"Sebatas itu pun sudah sangat berarti bagi kami Elang. Semoga kemudahan dan keselamatan selalu menaungi perjalananmu Elang,” Brian menimpali dengan do’anya bagi Elang. “Aamiin, makasih Pak Brian," ucap Elang, seraya meraih ponselnya. Dia pun memanggil sebuah nama dalam kontaknya. Tuttt...Tuttt...! Klik.! "Halo Elang. Sudah sampai mana sekarang..?” tanya suara di sana. “Siang Pak Bambang. Saya tertahan di Surakarta Pak. Ada seorang kenalan baru disini yang terkena masalah Pak Bambang,” sahut Elang. “Wahh, masih di Surakarta rupanya. Masalah apa Elang? Siapa tahu bapak bisa membantu.” “Ini Pak Bambang. Teman baru Elang mengalami masalah, uang perusahaannya di bawa kabur orang kepercayaannya. Namun keberadaan orang yang membawa kabur uang perusahaan itu, sudah Elang ketahui alamatnya Pak Bambang.” “Bagus itu Elang. Apakah perlu bapak hubungi rekanan bapak di kepolisian, untuk mengurus orang itu Elang?” ‘Tepat seperti yang kuharapkan’, bisik hati Elang. “Kalau tidak keberatan P
“Apaa..?! Siapa Mbah orang yang ‘berisi’ itu?!” seru Kamal kaget. Mata Kamal otomatis mengikuti arah pandangan Mbah Dharmo. Maka jelaslah bagi Kamal, siapa yang dimaksud ‘orang berisi’ oleh guru spiritualnya itu. “Hmm. Brian ada apakah kau membawa paranormal bau kencur ke rumahku..? Mau menantangku..?!” suara Kamal meninggi, sambil menatap tajam ke arah Elang. “Maaf nama saya Elang, Pak Kamal. Dan saya orang normal yang nggak suka kencur Pak,” Elang menanggapi perkataan Kamal sambil tersenyum ramah. Brian dan Elang langsung duduk di sofa ruang tamu Kamal. Kamal dan si pria sepuh itu juga duduk. Sementara si lelaki berjas hitam, yang ternyata pengawal pribadi Kamal, dia tetap berdiri di belakang kursi Kamal. “Katakan saja niat kedatanganmu Brian. Tak perlu basa basi di rumahku!” seru Kamal ketus. Elang pun menarik nafas kesalnya. ‘Sepertinya Kamal ini memang pantas di tenggelamkan’, bathin Elang sebal. “Siapa yang mau kau tenggelamkan anak muda..?” tanya pria sepuh itu, tènyat
"Aji sirepmu memang luar biasa Elang. Tapi jangan harap itu berlaku padaku!” seru Mbah Dharmo. “Kutunggu kau di atap rumah Dharmo,” Pyarshk..! Slaph..!Elang melesat setelah menghantam pecah jendela kaca rumah Kamal. Dia pun hinggap dan menanti, di atap rumah dua lantai itu. Pyarrsh..! Sethh! Tak mau kalah, Mbah Dharmo juga melesat, melalui jendela kaca yang sudah dipecahkan Elang sebelumnya. Taph..!Kini keduanya sudah berhadapan di atas atap rumah megah milik Kamal. Seolah sepakat keduanya menunggu gema adzan magribh, yang saat itu tengah bergema sampai selesai dikumandangkan. Adzan Magribh pun selesai dikumandangkan, “Dharmo, mari langsung saja pada pamungkas kita masing-masing..! Saya sedang enggan berlama-lama,” Elang berkata tanpa hormat, pada mbah Dharmo. Ya, karena memang Mbah Dharmo sudah membuang kehormatannya demi uang. “Lha dalah..! Gemagus kowe bocah keparat..!” maki Mbah Dharmo murka. Mbah Dharmo langsung mengerahkan aji pamungkasnya ‘Jagad Ambyar'. Ajian yang
"Cepat ambil surat perjanjian pinjaman saya..!” bentak Brian murka, dia menelikung tangan Kamal ke belakang. “Ba..baaikk..! A-ampun Pak Brian..! Ikut saya..” Kamal pun melangkah terhuyung, menaiki tangga menuju lantai 2 rumahnya. Di sebuah kamar dia terhenti dan membuka kunci kamar, lalu mereka masuk ke dalamnya. Brian melihat atap rumah yang jebol dan rusak berat, di lantai 2 itu. Kamal membuka sebuah brankas, di balik sebuah lukisan wanita seksi telanjang yang telah di geser lebih dulu olehnya. Melihat hal itu, darah Brian pun mendidih. Dia jadi teringat kembali, pada perbuatan Kamal atas istrinya, Duughk..! Kregghh..!Brian menabrakkan wajah Kamal ke dinding kamar sekerasnya. Sungguh rasanya dia ingin membunuh saja bajingan tua ini.“Argkhs..!! A-ampun Pak Brian..! Khkss..!” Kamal berteriak kesakitan, karena hidungnya patah. Saat dia menoleh ke arah Brian, maka wajahnya pun sudah penuh dengan darah. “Cepat ambil kertas perjanjiannya..!” hardik Brian tak sabar. Agak jijik ju
“Baik Pak Yudha. Terimakasih sekali atas tanggapan Bapak.” “Kami juga berterimakasih atas kerjasamamu pada pihak kepolisian Elang. Saya juga berterimakasih atas bantuanmu dalam kasus Pak Bambang. Bravo buatmu Elang..!” seru Yudha kagum, dengan sepak terjang Elang. “Ahh. Itu hanya kebetulan saja saya bersinggungan dengan mereka Pak Yudha. Tetap saja pihak yang berwajib yang berperan dalam hal ini,” ucap Elang tenang. Yudha Satria tertegun, mendengar jawaban Elang yang rendah hati ini, ‘Tak salah Pak Bambang memuji-muji namamu di depanku Elang. Kau memang layak’, bathin Yudha kagum. Karenanya dia berniat menjalin hubungan erat langsung dengan Elang. Dia pun menyimpan nomor kontak Elang di ponselnya. “Baiklah Elang. Nomormu sudah saya simpan. Hubungi saja saya jika sewaktu-waktu ada hal yang berkaitan dengan tugas saya. Terimakasih Elang.” Klik.!*** Keesokkan paginya. Suasana cerah melingkupi kediaman Brian. Terdengar burung peliharaan Brian berkicau merdu, menyambut datangnya
‘Hhhh. Kau benar Elang, rupanya aku tak bisa menyembunyikan sesuatu darimu’, bathin Brian, sambil menghela nafasnya. “Kau benar Elang. Bapak sama sekali tak menganggapmu lancang dalam hal ini. Terimakasih Elang. Baiklah, bapak akan mencoba berbaikkan padanya nanti,” Brian akhirnya berkata dengan kesadarannya. Senyum terimakasih terlukis di wajah Brian. “O ya, Pak Brian. Saya harap Bapak tak menolak pinjaman dana dari saya, yang tak seberapa ini. Semoga dana ini bermanfaat, untuk menyegarkan kembali kondisi perusahaan Bapak,” Elang berkata sambil menyerahkan selembar cek pada Brian, yang menerimanya dengan mata basah. Brian melihat nilai 15 miliar rupiah tertera di atas cek itu. Seketika pandangan Brian pun menjadi kabur. Akibat terselaputi oleh air matanya, yang mulai menggulir tak tertahan. ‘Elang.! Siapa kau..? Mengapa kamu begitu baik pada kami..?’ bathin Brian sesak. Karena uang itu sangat lebih dari cukup, untuk mengembangkan usahanya. “B-bagaimana caranya saya mengembali
Plaaghk..!! “Arrghks.!!” seru keras dan kaget Dean. Telinganya berdenging seperti lengking ceret mendidih..! Dan kedua pipinya yang cukup putih itu, kini bagai adonan kue yang panas mengembang. Salam lima jari bagai stempel sayonara juga terlukis di pipinya. “Re..Revaa..! Ini tidak seperti yang kau pikirkan..!” seru Dean panik, sambil tetap memegangi sebelah pipi kanan indahnya yang membengkak. Tangan kanannya bergerak hendak menjamah pundak Reva. Namun langsung saja di tepis oleh Reva, yang masih menatapnya dengan nafsu merajam Dean hidup-hidup. “Aku tak ada hubungan apapun dengan Shafa..!” seru Dean, dan itu adalah kesalahan ganda bagi Dean. Plagh..!!“Arrghks..!!” Kembali bunyi ceret mendidih berdenging di kedua telinga Dean. Dan dua gambar tangan berwarna merah, menjadi tambahan koleksinya di sore yang ‘membagongkan’ bagi Dean itu. Ya, Kali ini pelakunya adalah Shafa, sepupu Reva. “Kita putus..!!” seru Reva dan Shafa hampir bersamaan.Ya, rupanya Reva maupun Shafa membua
"Lupakan saja Lia. Aku memang agak sensitif, jika orang bicara soal kekayaan orangtuaku. Karena gara-gara mengejar kekayaan itulah, orangtuaku sampai tak menganggap aku ada, dan hidup di antara mereka,” Reva berkata dengan wajah yang nampak muram. Teringat Reva, saat pengambilan raport di sekolah dulu, yang mengambilnya adalah supirnya. Saat dia berteriak kaget mengalami haid pertamanya, yang menenangkannya adalah pelayannya. Bahkan saat dia ulang tahun pun, yang terlihat hanya postingan kedua orangtuanya di medsos, yang mengucapkan selamat padanya. Tapi pada kenyataannya..?! Bibir kedua orangtuanya tak mengucapkan sepatah kata apapun, secara langsung padanya di rumah..! Apalagi memeluk dan mengecupnya..! Itu mustahil..! Ya, Reva menganggap Itu semua hanyalah kamuflase orangtuanya di dunia luar. Agar publik menganggap, bahwa mereka perhatian pada putrinya. Dan pernah sangat menyakitkan bagi Reva, saat sebuah foto terpampang di IG mamahnya. Sang mamah tampak sedang mencium pu
Padahal jika Elang mau, maka dia bisa membawa beberapa 'barang antik', dari peradaban dalam dimensi itu. Seperti halnya 'cincin mustika Nagandini', yang berhasil ditariknya dulu untuk Nadya. Akhirnya setelah merasa cukup puas melihat-lihat. Elang memutuskan untuk kembali ke hotelnya, yang berjarak sekitar 25 menit dari kuil itu. Elang pun naik bus umum yang melintas di sekitar area kuil itu. *** Permadi baru saja usai makan malam, dan kini dirinya tengah memandangi gemerlap lampu kota Osaka di malam hari, dari jendela kamar hotelnya. Ya, tak lama lagi dia akan mulai mendeteksi keberadaan energi Elang dari kamarnya itu. Jujur saja hati Permadi berdebar-debar. Karena dia bisa merasakan, jika energi Elang adalah energi terbesar, yang pernah dirasakannya dimiliki seseorang. 'Aku tak boleh mundur lagi. Sekarang atau tidak selamanya..!' seru bathin Permadi menguatkan tekadnya. Teringat dia kenangan masa lalunya. Kenangan saat dia ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Betapa dia
"Tapi tak apa Mas Elang jalan-jalan saja dulu. Daripada buru-buru bertemu Keina," ucap Nanako merasa senang. 'Aneh memang pola pikir dua wanita Jepang ini. Keina senang aku cepat keluar dari rumah Nanako. Sedangkan Nanako senang, kalau aku nggak buru-buru ke rumah Keina. Sungguh memusingkan..!' gerutu bathin Elang. "Mas Elang pasti sekarang sedang kelaparan ya..? Hihii," tebak Nanako tepat ke sasaran. Nanako memang paham, dia memperhatikan pola makan Elang selama berada di rumahnya. Dia tahu saat jam-jam pagi, biasanya Elang suka melintasi meja makan rumahnya saat bangun tidur. "Ahh..! Nanako tahu saja kamu. Hahaa," Elang tak bisa ngeles lagi. Karena sambil bicara, dia juga sambil mengunyah pelan-pelan rotinya. Tapi tetap saja ketahuan oleh Nanako, jika dia sedang makan sesuatu. Jujur saja, Elang lebih senang menganggap Nanako bagai adiknya sendiri. Nanako ini paling bisa meledek dan bermanja-manja padanya, saat Elang di rumahnya. "Ya sudah. Mas Elang lanjut makannya ya. Nanak
Tuttt.. Tuttt.. Tuutttt..!Kini di layar ponsel Elang tertera, 'Keina Yoshida memanggil'. Klik.! "Ya Keina," sahut Elang. "Mas Elang di mana sekarang..? Kok belum datang ke rumah..?" "Saya masih di Awaji Island Keina. Mau menikmati pemandangan dulu," sahut Elang jujur. Dia khawatir Keina ngambek, karena tidak langsung ke rumahnya setelah dia keluar dari Tokyo. "Hmm. Nggak ngajak-ngajak ya, hihi..! Ya tak apa-apa Mas Elang, daripada menghabiskan waktu di Tokyo bersama Nanako. Keina boleh nyusul nggak mas Elang..?" tanya Keina. "Lebih baik tak usah Keina, dua hari lagi juga saya ke rumah," sahut Elang. Ya, dia sedang benar-benar ingin sendiri, untuk menikmati akhir perjalanannya di negeri Sakura ini. "Baiklah, selamat bersenang-senang Mas Elang." Klik.! *** "Selamat jalan Mas Permadi, cepatlah kembali sayank. Mmmhh," Shara mengucapkan salam, seraya mencium pipi Permadi. Saat Permadi hendak memasuki pesawat. "Terimakasih Shara," ucap Permadi, sambil menatap Shara. Hidup bers
Tidak heran, 'Samara Embankment' adalah tempat wisata alam yang tidak hanya gratis, tapi juga wisata unggulan. Di sungai Volga, kita bisa melihat pemandangan alam yang sangat cantik, kendati pada siang hari dan suhu cukup tinggi. Namun, kita bisa berteduh di bar dan restoran yang tersedia, tidak jauh dari pedestrian. Dan di sanalah kini seorang wanita cantik duduk termenung, memandangi keindahan alam yang terhampar dihadapannya. Tapi tunggu dulu, mata sang wanita memang mengarah ke hamparan sungai indah di depannya, namun tidak dengan 'pikiran'nya. Sesosok pemuda tak pernah lepas dari 'benaknya', sejak kepulangannya dari Bali. Sosok pemuda itu terus membayangi kemanapun dia berada. Sosok pemuda yang telah menerima 'cincin' kenangan darinya. Ya, sosok itu adalah Mila..! Sejak kepulangannya ke Samara, hatinya bagai tertinggal di Bali bersama Elang. Dan akibat kerinduannya yang mendalam, selama seminggu ini dia terus melakukan panggilan terhadap Elang. Namun tiada pernah ada nada
Bip..! Nadya :"Sudah tidur belum Mas Elang..?" Balas : "Belum Nadya." Nadya :"O iya Mas Elang, minggu depan Nadya ujian Sripsi. Doa'in ujiannya lancar ya Mas." Balas : "Pasti Nadya. Mas percaya Nadya pasti lulus dengan gemilang." Nadya:"Minggu depan mudah-mudahan Mas Elang sudah di Jogja ya. Biar bisa merayakan kelulusan Nadya." Balas :"Mudah-mudahan Nadya. O iya, sekarang Mas menginap di 'Yumekaiyu Awajishima Hotel'. Mas baru saja masuk malam ini." Nadya :"Wah, asyiknya bisa travelan terus. Besok-besok Nadya ikut lho Mas." emot senyum plus ketawa. Balas : "Boleh-boleh saja, kalau nggak ada yang marah Nadya." emot kedip mata satu. Nadya:"Ihh. Siapa yang berani marahin Nadya, wee.." emot ngeledek. Nadya:"Nanti lanjut ya Mas. Nadya dipanggil Mamah, paling di suruh dinner." Balas : "Ok." emot jempol. Elang beranjak dari ranjang dan memandang keluar kamar, melalui jendela kamar yang cukup luas. Belum lama Elang meresapi keindahan pemandangan malam, dari jendela kamarnya, Tiba
'Luar biasa..! Bahkan Bos sudah berpikir jauh ke depan', bathin Rodent. Dalam kesendiriannya, Rodent kadang juga bertanya-tanya. Akan sampai kapan mereka menjadi buronan aparat..? Ternyata pertanyaan itu kini sudah terjawab, dengan ucapan Permadi barusan. Dan hatinya pun menjadi makin mantap, untuk bersetia pada Permadi hingga akhir hayatnya. "Siap Boss..!” seru Rodent bersemangat. Klik.! Suara adzan magribh berkumandang, Permadi pun beranjak masuk ke dalam rumahnya. Dari wajahnya nampak Permadi sedang memikirkan sesuatu hal, yang begitu mengganjal di hati dan benaknya. Entah hal apa gerangan. "Mas Permadi sayang, sebenarnya apa yang sedang Mas pikirkan..?" tanya Shara, saat dia melihat Permadi masuk ke kamar dan hanya diam duduk di tepi ranjang. "Tidak ada apa-apa Shara. Aku hanya lelah saja," sahut Permadi. "Apakah Mas Permadi mau Shara pijat badannya..? Biar rasa lelahnya hilang," tanya Shara lagi. Walau dia tak terlalu bisa memijat, tapi demi pria kesayangannya ini, dia
"Baiklah Elang. Nanti tante akan kirimkan nomor rekeningnya. Tapi tante tak akan memakai uang kiriman dari Elang, selain hanya untuk simpanan ...... 'anak kita'," Halimah berkata terputus. Ya, Halimah agak bingung menyebut apa pada anak yang di kandungnya. Akhirnya dia menyebutkan 'anak kita' pada Elang. Wajahnya langsung 'merah merona', saat dia mengatakan itu. Halimah terbayang kembali, saat-saat 'penuh madu' bersama Elang dulu dikamarnya. Wanita yang tetap cantik di usia matangnya itu. Dia 'sejujurnya' sangat merindukan saat-saat manis itu, bisa terulang kembali dalam hidupnya. "Baik Tante, tolong dikirim ya. Salam buat Om Baskoro." Klik.! Elang menutup panggilannya pada Halimah. Dia berniat memasukkan saldo 10 miliar rupiah, pada rekening Halimah nanti. Elang kembali melihat-lihat kontaknya, dia mencari nomor Sekar di list kontaknya. Lalu... Tuttt.... Tuttt... Tuutttt.! "Halo. Kang Elang..?!" sapa suara merdu Sekar, yang sedang berada di kamarnya. "Halo Mbak Sekar. Baga
"Pak Daisuke, Pak Matsuki. Ayo temani saya makan bersama. Saya tak bisa makan sendirian. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih saya pada Bapak berdua, yang sudah 'bekerja' mengantar saya ke sini," ajak Elang hangat. Ya, Elang mengatakan 'bekerja' bukan membantu. Itu karena Elang sangat paham, dengan 'budaya malu' yang mengakar kuat di negeri ini. Sehina-hinanya kaum miskin negeri ini. Mereka sangat jarang meminta-minta, bahkan hampir tak terlihat pengemis di negeri ini. Mereka juga tak akan mau menerima sesuatu tanpa 'bekerja'. Walaupun hanya sebagai pemulung atau buruh serabutan sekalipun. Rata-rata mereka merasa malu, bila menerima sesuatu dari rasa belas kasihan. Itulah moral yang masih dipegang erat masyarakat negeri ini, budaya malu.!"Ahhh. Bagaimana Matsuki..?" tanya Daisuke menatap Matsuki temannya. Agak lama akhirnya Matsuki menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka bertiga makan siang di rumah makan itu. Tampak kedua lelaki itu tersenyum gembira. Elang sengaja menga
Tuttt.... Tuttt..! 'Pak Yutaka memanggil' tertera di layar ponsel Elang. Klik.! "Ya Pak Yutaka," sahut Elang. "Halo Elang. Di mana posisimu sekarang..?" tanya Yutaka. "Saya di Kobe sekarang Pak Yutaka. Berjalan-jalan dulu sebelum kembali ke Indonesia," sahut Elang. "Wahh, pantas kemarin aku tanya Pak Hiroshi, kamu belum datang katanya. Hahaa!" Yutaka memaklumi keinginan Elang berjalan-jalan seorang diri, sebelum dia pulang ke Indonesia. Tentunya pemuda ini ingin bebas lepas, melihat apa yang belum dilihatnya di Jepang, pikir Yutaka. "O iya Elang. Aku menitip sedikit di saldo rekeningmu ya. Sebagai tanda terimakasih keluarga Kobayashi atas pertolonganmu. Sepertinya sampai mati pun, kami tak akan sanggup kami membalasnya Elang. Terimalah pemberian kami yang sedikit itu ya." Ungkap Yutaka, dengan rasa terimakasih yang tulus pada Elang. "Pak Yutaka. Sungguh hati saya sudah senang, melihat 'kemelut' di keluarga Bapak sudah berlalu. Melihat keluarga Bapak bisa tenang dan bahagi