Tidak seperti Marvin yang terbiasa dilayani, aku menolak para pelayan yang hendak mendandaniku dan memakaikanku pakaian untuk acara konferensi pers. Aku tidak sudi ada pelayan pria atau wanita yang tidak aku kenal sama sekali menyentuh-nyentuhku. Jadi, semua aku kerjakan sendiri di kamar dengan arahan dari Eva mengenai riasan.
Pemakaian tabir surya, lalu ditambah pelembab bibir, alas bedak dan bedak tabur diajari oleh Eva tentang cara pemakaiannya. Satu kali contoh, aku bisa memakainya sendiri. Aku menolak riasan lebih dari ini.
Setiap aku bercermin, aku teringat dengan masa mudaku yang penuh percaya diri di bidang tulis-menulis. Aku menyisir rambut sendiri ke belakang setelah ditambah gel rambut. Tampilan yang biasa aku gunakan tiap menghadiri sebuah acara yang berkaitan tentang karya-karyaku.
Eva menghampiriku. Tangannya mengambil sisir ramping yang ujungnya agak tajam. Dia menarik garis menggunakan ujung sisir dari arah depan ke belakang, membelah rambut dan membaginya dengan bagian rambut lebih banyak ke arah kiri. Lalu dia menyisir sedikit ke arah depan di bagian kiri agar tidak semua rambutnya mengarah ke belakang.
“Ini tampilan terbaru yang saya lihat di internet. Tuan Muda Marvin lebih keren dengan gaya rambut seperti ini,” komentar Eva. Dia tersenyum bangga dengan hasil dari tangan lihainya.
Mulutku sedikit terbuka. Manikku berbinar saat melihat bayanganku di meja rias. Perubahan tatanan rambut yang biasa aku lihat di cermin setiap akan pergi, sudah cukup membuatku terkagum.
“Terima kasih Bi Eva.”
Mata sayunya melengkung mengikuti senyum di bibirnya dan berkata, “Sama-sama. Silakan Tuan Muda Marvin ke meja makan. Sarapan sudah siap.”
Mendengar sarapan sudah siap, cukup membuat diriku seperti dimanja. Aku selalu membuat sarapan untuk diri sendiri dan tiga anakku, hampir tidak pernah membeli makanan atau dibuatkan oleh orang lain. Rose juga tidak pandai memasak dan anak-anak pernah trauma dengan masakannya ketika gadis itu mencoba-coba membuat sebuah masakan. Alhasil, aku harus bangun lebih pagi sebelum bertemu editor penerbit untuk buat sarapan, makan siang, dan makan malam yang semuanya bisa didinginkan di lemari pendingin agar Rose tinggal menghangatkannya di microwave.
Lemari pendingin dan microwave sudah ada di saat aku hidup. Aku penasaran bagaimana perkembangan alat-alat dapur sekarang. Namun sayangnya, aku terus diarahkan ke meja makan di lantai satu yang ternyata meja makan itu berada di ruang makan yang terpisah dari dapur.
Meja panjang yang dilapisi oleh kain satin cokelat mengkilap mengikuti warna kayu meja. Sisi kanan dan kiri meja tersebut masing-masing muat untuk lima kursi kayu dengan bantalan empuk berlapis beludru berwarna merah kecokelatan. Ada dua kursi dengan bantalan empuk berlapis beludru berwarna biru tua yang diletakkan di ujung meja. Sebuah chandelier cantik tergantung di langit-langit tepat di tengah meja makan. Tepat di bawah hiasan langit itu, terdapat hiasan meja makan berupa rangkaian bunga plastik yang didominasi oleh bunga warna merah dibanding warna kuning dan biru di sekitarnya.
Aku tidak terkesan, justru melihat semua ini membuatku mengeluh karena membayangkan berapa banyak benda yang harus dibersihkan ketika berdebu. Meski aku dapat melihat pelayan mondar-mandir membawakan sarapan dan sudah menjadi tugas mereka membersihkan debu di sekitar, aku tetap tidak menyukai keramaian di meja makan ini.
“Kenapa kau berdiri saja di sana? Cepat duduk dan habiskan sarapanmu!” sahut ‘Mama’ yang sudah duduk di ujung kursi. Aku terlalu mengamati sekitar, sampai-sampai tidak sadar kalau wanita dengan riasan tebal di wajahnya serta dua kakak kembar yang riasannya tak kalah tebal dengan mama mereka sudah duduk kursi meja makan.
Pelayan wanita hendak sepiring makanan di samping ‘Mama’ atau di hadapan Vina, namun dicegah oleh perempuan berbandana merah muda itu dengan berkata, “Aku tidak sudi makan di depan dia. Jangan taruh makanan dia di depanku!”
“Sama! Aku juga!” tambah Viona.
“Taruh di ujung sana,” perintah ‘Mama’ sambil menunjuk di ujung meja. Bukan di hadapan kursi biru yang berhadapan dengan wanita itu, melainkan di sebelahnya. Barisan kursi kelima yang jauh dari jangkauan mereka bertiga.
Untuk sekarang, aku diam saja. Suasana hatiku sedang cukup baik di pagi ini sehingga aku masih bisa bersabar menghadapi mereka. Selain itu, sarapan pagi yang disajikan juga lebih dari cukup untuk meredam rasa benci atas diskriminasi. Hidangan utama terdiri dari bacon, sosis, telur, puding, kacang panggang, tomat, jamur, dan roti panggang. Minuman yang menemani sarapan pagi ini berupa teh hitam dengan susu cair dan sedikit madu sehingga rasanya tidak terlalu pahit. Aku tidak pernah menikmati sarapan pagi selengkap dan seenak ini.
“Wah, kau seperti sedang menyantap makanan terlezat di dunia,” komentar Marvin yang tampak duduk di meja makan hadapanku.
“Apa terlihat sejelas itu?”
“Iya. Kau selalu tersenyum setiap menyuap tiap bagian makanan itu.”
“Tapi nyatanya memang ini enak. Aku biasanya—“
“Ma, lihat, Ma. Dia bicara sendiri,” tunjuk Viona padaku.
“Kemarin malam dia juga teriak-teriak sendiri di kamarnya. Padahal tidak ada siapa-siapa di sana,” tambah Vina.
Oh sial. Aku lupa dengan kehadiran mereka.
Alis pirang wanita itu tampak hampir menyatu di pangkal hidung. “Kau bicara dengan siapa?” tanyanya padaku.
Aku memandang Marvin di hadapanku sekilas. Dia menggeleng, memperingatiku untuk tidak memberitahu keberadaannya meski mereka tidak bisa melihatnya. “Teman imajinasiku,” jawabku.
“Teman imajinasi? Kau gila, ya?” seru Viona dengan suara tinggi.
“Aku akan menyalahkan semua tindakan kalian padaku jika aku memang kalian anggap gila.”
“Jovian!” Marvin melotot padaku. “Ini masih pagi! Jangan buat mereka marah!”
“Aku bicara apa adanya dan tidak bermaksud menyinggung. Jika mereka marah, itu kembali pada mereka yang sangat payah mengatur emosi mereka.” Aku menjawab sambil mengarah pada Marvin.
“Marvin Alexander!” bentak ‘Mama’. “Jangan coba-coba kau bicara sendiri di hadapan wartawan! Sekali kau buka suara di depan wartawan dan keluar dari naskah yang sudah disiapkan untuk kau, jangan harap kau bisa keluar dari gudang selama dua hari penuh dan semua jadwalmu akan aku batalkan! Mengerti?”
Aku hendak suara untuk membantah lagi, namun Marvin sudah menyela. “Kau mau bertemu anak-anakmu, ‘kan, Jovian?”
Iya. Aku sangat menginginkan bertemu mereka.
“Jika begitu, ikuti aturan dalam kehidupanku ini dan jangan coba-coba membangkang. Aku tidak punya relasi di luar rumah ini dan aku yakin kau tidak bisa bertahan hidup cukup lama jika memilih keluar rumah.”
Aku diam saja. Pandanganku ke arah piring sarapan yang menyisakan bacon dan roti panggang yang tinggal sedikit. Jika Marvin sudah memperingati demikian, aku memang perlu bersabar lagi dan mengikuti apa saja yang sudah diperintahkan meski diriku memberontak atas ketidakadilan yang terjadi pada kehidupan baruku.
“Apa kau mengerti, Marvin Alexander?!” tanya ‘Mama’ dengan suara lebih tinggi.
“Mengerti, Ma. Maaf,” ucapku.
Seorang pelayan wanita tiba di samping ‘Mama’ dan berkata bahwa wartawan sudah tiba di gerbang rumah. Aku pun disuruh bergegas untuk menyelesaikan santapan pagi ini dan bersiap untuk memasang topeng senyum saat dihadapkan kamera. Tidak lupa sebuah kertas berisi tulisan-tulisan yang harus aku hafalkan dan sampaikan kepada para wartawan. Tulisan yang terlalu banyak serta kacamata yang sampai sekarang belum aku dapatkan, cukup untuk membuatku berimajinasi melihat huruf-huruf di tulisan itu seperti menari-nari.
“Marvin, aku tidak bisa menghafal sebanyak ini dalam waktu singkat,” bisikku sambil duduk di kursi tempat konferensi pers itu akan berlangsung. Sebuah aula dekat tangga lantai dua sudah diatur sedemikian mungkin agar bisa menerima banyak orang dengan kamera-kameranya.
“Letakkan kertas itu di pangkuanmu. Aku akan bacakan itu untukmu.”
Meja di hadapanku yang dijadikan tempat diletakkannya mic-mic wartawan ditutup oleh kain bercorak, sehingga aku bisa meletakkan kertas itu dengan leluasa. Susunan duduk di meja panjang itu ada ‘Mama’ ujung sebelah kiri, Vina di sebelah kanannya, Viona sebelah kanannya, dan aku ujung paling kanan.
Tidak lama kemudian, para wartawan berkerubung memasuki rumah menuju tempat kami duduk. Ada tiga pelayan pria yang mengarahkan para wartawan itu untuk tidak melewati batas yang sudah dibuat. Ada sekitar 15 wartawan dengan kamera di tangannya dan beberapa teknologi yang belum aku kenali betul yang bernama smartphone.
Jovian, tenang saja, Jovian. Kamu bisa menjawab semua pertanyaan. Anggap saja ini... Anggap saja mereka para penggemar yang ingin bertanya lebih lanjut mengenai progres tulisanmu, batinku. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan banyak orang yang memasang mata padaku, tapi dadaku tetap saja berdegup cukup cepat. Tangan di pangkuanku berkeringat dan terasa dingin. Aku menggesekkan antar kuku jari tangan hingga ada sedikit bagian kuku panjang yang terpotong, sehingga tiap ujung jariku ini tampak tidak rapi.
Suara orang-orang di sekitarku terdengar seperti bicara di dalam air. Aku tidak mendengar begitu jelas topik yang sedang diangkat dan apa saja yang mereka bicarakan. Tiap kilatan kamera seperti sebuah bogem mentah yang terus menghantam wajah. Padahal, kilatan itu juga sudah beberapa kali pernah aku temui saat tulisan-tulisanku melejit dan memenangkan banyak penghargaan. Namun kali ini, kilatan kamera itu justru tampak jauh lebih silau dari yang pernah aku temui. Seakan tiap partikel cahayanya dapat aku rasakan di tiap inci kulit wajahku.
“Jovian. Kau pucat sekali. Kau baik-baik saja?” suara Marvin terdengar jelas dari arah kananku. “Wartawan redaksi bertanya padamu. Kau jawab sesuai naskah ini. Biar aku bantu dikte.”
Setelah Marvin berkata demikian, aku tidak mendengar suara Marvin dengan jelas. Lagi-lagi suaranya seperti sedang bicara di bawah air. Pandanganku semakin buram. Semua indraku mendadak mati rasa dan hanya gelap yang aku lihat di sekitarku.
Di detik berikutnya, aku membuka mata untuk menemukan diriku di sebuah ruangan dengan lampu temaram dan sedang berbaring di tempat yang empuk dan nyaman.
“Aghh...” Aku meringis merasakan sakit di kepala. Aku coba bangkit ke duduk, namun kepalaku terasa seperti berputar. Tubuhku oleng. Aku berusaha menahan tubuh dengan menyandarkan dua tangan ke belakang.
“Akhirnya kau bangun juga!”
Aku mendengar suara dari arah pintu. Sosok arwah yang menembus banyak benda itu menghampiriku dan duduk melayang di sebelahku. “Apa yang terjadi?”
“Sepertinya kau pingsan.”
“Pingsan?”
“Iya. Dan entah bagaimana, aku bisa merasuki tubuhmu lalu menjalani jadwal satu hari ini,” jawab Marvin. “Tetapi aku tidak menyangka kalau kau akan pingsan selama ini. Saat aku ingin meninggalkan tubuhmu itu, kau terlihat pucat lagi dan seperti mau pingsan. Jadi aku harus berada di tubuhmu terus sampai malam tiba.”
Aku memijat batang hidungku, menekan rasa nyeri yang masih menyelimuti kepalaku. “Kau berkata demikian seolah ini bukan tubuhmu.”
“Aku sudah mati dan itu menjadi tubuhmu. Kau tidak perlu menjelaskan kenapa bisa pingsan. Sebelum kau pingsan, aku sudah mendengar cukup banyak isi pikiranmu. Kau sangat gugup menghadapi banyak orang tanpa persiapan. Cemas berlebihan. Apa kau punya semacam fobia sosial?”
Sosok Marvin menjadi buram. Sekitarku juga sama. Buram dan memunculkan bayangan seakan apa yang aku lihat itu ada dua. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan apa, karena sudah teralihkan dengan pandanganku yang sulit untuk mengamati rupanya. “Marvin.”
“Ya?”
“Besok, bantu aku mencari toko kacamata. Aku membutuhkan itu.”
“Tapi besok sudah hari Senin.”
“Lalu?”
“Besok kamu ada kelas penelitian di kampus untuk tugas akhir.”
Selama di perjalanan menuju universitas tempat Marvin mengemban pendidikan, aku jabarkan satu per satu yang perlu aku siapkan untuk menghadapi dunia yang tidak pernah aku masuki sebelumnya. Pendidikan terakhirku hanya SMA, setelah itu aku fokus untuk menulis.Mobil sedan yang aku tumpangi ini disopiri oleh William Holland, suami Eva sekaligus sopir pribadiku. Terlihat lebih muda dari Eva dan ingin dipanggil Will saja olehku. Will juga sangat santai dan tidak terlalu kaku, jadi dia sering memanggilku Marvin, bukan Tuan Muda Marvin seperti istrinya. Itu informasi sekilas yang aku terima dari Marvin. Sopir pribadi ‘Mama’ dan si kembar juga berbeda. Mereka memiliki mobil masing-masing. Aku tidak peduli Will melihatku aneh karena bicara sendiri atau tidak. Yang penting, aku perlu tahu banyak informasi dari Marvin untuk kehidupan kampusnya ini.Dari catatan yang aku tulis tentang semua kisah singkat kehidupan kampusnya dan daftar nama-nama temannya, aku menyimpulkan bahwa... Marvin ini sang
“Mau dicoba lagi?”Marvin bertanya padaku saat mobil melaju. “Apanya?”“Kemarin. Aku merasuki tubuhmu dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Asal kau tahu, jadwal kemarin berjalan lancar. Aku bisa menjawab pertanyaan wartawan, hasil jepretan foto model jaket terbaru L’Éclatan memuaskan, rektor kampusku setuju untuk bekerja sama dengan penerbit JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis juga berjalan lancar.”“Ughh...” Aku mengusap wajah dan menyandarkan punggungku ke sandaran jok mobil. “Aku benci kehidupanmu, Marvin.”“Aku juga,” sambar Marvin.Aku mengintip di balik sela-sela jari. Arwah Marvin yang tembus pandang, cukup untuk membuatku sadar pada sepasang manik cokelat milik Will yang memperhatikanku dari spion dalam mobil.“Apa ada yang ingin kau sampaikan, Will?” Aku langsung bertanya sambil menjauhkan tanganku dari wajah.“Kamu bukan Marvin Alexander, ‘kan?” tebaknya.Aku melirik pada Marvin dulu. “Kau boleh jujur di depan Will. Dia berpr
Aku diturunkan di depan sebuah gerbang besi kecil yang cukup untuk dilalui beberapa orang saja tanpa kendaraan. Will menyarankanku untuk mengenakan kacamata hitam dan topi kupluk. Alasannya dia menurunkanku di sini dan mengenakan kacamata hitam dan topi tersebut agar menghindari para penggemar yang tergila-gila dengan sosok Marvin.Satu hal yang tidak pernah aku dengar dari Marvin lagi, yaitu penggemar. Aku pikir Marvin hanya banyak teman. Nyatanya dia memiliki penggemar perempuan setia yang kata Will terbilang banyak. Aku bisa mengatasi penggemar karena semasa hidupku, aku juga memiliki penggemar setia bukuku. Akan tetapi, masaku dan masa Marvin pasti sangat berbeda dan aku juga tidak bisa membayangkan apakah penggemar era ini masih sopan seperti dulu atau sudah bar-bar.Jika dilihat dari beberapa mahasiswa yang keluar masuk dari gerbang kecil itu untuk sekedar beli jajanan di truk-truk makanan di dekat kampus, sepertinya era ini akan lebih bar-bar.Rambut hijau, biru, ungu, campuran
Rambut dicat merah terang yang klimis selalu rapi dibiarkan cukup panjang di bagian atas, memberikan kesan pemuda yang stylish. Mata yang tajam dengan iris berwarna hazel mencerminkan kecerdasan dan kewaspadaan yang melampaui usianya adalah ciri sekilas dari sosok Sebastian Bennet.Dengan tinggi badan sedang, Sebastian memiliki postur atletik yang menunjukkan bahwa dia aktif secara fisik. Penampilannya selalu terawat, memadukan gaya klasik dengan sentuhan modern. Dia sering mengenakan kemeja berwarna gelap dengan blazer yang memberikan kesan profesional. Sebastian memiliki reputasi sebagai tangan kanan Dominic yang setia dan mampu mengeksekusi perintah dengan kebrutalan yang memadai.Theodore Francis adalah sosok yang bertolak belakang dengan Sebastian. Dia memiliki penampilan yang lebih kasual dan santai dengan jeans sobek serta hoodie hijaunya yang menutupi tubuh besar—tapi tidak gemuk—nya. Rambut hijau terang gondrongnya memberikan kesan bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan f
“Ma...Maaf aku terlambat, Lindsey.” Aku menarik kursi dan langsung duduk menyandarkan punggung sambil mengatur napasku yang masih terengah-engah mengejar waktu yang terus meninggalkanku. Sepasang manik saphire yang berada di seberang meja, menatapku. Sempat tertegun dengan kehadiranku, namun setelahnya dia mengulum senyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuatku lupa akan semua masalah yang sedang aku emban—bahkan rasa tidak enakku padanya karena telah datang terlambat di kencan pertama kami, juga perlahan menguap oleh senyum manisnya. “Ini, minumlah dulu.” Gadis itu menggeser segelas air mineral yang tampak segar karena es batunya yang banyak. “Ini milikmu, bukan?” “Iya. Aku membagikannya denganmu, Jovian. Minumlah. Aku tidak mau melihatmu dehidrasi setelah berlari jauh,” jawabnya sambil merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. “Ba-bagaimana kamu tahu aku berlari jauh?” tanyaku sebelum aku meneguk air dingin itu. Sensasi menyegarkan mengalir dari mulut ke tenggorokanku.
Suara Lindsey masih bisa kudengar meski kesadaranku kian meningkat. Air mata mengalir di sepanjang pelipis dari pelupuk mata yang masih terpejam. Aroma menyengat obat-obatan menyeruak masuk ke hidung. Jariku perlahan bergerak dan kelopak mata juga perlahan terangkat. Ada tiga wajah yang familier berdiri di sisi kanan dan kiri tempatku berbaring.“Marvin sadar,” kata Laura.“Cepat panggil perawat!” perintah Avery pada Khari.“Ok!” Dia menuju tombol di samping pintu dan menekannya.Tidak lama kemudian, seorang perawat dan dokter memasuki ruangan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter pria itu sambil mengenakan stetoskop.“Pusing sedikit,” lirihku.Dia menempelkan ujung stetoskop ke dada dan perut. Suster juga mengecek tensi darahku dan mengusap satu tetes air mata yang sempat mengalir. Entah apa lagi yang mereka berdua lakukan dalam proses pengecekan ini, aku sulit untuk mendeskripsikannya lebih lanjut karena perbedaan era pengecekan pasien di jamanku dan jaman sekarang.“Kondisinya sema
“Apa itu benar? Avery dan Khari dibayar untuk mengawasiku?”Dibanding menjawab pertanyaan William mengenai kondisiku, aku justru bertanya balik padanya ketika dia baru tiba di klinik.“Benar,” jawab Will. “Apa Marvin memberitahumu?”“Iya.” Aku melirik pada Marvin yang melayang sambil duduk bersila di ujung tempat tidur. Dia mengedikkan bahu. “Kenapa kau membayar mereka untuk mengawasiku? Mengapa tidak mempekerjakan bodyguard yang mumpuni saja?” tanyaku pada Will lagi, tapi pandanganku masih pada Marvin.“Tuan Muda tidak ingin terlihat terlalu mencolok seperti dua kakaknya yang juga mempekerjakan bodyguard.”Ah, sudah kuduga. Itu semua dari kau juga, batinku sambil menatap datar Marvin.“Hey, bukan salahku jika mereka ingin dibeli.” Marvin mengangkat tangan.“Dibeli?” Keningku berkerut. “Avery temanmu dari SMA. Pertemanan itu bukan berdasarkan dari duit saja,” timpalku.Marvin mendecih. “Kau bilang kau penulis melegenda di eramu, bukan? Pasti kau pernah merasakan di puncak karier dan m
Sialan. Lagi-lagi aku dibuat jalan sendiri oleh Marvin yang kabur begitu saja. Aku tidak melihat tanda-tanda arwah itu melayang saat aku berada di luar klinik. Untungnya Will mau mengantarku hingga ke depan kafe Mocha Matcha yang terletak dekat jalan utama lalu lintas Bus LU. Setelah mengucapkan terima kasih, aku keluar dari mobil sedan hitam ini.Aku tidak tahu banyak tentang Kafe Mocha Matcha, namun katanya kafe itu adalah destinasi populer bagi mahasiswa fakultas MIPA dan Teknik, yang mencari tempat nyaman untuk nongkrong dan bersantai yang lumayan dekat dari dua fakultas itu. Kafe ini menawarkan pengalaman unik dengan desain berlantai dua yang modern dan atmosfer yang hangat.Fasad kafe ini terbuat dari kaca besar yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam ruangan, menciptakan suasana terang dan segar. Logo kafe yang khas berbentuk cangkir dan daun dengan kombinasi warna cokelat dan hijau menarik perhatian pengunjung sejak mereka melangkah masuk.Setelah memasuki kafe, pengunju
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan