Wajah Rose tak kalah pucat, jantungnya berdetak cepat memikirkan akhir hidupnya. Dalam batinnya, apakah hidupnya akan benar-benar berakhir?
“Ah tidak-tidak,” gumam Rose sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membuang pikiran negatifnya dan coba untuk tetap tenang. Lalu ia menoleh ke arah anak buahnya dengan tatapan tajam. “Siapa yang bersama dengan mereka?”
“Mereka diantar oleh Fred, orang kesetiaan Tuan Leo yang bertahun-tahun menjaga mansion miliknya.” Anak buahnya menjawab begitu cepat. Ia tidak ingin kedua bosnya menyela kembali.
Frankie dan Rose bernapas lega, wajahnya sedikit tenang dan seperti mendapat kehidupan baru.
“Selain Fred?” tanya Rose memastikan.
“Tidak ada, Nona.” Jawaban yang diberikan oleh anak buahnya, membuat Frankie semakin bernapas lega. Senyumnya mulai terbit, tubuh lemasnya mulai dibusungkan kembali.
Sementara itu dalam benak Rose masih timbul tanda
Rose mengedarkan pandangan ke arah pintu gerbang. Mengawasi kemungkinan anak buahnya datang memberi kabar berita buruk. Ia juga memasang wajah khawatir menatap Amelia, meskipun hatinya tengah waspada. Sementara itu, Amelia sengaja mengulur waktu, tidak segera menjawab pertanyaan dari Rose. Ia ingin sedikit mengobok-obok perasaan istri sepupunya. Terlihat jelas wanita iblis di depannya itu tampak panas dingin, meski ada senyuman di wajahnya. “Amel?” panggil Rose pada Amelia karena tak kunjung memberi jawaban. “Apakah terjadi sesuatu pada kalian?” Tiba-tiba Amelia tertawa keras, membuat Rose semakin pucat dan waspada. Ia bersiap-siap memanggil anak buahnya, jika tawa yang dimaksud adalah menertawakan rencana gagalnya dalam usaha membunuh sepupunya Tuan Leo. “Kau tahu, Rose? Itu insiden tidak menyenangkan, sekaligus insiden lucu bagiku,” ucap Amelia sambil memegangi perut menahan tawa. “Lucu?” Rose kaget dan melebarkan matanya. Ia tidak mengerti
Kau ingat waktu kita pergi ke restoran RDO?” jawab Levon dengan bertanya balik pada Rose yang menatap tajam padanya.“Ya ingat, kenapa?” tanya Rose memicingkan mata.“Waktu itu 'kan Tuan Fletcher mengganggu kita. Lalu istriku yang cantik ini memanggil satpam untuk mengusirnya.. Nah satpam itu yang mengatakan padaku bahwa perusahaan milik Papa itu sebenarnya milik Nyonya Kat .... ah gitulah,” jawab Levon sambil mengelus pipi Rose dengan lembut.Sejujurnya Levon menjawab asal, tetapi ia punya alasan mengapa menyebut satpam itu yang menghasut dirinya.“Mengapa dia menghasutmu?” tanya Rose pada Levon, yang sebenarnya pertanyaan ini untuk dirinya sendiri. Ia cukup kaget dan hatinya terus bertanya-tanya, siapa dia sebenarnya?“Ya mana tahu ... Ah sudahlah, anggap saja ada orang gila lewat,” ketus Levon, tetapi Rose dan Frankie masih tetap terlihat sangat penasaran.Saat mereka terlihat pe
Aku juga tidak tahu, Rose. Dia hanya bilang masih menyelidikinya. Dia tidak mau menuduh tanpa bukti,” jawab Levon sambil mengusap wajah Rose karena tatapannya membelalak seperti burung hantu. “Jangan menatapku seperti ini, aku takut.” “Ah aku hanya kaget saja. Aku tidak suka ada pengkhianat di perusahaan Leo Group,” kelit Rose bersikap setenang mungkin, menetralkan kegelisahan dan ketakutan yang ada dalam dirinya. Levon sekilas tersenyum miring melihat wajah Frankie dan Rose terlihat sangat cemas dan banyak pikiran. Dari awal ini sudah direncanakan, Levon ingin membelah pikiran mereka dengan memberikan banyak masalah sekaligus dalam satu malam saja. “Jadi mana dulu yang kalian dahulukan? Ancaman pria bertopeng? Kejanggalan kencanku dengan Amelia? Perkataan satpam? Atau kecurigaan Amelia terhadap pengkhianat perusahaan? Silahkan bertengkar dengan pikiran kalian sendiri, dan selamat menikmati!” batin Levon berkata. Hatinya sangat puas menyiksa batin istri
Levon bangun lebih awal dari Rose, ia tersenyum miring saat melihat istrinya tidur pulas di sampingnya.“Baru tidur? Apa yang kau reencanakan dengan Papamu?” tanya Levon dalam hatinya sambil menatap Rose dengan tatapan jijik. “Aku tidak sabar menunggunya.”Levon bangkit dari tidurnya dan pergi ke kamar mandi. Setelah mandi, ia berpakaian rapi dan menuju ruangan makan.Di sana sudah ada Jenni yang sedang merapikan piring di atas meja.“Tuan? Dimana Nona Rose?” tanya Jenni penasaran. Ia mencemaskan Rose karena tadi malam mendapat siksaan dari pria bertopeng.“Dia masih tidur, semalam dia begadang bersama Papa,” jawab Levon sambil manarik salah satu kursi dan duduk.“Bagaimana keadaan Nona Rose?” tanya Jenni cemas.“Dia baik-baik saja, tapi mungkin hari ini dia tidak masuk kerja. Aku kasihan untuk membangunkannya,” jawab Levon sambil mengambil piring dan
Sebelum berangkat ke kantor, Amelia memutuskan untuk menghubungi Hubert. Ia ingin membantu Levon dalam mengumpulkan bukti kejahatan Frankie dan Rose. Ia sekaligus ingin belajar menghadapi dan menyelesaikan masalah.“Tuan Hubert, aku ingin berbicara denganmu di kantor. Datanglah ke kantor pagi ini.” Amelia berkata dengan sopan agar Hubert tidak mencurigai bahwa ia ingin mengintrogasinya.“Baik, Nona,” jawab Hubert di seberang telepon.“Terima kasih. Sampai ketemu di kantor,” ucap Amelia, lalu memutus sambungan telepon.Amelia sangat yakin bisa membuat Hubert mengakui kesalahannya, karena ia adalah orang baik yang terpaksa mengikuti perintah Rose.“Maafkan aku, Leo. Aku tidak memberitahumu. Aku ingin berguna, selama tinggal di Amerika aku belum pernah berjasa bagi perusahaan ini.”***Amelia duduk di kursi kerjanya, menunggu kedatangan Hubert. Wajahnya begitu serius memikirkan pertanya
Amelia tersenyum karena Hubert akan mengakui kejatahatan yang disuruh oleh Rose.“Aku akan memancing mereka mengakui kejahatannya agar datang pada Nona,” ucap Hubert. Ia masih ragu-ragu mengakui kejahatannya. Ia takut ini hanya akal-akalan Amelia untuk menjebak dirinya.Sementara itu, yang tadinya Amelia tersenyum, kini sangat kecewa. Padahal ia akan membantu Hubert terlepas dari jeratan Rose.Tidak ada cara lain selain cara kedua, batin Amelia berkata sambil mengulas senyum kecut pada Hubert.“Mengapa kau tak mau mengakuinya, Tuan Hubert?” tanya Amelia tiba-tiba dengan suara sedikit tegas. Ia sudah kehilangan kesabaran dan harus memaksa Hubert mengatakan semuanya.Jelas saja pertanyaan ini membuat Hubert terkejut. Hatinya bertanya-tanya, apakah Nona Amelia sudah tahu?“Saya? Apa maksudmu, Nona?” tanya Hubert bersikap tenang. Mungkin saja Amelia hanya bicara asal.“Sudahlah, Tuan Hubert.
Hubert berjalan di belakang Amelia dan Pulisic, menuju ruangan CEO perushaan. Langkahnya terasa berat, mencemaskan hukuman yang akan diberikan oleh Tuan Leo padanya. Saat pintu dibuka, jantung Hubert berdetak lebih cepat. Tubuhnya bergetar dengan wajah penuh keringat dingin. “Levon?” gumam Hubert saat melihat Levon sudah berdiri di dalam ruangan. Namun, ia menghiraukan keberadaan supervisor cleaning service itu, dan memilih mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan mencari keberadaan Tuan Leo. “Mungkin Tuan Leo ada di kamar mandi atau di kamar tidur,” batin Hubert menebak karrena tidak melihat keberadaan Tuan Leo. Sementara itu, Amelia langsung mendaratkan tubuhnya di permukaan sofa. Ia tersenyum geli saat melihat Levon berdiri dan masih memperlihatkan wajah konyolnya sebagai supervisor cleaning service. “Apa yang Leo rencanakan?” Amelia menahan tawa melihat kekonyolan Levon. Lalu tawanya pecah saat sepupunya seperti orang bodoh dan
Deg!Aliran darah di tubuh Hubert seakan membeku setelah Tuan Leo menyela dan mengatakan hukuman yang akan diterimanya. Ia memberanikan diri mendongak dan menatap Sang Tuan, dan benar saja tatapan Tuannya sangat serius dan menakutkan.Hubert kembali bersujud, tetapi sebelum wajahnya menyentuh kaki Tuan Leo, kerah baju bagian belakangnya di tarik Sang Tuan. “Bangunlah, Hubert. Aku bukan Tuhan yang harus kau sembah. Dan bukankah kau adalah hamba yang taat?” sindir Levon pada Hubert yang mulai berdiri. Amelia dan Pulisic pun tersenyum kecut mendengar Hubert adalah hamba yang taat.“Apakah Tuhan menerima ibadah seorang hamba yang melakukan kejahatan di dunia?” Amelia ikut menyindir dengan penuh emosi, membuat Hubert tak kuasa mengeluarkan air mata karena ucapan Tuan Leo dan Amelia adalah benar. Ia sering mengingat Tuhan, tetapi perilakunya sangat dibenci oleh Tuhan.“Sepertinya kau telah mempermainkan Tuhan, Hubert!” Pulisi