“Katakan,” kata Amelia lagi karena Levon hanya tersenyum, tak kunjung memberikan jawaban. “Sekarang aku lebih siap. Aku akn berpikir jernih sebelum bertindak. Aku tidak akan mudah dikelabuhi lagi oleh Rose.”
“Buatkan aku kopi, Nona,” jawab Levon dengan memasang wajah konyolnya, membuat kedua orang tuanya tertawa bahagia.
“Kau masih belum berubah, menyebalkan.” Amelia mendesis, ia mencubit lengan Levon dengan keras.
“Sakitttt ....”
“Biarin,” pekik Amelia, lalu wajahnya mendekat pada telinga Levon dan membisikkan sesuatu, “Aku akan buatkan kopi untukmu asal ceritakan hukuman yang sudah kau berikan pada Rose.”
“Em baiklah,” respon Levon sambil melangkah menuju sofa dan mendaratkan tubuhnya di tengah-tengah kedua orang tuanya. “Aku akan ceritakan semuaya. Duduklah.”
Amelia tak beranjak, ia memberi isyarat pada Levon melalui lirikan matanya
“Dalam menghadapi para pengkhianat, kita tidak boleh lengah. Kita harus menyelidiki kehidupan para pengkhianat sampai ke akar-akarnya,” jawab Levon tersenyum dan menatap penuh arti pada Amelia. “Itu juga yang aku lakukan pada Frankie dan Rose. Aku mencari tahu masa lalunya melalui orang-orang kepercayaanku.”Amelia mengangguk, ia merasa tatapan Levon memberitahunya bahwa seseorang tidak boleh bekerja setengah-setengah. Jika ingin hasil yang bagus, maka harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan sesuatu sedetail mungkin.“Perusahaan itu sebenarnya milik mertuanya yang akan diwariskan kepada anak tunggalnya, Nyonya Katerine. Lalu Frankie, seorang duda beranak satu datang dalam kehidupan Nyonya Katerine dengan membawa sejuta cinta. Dan ia berhasil menaklukkan hati Nyonya Katerine, hingga akhirnya mereka menikah. Perlahan-lahan, Frankie mempengaruhi istrinya agar kedua orang tuanya cepat-cepat mewariskan perusahaannya. Franki
“Malam ini aku sudah menempatkan beberapa orang kepercayaanku di sekitar rumah Rose. Mereka akan mengawasi Rose dari kejauhan. Aku yakin, malam ini juga Rose pasti menghubungi Papanya untuk bertemu membahas permintaan dan ancaman dari pria bertopeng. Dan dengan kondisi sakit di sekujur tubuhnya, aku yakin Rose meminta Frankie datang ke rumahnya,” jawab Levon mengulas senyuman licik. “Lalu?” tanya Amelia memicingkan mata. Ia masih belum mengerti maksud dari rencana Levon. “Jika malam ini mereka bertemu di rumah Rose, lebih mempermudahkan pekerjaanku. Di lantai satu rumah Rose, ada beberapa cctv.” “Maksudnya kau bisa menggunakan rekaman cctv itu untuk dijadikan bukti?” Amelia menebak-nebak rencana Levon. Apakah pembahasan pria bertopeng bisa dijadikan bukti? Ah aku masih terlalu bodoh untuk menandingi kecerdasan Levon, batin Amelia berkata. Lebih baik ia mendengarkan jawaban dari sepupunya. Levon tersenyum menatap Amelia yang menggeleng-gelengka
“Jenni ... Jenni!” teriak Rose sekencang mungkin memanggil Jenni. “Iya, Nona?” Jenni berlari mendengar panggilan Rose. Ia menghampiri Rose dan mengatur napasnya ketika sudah berada di hadapan majikannya. “Mengapa kau tidak memberi tahu berita kematian Amelia padaku?” tanya Rose begitu dingin pada Jenni. Ia yakin pelayan setianya lupa memberitahunya. “Sampai saat ini tidak ada orang suruhan Nona yang membawa berita mengenai kematian Amelia, Nona. Dan tidak ada satupun stasiun televisi yang menanyangkan berita ini,” jawab Jenni berkata jujur. Yang ia lihat di tv maupun surat kabar masih mengenai seputar tiga karyawan perusahaan Leo Group yang berencana membakar pabrik. Polisi masih mengusut tuntas masalah ini. “Hah? Itu tidak mungkin. Apakah kau berbohong padaku?” bentak Rose karena kaget, tidak mungkin Amelia masih hidup. Orang suruhannya sendiri yang memastikan kalau Amelia memakan racun mematikan itu. “Sungguh, Nona. Saya tidak be
Rose terbangun dari tidurnya dan mendapati Papanya sudah berada di sampingnya.“Papa sudah lama?” tanya Rose sambil bangkit dari tidurnya. Ia masih merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya yang dipukul oleh pria bertopeng.“Barusan,” jawab Frankie sambil merapikan rambut Rose yang berantakan. “Bersihkan tubuhmu, dulu. Papa akan menunggu di bawah.”“Baik, Pa.” Rose mengangguk, Frankie pun mengecup kening Rose sebelum pergi ke bawah.Rose menuju kamar mandi yang terletak di kamarnya sambil meringis kesakitan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya masih sangat terasa saat berjalan.Rose melupakan rasa sakitnya karena pikirannya tertuju pada Papanya. Mungkin Papanya tahu kalau pria bertopeng sudah menyakiti dirinya, tetapi Papanya tidak tahu apa permintaan pria brengsek itu.Sekitar setengah jam, Rose turun ke bawah menemui Frankie.“Maaf, Pa. Sudah membuatmu menunggu lama. Jenni mas
“Kami sudah melacak nomer ponsel mereka, tetapi nomer keduanya sama-sama tidak aktif,” ucap salah satu anak buahnya, membuat Rose dan Frankie semakin curiga dan pasti ada sesuatu dibalik ini semua. “Apa kalian sudah mencari ke mansion milik Tuan Leo?” tanya Frankie sedikit emosi menatap tajam pada kedua anak buahnya. “Di luar mansion milik Tuan Leo ada penjagaan yang sangat ketat, Tuan.” jawab anak buahnya. “mereka berdua kemungkinan berada disana.” “Aku tidak mau tahu. Aku butuh kepastian, bukan sebuah tebakan. Cari lagi sampai ketemu! Bagaimana pun juga caranya!” titah Rose sedikit menyaringkan suaranya. Kepala Roae terasa pusing, ia tidak ingin lagi mendengarkan penjelasan dari anak buahnya. Yang ia inginkan hanyalah berita dari kematian Amelia. “Baik, Nona.” Saat anak buahnya pergi, Rose mendaratkan tubuhnya kembali di sofa. Ia memegangi dan memijat-mijat kepalanya. “Bagaimana bisa? Pizza beracun itu ada di piring Levon? Anak
Apa kau ingin tahu rencanaku?” goda Levon sambil menaik turunkan alisnya, membuat Amelia semakin penasaran. “Cepat, Leo. Katakan.” “Em kalau begitu bersiap-siaplah. Dua jam lagi, antarkan aku pulang ke rumah Rose. Kau juga akan terlibat dalam permainan ini,” jawab Levon sambil menyelipkan anak-anak rambut Amelia ke daun telinganya. “Sungguh?” Amelia sangat senang mendengarnya, malam ini akan terlibat dalam rencana menghukum Frankie dan Rose. “Iya, Cantik.” Levon mengangguk dengan tatapan lembut pada Amelia. Levon tahu, melibatkan Amelia dalam permainan ini bisa membahayakan hidupnya. Namun, ini semua demi sepupunya. Ia harus mendidik Amelia agar menjadi wanita tangguh, pemberani, dan cerdas. “Terima kasih, Leo. Terima kasih kau sudah mengajariku banyak hal,” ucap Amelia senang bukan kepalang. ***“Pa, duduklah.” Rose pusing melihat Papanya mondar-mandir. “Papa belum tenang, Rose. Sebelum ada kabar keberad
Wajah Rose tak kalah pucat, jantungnya berdetak cepat memikirkan akhir hidupnya. Dalam batinnya, apakah hidupnya akan benar-benar berakhir?“Ah tidak-tidak,” gumam Rose sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membuang pikiran negatifnya dan coba untuk tetap tenang. Lalu ia menoleh ke arah anak buahnya dengan tatapan tajam. “Siapa yang bersama dengan mereka?”“Mereka diantar oleh Fred, orang kesetiaan Tuan Leo yang bertahun-tahun menjaga mansion miliknya.” Anak buahnya menjawab begitu cepat. Ia tidak ingin kedua bosnya menyela kembali.Frankie dan Rose bernapas lega, wajahnya sedikit tenang dan seperti mendapat kehidupan baru.“Selain Fred?” tanya Rose memastikan.“Tidak ada, Nona.” Jawaban yang diberikan oleh anak buahnya, membuat Frankie semakin bernapas lega. Senyumnya mulai terbit, tubuh lemasnya mulai dibusungkan kembali.Sementara itu dalam benak Rose masih timbul tanda
Rose mengedarkan pandangan ke arah pintu gerbang. Mengawasi kemungkinan anak buahnya datang memberi kabar berita buruk. Ia juga memasang wajah khawatir menatap Amelia, meskipun hatinya tengah waspada. Sementara itu, Amelia sengaja mengulur waktu, tidak segera menjawab pertanyaan dari Rose. Ia ingin sedikit mengobok-obok perasaan istri sepupunya. Terlihat jelas wanita iblis di depannya itu tampak panas dingin, meski ada senyuman di wajahnya. “Amel?” panggil Rose pada Amelia karena tak kunjung memberi jawaban. “Apakah terjadi sesuatu pada kalian?” Tiba-tiba Amelia tertawa keras, membuat Rose semakin pucat dan waspada. Ia bersiap-siap memanggil anak buahnya, jika tawa yang dimaksud adalah menertawakan rencana gagalnya dalam usaha membunuh sepupunya Tuan Leo. “Kau tahu, Rose? Itu insiden tidak menyenangkan, sekaligus insiden lucu bagiku,” ucap Amelia sambil memegangi perut menahan tawa. “Lucu?” Rose kaget dan melebarkan matanya. Ia tidak mengerti