Apa yang kau akan lakukan padaku?” tanya Rose dengan tatapan panik saat pria bertopeng menarik sebuah sprei yang ada di atas ranjang. Lalu, ia mendekati dirinya dengan aura yang terlihat seperti ingin membunuh.
Levon meraih kasar tangan Rose dan menyeret paksa ke kursi yang biasa istrinya gunakan untuk berdandan.
“Apa yang kau akan lakukan padaku?” Rose semakin panik saat pria bertopeng mulai melingkarkarkan sprei itu di tubuhnya, mengikatnya dengan sangat erat ke kursi yang diduduki hingga tubuhnya sedikit mengeras dan menggelinjang karena kesulitan bernapas.
“Apa kau sudah lupa, Nona? Kau sendiri yang memberikan tubuhmu padaku. Jadi aku berhak melakukan apa saja pada hadiahku!” Akhirnya pria bertopeng alias Levon bersuara. Tatapannya sangat bringas, membuat Rose melotot ke arahnya.
Dalam hati Rose, ia menyesali keputusannya menggunakan cara ini untuk menghancurkan pria bertopeng.
“Aku memberikan hak
Tidak ... aku tidak ingin mati konyol, batin Rose memberontak. Lalu ia memberi isyarat melalui kedipan matanya pada pria bertopeng agar menarik pistol yang tertanam di mulutnya. “heuhhhh ....” Rose bernapas lega karena pistol itu sedikit menyakiti mulutnya. Lalu ia menatap ke arah pria bertopeng. “Aku akan memberikan 80 persen saham perusahaan milik keluargaku padamu.” “Tolong jangan ambil semuanya. Perusahaan itu seperti nyawa bagi keluarga kami,” kata Rose lagi dengan tatapan memelas, membuat pria bertopeng tertawa renyah. Rose terpaksa mengatakan ini, daripada nyawanya melayang. Selain itu, tujuan Rose adalah mengelabuhi pria bertopeng. Ia memberikan 80 persen saham saja agar masih punya hak terhadap perusahaan milik keluarganya. Dengan begitu, ia akan mudah merebut perusahaan itu kembali. “Jangan membohongiku, Nona!” desis pria bertopeng dengan tatapan tajam, tapi di detik berikutnya bibirnya mengulas senyum licik. “Sepertinya aku harus memb
Amelia terbangun dari tidurnya, ia tersenyum saat mendapati dirinya sudah berbaring nyaman di kamarnya sendiri.“Terima kasih, Leo. Kau sudah menyelamatkan nyawaku.” Amelia merentangkan kedua tangannya dan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke luar kamar dengan senyuman miring, “Pasti Leo sekarang sedang menghukum wanita iblis itu.”Amelia menuju ruangan tengah, disana ada Azmir dan Emma yang sedang bersantai sambil mengobrol bak sepasang kekasih yang terlihat begitu mesra.“Ehemmm ...” Amelia berdehem keras, membuat Azmir dan Emma menoleh dan tersipu malu melihat sepupunya Levon sudah berdiri di belakang mereka.Amelia mendaratkan tubuhnya ke sofa, tepat di tengah-tengah kedua orang tua Levon, “Kalian terlihat sepasang kekasih yang baru bertemu,” goda Amelia tersenyum menatap mereka secara bergantian. “Aku iri melihatnya.”“Kalau b
“Katakan,” kata Amelia lagi karena Levon hanya tersenyum, tak kunjung memberikan jawaban. “Sekarang aku lebih siap. Aku akn berpikir jernih sebelum bertindak. Aku tidak akan mudah dikelabuhi lagi oleh Rose.”“Buatkan aku kopi, Nona,” jawab Levon dengan memasang wajah konyolnya, membuat kedua orang tuanya tertawa bahagia.“Kau masih belum berubah, menyebalkan.” Amelia mendesis, ia mencubit lengan Levon dengan keras.“Sakitttt ....”“Biarin,” pekik Amelia, lalu wajahnya mendekat pada telinga Levon dan membisikkan sesuatu, “Aku akan buatkan kopi untukmu asal ceritakan hukuman yang sudah kau berikan pada Rose.”“Em baiklah,” respon Levon sambil melangkah menuju sofa dan mendaratkan tubuhnya di tengah-tengah kedua orang tuanya. “Aku akan ceritakan semuaya. Duduklah.”Amelia tak beranjak, ia memberi isyarat pada Levon melalui lirikan matanya
“Dalam menghadapi para pengkhianat, kita tidak boleh lengah. Kita harus menyelidiki kehidupan para pengkhianat sampai ke akar-akarnya,” jawab Levon tersenyum dan menatap penuh arti pada Amelia. “Itu juga yang aku lakukan pada Frankie dan Rose. Aku mencari tahu masa lalunya melalui orang-orang kepercayaanku.”Amelia mengangguk, ia merasa tatapan Levon memberitahunya bahwa seseorang tidak boleh bekerja setengah-setengah. Jika ingin hasil yang bagus, maka harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan sesuatu sedetail mungkin.“Perusahaan itu sebenarnya milik mertuanya yang akan diwariskan kepada anak tunggalnya, Nyonya Katerine. Lalu Frankie, seorang duda beranak satu datang dalam kehidupan Nyonya Katerine dengan membawa sejuta cinta. Dan ia berhasil menaklukkan hati Nyonya Katerine, hingga akhirnya mereka menikah. Perlahan-lahan, Frankie mempengaruhi istrinya agar kedua orang tuanya cepat-cepat mewariskan perusahaannya. Franki
“Malam ini aku sudah menempatkan beberapa orang kepercayaanku di sekitar rumah Rose. Mereka akan mengawasi Rose dari kejauhan. Aku yakin, malam ini juga Rose pasti menghubungi Papanya untuk bertemu membahas permintaan dan ancaman dari pria bertopeng. Dan dengan kondisi sakit di sekujur tubuhnya, aku yakin Rose meminta Frankie datang ke rumahnya,” jawab Levon mengulas senyuman licik. “Lalu?” tanya Amelia memicingkan mata. Ia masih belum mengerti maksud dari rencana Levon. “Jika malam ini mereka bertemu di rumah Rose, lebih mempermudahkan pekerjaanku. Di lantai satu rumah Rose, ada beberapa cctv.” “Maksudnya kau bisa menggunakan rekaman cctv itu untuk dijadikan bukti?” Amelia menebak-nebak rencana Levon. Apakah pembahasan pria bertopeng bisa dijadikan bukti? Ah aku masih terlalu bodoh untuk menandingi kecerdasan Levon, batin Amelia berkata. Lebih baik ia mendengarkan jawaban dari sepupunya. Levon tersenyum menatap Amelia yang menggeleng-gelengka
“Jenni ... Jenni!” teriak Rose sekencang mungkin memanggil Jenni. “Iya, Nona?” Jenni berlari mendengar panggilan Rose. Ia menghampiri Rose dan mengatur napasnya ketika sudah berada di hadapan majikannya. “Mengapa kau tidak memberi tahu berita kematian Amelia padaku?” tanya Rose begitu dingin pada Jenni. Ia yakin pelayan setianya lupa memberitahunya. “Sampai saat ini tidak ada orang suruhan Nona yang membawa berita mengenai kematian Amelia, Nona. Dan tidak ada satupun stasiun televisi yang menanyangkan berita ini,” jawab Jenni berkata jujur. Yang ia lihat di tv maupun surat kabar masih mengenai seputar tiga karyawan perusahaan Leo Group yang berencana membakar pabrik. Polisi masih mengusut tuntas masalah ini. “Hah? Itu tidak mungkin. Apakah kau berbohong padaku?” bentak Rose karena kaget, tidak mungkin Amelia masih hidup. Orang suruhannya sendiri yang memastikan kalau Amelia memakan racun mematikan itu. “Sungguh, Nona. Saya tidak be
Rose terbangun dari tidurnya dan mendapati Papanya sudah berada di sampingnya.“Papa sudah lama?” tanya Rose sambil bangkit dari tidurnya. Ia masih merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya yang dipukul oleh pria bertopeng.“Barusan,” jawab Frankie sambil merapikan rambut Rose yang berantakan. “Bersihkan tubuhmu, dulu. Papa akan menunggu di bawah.”“Baik, Pa.” Rose mengangguk, Frankie pun mengecup kening Rose sebelum pergi ke bawah.Rose menuju kamar mandi yang terletak di kamarnya sambil meringis kesakitan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya masih sangat terasa saat berjalan.Rose melupakan rasa sakitnya karena pikirannya tertuju pada Papanya. Mungkin Papanya tahu kalau pria bertopeng sudah menyakiti dirinya, tetapi Papanya tidak tahu apa permintaan pria brengsek itu.Sekitar setengah jam, Rose turun ke bawah menemui Frankie.“Maaf, Pa. Sudah membuatmu menunggu lama. Jenni mas
“Kami sudah melacak nomer ponsel mereka, tetapi nomer keduanya sama-sama tidak aktif,” ucap salah satu anak buahnya, membuat Rose dan Frankie semakin curiga dan pasti ada sesuatu dibalik ini semua. “Apa kalian sudah mencari ke mansion milik Tuan Leo?” tanya Frankie sedikit emosi menatap tajam pada kedua anak buahnya. “Di luar mansion milik Tuan Leo ada penjagaan yang sangat ketat, Tuan.” jawab anak buahnya. “mereka berdua kemungkinan berada disana.” “Aku tidak mau tahu. Aku butuh kepastian, bukan sebuah tebakan. Cari lagi sampai ketemu! Bagaimana pun juga caranya!” titah Rose sedikit menyaringkan suaranya. Kepala Roae terasa pusing, ia tidak ingin lagi mendengarkan penjelasan dari anak buahnya. Yang ia inginkan hanyalah berita dari kematian Amelia. “Baik, Nona.” Saat anak buahnya pergi, Rose mendaratkan tubuhnya kembali di sofa. Ia memegangi dan memijat-mijat kepalanya. “Bagaimana bisa? Pizza beracun itu ada di piring Levon? Anak
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me