Rambut dicat merah terang yang klimis selalu rapi dibiarkan cukup panjang di bagian atas, memberikan kesan pemuda yang stylish. Mata yang tajam dengan iris berwarna hazel mencerminkan kecerdasan dan kewaspadaan yang melampaui usianya adalah ciri sekilas dari sosok Sebastian Bennet.Dengan tinggi badan sedang, Sebastian memiliki postur atletik yang menunjukkan bahwa dia aktif secara fisik. Penampilannya selalu terawat, memadukan gaya klasik dengan sentuhan modern. Dia sering mengenakan kemeja berwarna gelap dengan blazer yang memberikan kesan profesional. Sebastian memiliki reputasi sebagai tangan kanan Dominic yang setia dan mampu mengeksekusi perintah dengan kebrutalan yang memadai.Theodore Francis adalah sosok yang bertolak belakang dengan Sebastian. Dia memiliki penampilan yang lebih kasual dan santai dengan jeans sobek serta hoodie hijaunya yang menutupi tubuh besar—tapi tidak gemuk—nya. Rambut hijau terang gondrongnya memberikan kesan bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan f
“Ma...Maaf aku terlambat, Lindsey.” Aku menarik kursi dan langsung duduk menyandarkan punggung sambil mengatur napasku yang masih terengah-engah mengejar waktu yang terus meninggalkanku. Sepasang manik saphire yang berada di seberang meja, menatapku. Sempat tertegun dengan kehadiranku, namun setelahnya dia mengulum senyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuatku lupa akan semua masalah yang sedang aku emban—bahkan rasa tidak enakku padanya karena telah datang terlambat di kencan pertama kami, juga perlahan menguap oleh senyum manisnya. “Ini, minumlah dulu.” Gadis itu menggeser segelas air mineral yang tampak segar karena es batunya yang banyak. “Ini milikmu, bukan?” “Iya. Aku membagikannya denganmu, Jovian. Minumlah. Aku tidak mau melihatmu dehidrasi setelah berlari jauh,” jawabnya sambil merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. “Ba-bagaimana kamu tahu aku berlari jauh?” tanyaku sebelum aku meneguk air dingin itu. Sensasi menyegarkan mengalir dari mulut ke tenggorokanku.
Suara Lindsey masih bisa kudengar meski kesadaranku kian meningkat. Air mata mengalir di sepanjang pelipis dari pelupuk mata yang masih terpejam. Aroma menyengat obat-obatan menyeruak masuk ke hidung. Jariku perlahan bergerak dan kelopak mata juga perlahan terangkat. Ada tiga wajah yang familier berdiri di sisi kanan dan kiri tempatku berbaring.“Marvin sadar,” kata Laura.“Cepat panggil perawat!” perintah Avery pada Khari.“Ok!” Dia menuju tombol di samping pintu dan menekannya.Tidak lama kemudian, seorang perawat dan dokter memasuki ruangan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter pria itu sambil mengenakan stetoskop.“Pusing sedikit,” lirihku.Dia menempelkan ujung stetoskop ke dada dan perut. Suster juga mengecek tensi darahku dan mengusap satu tetes air mata yang sempat mengalir. Entah apa lagi yang mereka berdua lakukan dalam proses pengecekan ini, aku sulit untuk mendeskripsikannya lebih lanjut karena perbedaan era pengecekan pasien di jamanku dan jaman sekarang.“Kondisinya sema
“Apa itu benar? Avery dan Khari dibayar untuk mengawasiku?”Dibanding menjawab pertanyaan William mengenai kondisiku, aku justru bertanya balik padanya ketika dia baru tiba di klinik.“Benar,” jawab Will. “Apa Marvin memberitahumu?”“Iya.” Aku melirik pada Marvin yang melayang sambil duduk bersila di ujung tempat tidur. Dia mengedikkan bahu. “Kenapa kau membayar mereka untuk mengawasiku? Mengapa tidak mempekerjakan bodyguard yang mumpuni saja?” tanyaku pada Will lagi, tapi pandanganku masih pada Marvin.“Tuan Muda tidak ingin terlihat terlalu mencolok seperti dua kakaknya yang juga mempekerjakan bodyguard.”Ah, sudah kuduga. Itu semua dari kau juga, batinku sambil menatap datar Marvin.“Hey, bukan salahku jika mereka ingin dibeli.” Marvin mengangkat tangan.“Dibeli?” Keningku berkerut. “Avery temanmu dari SMA. Pertemanan itu bukan berdasarkan dari duit saja,” timpalku.Marvin mendecih. “Kau bilang kau penulis melegenda di eramu, bukan? Pasti kau pernah merasakan di puncak karier dan m
Sialan. Lagi-lagi aku dibuat jalan sendiri oleh Marvin yang kabur begitu saja. Aku tidak melihat tanda-tanda arwah itu melayang saat aku berada di luar klinik. Untungnya Will mau mengantarku hingga ke depan kafe Mocha Matcha yang terletak dekat jalan utama lalu lintas Bus LU. Setelah mengucapkan terima kasih, aku keluar dari mobil sedan hitam ini.Aku tidak tahu banyak tentang Kafe Mocha Matcha, namun katanya kafe itu adalah destinasi populer bagi mahasiswa fakultas MIPA dan Teknik, yang mencari tempat nyaman untuk nongkrong dan bersantai yang lumayan dekat dari dua fakultas itu. Kafe ini menawarkan pengalaman unik dengan desain berlantai dua yang modern dan atmosfer yang hangat.Fasad kafe ini terbuat dari kaca besar yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam ruangan, menciptakan suasana terang dan segar. Logo kafe yang khas berbentuk cangkir dan daun dengan kombinasi warna cokelat dan hijau menarik perhatian pengunjung sejak mereka melangkah masuk.Setelah memasuki kafe, pengunju
Perpustakaan Pusat Lexicon adalah sebuah monumen gemilang yang menjadi pusat intelektual dan pengetahuan di kampus terbesar ini. Dengan kemegahan bangunannya yang menjulang setinggi 24 lantai, perpustakaan ini menonjol di tengah kampus, menunjukkan dedikasi universitas terhadap pendidikan dan penelitian. Perpustakaan itu memiliki empat lantai lebih tinggi dari gedung rektor yang berada di seberangnya. Perpustakaan dan gedung rektor dipisahkan oleh Green Lake—danau alami sebesar lapangan bola yang dimiliki kampus. Penampakan luar perpustakaan didesain dengan bangunan modern yang menciptakan kesan futuristik dan elegan. Kaca-kaca besar di beberapa lantainya memungkinkan cahaya sore dan pagi memasuki ruang baca dan membuat atmosfir yang terang dan menyegarkan. Taman kecil di sekitar perpustakaan menambah suasana damai dan nyaman bagi para pengunjung. Ada pengunjung lokal yang merupakan warga kampus, dan pengunjung umum yang berasal dari luar Universitas Lexicon. Keduanya memiliki jenis
“Jovian, ini Simon Mackenzie, adik satu tingkat di bawahku yang paling aku percaya. Dia punya indra ke-6. Jadi dia bisa melihatku dan arwah-arwah lainnya. Aku belum pernah menceritakan dia padamu sebelumnya. Aku ingin kamu melihat Simon sendiri.” Marvin menunjuk ke arah pemuda itu. “Simon, ini—oh ya. Kau gak bisa dengar aku,” kata Marvin. “Gak bisa dengar kau?” heranku. “Ya. Dia hanya bisa melihat, gak bisa dengar,” jawab Marvin. “Marvin bicara apa?” tanya Simon dengan pandangan ke arah arwah itu. “Dia memperkenalkanku padamu,” jawabku. Aku menjulurkan tangannya dan coba untuk bersikap sedikit ramah dengan tersenyum tipis padanya. “Aku Jovian Timothy Ray. Kamu Simon Mackenzie, ‘kan?” Tangannya yang dibalut sarung tangan kelabu itu sempat melayang untuk menjabat tanganku, namun saat mendengar namaku, dia tidak jadi untuk menjabatku. “Jovian Timothy Ray? Kau ... J.T Ray?” “Iya. Kau mengenalku?” Aku semringah padanya. Tangannya diturunkan. Lalu dia berkata sambil menunjukku, “Kau
Ting.Saat pintu lift terbuka, aku keluar dengan langkah hati-hati—belum terbiasa dengan alat pembawa manusia ini. Akhirnya aku tiba di lantai tujuan.Aku menyusuri lorong pendek menuju pintu lantai 7. Ada seorang pria yang menjaga pintu itu, seperti di lantai 19, hanya saja pria ini berbeda dari pria di lantai 19—tentu saja. Berbeda dengan lantai 19, kali ini aku harus menempelkan kartu di pintu sebelum aku bisa mengaksesnya. Aku tahu itu setelah melihat ada satu mahasiswa yang ingin masuk ke dalam ruangan tersebut.Monumen khusus untuk menghormati penulis legenda yang telah tiada, J.T. Ray, berdiri megah di lantai 7 Perpustakaan Pusat Universitas Lexicon. Monumen ini merupakan titik fokus yang memancarkan kehormatan dan mengabadikan warisan kreatif J.T. Ray dalam dunia literasi.Monumen ini didesain dengan penuh rasa penghargaan terhadap karya-karya monumental Sang Penulis. Di tengah ruangan, terdapat patung perunggu J.T. Ray yang duduk di meja kerjanya yang penuh dengan naskah-nask
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan