"Hmm. Jika demikian halnya, sulit bagi kita menekan mereka lagi Pandu. Saat ini gelang khusus yang mereka kenakan, sepertinya juga sudah tak berfungsi, atau sudah diganti. Tinggal satu saja 'gertakkan' yang bisa kita lakukan pada mereka. Yaitu, menarik jaminan atas diri mereka, dan menjadikan mereka buronan yang kabur dari penjara. Namun itu juga berarti resiko bagi kita, jika mereka nekat 'mengungkap' soal 'kompetisi gelap' yang kita selenggarakan di persidangan. Karena kita tak tahu sikap petinggi kepolisian yang sekarang menjabat. Apakah sama dengan petinggi sebelumnya yang bisa kita lobi atau berbeda. Keparat kau Bara..!! Seharusnya kumusnahkan saja kau sejak dulu sebelum tumbuh sayap seperti sekarang..!" seru sang Jendral naik darah, seraya memaki Bara.Ya, Graito kini berada dalam dilema, yang membuatnya sangat bingung, emosi, dan juga frustasi!Sementara sebuah helikopter muncul di keremangan senja. Tepat di atas kediaman sang Jendral. Nampak Dika seorang anggota Pasukan
Usai kerahkan auman 'Senggoro Macan'nya. Sang Jendral pun jatuh bersimpuh, dengan kedua dengkul menyentuh tanah. Dirinya merasa sangat lemas dan kehilangan, atas hancur luluhnya ratusan senjata-senjata yang berada di gudangnya. Nilai triliunan..? Itu sudah pasti beberapa triliun. Hanya saja bukan nilai harganya, yang membuatnya lemas dan seperti orang frustasi begitu. Tetapi karena banyak di antara senjata-senjata dalam gudang itu adalah senjata yang 'limited'. Alias senjata yang merupakan hasil pencarian dan pencapaiannya selama beberapa tahun, untuk mendapatkannya. Setelah hampir 10 menit bagai orang yang ditinggal mati kekasihnya. Akhirnya sang Jendral kembali bangkit. Matanya menyala-nyala penuh amarah dan dendam kesumat. 'Kalian harus membayar semua ini dengan lunas..! Bajingan kalian semua..! Akan kusebar Pasukan Harimau Besiku untuk mencari kalian..!' seru murka bathin Graito. Dia merasa sangat kecolongan dan dipermalukan saat itu oleh Bara cs. Tiada yang bisa menghibur
Drajat juga meminta Dimas, untuk menggembleng fisik dan mental para anggota Pasukan Super Levelnya itu. Sungguh kesebelas anggota pasukan itu lebih ngeri pada Dimas, dibandingkan pada Drajat. Entah karena pengaruh suasana hatinya yang tengah dingin, atau memang karena sifat gemblengan mantan anggota Kopassus itu, yang sangat keras dan menciutkan nyali. Hingga kesebelas anggota Pasukan Super Level itu, dibuat benar-benar di ambang batas daya tahan kemanusiaannya. Saat Dimas yang menggembleng mereka. Karena Dimas bagai berubah menjadi manusia tanpa ampun, jika sudah masuk menggembleng kesebelas anggota Pasukan Super Level itu. Seminggu di bawah gemblengan Dimas, serasa setahun lamanya bagi kesebelas anggota pasukkan itu. Sungguh berat dan mematikan, beruntung kesebelas anggota Pasukan Super Level itu adalah orang-orang pilihan. Karena mereka semua benar-benar berasal dari bibit unggulan. Latihan demi latihan berat itu pun akhirnya mampu mereka jalani, dengan tubuh serasa mati.
Pagi menjelang siang.Di sebuah lapangan tenis dan badminton yang merupakan fasilitas umum bagi warga kompleks perumahan elit di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.Nampak seorang pemuda tengah di kelilingi oleh tiga orang yang berdiri angkuh di sekitarnya. Pemuda itu berpakaian security dan dia baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya, sebagai security di kompleks perumahan elit itu.Hal ini tak lain karena dia ingin pergi sejauh mungkin dari kompleks itu. Kompleks dimana ‘mantan kekasihnya’ tinggal.Baru saja semalam dia ‘memutuskan’ hubungan kasihnya dengan ‘Resti’, dan mengembalikan amplop coklat tebal yang diberikan ayahnya beberapa hari lalu.Ya, Resti adalah putri jelita seorang pengusaha garment yang sukses di bilangan kota Jakarta.Sungguh, menjalin hubungan kasih dengan Resti sama sekali bukan inisiatif Bara. Tapi berawal dari perkenalan mereka di posko masuk area kompleks, yang berlanjut pada rasa saling suka pada kepribadian masing-masing.Sejak munculnya rasa suka itula
Ibu! Kata yang merupakan ‘ajimat’ dan sangat ‘sakral’ bagi Bara. Teringat jelas dalam memorinya, kejadian 15 tahun lalu saat usianya masih 9 tahun. Baru saja Banu Hartadi pulang dari kantornya, dia sudah mendapat laporan tak mengenakkan dari istri mudanya Sisca. Tentang kelakuan kejam istri tuanya Marini dan Bara putra tunggalnya. “Gara-gara mereka mendorong mamah, tadi mamah sampai terjatuh di kamar mandi Pah! Untung saja kandungan anak kita tak apa-apa. Tskk ... tskk,” ungkap Sisca pada Banu, dengan di iringi isak tangis ‘modus’nya. Karuan saja amarah Banu meledak, mendengar laporan Sisca yang terdengar selalu teraniaya, setiap hari dia pulang dari kantor. Kemarin soal Sisca diberi makan sambal terlalu pedas, kemarinnya lagi soal Sisca di suruh jalan ke pasar, dan kemarinnya lagi..lagi..dan lagi. Dan kini soal jatuhnya istri kesayangannya itu di kamar mandi, akibat perbuatan istri pertamanya Marini dan Bara yang juga putranya sendiri. Maka setan pun masuk ke dalam otak dan h
Maka jadilah sejak saat itu Bara tinggal dan bersekolah di sana. Pada saat usai subuh hingga jam berangkat sekolah dan setelah jam belajar malam, Bara secara khusus di latih ilmu beladiri oleh sang kakek. Sang kakek bagai berubah menjadi ‘monster’ galak bagi Bara, saat dia sedang melatih dirinya bela diri. Sungguh keras dan tak kenal kata kesalahan sedikitpun dalam kamus sang kakek. Namun Bara mengerti dan merasakan, tujuan sang kakek adalah demi kesempurnaan dirinya menyerap ajaran dan ilmu-ilmu sang kakek. Demikianlah 10 tahun lamanya Bara mendapat gemblengan keras dari sang kakek, hingga tak terasa ‘kemampuan’ dirinya saat itu sudah setara dengan sang kakek sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian kata pepatah, baru saja malamnya Bara menerima wedar aji ‘Sisik Naga Emas’ dari sang kakek. Pada ke esokkan harinya sang kakek menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang 76 tahun. Hanya karena sakit kepala hebat yang menderanya sejak pagi, hingga akhi
Braaghk..! "Kagghh..!"Robert Tanujaya tewas dengan kepala pecah membentur pojokkan dinding tajam di ruang kantornya sendiri. Akibat tendangan deras bertenaga dalam dari kakak sepupunya sendiri, David Tandinata.David Tandinata menyerang dan tak sengaja menewaskan sepupunya itu bukan tanpa alasan, karena ini berkaitan dengan kematian ayahnya Julian Tanuwijaya.Julian Tanuwijaya adalah owner dari 'Kharisma Group', sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang retail dan properti. Perkembangan bisnisnya bahkan merambah hingga ke seluruh kota-kota besar di negeri ini.Bisa dikatakan dia adalah salah seorang triliuner sukses di negeri ini. Namun 6 bulan yang lalu sebuah kecelakaan tragis menimpanya, hal yang mengakibatkan dirinya tewas seketika di jalan raya. Porsche macan hitam yang dikendarainya mengalami tabrakkan beruntun di jalan, tepat sebelum masuk ke jalan tol Cikampek.Mobilnya dihantam oleh sebuah truk berkecepatan tinggi di belakangnya, sedangkan di depannya adalah sebuah tru
"Hahhh..! Punya kemampuan juga kau rupanya..!" seru kaget Paul, yang menyaksikan gerakan kilat Bara dari sel seberang."Bangsat..! Kita hajar dia..!" teriak Jarot yang masih kesakitan.Dalam emosinya Jarot tak bisa melihat betapa Bara jelas-jelas memiliki kemampuan jauh di atas dirinya dan dua rekannya.Dia malah memberi aba-aba untuk kembali menyerang Bara, yang tampak tersenyum dingin melihat kedegilan tiga cecunguk rekan satu selnya ini.Mendengar aba-aba dari pimpinan selnya, si kurus dan si gempal langsung mengikuti jejak Jarot. Mereka kembali sama menyerang Bara dengan tendangan ke tubuh Bara."Hiyahh..!" Wukkh..! Wush..! Wukk..!Tiga buah tendangan melesat ke arah dada dan lengan Bara, namun kali ini Bara hanya diam saja menerima semua serangan mereka.Diam-diam Bara mengerahkan Aji 'Perisai Baja'nya, yang merupakan tingkatan dasar dari aji 'Sisik Naga Emas' warisan sang kakek.Seketika tubuhnya bagai terselimuti lapisan energi tenaga dalamnya, sosok Bara menjadi sangat keras s
Drajat juga meminta Dimas, untuk menggembleng fisik dan mental para anggota Pasukan Super Levelnya itu. Sungguh kesebelas anggota pasukan itu lebih ngeri pada Dimas, dibandingkan pada Drajat. Entah karena pengaruh suasana hatinya yang tengah dingin, atau memang karena sifat gemblengan mantan anggota Kopassus itu, yang sangat keras dan menciutkan nyali. Hingga kesebelas anggota Pasukan Super Level itu, dibuat benar-benar di ambang batas daya tahan kemanusiaannya. Saat Dimas yang menggembleng mereka. Karena Dimas bagai berubah menjadi manusia tanpa ampun, jika sudah masuk menggembleng kesebelas anggota Pasukan Super Level itu. Seminggu di bawah gemblengan Dimas, serasa setahun lamanya bagi kesebelas anggota pasukkan itu. Sungguh berat dan mematikan, beruntung kesebelas anggota Pasukan Super Level itu adalah orang-orang pilihan. Karena mereka semua benar-benar berasal dari bibit unggulan. Latihan demi latihan berat itu pun akhirnya mampu mereka jalani, dengan tubuh serasa mati.
Usai kerahkan auman 'Senggoro Macan'nya. Sang Jendral pun jatuh bersimpuh, dengan kedua dengkul menyentuh tanah. Dirinya merasa sangat lemas dan kehilangan, atas hancur luluhnya ratusan senjata-senjata yang berada di gudangnya. Nilai triliunan..? Itu sudah pasti beberapa triliun. Hanya saja bukan nilai harganya, yang membuatnya lemas dan seperti orang frustasi begitu. Tetapi karena banyak di antara senjata-senjata dalam gudang itu adalah senjata yang 'limited'. Alias senjata yang merupakan hasil pencarian dan pencapaiannya selama beberapa tahun, untuk mendapatkannya. Setelah hampir 10 menit bagai orang yang ditinggal mati kekasihnya. Akhirnya sang Jendral kembali bangkit. Matanya menyala-nyala penuh amarah dan dendam kesumat. 'Kalian harus membayar semua ini dengan lunas..! Bajingan kalian semua..! Akan kusebar Pasukan Harimau Besiku untuk mencari kalian..!' seru murka bathin Graito. Dia merasa sangat kecolongan dan dipermalukan saat itu oleh Bara cs. Tiada yang bisa menghibur
"Hmm. Jika demikian halnya, sulit bagi kita menekan mereka lagi Pandu. Saat ini gelang khusus yang mereka kenakan, sepertinya juga sudah tak berfungsi, atau sudah diganti. Tinggal satu saja 'gertakkan' yang bisa kita lakukan pada mereka. Yaitu, menarik jaminan atas diri mereka, dan menjadikan mereka buronan yang kabur dari penjara. Namun itu juga berarti resiko bagi kita, jika mereka nekat 'mengungkap' soal 'kompetisi gelap' yang kita selenggarakan di persidangan. Karena kita tak tahu sikap petinggi kepolisian yang sekarang menjabat. Apakah sama dengan petinggi sebelumnya yang bisa kita lobi atau berbeda. Keparat kau Bara..!! Seharusnya kumusnahkan saja kau sejak dulu sebelum tumbuh sayap seperti sekarang..!" seru sang Jendral naik darah, seraya memaki Bara.Ya, Graito kini berada dalam dilema, yang membuatnya sangat bingung, emosi, dan juga frustasi!Sementara sebuah helikopter muncul di keremangan senja. Tepat di atas kediaman sang Jendral. Nampak Dika seorang anggota Pasukan
"Sebuah helikopter David. Namun kerugian yang di derita Graito, akan bernilai ratusan helikopter lebih David. Ditambah lagi dengan tekanan bagi mental dan emosi mereka. Karena target 'kejutan' kita adalah gudang senjata mereka..!" ucap Drajat mantap. Dia mengetahui persis di mana letak gudang-gudang senjata di markas Graito. Dan sepertinya Graito belum terpikir, untuk memindahkan lokasi gudang-gudang senjatanya itu. Senjata dan amunisi memang disimpan dalam gudang yang terpisah. Dan Drajat lebih memilih menargetkan gudang senjata, di banding gudang amunisi. Karena tentu saja nilai harganya lebih tinggi senjata dibanding amunisinya. Hingga kerugian yqng akan di derita Graito pun lebih besar! "Kenapa harus mengorbankan helikopter Paman..?" tanya Sandi tak mengerti. "Karena Graito pasti meneropong arah larinya helikopter kita setelah penyerangan. Dan pastinya juga akan ada pengejaran dari pihak mereka Sandi. Kita tentunya tak ingin markas kita diketahui oleh mereka," sahut Draj
Resti dan Revina kini juga langsung menuju ke vila, jika hendak bertemu dengan kekasih mereka. Bahkan saat ini pun mereka tengah dalam perjalanan menuju ke vila, yang menjadi markas baru Bara cs. Jujur saja mereka kini merasa lebih nyaman, dengan kepindahan markas kekasih mereka. Karena sudah tak ada rasa was-was lagi, akan di datangi oleh pihak Graito cs. Dan tentu saja suasana puncak yang sejuk dan hijau, sangat membuat mereka betah berlama-lama di sana. Mereka berdua mendapat tugas membawakan suplai logistik makanan, dan juga keperluan vila setiap minggunya.Tentu saja Dimas memberi mereka anggaran yang cukup untuk itu. Dengan mengendarai Fortuner milik Resti yang bagian belakangnya penuh dengan logistik, mereka melaju dan hampir sampai di markas. Disamping hal tersebut, Marsha juga telah menghubungi pak Nala dan bi Tarni, untuk menanyakan kesediaan pak Nala dan bi Tarni bekerja menjadi supir dan asisten di markas baru Bara cs. Keduanya langsung menjawab bersedia, mengingat k
Di ruang tamu villa, nampak berkumpul Bara serta para sahabatnya. Sementara Leonard juga di dampingi 2 orang kepercayaannya, Jason dan Tommy. Mereka berbicara akrab dan hangat saat itu. Seperti tak pernah ada permusuhan di antara mereka. "Leonard. Terimakasih atas kesediaanmu mengantar sendiri pesanan kami," ucap Bara tersenyum. "Sama-sama Bara, aku senang bisa bersahabat dengan kalian semua. O ya, Marsha titip salam buat kalian semua. Tadinya dia memaksa ikut, namun dilarang keras sama Ibuku," ujar Leonard menyampaikan. "Ahh. Bagaimana kabar Marsha di sana Leonard..? Kapan kalian menikah..?" tanya Dimas. Dia memang sudah mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Ya, Dimas sudah belajar menghilangkan kebencian di hatinya pada Leonard. Dia sadar, kepentingan bersama para sahabatnya lebih utama, dibanding perasaan pribadinya. Namun tentu saja hal itu masih meninggalkan 'bekas mendalam' di hatinya. Hal yang berdampak pada dinginnya hati Dimas terhadap wanita. Dimas merasa sudah t
"Ahh..! Aku datang untuk mengantarkan dompet tanganmu yang tertinggal di dalam mobilku semalam Dewi," seru Dimas agak terpana melihat kecantikkan Dewi, seraya menyerahkan dompet itu pada Dewi. 'Tak kusangka di pagi hari kau malah semakin nampak cantik Dewi', batin Dimas mengakui. "Wah..! Terimakasih Mas Dimas, pantas Dewi cari-cari di tas semalam tak ketemu. Masuk dulu Mas Dimas ya," seru Dewi senang, dia pun membuka lebar pintu rumahnya mempersilahkan Dimas masuk. "Baiklah Dewi, tapi aku tak bisa lama-lama ya. Para sahabat menanti di rumah Mas Bara," sahut Dimas, seraya duduk di kursi tamu rumah. 'Mas Dimas pasti kurang tidur semalam', bathin Dewi, saat melihat mata Dimas yang terlihat cekung dan lelah."Mas Dimas, Dewi ucapkan terimakasih atas pertolongan Mas semalam, dan juga antaran dompet Dewi ya," ucap Dewi tersenyum. "Bukan apa-apa Dewi. Aku hanya kebetulan saja sedang berada di lokasi kejadian," sahut Dimas. Jujur saja Dimas agak jengah juga, karena Dewi menatapnya den
"Bagaimana hasil pengamatan kalian terhadap rumah Bara cs, Pandu..?" "Bersih di sana Paman Jendral, tak ada helikopter maupun orang-orang kita yang hilang di sana. Kami juga sudah memberi peringatan pada kediaman Bara, yang dijadikan markas oleh mereka itu paman," sahut Pandu apa adanya. "Hmm. Kau beri peringatan apa pada mereka Pandu..?" tanya sang Jendral penasaran. "Pandu melepaskan pukulan level ke 4 aji 'Singa Langit' pada kediaman mereka paman Jendral, namun Bara berhasil menangkis pukulan Pandu itu di udara. Dan dari situ ada kabar mengejutkan buat kita Paman Jendral," sahut Pandu, berhenti sejenak dari ucapannya. "Katakan cepat kabar itu Pandu..! Jangan sepotong-potong memberikan informasi padaku..!" sentak sang Jendral, yang menjadi gemas dan penasaran dengan penuturan Pandu. "Paman Jendral, dari beradunya pukulan Pandu dan pemuda bernama Bara itu, maka Pandu jadi yakin, jika saat ini Paman Drajat si 'Tapak Es' ada bersama mereka. Karena energi yang dilepaskan Bara te
Sementara itu, Dimas telah tiba di garasi kediamannya, Dimas bermaksud hendak langsung masuk ke kamarnya, dan menyendiri di sana. Namun saat dia turun dari mobilnya, dan hendak menutup kembali pintu mobil. "Ahh..!" Dimas berseru kaget, saat mendapati sebuah dompet tangan tergeletak di kursi sebelah kemudi. Dan Dimas langsung saja berpikir, jika dompet itu pasti dompet milik Dewi yang tertinggal. 'Biarlah besok saja kuantarkan ke rumahnya sekalian ke rumah Mas Bara', bathinnya. Dia tak hendak membawa dompet itu masuk ke dalam rumah. Maka disimpannya dompet milik Dewi itu di laci mobil. Lalu Dimas pun bergegas keluar dari garasi, menuju ke dalam kamarnya di lantai atas. Ya, hari itu adalah hari paling kelabu di hati Dimas. Di dalam kamar pun, Dimas tak bisa berhenti berpikir tentang Marsha. Hati dan pikirannya seolah terus 'terparkir' pada sosok wanita, yang memang sangat spesial di hatinya itu. Sungguh hal yang sangat 'menguras' energi Dimas. Sulit baginya saat itu, untuk fok