku.”Amelia mengangguk, ia merasa tatapan Levon memberitahunya bahwa seseorang tidak boleh bekerja setengah-setengah. Jika ingin hasil yang bagus, maka harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan sesuatu sedetail mungkin.“Perusahaan itu sebenarnya milik mertuanya yang akan diwariskan kepada anak tunggalnya, Nyonya Katerine. Lalu Frankie, seorang duda beranak satu datang dalam kehidupan Nyonya Katerine dengan membawa sejuta cinta. Dan ia berhasil menaklukkan hati Nyonya Katerine, hingga akhirnya mereka menikah. Perlahan-lahan, Frankie mempengaruhi istrinya agar kedua orang tuanya cepat-cepat mewariskan perusahaannya. Franki
“Malam ini aku sudah menempatkan beberapa orang kepercayaanku di sekitar rumah Rose. Mereka akan mengawasi Rose dari kejauhan. Aku yakin, malam ini juga Rose pasti menghubungi Papanya untuk bertemu membahas permintaan dan ancaman dari pria bertopeng. Dan dengan kondisi sakit di sekujur tubuhnya, aku yakin Rose meminta Frankie datang ke rumahnya,” jawab Levon mengulas senyuman licik. “Lalu?” tanya Amelia memicingkan mata. Ia masih belum mengerti maksud dari rencana Levon. “Jika malam ini mereka bertemu di rumah Rose, lebih mempermudahkan pekerjaanku. Di lantai satu rumah Rose, ada beberapa cctv.” “Maksudnya kau bisa menggunakan rekaman cctv itu untuk dijadikan bukti?” Amelia menebak-nebak rencana Levon. Apakah pembahasan pria bertopeng bisa dijadikan bukti? Ah aku masih terlalu bodoh untuk menandingi kecerdasan Levon, batin Amelia berkata. Lebih baik ia mendengarkan jawaban dari sepupunya. Levon tersenyum menatap Amelia yang menggeleng-gelengka
“Jenni ... Jenni!” teriak Rose sekencang mungkin memanggil Jenni. “Iya, Nona?” Jenni berlari mendengar panggilan Rose. Ia menghampiri Rose dan mengatur napasnya ketika sudah berada di hadapan majikannya. “Mengapa kau tidak memberi tahu berita kematian Amelia padaku?” tanya Rose begitu dingin pada Jenni. Ia yakin pelayan setianya lupa memberitahunya. “Sampai saat ini tidak ada orang suruhan Nona yang membawa berita mengenai kematian Amelia, Nona. Dan tidak ada satupun stasiun televisi yang menanyangkan berita ini,” jawab Jenni berkata jujur. Yang ia lihat di tv maupun surat kabar masih mengenai seputar tiga karyawan perusahaan Leo Group yang berencana membakar pabrik. Polisi masih mengusut tuntas masalah ini. “Hah? Itu tidak mungkin. Apakah kau berbohong padaku?” bentak Rose karena kaget, tidak mungkin Amelia masih hidup. Orang suruhannya sendiri yang memastikan kalau Amelia memakan racun mematikan itu. “Sungguh, Nona. Saya tidak be
Rose terbangun dari tidurnya dan mendapati Papanya sudah berada di sampingnya.“Papa sudah lama?” tanya Rose sambil bangkit dari tidurnya. Ia masih merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya yang dipukul oleh pria bertopeng.“Barusan,” jawab Frankie sambil merapikan rambut Rose yang berantakan. “Bersihkan tubuhmu, dulu. Papa akan menunggu di bawah.”“Baik, Pa.” Rose mengangguk, Frankie pun mengecup kening Rose sebelum pergi ke bawah.Rose menuju kamar mandi yang terletak di kamarnya sambil meringis kesakitan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya masih sangat terasa saat berjalan.Rose melupakan rasa sakitnya karena pikirannya tertuju pada Papanya. Mungkin Papanya tahu kalau pria bertopeng sudah menyakiti dirinya, tetapi Papanya tidak tahu apa permintaan pria brengsek itu.Sekitar setengah jam, Rose turun ke bawah menemui Frankie.“Maaf, Pa. Sudah membuatmu menunggu lama. Jenni mas