“Pertama, kita bereskan dulu kamar ini.”
“Kita?” bingung Marvin.
“Oh, ya. Kau hantu.” Aku menumpuk beberapa buku sebelum diletakkan di rak.
“Kenapa tidak minta bantu Bi Eva?”
Aku menatapnya heran. “Jadi kau biasa diurus sama Bi Eva?” tanyaku sambil melanjutkan mengambil buku-buku yang masih berserakan.
“Iya. Memang tugasnya.”
“Tunggu. Jangan-jangan kau tidak mengenal kata mandiri?” Aku berpura-pura terkejut,
“Aku tahu, Pak Tua. Cuman ‘kan... aku tidak biasa beres-beres kamar. Apalagi kalau sudah diacak-acak mereka. Terus besok aku punya jadwal padat. Pasti sudah capek duluan kalau—“
“Jangan banyak alasan. Kau sudah jadi hantu. Ini kehidupanku. Kau lupa?” potongku. “Kalau kau mau mengeluh dan menggangguku beres-beres kamar, sebaiknya kau di luar.”
Marvin mendengus. “Aku kira kau ingin beradaptasi dengan kehidupanku.”
Setelah bagian rak buku selesai, aku berhenti sejenak dan mengarah padanya sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Memang. Tapi ada penyesuaian dengan kehidupanku juga. Jika berinteraksi dengan orang di sekitarmu, aku akan mengikuti informasi dan perintah darimu. Tapi jika interaksi dengan orang-orang itu berakhir buruk, aku harus turut andil. Papa yang baik tidak akan membiarkan anaknya bertemu orang-orang jahat.” Aku mengucapnya penuh kebanggaan sambil menunjuk diri sendiri.
“Aku bukan anakmu, Pak Tua.”
“Tidak. Ucapan itu ditunjukkan untuk diri sendiri. Lebih tepatnya, tubuh baru ini. Sekaligus, aku tunjukkan padamu bagaimana seharusnya menghadapi masalah.” Aku menuju bagian lemari untuk memasukkan pakaian-pakaian yang tersebar.
Marvin melihatku bagaimana aku melipat pakaian dan memasukkannya ke lemari. “Tubuhku tidak tahu bagaimana melipat pakaian.”
“Bukan tubuhmu, tapi pikiranmu. Tubuh hanya wadah.” Aku tersenyum tipis melihat pemuda itu terkesan dengan aku melipat pakaian saja. Ekspresinya itu kadang mengingatkanku pada anak kembarku yang terkagum saat melihat aku menunjukkan aksi membalikkan telur ceplok dengan cara dilempar tanpa bantuan sendok.
“Kau bisa melakukan aksi itu juga?”
“Aksi apa?”
“Membalikkan telur ceplok sambil dilempar. Kau bisa?” cecarnya dengan mata berbinar.
Sial. Aku sering lupa kalau dia bisa membaca apa pun yang aku pikirkan. “Oh, bisa. Aku juga bisa memasak beberapa makanan tanpa bantuan pelayan.”
“Wow... kehidupanmu pasti berkesan sekali.”
“Kehidupanku berkesan setelah menikah dan memiliki tiga anak sekaligus. Meski harus dibayar dengan nyawa istriku.”
Wajah berbinarnya lenyap, digantikan dengan wajah iba. “Turut berduka cita. Kalau boleh tahu, istrimu meninggal karena apa?”
“Saat melahirkan Ethan, Nathan, dan Ryan. Pesan terakhirnya, dia mengharapkanku terus hidup dan mengurus triplet dengan sepenuh hati.” Tumpukan baju yang sudah aku lipat, aku masukkan ke dalam lemari. “Itu sebabnya aku sangat berdedikasi mencari tiga anakku... Sekaligus pembunuhku.”
“Apa perlu aku bantu?”
Aku berkerut padanya. “Bagaimana kau bisa membantuku?”
Dia mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu.”
Aku mendesah. “Selain tentang kehidupanmu, kau banyak tidak tahunya.”
“Itu sebabnya aku bilang kehidupanku terkekang di sini. Jadi, banyak tidak tahunya.”
“Itu bukan alasan, Marvin Alexander.” Alat-alat tulis yang berserakan, aku pungut kembali. “Kau harus punya tekad.”
“Bagaimana aku punya tekad sedangkan dari kecil aku sudah dipaksa dan disiksa? Kau enak bisa bebas melakukan apa saja dan menjalani kehidupan sesuai yang kau inginkan. Sedangkan aku? Keluargaku tiap hari disorot kamera kecuali tengah malam begini. Tim produksi acara TV sampai menginap di rumah kami berbulan-bulan demi acara mereka. Aku... aku tidak... punya kebebasan...”
Lagi-lagi aku mendengar isak keluar darinya. Aku menghembus napas panjang. Sepertinya aku terlalu keras padanya, begitu pikirku. Setelah aku meletakkan alat-alat tulis ke kotaknya, aku menjeda sejenak beres-beresku kemudian duduk di tepi ranjang di sebelahnya.
“Umur berapa kamu mendapat penyiksaan itu?” tanyaku pelan.
“Aku tidak begitu ingat. Tapi kata Bi Eva, sekitar umur 6 tahun. Bi Eva melihat Mama membantingku beberapa kali sebagai pelampiasan stres. Dia segera berteriak minta tolong sambil menahan Mama. Katanya, beberapa pelayan membantu menahannya agar dia bisa memanggil ambulans. Katanya juga, aku dalam kondisi kritis saat itu dan mengalami koma selama beberapa bulan. Tapi anehnya, media TV malah bilang kalau aku jatuh dari tangga. Begitu banyak yang ditutupi di depan TV. Lalu umur 12 tahun, Vina dan Viona menunjukkan ketidaksukaan mereka padaku di sekolah dan di rumah. Mereka berdua terkenal di sekolah. Punya geng. Sangat ditakuti. Jika mereka memerintahkan yang lain untuk menjauhiku, mereka akan lakukan. Seolah semua siswa itu adalah bawahannya.”
Aku mendengar kisahnya dengan seksama. Berusaha mungkin untuk tidak berpikir yang macam-macam, apalagi membanding-bandingkan antara eranya dengan era perang dunia kedua di jamanku agar tidak didengar oleh Marvin. Oh, sial. Aku baru saja membandingkannya.
“Tidak apa. Aku tahu semua punya kesulitan masing-masing,” kata Marvin. Ah, benar saja dia membacaku.
“Maaf. Tolong lanjutkan,” pintaku.
“Kemudian,” Dia melanjutkan, “Papa pernah mengajukan surat cerai pada Mama saat aku mengadu perbuatan Mama ke Papa. Saat itu aku melihat sendiri bagaimana Mama sampai mencium kaki Papa agar dia tidak diceraikan. Papa sempat meminta pendapat padaku, tapi aku... aku bodoh sekali. Aku sering mengutuk perasaan lembutku pada wanita yang menangis di hadapanku. Saat itu aku memaafkan Mama. Umurku sudah 15 tahun ketika itu.”
Aku hendak merangkulnya, tapi tubuhku malah terhuyung ke samping melewati tubuhnya. “Oh, maaf. Aku ingin merangkulmu, tapi lupa kalau kamu itu hantu,” ucapku rada malu.
Marvin tertawa sekilas seraya menyeka air matanya. “Tidak apa. Aku hargai itu, Pak Jovian.”
“Jangan panggil Pak Jovian. Panggil Jovian saja.”
“Ok, Jovian.”
“Kalau aku boleh bertanya. Apa sampai saat ini, kamu tidak tahu kenapa Mamamu dan dua kakakmu benci denganmu?”
Dia menggeleng. “Dugaanku, mereka ingin menyingkirkanku dari keluarga. Karena desas-desus Papa akan memberikan sebagian besar warisan sekaligus percetakan kepadaku. Satu-satunya anak laki-laki.”
“Desas-desus? Berarti kamu belum mengkonfirmasinya?”
“Belum. Papaku sama sibuknya denganku mengurus percetakan.”
“Baiklah. Nanti aku coba tanyakan,” kataku.
“Jangan sekarang. Papa masih di rumah sakit. Sudah satu bulan dia dirawat intensif gara-gara penyakit ginjalnya kambuh.”
“Oh... Aku harap Papamu cepat sembuh.”
Dia mengulum senyum. “Terima kasih, Jovian,” ucapnya. “Sepertinya kamu lupa menjawab pertanyaanku sebelumnya.”
“Pertanyaan apa?” bingungku.
Marvin melayang menghampiri meja belajar yang baru setengah rapi itu. Dia menunjuk ke sebuah buku tulis kecil yang terbuka dan menunjukkan tulisanku. Oh, ya. Rencanaku untuk besok!
“Sepertinya kamu bukan dari kalangan terpandang, makanya kamu agak gugup dengan jadwal padat ini,” tebak Marvin.
Aku beranjak menghampiri meja belajar. “Kata siapa? Kalangan terpandang di eraku dan eramu sangat berbeda, Marvin,” ucapku. “Aku kalangan terpandang, tapi bisa dibilang baru. Karena bukuku laku keras sekitar beberapa bulan sebelum kematianku.”
“Bukumu? Kau penulis?”
“Iya. Aku sudah melihat beberapa bukumu, sepertinya kau tidak pernah tahu bukuku.”
Aku bisa membayangkan sebuah tanda tanya di atas kepalanya. Lalu dia bertanya, “Apa judulnya?”
“Ethereal Redemption: Leo’s Pursuit of Justice. Pemenang Best Book of The Year. Acara Grand Wills Award.”
Matanya memicing dan tangannya mencubit dagu. Tampak sedang mengingat-ingat sesuatu yang tidak bisa aku baca sama sekali isi pikirannya. “Apa kamu punya nama pena?”
“Punya. J.T Ray.”
Mulutnya baru membulat. Dua tangannya terangkat dan matanya melotot. Ekspresi keterkejutannya itu di luar dugaanku. “J-J.T Ray? Ka-Kau J.T Ray?!”
“Iya. Apa aku sampai seterkenal itu meski sudah mati?” heranku.
“Papa penggemar berat bukumu! Namamu melegenda!!”
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Aku mendengarnya, namun percaya tak percaya dengan ucapannya. “Benarkah?” tanyaku.
Dia mengangguk antusias. “Papa punya koleksi bukumu di ruangannya. Koleksi Ethereal Redemption sampai 7 buku tebal, disimpan rapi di rak buku dia.”
Aku semakin tak menyangka akan ada penggemarku yang memiliki jilid 1-7. Padahal seingatku, seri ke-7 paling banyak tidak disukai penggemar meski seri ke-6 yang mendapat juara. “Wow... Aku tersanjung. Terima kasih,” ucapku malu-malu.
“Kau harus menemui Papa! Dia pasti semangat buat sembuh!”
“Bukannya Papamu tidak boleh dijenguk?”
“Boleh dijenguk di waktu jenguk. Tapi tidak boleh bicara yang berat-berat tentang percetakan. Kalau bicara kesukaan, pasti boleh,” jelasnya.
Sebuah pertanyaan terlintas di benakku mengingat papanya berada di pihaknya. “Apa Papamu tahu tentang berita kematianku?”
Marvin kembali mengingat-ingat. “Ah, aku lupa. Aku jarang mendengarnya cerita tentang kesukaannya. Karena aku kurang suka membaca novel fantasi seperti dia.”
“Oh, begitu ya.”
“Tapi aku bisa mengantarmu ke ruangannya. Aku punya kunci ruangan Papa.” Marvin melayang ke rak buku yang sudah aku bereskan. “Ambil ensiklopedia planet Jupiter ini.”
Aku ikuti perintahnya, mengambil 1 dari 8 buku tebal ensiklopedia mengenai tata surya. Dia memintaku membuka sampul buku itu dari bagian belakang buku. Dengan hati-hati aku membukanya agar tidak menyobek buku yang tampak mahal itu. Ada lapisan busa di balik sampul, dan di balik busa itu ada sebuah kunci berwarna perak. Bentuk kunci bergerigi di ujungnya. Aku tidak pernah melihat kunci berbentuk seperti ini di zamanku.
“Simpan kunci itu baik-baik jika kau ingin melihat sebesar apa dedikasi Papaku pada karya-karya Sang Legenda J.T Ray!!”
Ketika aku membuka mata, tampak sebuah pintu kayu di hadapanku. Pintu kayu yang begitu familier dan tiap hari aku lewati. Aku tidak langsung meletakkan tanganku di atas gagang pintu, melainkan melihat sekitar terlebih dahulu dan melihat apa saja yang membuat tanganku terasa berat.Tangan kiriku sedang membawa piagam penghargaan Book of The Year. Tangan kananku tergantung tas-tas hadiah sambil menggenggam tiga mainan plastik berbentuk kucing yang sedang menggandeng satu sama lain. Aku sedang berdiri di teras sebuah rumah berlantai dua. Mobil Audi 5000S berwarna hitam terparkir di halaman depan dan belum dimasukkan ke dalam bagasi.Aku pulang, begitu di pikiranku.Tanpa menunggu lama lagi, aku segera menekan gagang pintu rumah. Lorong yang di ujungnya mengarah ke tangga lantai dua, dan di kirinya ada dapur dan kanannya ada ruang keluarga juga ruang tamu. Aku melangkah cepat ke arah ruang keluarga. Tempat anak-anak biasa menungguku pulang.Tapi ternyata mereka bertiga tidak ada di ruang
Tidak seperti Marvin yang terbiasa dilayani, aku menolak para pelayan yang hendak mendandaniku dan memakaikanku pakaian untuk acara konferensi pers. Aku tidak sudi ada pelayan pria atau wanita yang tidak aku kenal sama sekali menyentuh-nyentuhku. Jadi, semua aku kerjakan sendiri di kamar dengan arahan dari Eva mengenai riasan.Pemakaian tabir surya, lalu ditambah pelembab bibir, alas bedak dan bedak tabur diajari oleh Eva tentang cara pemakaiannya. Satu kali contoh, aku bisa memakainya sendiri. Aku menolak riasan lebih dari ini.Setiap aku bercermin, aku teringat dengan masa mudaku yang penuh percaya diri di bidang tulis-menulis. Aku menyisir rambut sendiri ke belakang setelah ditambah gel rambut. Tampilan yang biasa aku gunakan tiap menghadiri sebuah acara yang berkaitan tentang karya-karyaku.Eva menghampiriku. Tangannya mengambil sisir ramping yang ujungnya agak tajam. Dia menarik garis menggunakan ujung sisir dari arah depan ke belakang, membelah rambut dan membaginya dengan bagia
Selama di perjalanan menuju universitas tempat Marvin mengemban pendidikan, aku jabarkan satu per satu yang perlu aku siapkan untuk menghadapi dunia yang tidak pernah aku masuki sebelumnya. Pendidikan terakhirku hanya SMA, setelah itu aku fokus untuk menulis.Mobil sedan yang aku tumpangi ini disopiri oleh William Holland, suami Eva sekaligus sopir pribadiku. Terlihat lebih muda dari Eva dan ingin dipanggil Will saja olehku. Will juga sangat santai dan tidak terlalu kaku, jadi dia sering memanggilku Marvin, bukan Tuan Muda Marvin seperti istrinya. Itu informasi sekilas yang aku terima dari Marvin. Sopir pribadi ‘Mama’ dan si kembar juga berbeda. Mereka memiliki mobil masing-masing. Aku tidak peduli Will melihatku aneh karena bicara sendiri atau tidak. Yang penting, aku perlu tahu banyak informasi dari Marvin untuk kehidupan kampusnya ini.Dari catatan yang aku tulis tentang semua kisah singkat kehidupan kampusnya dan daftar nama-nama temannya, aku menyimpulkan bahwa... Marvin ini sang
“Mau dicoba lagi?”Marvin bertanya padaku saat mobil melaju. “Apanya?”“Kemarin. Aku merasuki tubuhmu dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Asal kau tahu, jadwal kemarin berjalan lancar. Aku bisa menjawab pertanyaan wartawan, hasil jepretan foto model jaket terbaru L’Éclatan memuaskan, rektor kampusku setuju untuk bekerja sama dengan penerbit JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis juga berjalan lancar.”“Ughh...” Aku mengusap wajah dan menyandarkan punggungku ke sandaran jok mobil. “Aku benci kehidupanmu, Marvin.”“Aku juga,” sambar Marvin.Aku mengintip di balik sela-sela jari. Arwah Marvin yang tembus pandang, cukup untuk membuatku sadar pada sepasang manik cokelat milik Will yang memperhatikanku dari spion dalam mobil.“Apa ada yang ingin kau sampaikan, Will?” Aku langsung bertanya sambil menjauhkan tanganku dari wajah.“Kamu bukan Marvin Alexander, ‘kan?” tebaknya.Aku melirik pada Marvin dulu. “Kau boleh jujur di depan Will. Dia berpr
Aku diturunkan di depan sebuah gerbang besi kecil yang cukup untuk dilalui beberapa orang saja tanpa kendaraan. Will menyarankanku untuk mengenakan kacamata hitam dan topi kupluk. Alasannya dia menurunkanku di sini dan mengenakan kacamata hitam dan topi tersebut agar menghindari para penggemar yang tergila-gila dengan sosok Marvin.Satu hal yang tidak pernah aku dengar dari Marvin lagi, yaitu penggemar. Aku pikir Marvin hanya banyak teman. Nyatanya dia memiliki penggemar perempuan setia yang kata Will terbilang banyak. Aku bisa mengatasi penggemar karena semasa hidupku, aku juga memiliki penggemar setia bukuku. Akan tetapi, masaku dan masa Marvin pasti sangat berbeda dan aku juga tidak bisa membayangkan apakah penggemar era ini masih sopan seperti dulu atau sudah bar-bar.Jika dilihat dari beberapa mahasiswa yang keluar masuk dari gerbang kecil itu untuk sekedar beli jajanan di truk-truk makanan di dekat kampus, sepertinya era ini akan lebih bar-bar.Rambut hijau, biru, ungu, campuran
Rambut dicat merah terang yang klimis selalu rapi dibiarkan cukup panjang di bagian atas, memberikan kesan pemuda yang stylish. Mata yang tajam dengan iris berwarna hazel mencerminkan kecerdasan dan kewaspadaan yang melampaui usianya adalah ciri sekilas dari sosok Sebastian Bennet.Dengan tinggi badan sedang, Sebastian memiliki postur atletik yang menunjukkan bahwa dia aktif secara fisik. Penampilannya selalu terawat, memadukan gaya klasik dengan sentuhan modern. Dia sering mengenakan kemeja berwarna gelap dengan blazer yang memberikan kesan profesional. Sebastian memiliki reputasi sebagai tangan kanan Dominic yang setia dan mampu mengeksekusi perintah dengan kebrutalan yang memadai.Theodore Francis adalah sosok yang bertolak belakang dengan Sebastian. Dia memiliki penampilan yang lebih kasual dan santai dengan jeans sobek serta hoodie hijaunya yang menutupi tubuh besar—tapi tidak gemuk—nya. Rambut hijau terang gondrongnya memberikan kesan bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan f
“Ma...Maaf aku terlambat, Lindsey.” Aku menarik kursi dan langsung duduk menyandarkan punggung sambil mengatur napasku yang masih terengah-engah mengejar waktu yang terus meninggalkanku. Sepasang manik saphire yang berada di seberang meja, menatapku. Sempat tertegun dengan kehadiranku, namun setelahnya dia mengulum senyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuatku lupa akan semua masalah yang sedang aku emban—bahkan rasa tidak enakku padanya karena telah datang terlambat di kencan pertama kami, juga perlahan menguap oleh senyum manisnya. “Ini, minumlah dulu.” Gadis itu menggeser segelas air mineral yang tampak segar karena es batunya yang banyak. “Ini milikmu, bukan?” “Iya. Aku membagikannya denganmu, Jovian. Minumlah. Aku tidak mau melihatmu dehidrasi setelah berlari jauh,” jawabnya sambil merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. “Ba-bagaimana kamu tahu aku berlari jauh?” tanyaku sebelum aku meneguk air dingin itu. Sensasi menyegarkan mengalir dari mulut ke tenggorokanku.
Suara Lindsey masih bisa kudengar meski kesadaranku kian meningkat. Air mata mengalir di sepanjang pelipis dari pelupuk mata yang masih terpejam. Aroma menyengat obat-obatan menyeruak masuk ke hidung. Jariku perlahan bergerak dan kelopak mata juga perlahan terangkat. Ada tiga wajah yang familier berdiri di sisi kanan dan kiri tempatku berbaring.“Marvin sadar,” kata Laura.“Cepat panggil perawat!” perintah Avery pada Khari.“Ok!” Dia menuju tombol di samping pintu dan menekannya.Tidak lama kemudian, seorang perawat dan dokter memasuki ruangan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter pria itu sambil mengenakan stetoskop.“Pusing sedikit,” lirihku.Dia menempelkan ujung stetoskop ke dada dan perut. Suster juga mengecek tensi darahku dan mengusap satu tetes air mata yang sempat mengalir. Entah apa lagi yang mereka berdua lakukan dalam proses pengecekan ini, aku sulit untuk mendeskripsikannya lebih lanjut karena perbedaan era pengecekan pasien di jamanku dan jaman sekarang.“Kondisinya sema
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan