“Arghhh ...” Aku mengerang putus asa.
“Hal ini perihal menyelamatkan diri sendiri atau orang lain, Jaeryn. Dan kamu nggak perlu menyelamatkan orang yang sudah merusak kamu. Lagipula dia sudah mati,” ucap Bunda sembari memegangi pelan kedua lenganku.
“Jika detik ini Rudi tidak menghamili kamu, maka kamu boleh berdiri di garda depan untuk mengungkap kasus pembunuhan itu. Harus malah! Tapi sekarang, dia menghamili kamu. Anggap saja hal ini adalah hukuman buat dia. Menurut Bunda, semua ini setimpal. Lagipula kamu nggak melakukannya buat iseng-isengan. Ini di antara hidup dan mati.”
“Jaeryn, kita sudah terlalu jauh. Ingat juga apa yang sudah Geraldy korbankan.” Bunda berusaha keras untuk menyakinkan aku.
“Geraldy ... cowok itu! Aish!” Ucapku kesal sembari memukul kasur.
“Kenapa malah menyalahkan Geraldy? Dia sudah bantuin kita sampai sejauh ini, Nak.” Bunda terus membela Geraldy.
Satu minggu kemudian.“Pagi Mbak Jaeryn, selang infusnya saya lepas, ya,” ucap seorang suster dengan ramah.“Oke, sus,” jawabku dengan nada yang ramah pula.Di saat yang bersamaan, Bunda mengelus punggungku dan melemparkan sebuah senyuman tipis; senyuman menguatkan.Hari ini, adalah saat di mana aku akhirnya bisa keluar dari rumah sakit dan kembali ke apartemen Geraldy, sesuai dengan rencana bunda.Satu minggu dari kunjungan terakhir, Geraldy tak pernah menjenggukku lagi. Karena, terakhir kali aku bilang ingin berdua saja dengan Bunda. Tumben sekali dia mau mendengarkanku dan memberikan ruang untukku. Apakah mungkin dia sibuk? Rasanya agak sedikit aneh.Setahuku semua jadwalnya masih ditunda. Soalnya keadaan di luar sana belum dipastikan seratus persen aman. Lagipula, saat ini banyak berita tentang dia yang simpang siur.Meskipun cerita bohongan, kemungkinan juga ada netizen yang menyudutkan Geraldy ka
Dengan spontan aku meraih kembali lengan seseorang yang saat ini sedang memegangiku, dan tak pernah sebelumnya aku memegang lengan seorang pria seerat ini. Lebih tepatnya, tak pernah aku mencengkram lengan berotot tebal seorang Geraldy. Setelah mencengkram erat lengan Geraldy, aku akhirnya berhasil mengeluarkan napas yang kutahan karena ketegangan menguasaiku. Keberadaannya membuatku merasa sedikit lebih lega. Namun, disaat yang bersamaan aku juga bertanya-tanya, apakah sosok Geraldy ini nyata ataukah hanya halusinasi? Semenjak tersadar minggu lalu, aku mendadak tak pandai membedakan kenyataan dengan halusinasi. Sepertinya aku masih trauma dengan kejadian malam itu. Sembari berusaha mengatur napasku lagi, aku mengajak Geraldy berbicara dengan suara bergetar,
“Ah, yasudahlah! Nggak usah dipikirin. Nggak usah heran, Geraldy memang seperti itu,” batinku sambil memijat pelan lenganku yang baru terasa pegal setelah mencengkram lengan Geraldy selama lebih dari lima menit.Saat panik tadi, aku tak bisa merasakan sensasi apapun pada tubuhku. Setelah mulai tenang, aku baru bisa menyadari rasa pegal pada lenganku. Ah ... sepertinya Geraldy juga kesakitan tadi karena cengkramanku.Lagian, kenapa juga Geraldy membiarkan aku mencengkram lama lengannya itu? Seharusnya dari awal dia tepis aja, kan? Dasar pria aneh! Aku tak mampu memahaminya sampai detik ini.“Kemarin dia mencaciku miskin, tapi habis itu bilang ke Bunda dia bersedia menerima kondisi kehamilanku dan mau bertanggung-jawab juga. Dan hari ini dia bilang aku lemah, tapi tetap aja membiarkan aku mencengkram lengannya. Memang bukan Geraldy namanya kalau sikapnya nggak konsisten!” Aku kembali larut dalam pikiranku sembari menoleh t
SRAK ...Suara yang berasal dari pintu kembali terdengar, aku kaget setengah mati. Apalagi tadinya aku sedang melamuni nasibku dan tengah berusaha menguatkan hati.Kukira arwah Mas Rudi kembali lagi. Tapi ternyata, yang datang adalah Bunda. Untung saja aku tak sampai berteriak.Bunda akhirnya sudah selesai membereskan segala urusan yang harus diselesaikan di sini. Syukurlah, setidaknya suasananya antara aku dengan Geraldy tidak akan menjadi lebih buruk lagi.“Den datang ke sini ternyata.” Sapa Bunda ramah.Geraldy hanya menatap ke arah Bunda, dan mengangguk cuek tanpa menjawab.“Lho ... Jaeryn kok pucat?” Bunda buru-buru menghampiriku.“Oh ... gapapa, kok, bund.” Aku tidak tahu harus menceritakan bagaimana perihal penampakan yang kulihat tadi kepada Bunda, dan juga perihal pengakuan Geraldy.“Mungkin lo masih butuh tambahan rawat inap beberapa hari lagi?” Celetuk Geraldy tiba-tiba
Micellar water, kusebut saja Geraldy begitu. Layaknya campuran minyak dan air yang tak akan menyatu, tetapi nyatanya bisa tersimpan dalam botol yang sama. Seperti Geraldy, campuran pembunuh dan penyelamat yang tak biasanya menyatu, tetapi faktanya tersimpan dalam satu jiwa yang sama.Sebagai seorang penata rias, aku memang hanya mengingat kata-kata tentang kecantikan. Jadi, sebut saja Geraldy ... Micellar water.Mas Rudi dan Geraldy, mereka berdua adalah Micellar water. Yang satu perpaduan pelaku dan korban, dan yang satu lagi perpaduan antara pembunuh dan penyelamat.Benar-benar sebuah perpaduan yang gila. Tetapi, di dunia ini memang sering saja terjadi hal-hal yang aneh.Karena telah mendapatkan sebuah sebutan yang bagus, aku terpikirkan untuk menggati nama kontak geraldy dengan sebutan micellar water saja. Sebutan itu jauh lebih baik daripada terus mengingatnya sebagai pembunuh. Juga aku tak bisa mengabaikan perilaku kriminalnya dan menganggap dia sema
Setelah memprotes banyak hal tentang ketidakadilan yang melanda, tiba-tiba aku mendadak ingin curhat di sosial media. Meskipun aku nggak punya teman dekat, sih.Lagipula orang-orang di dunia ini, kerap kali mencurahkan perasaannya baik senang maupun sedih ke sosial media mereka. Ya, meskipun kebanyakan dari mereka membagikan kebahagiaan yang palsu. Tapi, tak jarang pula orang yang membagikan kenyataan pahit mereka ke sosial media. Sebab, mereka akan segera mendapatkan perhatian dari sahabat ataupun orang-orang terdekat mereka.Sesungguhnya saat ini aku ingin membagikan kepedihanku ini ke Coronagramku dikarenakan memiliki harapan, akan ada seseorang yang entah dari mana ... memberikan perhatian dan simpatinya untukku. Tapi ... sepertinya tidak akan ada yang peduli. Karena lagi-lagi, aku, kan, nggak punya teman dekat. Yang aku miliki saat ini, ya, cuma Bunda.Bagaimana, sih, rasanya memiliki seorang teman dekat? Pasti menyenangkan memiliki seorang sahabat di saat-
Pertama, aku langsung mengecek followersku yang meningkat pesat. Menyentuh angka 15.800 pengikut. Dan benar saja, kebanyakan dari mereka adalah para gadis yang menyukai Geraldy.Kedua, aku mengecek postingan-postingan yang menandaiku. Kebanyakan, sih, hanya video sama yang direpost ulang di beberapa akun berbeda.Ternyata rekaman CCTV kejadian di mana aku ditabrak oleh orang suruhan Mas Rudi disebarluaskan. Wah, benar-benar gila! Ada juga video yang merupakan editan dari foto-fotoku saat sedang bersama Geraldy. Ada juga video editan evaluasi tatapan Mas Rudi kepadaku di lokasi shooting, dan mereka menambahkan berbagai keterangan sesuai persepsi mereka. Seperti, ‘bukti kalau Mas Rudi dari awal nggak suka Jaeryn’. Dan yang terakhir, adalah video-video konferensi pers Geraldy dan istri Mas Rudi kemarin.Sebelum mengecek komentar di akunku sendiri, aku ingin terlebih dulu mengecek komentar di lapak lain. Terutama di video editan-editan fans, karena tampa
Saat sedang panik karena ingin memastikan sesuatu, terkadang kita tidak berpikir panjang dalam setiap tindakan yang diambil. Begitulah aku saat ini, serta merta langsung menghubungi Geraldy untuk mendapatkan kepastian.Suara dering tanda panggilan telepon sudah tersambung terdengar, tapi Geraldy tidak mengangkatnya. Aku sempat meneleponnya sebanyak dua kali, dengan penuh kegelisahan.Bunda yang menyadari perilaku resahku itu, menanyakan siapa yang sedang aku hubungi. Dari sanalah aku baru tersadar, tak seharusnya aku menelepon Geraldy di mobil. Karena, kan, ada Pak Tarno. Dia tidak boleh mengetahui rahasiaku ini.Bukan bermaksud mencurigai, hanya ingin jaga aman.Kupikir, mulai hari ini aku harus belajar lebih berhati-hati lagi. Sepertinya mau sedarurat apapun informasi yang ingin kudengar ... tak seharusnya aku mencari tahu di luar rumah. Lagipula sekarang, kan, aku sudah serumah dengan Geraldy. Duh! Bodohnya aku. Nanti dia malah ngira yang aneh-aneh lag
“Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn
“Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang
Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.
GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer
“Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m
“Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t
Geraldy, banyak yang tak tahu sesungguhnya laki-laki seperti apa dirinya. Orang-orang pasti tak menyangka, Geraldy yang biasanya dikenal tampan dan penuh bakat bisa dengan keji melakukan pembunuhan. Pulanya ia tak ambil pusing untuk merasa bersalah.Sebuah serpihan besar botol wine kini menempel di leherku. Tanpa basa-basi Geraldy menyayatkan leherku dengan serpihan tersebut. Aku tak berdaya, begitu pula dengan darahku. Mereka mengalir deras ke arah bawah; mencari tempat yang lebih rendah. Pandanganku pun memudar seiring melemahnya kesadaranku.Geraldy benar-benar menjadikan aku sebagai korban keduanya. Sungguh betapa kejinya ia; seorang pembunuh bertopeng idola.Namun, leherku yang tersayat serpihan botol wine hingga mengeluarkan darah seharusnya terasa dingin. Tapi mengapa, aku malah merasakan kehangatan di sekuju
Di sela-sela perjuanganku untuk fokus, Geraldy kembali berbicara. Ia terdengar sedikit mabuk.“Santai. Lo nggak harus mikirin biaya karena rumah lo gue renov gratis. Kalau orang tanya sementara rumah lo di renov, lo tinggal di mana … ingat! Bilang aja lo nyewa rumah lagi. Jangan sampai keceplosan bilang kalau lo tinggal di rumah gue!”“Iya, siap,” jawabku cepat.Sepertinya sepulang dari rumah sakit tadi Geraldy langsung mengurusi renovasi rumahku. Makanya dia baliknya agak lama.Namun, jujur saja aku agak tak terima Geraldy merenovasi rumahku tanpa izinku dan Bunda. Meskipun hal itu adalah perbuatan baik, tapi setidaknya dia nanya dulu, ngga, sih? Aish … si micellar water ini benar-benar. Kali ini aku mulai kesal kepada Geraldy. Hanya karena dia punya banyak uang, bukan berarti bisa sesukanya saja merubah rumah orang lain.“Tapi kenapa, sih, renov rumahku tanpa izin? Barang-barangku gimana?” Protesk
“Kalau ditanya, tuh, langsung jawab bisa nggak, sih?” Geraldy kembali mendesakku yang terdiam kehabisan kata-kata.“Maaf,” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata serta dipenuh rasa bersalah.Karena ditegur Geraldy, aku baru tersadar atas perilakuku yang salah. Memang seharusnya tadi aku mikir dulu sebelum upload foto itu. Sayangnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur.“Duh, bodohnya kamu Jaeryn. Mau curhat malah berakhir nambah beban pikiran,” sesalku dalam batin.“Aku harus gimana, dong?” Tanyaku sedih. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke lantai.Geraldy beranjak berdiri dan berkata, “Mau gimana lagi. Kalau ditanya lo harus jawab bahwa tadinya lo cuma mampir ke apartemen gue sepulang dari rumah sakit buat ngambil vitamin yang udah gue beli dari luar negeri. Jangan sampai ada yang tahu kalau lo tinggal di sini. Kecuali, kalau lo mau dihujat.”Mendengar ide kebohongan