Dua tanganku diletakkan di atas gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Setelah terdengar ‘klik', aku mendorong dua pintu itu sekaligus hingga terbuka lebar.
Aroma harum dari bahan-bahan alami seperti vanila bercampur bunga violet menyeruak masuk ke paru-paru mereka ketika pintu tersebut baru terbuka. Terdapat satu kasur berukuran besar yang cukup untuk dua orang dalam satu ruangan tersebut. Tempat tidur itu memiliki atap kelambu dan berada di sisi kiri dari arah pintu. Di ruangan tersebut juga memiliki dua lemari kayu dengan dua daun, meja belajar, sebuah teknologi berbentuk tipis yang tergantung berlawanan arah tempat tidur yang bernama TV, berbagai teknologi lainnya yang tak aku mengerti, dan satu pintu kamar mandi yang berada dekat dengan lemari. Jika aku perhatikan, kamar luas ini tampak seperti gabungan dari dua kamar berbeda.
“Ini surga,” gumamku tak sadar saat melihat betapa nyamannya kamar tersebut padahal baru berdiri di sekitar mulut pintu.
Eva tertawa sekilas. “Tuan Muda lucu sekali. Padahal Tuan Muda paling tidak suka di kamar.”
Alisku terangkat dengan mata melirik pada Marvin. “Nanti kau akan tahu sendiri kenapa aku benci kamar ini, Jovian,” jawabnya.
“Bibi permisi dulu ya Tuan Muda. Tolong segera tidur setelah bersih-bersih dan minum cokelat panas. Bibi tidak mau lihat Tuan Muda besok sakit.”
Aku mengangguk dan tersenyum tipis. “Iya, Bi. Terima kasih, ya.”
Setelah aku bersih-bersih dan minum cokelat panas, aku tidak segera tidur seperti yang diminta oleh Eva. Melainkan, aku bicara empat mata dengan Marvin terkait kehidupannya ini. Aku perlu rencana untuk menghadapi jadwal padat itu. Aku perlu menyiapkan apa yang perlu disiapkan untuk menghadapi kehidupan baru ini. Aku perlu... Adaptasi.
“Sepertinya kamu bukan dari kalangan terpandang, makanya kamu agak gugup ya, Jovian?” tanya Marvin setelah aku selesai menuliskan agenda-agenda apa saja yang tadi disebutkan Eva.
Aku sedikit terkejut saat melihatnya juga mengenakan piyama yang sama denganku. Tapi pertanyaan itu aku simpan saja dan tidak aku sampaikan ke Marvin, sebelum dia membalasku dengan pernyataan yang membuatku tersadar.
“Keputusan yang bijak,” ucap Marvin seraya tersenyum miring.
Aku mendecak sebal. “Berhenti membaca pikiranku!”
“Aku tidak bisa. Apa yang kamu pikirkan, pasti selalu bisa aku dengarkan.” Dia melayang mendekat ke wajahku dan terus tersenyum, lalu berbisik sesuatu yang membuatku merinding. “Seperti kita berada dalam satu tubuh yang sama.”
Aku mendorong wajahnya, namun berakhir tembus. Aku gerak-gerakkan tanganku seolah sedang menghapus asap depan wajahku. Tapi tidak berpengaruh sama sekali. Dia bukan asap yang bisa menghilang saat terkena hembusan angin.
Marvin tertawa sekilas dan menarik wajahnya. “Benar kata Bi Eva. Menjahili diri sendiri bisa menghibur diri.”
Aku mengernyit. “Aku Jovian, bukan Marvin!” seruku.
“Tidak ada yang bisa melihat jiwa dan mengetahui dengan sekali pandang bahwa di depannya itu Jovian, bukan Marvin,” timpalnya.
“Kalau begitu, aku umumkan namaku Jov—“ Aku menjeda ucapanku dan teringat dengan peringatan dari Marvin bahwa mengaku Jovian secara mendadak akan membuat kerugian bagi diriku sendiri ditambah tidak sedikit orang yang pasti langsung menganggapku gila. Dia diam saja, tapi senyum sombong seolah dia selalu benar seolah tak hilang. “Kau tahu, kau pemuda paling menyebalkan yang pernah aku temui.”
“Aku tidak bisa membayangkan pemuda menyebalkan era 1985 seperti apa.”
“Tidak usah dibayangkan.” Aku menunjuk tulisan di atas buku catatan kosongnya. “Kita bicarakan ini dulu.”
“Wow. Ternyata tulisan tahun 1985 sebagus ini.”
Aku berkerut dan melihat tulisanku. Tulisan sambung dengan garis yang agak bergelombang gara-gara aku baru pertama kali menggunakan pena modern ramping yang sensasinya sangat berbeda dengan pena berbentuk lebih gemuk yang biasa aku gunakan untuk menulis. “Ini jelek.”
“Bandingkan dengan tulisanku. Lihat saja di balik buku tulis ini.”
Aku membuka beberapa lembaran lain di buku tulis itu dengan rasa penasaran. Aku cukup tertegun saat melihat ada kata-kata kasar, tidak senonoh, dan kebencian yang tertulis di kertas itu. Semua kata-kata ditunjukkan oleh nama-nama yang tak aku kenal kecuali Vina dan Viona. Tulisannya besar-besar, tampak kasar, dan ada... noda berwarna merah agak kecokelatan. Apa mungkin ini...?
“Iya. Itu darahku. Aku coba untuk buat kutukan ke mereka mengikuti tutorial youtube. Tapi sepertinya tidak berpengaruh.”
Aku menatapnya antara iba dan kesal. Tidak memedulikan apa makna Youtube yang dia bilang tadi. “Kau sedepresi itu, ya?”
“Kau pikir? Kau pikir aku lompat dari atas jembatan cuman buat main-main?” sahutnya.
“Aku cuman memastikan, Marvin.” Lalu aku melihat dua tanganku, dan melipat lengan panjang piyama kelabu hingga ke siku. Aku melihat ada bekas luka sayatan di sekitar lengan, bahkan di dekat pergelangan tangan.
“Padahal tadi kau baru selesai mandi. Memang kau tidak melihat tubuh—”
“Sejujurnya, Marvin,” potongku. “Aku memejamkan mata saat mandi. Mengira-ngira bagian mana yang perlu dibersihkan dan yang perlu dihindarkan agar tidak tersentuh.”
“Hah?” Marvin menatapku tak percaya dengan kerutan di kening. “Itu tubuhmu, Jovian!”
“Tapi aku bisa melihat yang punya tubuh!” Aku menunjuknya dengan wajah sedikit memerah. “Kalau aku tidak bisa melihatmu dan tidak tahu siapa pemilik asli tubuh ini, pasti aku akan mengira ini tubuh baruku! Kau pikir aku menikmati sesi mandiku tadi setelah kau mengajariku menggunakan shower atau bath-up? Tidak, Marvin! Aku tidak nyaman setelah tahu kau bisa keluar masuk kamar mandi tanpa ketahuan!”
Akhirnya aku mengeluarkan rasa khawatirku yang hampir terpendam. Aku mendengus kesal sambil melemparnya dengan buku catatan. Buku itu menembus raganya dan mendarat di atas kasur. Lalu dia berkata, “Baiklah, maaf. Tapi aku di sini saja selama kau mandi. Aku tidak ingin mengingat masa lalu dengan memandang tubuh penuh bekas luka itu,” ucapnya dengan suara lebih tenang.
“Maaf diterima.”
“Apa kau bisa mendengar isi pikiranku?”
Aku kembali mengernyit. “Kau bisa bicara dalam pikiran?”
Dia melirik ke kanan dan kiri sejenak. “Oh, ok. Sepertinya tidak bisa. Bagus lah.”
“Apa? Kau bisa baca pikiranku, tapi aku tidak bisa baca pikiranmu?! Itu tidak adil!” seruku lagi.
Belum sempat Marvin membalas, tiba-tiba pintu kamar didobrak.
“BERISIK SEKALI! KAU BICARA SAMA SIAPA?!”
Meski masih buram, piyama ungu yang agak mencolok itu membuatku tahu bahwa yang mendobrak masuk adalah Viona.
“Tidak ada orang? Kau gila ya?” tambah Vina di belakangnya.
Marvin menatap mereka panik. Dia menepuk pundakku beberapa kali meski raganya tembus. “Aku lupa menyuruhmu kunci pintu! Usir mereka sekarang, Jo! Usir!” pintanya.
Apa? Usir? Tingkah bedebah seperti mereka harus dilawan! Begitu pikirku sekaligus membalas ucapannya.
“Itu bukan urusan kalian,” ucapku dingin pada meraka.
“Bukan urusan kami, kau bilang?” ulang Viona. Dia menghampiri rak buku dekat pintu. “BUKAN URUSAN KAMI, HAH?” Dia menjatuhkan rak kayu tersebut. Berbagai buku jatuh dari tempatnya.
“Hey!” Aku berjalan cepat menghampirinya, namun malah dihalang oleh Vina yang langsung mendorongku ke belakang. Dengan sekali dorongan, dia bisa menjatuhkanku ke belakang. Aku bisa merasakan tenaganya yang sangat kuat. Beruntung aku mendarat di atas karpet empuk.
“Vin, jadi acak-acak kamar ini?”
“Jadi.” Mereka berdua menyeringai.
Vina menuju lemari dan mengeluarkan semua isi pakaiannya. Viona ke meja belajar, membuka laci-laci meja dan melempar-lempar benda-benda di dalamnya. Bahkan benda itu ada yang hampir mengenai sisi TV!
“Jovian! Kabur! Jangan di sini!” seru Marvin.
“Kabur? Enak saja. Aku tidak akan kabur,” ucapku sambil beranjak. Aku melihat sekitar, mencari benda yang bisa digunakan untuk melawan mereka. Manikku mengarah pada buku-buku ensiklopedia yang tercecer dekat pintu. Aku segera mengambil tumpukan buku tebal itu, kemudian...
“Jangan lempar!” Marvin berdiri di depanku, namun lemparan itu menembus raganya dan berhasil mengenai punggung Viona. Terdengar suara degupan dari hantaman itu. Mereka berdua seketika berhenti.
“Ouch. Pasti sakit,” ledekku.
“KAU—“
Aku melempar buku ensiklopedia kedua ke arah Vina, tapi dia bisa menghindarinya. Dia malah melemparku dengan kaos-kaos dalam lemari. Viona juga melemparku dengan alat-alat tulis. Aku bisa menghindari mereka. Aku juga segera melempar buku ensiklopedia ketiga. Mereka sedikit teriak saat melihatku melempar. Aku tidak berhenti begitu saja. Aku ambil buku-buku lain, dan segera melemparnya pada mereka.
“Keluar! KELUAR DARI KAMARKU SEKARANG!!!”
Aku berjalan menyuduti mereka. Saat aku berhenti melempar, mereka segera lari tunggang-langgang keluar kamar. Aku pun segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Kalimat terakhir dari Viona yang samar-samar aku dengar sebelum mereka kembali ke kamar adalah, “Marvin bisa melawan? Bagaimana bisa?!”
Pertanyaan itu justru aku arahkan pada arwah pemuda yang melayang beberapa senti dari atas karpet empuk.
“Jadi selama 20 tahun kau hidup, kau tidak melawan mereka?” tanyaku sambil melipat tangan.
Marvin menggeleng. “Tidak. Papaku selalu bilang... jangan melawan perempuan, terutama kakak dan Mama...”
Ada rasa dalam diri yang ingin sekali meninju isi pikiran Marvin. Geregetan, ya, itu rasanya. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkannya jika sudah dididik dari kecil untuk seperti itu. Senyum penuh keoptimisan terukir di wajahku.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan beradaptasi dengan lingkungan ini.” Aku meregangkan tubuh sejenak dan membunyikan beberapa jari tangan. “Karena aku juga seorang Papa—orang tua tunggal dari tiga anak—akan aku tunjukkan padamu bagaimana cara aku bertahan hidup di dunia kejam ini. Mereka akan melihat sosok Marvin yang berbeda!”
“Pertama, kita bereskan dulu kamar ini.” “Kita?” bingung Marvin. “Oh, ya. Kau hantu.” Aku menumpuk beberapa buku sebelum diletakkan di rak. “Kenapa tidak minta bantu Bi Eva?” Aku menatapnya heran. “Jadi kau biasa diurus sama Bi Eva?” tanyaku sambil melanjutkan mengambil buku-buku yang masih berserakan. “Iya. Memang tugasnya.” “Tunggu. Jangan-jangan kau tidak mengenal kata mandiri?” Aku berpura-pura terkejut, “Aku tahu, Pak Tua. Cuman ‘kan... aku tidak biasa beres-beres kamar. Apalagi kalau sudah diacak-acak mereka. Terus besok aku punya jadwal padat. Pasti sudah capek duluan kalau—“ “Jangan banyak alasan. Kau sudah jadi hantu. Ini kehidupanku. Kau lupa?” potongku. “Kalau kau mau mengeluh dan menggangguku beres-beres kamar, sebaiknya kau di luar.” Marvin mendengus. “Aku kira kau ingin beradaptasi dengan kehidupanku.” Setelah bagian rak buku selesai, aku berhenti sejenak dan mengarah padanya sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Memang. Tapi ada penyesuaian dengan kehidup
Ketika aku membuka mata, tampak sebuah pintu kayu di hadapanku. Pintu kayu yang begitu familier dan tiap hari aku lewati. Aku tidak langsung meletakkan tanganku di atas gagang pintu, melainkan melihat sekitar terlebih dahulu dan melihat apa saja yang membuat tanganku terasa berat.Tangan kiriku sedang membawa piagam penghargaan Book of The Year. Tangan kananku tergantung tas-tas hadiah sambil menggenggam tiga mainan plastik berbentuk kucing yang sedang menggandeng satu sama lain. Aku sedang berdiri di teras sebuah rumah berlantai dua. Mobil Audi 5000S berwarna hitam terparkir di halaman depan dan belum dimasukkan ke dalam bagasi.Aku pulang, begitu di pikiranku.Tanpa menunggu lama lagi, aku segera menekan gagang pintu rumah. Lorong yang di ujungnya mengarah ke tangga lantai dua, dan di kirinya ada dapur dan kanannya ada ruang keluarga juga ruang tamu. Aku melangkah cepat ke arah ruang keluarga. Tempat anak-anak biasa menungguku pulang.Tapi ternyata mereka bertiga tidak ada di ruang
Tidak seperti Marvin yang terbiasa dilayani, aku menolak para pelayan yang hendak mendandaniku dan memakaikanku pakaian untuk acara konferensi pers. Aku tidak sudi ada pelayan pria atau wanita yang tidak aku kenal sama sekali menyentuh-nyentuhku. Jadi, semua aku kerjakan sendiri di kamar dengan arahan dari Eva mengenai riasan.Pemakaian tabir surya, lalu ditambah pelembab bibir, alas bedak dan bedak tabur diajari oleh Eva tentang cara pemakaiannya. Satu kali contoh, aku bisa memakainya sendiri. Aku menolak riasan lebih dari ini.Setiap aku bercermin, aku teringat dengan masa mudaku yang penuh percaya diri di bidang tulis-menulis. Aku menyisir rambut sendiri ke belakang setelah ditambah gel rambut. Tampilan yang biasa aku gunakan tiap menghadiri sebuah acara yang berkaitan tentang karya-karyaku.Eva menghampiriku. Tangannya mengambil sisir ramping yang ujungnya agak tajam. Dia menarik garis menggunakan ujung sisir dari arah depan ke belakang, membelah rambut dan membaginya dengan bagia
Selama di perjalanan menuju universitas tempat Marvin mengemban pendidikan, aku jabarkan satu per satu yang perlu aku siapkan untuk menghadapi dunia yang tidak pernah aku masuki sebelumnya. Pendidikan terakhirku hanya SMA, setelah itu aku fokus untuk menulis.Mobil sedan yang aku tumpangi ini disopiri oleh William Holland, suami Eva sekaligus sopir pribadiku. Terlihat lebih muda dari Eva dan ingin dipanggil Will saja olehku. Will juga sangat santai dan tidak terlalu kaku, jadi dia sering memanggilku Marvin, bukan Tuan Muda Marvin seperti istrinya. Itu informasi sekilas yang aku terima dari Marvin. Sopir pribadi ‘Mama’ dan si kembar juga berbeda. Mereka memiliki mobil masing-masing. Aku tidak peduli Will melihatku aneh karena bicara sendiri atau tidak. Yang penting, aku perlu tahu banyak informasi dari Marvin untuk kehidupan kampusnya ini.Dari catatan yang aku tulis tentang semua kisah singkat kehidupan kampusnya dan daftar nama-nama temannya, aku menyimpulkan bahwa... Marvin ini sang
“Mau dicoba lagi?”Marvin bertanya padaku saat mobil melaju. “Apanya?”“Kemarin. Aku merasuki tubuhmu dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Asal kau tahu, jadwal kemarin berjalan lancar. Aku bisa menjawab pertanyaan wartawan, hasil jepretan foto model jaket terbaru L’Éclatan memuaskan, rektor kampusku setuju untuk bekerja sama dengan penerbit JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis juga berjalan lancar.”“Ughh...” Aku mengusap wajah dan menyandarkan punggungku ke sandaran jok mobil. “Aku benci kehidupanmu, Marvin.”“Aku juga,” sambar Marvin.Aku mengintip di balik sela-sela jari. Arwah Marvin yang tembus pandang, cukup untuk membuatku sadar pada sepasang manik cokelat milik Will yang memperhatikanku dari spion dalam mobil.“Apa ada yang ingin kau sampaikan, Will?” Aku langsung bertanya sambil menjauhkan tanganku dari wajah.“Kamu bukan Marvin Alexander, ‘kan?” tebaknya.Aku melirik pada Marvin dulu. “Kau boleh jujur di depan Will. Dia berpr
Aku diturunkan di depan sebuah gerbang besi kecil yang cukup untuk dilalui beberapa orang saja tanpa kendaraan. Will menyarankanku untuk mengenakan kacamata hitam dan topi kupluk. Alasannya dia menurunkanku di sini dan mengenakan kacamata hitam dan topi tersebut agar menghindari para penggemar yang tergila-gila dengan sosok Marvin.Satu hal yang tidak pernah aku dengar dari Marvin lagi, yaitu penggemar. Aku pikir Marvin hanya banyak teman. Nyatanya dia memiliki penggemar perempuan setia yang kata Will terbilang banyak. Aku bisa mengatasi penggemar karena semasa hidupku, aku juga memiliki penggemar setia bukuku. Akan tetapi, masaku dan masa Marvin pasti sangat berbeda dan aku juga tidak bisa membayangkan apakah penggemar era ini masih sopan seperti dulu atau sudah bar-bar.Jika dilihat dari beberapa mahasiswa yang keluar masuk dari gerbang kecil itu untuk sekedar beli jajanan di truk-truk makanan di dekat kampus, sepertinya era ini akan lebih bar-bar.Rambut hijau, biru, ungu, campuran
Rambut dicat merah terang yang klimis selalu rapi dibiarkan cukup panjang di bagian atas, memberikan kesan pemuda yang stylish. Mata yang tajam dengan iris berwarna hazel mencerminkan kecerdasan dan kewaspadaan yang melampaui usianya adalah ciri sekilas dari sosok Sebastian Bennet.Dengan tinggi badan sedang, Sebastian memiliki postur atletik yang menunjukkan bahwa dia aktif secara fisik. Penampilannya selalu terawat, memadukan gaya klasik dengan sentuhan modern. Dia sering mengenakan kemeja berwarna gelap dengan blazer yang memberikan kesan profesional. Sebastian memiliki reputasi sebagai tangan kanan Dominic yang setia dan mampu mengeksekusi perintah dengan kebrutalan yang memadai.Theodore Francis adalah sosok yang bertolak belakang dengan Sebastian. Dia memiliki penampilan yang lebih kasual dan santai dengan jeans sobek serta hoodie hijaunya yang menutupi tubuh besar—tapi tidak gemuk—nya. Rambut hijau terang gondrongnya memberikan kesan bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan f
“Ma...Maaf aku terlambat, Lindsey.” Aku menarik kursi dan langsung duduk menyandarkan punggung sambil mengatur napasku yang masih terengah-engah mengejar waktu yang terus meninggalkanku. Sepasang manik saphire yang berada di seberang meja, menatapku. Sempat tertegun dengan kehadiranku, namun setelahnya dia mengulum senyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuatku lupa akan semua masalah yang sedang aku emban—bahkan rasa tidak enakku padanya karena telah datang terlambat di kencan pertama kami, juga perlahan menguap oleh senyum manisnya. “Ini, minumlah dulu.” Gadis itu menggeser segelas air mineral yang tampak segar karena es batunya yang banyak. “Ini milikmu, bukan?” “Iya. Aku membagikannya denganmu, Jovian. Minumlah. Aku tidak mau melihatmu dehidrasi setelah berlari jauh,” jawabnya sambil merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. “Ba-bagaimana kamu tahu aku berlari jauh?” tanyaku sebelum aku meneguk air dingin itu. Sensasi menyegarkan mengalir dari mulut ke tenggorokanku.
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan