Share

6. Kekecewaan Anak-Anak

Penulis: Rednis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-28 17:04:32

Ketika aku membuka mata, tampak sebuah pintu kayu di hadapanku. Pintu kayu yang begitu familier dan tiap hari aku lewati. Aku tidak langsung meletakkan tanganku di atas gagang pintu, melainkan melihat sekitar terlebih dahulu dan melihat apa saja yang membuat tanganku terasa berat.

Tangan kiriku sedang membawa piagam penghargaan Book of The Year. Tangan kananku tergantung tas-tas hadiah sambil menggenggam tiga mainan plastik berbentuk kucing yang sedang menggandeng satu sama lain. Aku sedang berdiri di teras sebuah rumah berlantai dua. Mobil Audi 5000S berwarna hitam terparkir di halaman depan dan belum dimasukkan ke dalam bagasi.

Aku pulang, begitu di pikiranku.

Tanpa menunggu lama lagi, aku segera menekan gagang pintu rumah. Lorong yang di ujungnya mengarah ke tangga lantai dua, dan di kirinya ada dapur dan kanannya ada ruang keluarga juga ruang tamu. Aku melangkah cepat ke arah ruang keluarga. Tempat anak-anak biasa menungguku pulang.

Tapi ternyata mereka bertiga tidak ada di ruang keluarga. Ruangan itu tampak rapi. Seperti tidak ada tanda-tanda bahwa ketiganya pernah berada di ruangan itu. Lalu aku menuju dapur dan halaman belakang.

“Rose?” Aku juga memanggil pengasuh triplet. Seorang gadis yang bekerja paruh waktu sebagai pengasuh tiga anakku di kala aku bekerja. “Rose? Di mana kamu?” Aku juga menuju kamar tamu di lantai satu. Tidak ada.

Kakiku bergerak menanjaki anak tangga kayu menuju lantai dua. Di atas juga ada ruangan di depan kamar triplet yang juga biasa digunakan untuk mereka berkreasi. Tetapi, lantai dua juga rapi. Kanvas lukis milik Ethan tak tersentuh, masih tersusun rapi beserta alat lukisnya. Berbagai alat musik seperti klarinet, biola, dan harmonika kesukaan Nathan masih berada di tempatnya. Mainan puzzle dan susun balok kesukaan Ryan tidak berserakan di sekitar karpet. Aku biasanya melihat Rose merapikan barang-barang itu saat aku baru sampai rumah.

Apa aku pulang terlalu malam?

Saat aku tengok jam, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Ah, pantas saja. Mereka pasti sudah tertidur. Tapi kenapa aku tidak menemukan Rose di kamar tamunya?

Aku meletakkan penghargaanku di meja kayu lantai dua juga beberapa tas tentengnya. Aku hendak ke kamar triplet saat tiba-tiba saja pintu kamar triplet terbuka dan keluarlah tiga anakku.

Ryan, si bungsu berambut hitam yang senang mengenakan warna merah atau putih, memiliki manik hitam pula dan wajahnya mengikutiku, namun sifat cerewetnya mengikuti ibunya. Ethan, si sulung berambut pirang ikal bermata biru yang senang dengan warna biru dan hijau, memiliki tahi lalat di ujung mata dan wajahnya mengikuti mamanya, namun sifat kalemnya mengikutiku. Nathan, anak tengah yang merupakan perpaduan dariku dan mamanya, berambut hitam dan bermata biru, tapi paling aktif dan agak ceroboh, penyuka semua warna kecuali merah.

Mereka bertiga keluar dengan jaket tebal masing-masing sambil membawa tas ransel. Wajah mereka tampak murung. Gadis berambut kemerahan ikal, juga keluar dari dalam kamar itu. Dia mengunci kamar itu lalu berkata, “Sebentar lagi Paman kalian datang. Kita tunggu di bawah ya.”

“Paman? Kalian mau ke mana malam-malam begini sama Paman Victor?” Aku bergegas menghampiri mereka.

Ketiganya terbelalak dengan kehadiranku.

“Papa! Rose! Papa masih hidup!” teriak Ryan sambil menarik ujung rok panjang Rose.

“Tentu saja Papa masih—“

“Ryan sayang. Papamu sudah tiada.” Rose memotong ucapanku sambil mengelus pipi tembam Ryan.

“Aku masih hidup—“ ucapanku terpotong lagi saat tertegun mendapati ragaku melewati raga Rose. “Ba-bagaimana bisa?”

“Ayo anak-anak, kita turun.” Rose mengangkat tas lainnya yang mereka bawa.

“Sebentar. Kita mau bawa-bawa barang lain dulu,” kata Ethan.

“Baiklah. Ambil yang ingin sekali dibawa ya.” Gadis itu tersenyum, sebelum melangkah turun ke lantai satu.

“Anak-anak?” Aku coba menyentuh mereka, namun mereka juga tidak bisa disentuh olehku.

“Nathan, Ryan, ambil mainan kesukaan kalian,” pinta Ethan.

“Tapi Papa—“

“Berhenti berhalusinasi, Ryan!” bentak Nathan. “Papa sudah mati! Kamu tidak baca berita di koran-koran?!”

“Nathan, jangan teriak-teriak depan Ryan,” tegur Ethan seraya mengambil sebuah kanvas putih berukuran sedang dan alat-alat lukisnya.

“Tapi Ethan, kamu bisa lihat Papa juga, ‘kan?” tanya Ryan.

“Bisa. Tapi aku sudah menganggapnya tidak ada.” Jawaban dingin Ethan menyesakkan dada.

“Kenapa?” Aku melangkah menghampirinya. “Kenapa kamu menganggapku tidak ada, Ethan?” Aku coba untuk menyentuh pundaknya, namun malah menembusnya. Ragaku terlihat sangat nyata dan aku tidak melayang, tapi aku tidak dapat menyentuh mereka.

Manik biru Ethan tampak tajam ke arahku. “Karena Papa menenggelamkan diri di sungai. Papa tidak mau melihat kami lagi...”

“Kata siapa?” Aku meninggikan suaraku. “Papa tidak ada satu niat pun ingin meninggalkan kalian!”

Nathan membanting kertas koran di sebelahku. “Papa selalu berkata itu setiap kami melihat Papa. Baca sendiri!”

Aku tercengang mendengar bentakan dari Nathan yang setahuku tidak pernah meninggikan suaranya padaku. Kepalaku menunduk, ke arah headline koran yang bertuliskan, ‘Penulis Berbakat J.T Ray Menenggelamkan Diri di Malam Kemenangannya.’

“Siapa yang bilang Papa menenggelamkan diri?” tanyaku cepat sambil melihat satu per satu manik mereka.

“Saksi yang melihat. Siapa lagi?” ketus Nathan.

Aku tidak mengacuhkan perubahan sifat Nathan menjadi temperamen itu. Aku perlu jawaban. “Siapa saksinya?” tanyaku dengan suara tenang.

“Tidak tahu dan tidak disebutkan,” jawab Ethan. “Papa, bisakah Papa pergi dengan tenang sekarang? Aku tidak tega melihat Ryan menangis lagi,” tambahnya.

Aku mengikuti arah pandang Ethan yang berjalan menghampiri Si Bungsu yang duduk memunggungiku dekat tangga. Ethan merangkul pundaknya yang bergetar. Pemandangan yang membuatku ingin ikut menangis juga, tapi aku harus tetap tegar.

“Sudah berapa kali Papa muncul di hadapan kalian?”

Nathan mengambil tas biolanya, lalu menjawabku, “Ini sudah ke-7 kali.”

“Sebanyak itu?” kagetku. “Papa baru pertama kali melihat kalian—“

“Ungkapan yang sama saat kami melihat Papa untuk ke-5 dan ke-6,” potong Nathan. “Itu sebabnya aku sangat marah tiap bertemu Papa biar Papa segera pergi dengan tenang dan berhenti menemui kami.”

“Kalau Papa boleh bertanya, kenapa—“

“Kenapa malah marah? Karena aku sudah benci Papa lebih dulu saat tahu Papa bunuh diri. Itu pertanyaan yang sama dan ini jawaban yang sama yang aku berikan untuk Papa.”

Aku semakin tidak mengerti. Bagaimana tiga anakku sangat mengetahui kemunculanku sedangkan aku sendiri berkomunikasi dengan mereka baru sekarang? Di tengah kebingungan itu, Nathan tidak menungguku untuk bertanya lagi. Dia berjalan begitu saja melewati ragaku dengan tas biolanya untuk mengambil kotak puzzle, lalu berjalan menghampiri dua saudaranya.

“Ayo kita pergi,” kata Nathan seraya menyerahkan kotak puzzle pada Ryan.

“Papa?” Ryan menoleh ke belakang, ke arahku yang masih belum menerima kenyataan.

“Biarkan saja. Papa akan menghilang dengan sendirinya,” jawab Nathan sambil melangkah lebih dulu menuruni tangga.

Ryan menyeka air matanya yang sulit berhenti. Mata sembabnya mengarah padaku. Dari sorot matanya yang menampilkan kekecewaan bercampur kesedihan itu sudah cukup membuatku jatuh berlutut.

“Papa... Papa tidak bunuh diri, Nak...” lirihku. Tidak ada yang menanggapinya. Nathan dan Ryan menuruni tangga lebih dulu. Tinggallah Ethan yang berdiri memunggungiku di ujung tangga.

“Papa sungguh tidak bunuh diri?” Kepala Ethan menoleh sedikit ke arahku.

“Papa tidak pernah tega meninggalkan kalian. Bukti apa lagi yang harus Papa tunjukkan kalau Papa sangat menyayangi kalian?” Aku mengucapkannya dengan mata terasa panas.

“Tapi Paman Victor berkata sebaliknya. Papa selalu mengeluh di depan Paman Victor mengenai kami. Itu sebabnya kami percaya bahwa Papa tidak pernah menginginkan kami.”

Tepat setelah Ethan mengatakan itu, aku merasakan entakkan di dadaku. Mataku langsung terbuka lebar dengan napas memburu.

Pemandangan langit-langit kamar tinggi dengan cahaya temaram dari lampu tidur di nakas adalah pandangan yang pertama aku lihat.

“Tidak. Itu tidak benar,” gumamku.

“Apanya yang tidak benar?”

Jantungku mencelus saat mendengar suara dari kananku. Aku sempat menegang dan berteriak dalam pikiran saat mendapati raga tembus pandang seorang pemuda yang melayang di sebelahku berbaring.

“Tenang! Tidak perlu teriak-teriak!” ucapnya seraya menutup telinga. “Kamu baru bangun. Apa kamu mimpi buruk?”

Aku mengatur napasku sejenak. Pikiranku kembali berjalan. Ingatan-ingatan kembali muncul di permukaan pikiran. Arwah ini bernama Marvin Alexander. Aku sudah mati dan dihidupkan kembali di tubuh dia.

“Jovian? Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali.”

Aku membasahi mataku dengan kedipan beberapa kali. “Aku bermimpi... anak-anakku.”

“Oh, berarti bukan mimpi buruk.” Marvin menyimpulkan.

Aku menggeleng, tapi tetap merebahkan diri. “Mimpi buruk. Anak-anak membenciku.”

“Kenapa?”

“Mereka mengira aku bunuh diri. Mencelakakan diri dan menenggelamkan diri di Sungai Chasmic.”

Marvin melotot. “Jovian tenggelam di Sungai Chasmic?”

“Iya. Kenapa?”

“Itu sungai yang sama aku menenggelamkan diri.”

Aku tidak terlalu terkejut karena sudah menghubung-hubungkan kesempatan yang aku terima ini. “Sudah aku duga. Tapi bedanya, aku tidak menenggelamkan diri. Ada dua orang yang mencelakakanku dan membuatku tenggelam.”

“Iya, iya. Aku tahu.”

Aku bangkit ke duduk saat teringat dengan tujuanku hari ini. “Aku harus ke kamar Papamu. Aku perlu melihat bagaimana perkembangan kasus kematianku.”

“Tidak bisa,” tolak Marvin. Dia menunjuk ke jam dinding. “5 menit lagi, Bi Eva membangunkanmu untuk siap-siap.” Waktu sudah menunjukkan pukul 6 kurang 5 menit.

Aku hanya bisa merutuk. Kehidupan keduaku yang sangat berbeda ini dimulai dalam waktu 5 menit lagi.

Dan benar saja, Eva membuka waktu saat jarum pendek mengarah ke angka 6 pas.

Ya, mungkin saat pulang nanti aku akan mengecek kamar papanya Marvin

Bab terkait

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   7. Konferensi Pers

    Tidak seperti Marvin yang terbiasa dilayani, aku menolak para pelayan yang hendak mendandaniku dan memakaikanku pakaian untuk acara konferensi pers. Aku tidak sudi ada pelayan pria atau wanita yang tidak aku kenal sama sekali menyentuh-nyentuhku. Jadi, semua aku kerjakan sendiri di kamar dengan arahan dari Eva mengenai riasan.Pemakaian tabir surya, lalu ditambah pelembab bibir, alas bedak dan bedak tabur diajari oleh Eva tentang cara pemakaiannya. Satu kali contoh, aku bisa memakainya sendiri. Aku menolak riasan lebih dari ini.Setiap aku bercermin, aku teringat dengan masa mudaku yang penuh percaya diri di bidang tulis-menulis. Aku menyisir rambut sendiri ke belakang setelah ditambah gel rambut. Tampilan yang biasa aku gunakan tiap menghadiri sebuah acara yang berkaitan tentang karya-karyaku.Eva menghampiriku. Tangannya mengambil sisir ramping yang ujungnya agak tajam. Dia menarik garis menggunakan ujung sisir dari arah depan ke belakang, membelah rambut dan membaginya dengan bagia

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-31
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   8. Mencari Kacamata

    Selama di perjalanan menuju universitas tempat Marvin mengemban pendidikan, aku jabarkan satu per satu yang perlu aku siapkan untuk menghadapi dunia yang tidak pernah aku masuki sebelumnya. Pendidikan terakhirku hanya SMA, setelah itu aku fokus untuk menulis.Mobil sedan yang aku tumpangi ini disopiri oleh William Holland, suami Eva sekaligus sopir pribadiku. Terlihat lebih muda dari Eva dan ingin dipanggil Will saja olehku. Will juga sangat santai dan tidak terlalu kaku, jadi dia sering memanggilku Marvin, bukan Tuan Muda Marvin seperti istrinya. Itu informasi sekilas yang aku terima dari Marvin. Sopir pribadi ‘Mama’ dan si kembar juga berbeda. Mereka memiliki mobil masing-masing. Aku tidak peduli Will melihatku aneh karena bicara sendiri atau tidak. Yang penting, aku perlu tahu banyak informasi dari Marvin untuk kehidupan kampusnya ini.Dari catatan yang aku tulis tentang semua kisah singkat kehidupan kampusnya dan daftar nama-nama temannya, aku menyimpulkan bahwa... Marvin ini sang

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-31
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   9. Keraguan

    “Mau dicoba lagi?”Marvin bertanya padaku saat mobil melaju. “Apanya?”“Kemarin. Aku merasuki tubuhmu dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Asal kau tahu, jadwal kemarin berjalan lancar. Aku bisa menjawab pertanyaan wartawan, hasil jepretan foto model jaket terbaru L’Éclatan memuaskan, rektor kampusku setuju untuk bekerja sama dengan penerbit JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis juga berjalan lancar.”“Ughh...” Aku mengusap wajah dan menyandarkan punggungku ke sandaran jok mobil. “Aku benci kehidupanmu, Marvin.”“Aku juga,” sambar Marvin.Aku mengintip di balik sela-sela jari. Arwah Marvin yang tembus pandang, cukup untuk membuatku sadar pada sepasang manik cokelat milik Will yang memperhatikanku dari spion dalam mobil.“Apa ada yang ingin kau sampaikan, Will?” Aku langsung bertanya sambil menjauhkan tanganku dari wajah.“Kamu bukan Marvin Alexander, ‘kan?” tebaknya.Aku melirik pada Marvin dulu. “Kau boleh jujur di depan Will. Dia berpr

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-08
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   10. Hari Pertama Lexicon University

    Aku diturunkan di depan sebuah gerbang besi kecil yang cukup untuk dilalui beberapa orang saja tanpa kendaraan. Will menyarankanku untuk mengenakan kacamata hitam dan topi kupluk. Alasannya dia menurunkanku di sini dan mengenakan kacamata hitam dan topi tersebut agar menghindari para penggemar yang tergila-gila dengan sosok Marvin.Satu hal yang tidak pernah aku dengar dari Marvin lagi, yaitu penggemar. Aku pikir Marvin hanya banyak teman. Nyatanya dia memiliki penggemar perempuan setia yang kata Will terbilang banyak. Aku bisa mengatasi penggemar karena semasa hidupku, aku juga memiliki penggemar setia bukuku. Akan tetapi, masaku dan masa Marvin pasti sangat berbeda dan aku juga tidak bisa membayangkan apakah penggemar era ini masih sopan seperti dulu atau sudah bar-bar.Jika dilihat dari beberapa mahasiswa yang keluar masuk dari gerbang kecil itu untuk sekedar beli jajanan di truk-truk makanan di dekat kampus, sepertinya era ini akan lebih bar-bar.Rambut hijau, biru, ungu, campuran

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-20
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   11. Dominic dan Bayangan Masa Lalu

    Rambut dicat merah terang yang klimis selalu rapi dibiarkan cukup panjang di bagian atas, memberikan kesan pemuda yang stylish. Mata yang tajam dengan iris berwarna hazel mencerminkan kecerdasan dan kewaspadaan yang melampaui usianya adalah ciri sekilas dari sosok Sebastian Bennet.Dengan tinggi badan sedang, Sebastian memiliki postur atletik yang menunjukkan bahwa dia aktif secara fisik. Penampilannya selalu terawat, memadukan gaya klasik dengan sentuhan modern. Dia sering mengenakan kemeja berwarna gelap dengan blazer yang memberikan kesan profesional. Sebastian memiliki reputasi sebagai tangan kanan Dominic yang setia dan mampu mengeksekusi perintah dengan kebrutalan yang memadai.Theodore Francis adalah sosok yang bertolak belakang dengan Sebastian. Dia memiliki penampilan yang lebih kasual dan santai dengan jeans sobek serta hoodie hijaunya yang menutupi tubuh besar—tapi tidak gemuk—nya. Rambut hijau terang gondrongnya memberikan kesan bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan f

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-21
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   12. Kerinduan Istri

    “Ma...Maaf aku terlambat, Lindsey.” Aku menarik kursi dan langsung duduk menyandarkan punggung sambil mengatur napasku yang masih terengah-engah mengejar waktu yang terus meninggalkanku. Sepasang manik saphire yang berada di seberang meja, menatapku. Sempat tertegun dengan kehadiranku, namun setelahnya dia mengulum senyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuatku lupa akan semua masalah yang sedang aku emban—bahkan rasa tidak enakku padanya karena telah datang terlambat di kencan pertama kami, juga perlahan menguap oleh senyum manisnya. “Ini, minumlah dulu.” Gadis itu menggeser segelas air mineral yang tampak segar karena es batunya yang banyak. “Ini milikmu, bukan?” “Iya. Aku membagikannya denganmu, Jovian. Minumlah. Aku tidak mau melihatmu dehidrasi setelah berlari jauh,” jawabnya sambil merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. “Ba-bagaimana kamu tahu aku berlari jauh?” tanyaku sebelum aku meneguk air dingin itu. Sensasi menyegarkan mengalir dari mulut ke tenggorokanku.

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-23
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   13. Wanita Spesial

    Suara Lindsey masih bisa kudengar meski kesadaranku kian meningkat. Air mata mengalir di sepanjang pelipis dari pelupuk mata yang masih terpejam. Aroma menyengat obat-obatan menyeruak masuk ke hidung. Jariku perlahan bergerak dan kelopak mata juga perlahan terangkat. Ada tiga wajah yang familier berdiri di sisi kanan dan kiri tempatku berbaring.“Marvin sadar,” kata Laura.“Cepat panggil perawat!” perintah Avery pada Khari.“Ok!” Dia menuju tombol di samping pintu dan menekannya.Tidak lama kemudian, seorang perawat dan dokter memasuki ruangan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter pria itu sambil mengenakan stetoskop.“Pusing sedikit,” lirihku.Dia menempelkan ujung stetoskop ke dada dan perut. Suster juga mengecek tensi darahku dan mengusap satu tetes air mata yang sempat mengalir. Entah apa lagi yang mereka berdua lakukan dalam proses pengecekan ini, aku sulit untuk mendeskripsikannya lebih lanjut karena perbedaan era pengecekan pasien di jamanku dan jaman sekarang.“Kondisinya sema

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-23
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   14. Teman Sejati dan Teman Palsu

    “Apa itu benar? Avery dan Khari dibayar untuk mengawasiku?”Dibanding menjawab pertanyaan William mengenai kondisiku, aku justru bertanya balik padanya ketika dia baru tiba di klinik.“Benar,” jawab Will. “Apa Marvin memberitahumu?”“Iya.” Aku melirik pada Marvin yang melayang sambil duduk bersila di ujung tempat tidur. Dia mengedikkan bahu. “Kenapa kau membayar mereka untuk mengawasiku? Mengapa tidak mempekerjakan bodyguard yang mumpuni saja?” tanyaku pada Will lagi, tapi pandanganku masih pada Marvin.“Tuan Muda tidak ingin terlihat terlalu mencolok seperti dua kakaknya yang juga mempekerjakan bodyguard.”Ah, sudah kuduga. Itu semua dari kau juga, batinku sambil menatap datar Marvin.“Hey, bukan salahku jika mereka ingin dibeli.” Marvin mengangkat tangan.“Dibeli?” Keningku berkerut. “Avery temanmu dari SMA. Pertemanan itu bukan berdasarkan dari duit saja,” timpalku.Marvin mendecih. “Kau bilang kau penulis melegenda di eramu, bukan? Pasti kau pernah merasakan di puncak karier dan m

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-24

Bab terbaru

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   59. Kepergian Mendadak

    Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   58. Satu Opsi yang Terpilih

    “Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   57. Pilihan Sulit

    Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   56. Cucu dan Menantu

    Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   55. Rencana B

    Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   54. Eksploitasi

    “Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   53. Perpisahan Sementara

    Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   52. Bertemu Penggemar Berat

    Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   51. Drama dalam Drama

    Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan

DMCA.com Protection Status