"Ini Mas Bara. Barang yang dititipkan kak Marsha pada kalian semua," Resti meletakkan sebuah tas hermes Kelly terbuka, di hadapan mereka semua. Mata mereka semua kini memandang tas terbuka itu. Sepintas saja sudah terlihat beberapa kotak perhiasan, buku rekening Bank, dan juga sepucuk surat. Bara meraih sepucuk surat dari Marsha terlebih dahulu. Dan di kepala amplop surat tertulis 'To: Mas Bara cs'. Dibukanya isi surat itu, dan dibacanya di depan semua sahabatnya. 'Mas Bara dan sahabat semua. Maaf bila keputusan yang Marsha ambil tidak sesuai dengan rencana kalian semua. Tapi Marsha tak mau, jika Resti harus mengalami hal terburuk dalam hidupnya. Maka dengan rasa persaudaraan yang ada, Marsha mengambil keputusan untuk menggantikan posisi Resti. Namun kalian jangan khawatir. Marsha telah meminta Leonard, untuk membawa Marsha ke negeri asalnya di Amerika. Marsha pasti akan tetap ikut berjuang bersama dan mendukung kalian dari sana, jangan cemaskan Marsha! O iya, Marsha titipkan
"Hai Jendral..! Justru aku yang harusnya bertanya tentang hal itu padamu. Mengapa Leonard sudah beberapa hari ini tak menghubungiku..? Apakah ada yang terjadi dengan putraku itu..? Dihubungi pun dia tak bisa sejak kemarin Jendral..!" seru Winston balik bertanya. Ya, Winston segera tanggap, bahwa ada masalah serius antara putranya dan sang Jendral. Dia langsung bersikap seolah terkejut, untuk mengetahui latar belakang masalah Leonard dengan sang Jendral. Hal yang tak diceritakan Leonard padanya. Sungguh aktor drama kelas wahid si Winston ini..! "Hhh..! Winston! Leonard telah membawa lari tawanan pentingku, yang akan kugunakan untuk menekan pihak musuh. Dan aku juga masih mencarinya hingga sekarang," dengan menghela nafas kesal, sang Jendral membuka permasalahan yang terjadi dengan Leonard. "A-apa..?! Anak itu benar-benar brengsek..!" maki Winston berpura-pura marah, dengan nada meyakinkan. Dan sang Jendral pun merasa percuma, untuk berlama-lama dalam percakapannya dengan
Dok ! Dokk. !! "Pak Rudy..! Pak..!" bi Lani langsung mengetok pintu, dan berseru memanggil majikannya itu. Ceklek..! "Ada apa Bi, kok kelihatannya heboh sekali..?" tanya Rudi setengah kesal, karena merasa terganggu konsentrasi kerjanya. "Anu Pak, Non Resti sudah pulang Pak..!" seru bi Lani gembira. "A-apa..?!" Dak .. dak ...dak..! Rudi tersentak kaget, lalu berlari cepat menuruni tangga rumahnya, menuju ke lantai dasar. Wajahnya nampak diliputi ketegangan, namun juga diselimuti rasa bahagia yang teramat sangat. "Resti sayang..! Kau tak apa-apa Nak..?!" seru Rudi, saat melihat Resti masih berada dalam pelukkan istrinya. Rudi segera memeluk istri dan putrinya itu, dalam luapan rasa kegembiraannya. "Resti tak apa-apa Ayah. Resti diselamatkan Kak Marsha, sahabat Mas Bara," sahut Resti seraya tersenyum menatap Bara, yang sejak tadi masih di depan pintu. "Lho..?! Ngapain kamu di situ Bara..? Masuklah sini Nak..!" seru Rudi, yang melihat Bara di depan pintu. Dia segera menghamp
Sementara Leonard dalam renungannya yang hanya beberapa jam saja. Kini dia sudah menemukan jawaban. Dari 'misteri' rasa hausnya akan hasrat bercinta, yang dirasakannya tak pernah terpuaskan itu. Dia menyadari semua hal itu terjadi karena selama ini, dia tak pernah 'mau' belajar mencintai seorang wanita dengan tulus dan wajar. Dan saat dia bertemu dengan Marsha, yang memang sangat spesial di mata dan hatinya. Hal itu bagaikan semacam isyarat dan langkah awal bagi Leonard, untuk berubah. Ya, Leonard telah bertekad untuk merubah perilakunya terhadap wanita. Dan dia ingin belajar mencintai Marsha dengan seutuhnya, dan mencoba setia sepenuhnya hanya untuk Marsha. "Benar Marsha sayang. Aku akan berusaha berusaha berubah dan setia hanya padamu. Bantulah aku agar bisa membahagiakanmu Marsha," sahut Leonard, dengan sepenuh-penuh keyakinan dan harapan. Demikianlah pembicaraan yang terjadi, di antara kedua petualang asmara, yang sama-sama sudah pada 'titik kesadarannya' itu. *** Bara te
"Hiyahh..!" Seth..! Slaph..! ... Setth..! seiring teriakkan kerasnya, nampak sosoknya bergerak makin cepat dan semakin cepat. Hingga akhirnya, Weesshh..!! Blaph..!Sosok lelaki itu bagai menghilang tiba-tiba. Dan kini hanya deruan angin, dengan selarik cahaya yang melesat cepat di sekitar pepohonan pinus itu.Bagai sebuah lintasan cahaya putih, yang melayang-layang di atas pucuk pepohonan. Perlahan hawa panas pun menebar ke segala penjuru di area halaman itu. Pucuk-pucuk pohon pinus itu pun serentak mengepulkan asapnya. Lalu lintasan cahaya itu pun akhirnya lenyap, bersamaan dengan suara teriakkan keras membahana, "Hiyaahh.!!" Byaarrshk..!! Sosok itu mendarat ringan di tengah-tengah area pohon pinus itu. Sementara seluruh dedaunan belasan pohon pinus itu, kini serentak terbakar tanpa sisa..! Meranggas total..!Ya, kini belasan pohon pinus itu kesemuanya kepulkan asap, dan meranggas kering tanpa daun..! Gundul tanpa sehelai daun pun yang tertinggal..! Namun uniknya, batang pohon
"Hahhh..!!" seru kaget Bara dan Gatot bersamaan. "A-apa maksud Paman Drajat..?!" seru Bara kaget, dia merasa salah mendengar. "Bara, hal ini sudah aku pikirkan masak-masak. Kekuatan yang akan kauhadapi sangatlah besar. Paman merasa dengan kekuatan murni dari 'Mustika Naga Emas' saja, itu rasanya belum cukup. Kamu harus lebih kuat untuk mengimbangi power gabungan Harimau Besi dan Singa Langit mereka Bara," ujar Drajat menjelaskan alasannya. "Tidak Paman..! Terimakasih atas maksud baik Paman Drajat. Tapi Bara merasa lebih membutuhkan Paman dalam kondisi seperti sekarang ini. Sementara Bara masih bisa meningkatkan kemampuan Bara dengan cara lain," ucap Bara tegas, menolak maksud baik Drajat. Sejujurnya Bara masih trauma dengan kematian sang Kakek, setelah mencabut dan menerapkan 'Mustika Naga Emas' ke dalam dirinya. Hal yang menyebabkan kondisi kesehatan sang kakek memburuk secara tiba-tiba, dan akhirnya meninggal dunia. Dia tidak ingin hal sama terjadi pada Drajat, hanya demi m
"Sangat setuju Paman Drajat..!" seru Gatot, menanggapi usulan Drajat dengan antusias. "Baik Paman Drajat. Bara setuju dengan gagasan Paman, tapi bagaimana cara kita merekrut ke 11 orang itu..? Apakah kita harus membuka iklan loker Paman..?" Bara menyetujui seraya bertanya. "Tenang Bara, soal itu paman memiliki cara sendiri. Yang pasti, hanya bibit-bibit unggul, yang bisa menjadi anggota pasukan 'Super Level' bentukkan paman ini," sahut Drajat tersenyum. Tinn .. Tinn..! Masuk Pagero Sport hitam milik David ke halaman rumah Bara. Nampak David melemparkan senyumnya dari kaca jendela mobil yang terbuka. "Pagi semuanya, apakah aku melewatkan sesuatu..?" tanya David yang langsung bergabung bersama mereka. "Pagi David..!" sahut mereka. "David. Kami sedang berembug masalah pertaruhan di kompetisi pertarungan Bara besok. Apakah kau memiliki rencana atau kita 'off' dulu pada pertaruhan besok..?" tanya Gatot. "Kita akan ikut taruhan itu besok," sahut David yakin. "Ahh..! Apakah kita ak
"Setuju sekali dengan usul Bara dan Mas Dimas," tanggap Gatot. "Aku setuju Bara, Mas Dimas, Paman. Jika perlu vilaku bisa kalian gunakan untuk markas kita," sambut Sandi setuju seraya menawarkan vilanya. "Tidak Sandi, lebih baik kita tidak mencampurkan hal ini dengan milik pribadi. Kita akan membelinya dari uang kita bersama," ujar Bara, menolak tawaran vila milik Sandi dijadikan markas mereka. "Benar Bara, sebaiknya kita beli saja vila dengan lahan yang luas sebagai markas kita. Dan jika kita menang taruhan nanti. Aku mengusulkan agar kita memiliki kamuflase bisnis 'Charter Pesawat'. Karena kita pasti akan memerlukan mobilitas ke luar negeri nantinya, saat kompetisi internasional dimulai. Kita mampu membeli beberapa pesawat jet pribadi, untuk dijadikan lahan bisnis dan pemasukkan bagi kita semua. Disamping kita bisa menggunakan sendiri pesawat pribadi tersebut untuk misi kita," ujar David, memberikan masukkan pada para sahabatnya. "Pas David..! Aku juga sedang berpikir tentan
Di ruang tamu villa, nampak berkumpul Bara serta para sahabatnya. Sementara Leonard juga di dampingi 2 orang kepercayaannya, Jason dan Tommy. Mereka berbicara akrab dan hangat saat itu. Seperti tak pernah ada permusuhan di antara mereka. "Leonard. Terimakasih atas kesediaanmu mengantar sendiri pesanan kami," ucap Bara tersenyum. "Sama-sama Bara, aku senang bisa bersahabat dengan kalian semua. O ya, Marsha titip salam buat kalian semua. Tadinya dia memaksa ikut, namun dilarang keras sama Ibuku," ujar Leonard menyampaikan. "Ahh. Bagaimana kabar Marsha di sana Leonard..? Kapan kalian menikah..?" tanya Dimas. Dia memang sudah mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Ya, Dimas sudah belajar menghilangkan kebencian di hatinya pada Leonard. Dia sadar, kepentingan bersama para sahabatnya lebih utama, dibanding perasaan pribadinya. Namun tentu saja hal itu masih meninggalkan 'bekas mendalam' di hatinya. Hal yang berdampak pada dinginnya hati Dimas terhadap wanita. Dimas merasa sudah t
"Ahh..! Aku datang untuk mengantarkan dompet tanganmu yang tertinggal di dalam mobilku semalam Dewi," seru Dimas agak terpana melihat kecantikkan Dewi, seraya menyerahkan dompet itu pada Dewi. 'Tak kusangka di pagi hari kau malah semakin nampak cantik Dewi', batin Dimas mengakui. "Wah..! Terimakasih Mas Dimas, pantas Dewi cari-cari di tas semalam tak ketemu. Masuk dulu Mas Dimas ya," seru Dewi senang, dia pun membuka lebar pintu rumahnya mempersilahkan Dimas masuk. "Baiklah Dewi, tapi aku tak bisa lama-lama ya. Para sahabat menanti di rumah Mas Bara," sahut Dimas, seraya duduk di kursi tamu rumah. 'Mas Dimas pasti kurang tidur semalam', bathin Dewi, saat melihat mata Dimas yang terlihat cekung dan lelah."Mas Dimas, Dewi ucapkan terimakasih atas pertolongan Mas semalam, dan juga antaran dompet Dewi ya," ucap Dewi tersenyum. "Bukan apa-apa Dewi. Aku hanya kebetulan saja sedang berada di lokasi kejadian," sahut Dimas. Jujur saja Dimas agak jengah juga, karena Dewi menatapnya den
"Bagaimana hasil pengamatan kalian terhadap rumah Bara cs, Pandu..?" "Bersih di sana Paman Jendral, tak ada helikopter maupun orang-orang kita yang hilang di sana. Kami juga sudah memberi peringatan pada kediaman Bara, yang dijadikan markas oleh mereka itu paman," sahut Pandu apa adanya. "Hmm. Kau beri peringatan apa pada mereka Pandu..?" tanya sang Jendral penasaran. "Pandu melepaskan pukulan level ke 4 aji 'Singa Langit' pada kediaman mereka paman Jendral, namun Bara berhasil menangkis pukulan Pandu itu di udara. Dan dari situ ada kabar mengejutkan buat kita Paman Jendral," sahut Pandu, berhenti sejenak dari ucapannya. "Katakan cepat kabar itu Pandu..! Jangan sepotong-potong memberikan informasi padaku..!" sentak sang Jendral, yang menjadi gemas dan penasaran dengan penuturan Pandu. "Paman Jendral, dari beradunya pukulan Pandu dan pemuda bernama Bara itu, maka Pandu jadi yakin, jika saat ini Paman Drajat si 'Tapak Es' ada bersama mereka. Karena energi yang dilepaskan Bara te
Sementara itu, Dimas telah tiba di garasi kediamannya, Dimas bermaksud hendak langsung masuk ke kamarnya, dan menyendiri di sana. Namun saat dia turun dari mobilnya, dan hendak menutup kembali pintu mobil. "Ahh..!" Dimas berseru kaget, saat mendapati sebuah dompet tangan tergeletak di kursi sebelah kemudi. Dan Dimas langsung saja berpikir, jika dompet itu pasti dompet milik Dewi yang tertinggal. 'Biarlah besok saja kuantarkan ke rumahnya sekalian ke rumah Mas Bara', bathinnya. Dia tak hendak membawa dompet itu masuk ke dalam rumah. Maka disimpannya dompet milik Dewi itu di laci mobil. Lalu Dimas pun bergegas keluar dari garasi, menuju ke dalam kamarnya di lantai atas. Ya, hari itu adalah hari paling kelabu di hati Dimas. Di dalam kamar pun, Dimas tak bisa berhenti berpikir tentang Marsha. Hati dan pikirannya seolah terus 'terparkir' pada sosok wanita, yang memang sangat spesial di hatinya itu. Sungguh hal yang sangat 'menguras' energi Dimas. Sulit baginya saat itu, untuk fok
"Maaf Mas Bara dan semuanya. Sepertinya malam ini aku ingin pulang dulu, sekalian mengantarkan Dewi. Dia baru saja lolos dari aksi kejahatan di jalan. Kebetulan aku ada di dekat situ, usai dari warung bang Madi. Karena tinggalnya di Lenteng Agung, maka aku sekalian akan mengantarkannya pulang," ujar Dimas. Menjelaskan sekaligus menjawab tanda tanya di benak semua sahabatnya, tentang siapa wanita yang bersamanya itu. "Maaf Mas Dimas dan semuanya. Dewi jadi merepotkan dan mengganggu acara kalian," Dewi berkata dengan senyum jengah, dan wajah merasa bersalah. "Tak apa Dewi, namanya juga kejadian tak terduga. Silahkan Mas Dimas, besok main lagi ke sini kan Mas..?" sahut Bara, seraya bertanya pada Dimas. "Semoga Mas Bara, mari semuanya," sahut Dimas tersenyum, seraya beranjak menuju mobilnya. Tinn.. Tiinn..! Dimas membunyikan klakson mobilnya, saat hendak keluar dari rumah Bara. Hal yang disambut lambaian tangan dari para sahabatnya. Akhirnya mobilnya meluncur di atas jalan raya
"Itu bukan urusanmu..! Minggirr..!!" sentak orang itu, seraya menepis kasar tangan Dimas yang menahannya. Dagh..! Namun betapa terkejutnya orang itu. Karena saat menepis tangan Dimas, tangannya bagai menghantam besi baja. "Akhs..!" seru kesakitan lelaki sangar itu, dengan wajah meringis. Spontan tangannya terasa sakit dan kesemutan, sedangkan tangan Dimas masih pada posisinya di depan dadanya. "Bangsat..! Kau mau bermain-main dengan kami rupanya..!" seru orang itu emosi. Dan temannya yang sejak tadi hanya diam, dan mengamati di sebelahnya mulai ikut merangsek maju. Seth..! Seth..! Slaakh..!! Bagai dikomando, kedua orang itu secara serentak dan cepat menghunus pisau lipat mereka."Aduhh..! Awas Mas ..!!" teriak si wanita, yang panik dan ketakutan. Tentu saja dia menjadi cemas, melihat kedua orang yang memburu dirinya itu menghunus pisau, untuk mengeroyok pemuda penolongnya. Pisau di kedua tangan orang itu, dimainkan dengan cepat bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagai hendak mem
Tinn.. Tiinn..! Menjelang senja, mobil yang dikendarai David pun tiba di kediaman Bara. Dimas, Sandi, dan David, turun dari mobil dan langsung hendak menuju teras rumah. Di mana Bara dan Gatot telah menanti mereka. Namun setelah turun, langkah Dimas malah langsung menuju ke warung kopi 24 jam milik bang Madi. Yang berada diseberang rumah Bara. "Kalian duluanlah, aku hendak ngopi sejenak di warung seberang," ucap Dimas, pada David dan Sandi. Lalu Dimas kembali balik badan, meneruskan langkahnya ke warung bang Madi. "Mas ... " Sandi urung meneruskan ucapannya."Ssssttt. Sudahlah Sandi, sepertinya dia baru mengalami pukulan berat," bisik David, seraya menepuk dan menggelengkan kepalanya pada Sandi. Sandi pun akhirnya terdiam dengan wajah bingung, menuruti saran dari David. Sementara Bara yang melihat hal itu dari kejauhan, dia pun langsung menangkap makna dari sikap Dimas. Yang langsung berjalan ke warung seberang, tanpa menoleh padanya dan Gatot. Di tatapnya tubuh Dimas yang n
Nampak helikopter itu agak oleng, akibat pengaruh getar energi yang dikeluarkan oleh Pandu. Di saat yang sama, Bara dan Gatot telah berada di luar kediaman Bara. Mereka berdua segera memandang ke arah atas rumah, dan sontak mereka terkejut sekaligus bersiap melepaskan pukulan jarak jauh mereka. Karena mereka melihat sebuah helikopter dengan ketinggian hanya sekitar 25 meter di atas kediaman Bara! Nampak di dalam helikopter itu, sesosok pemuda yang tengah bersiap memukul ke arah kediaman Bara. "Hajar saja kediamannya, Pandu..!" teriak Denta. Saat dia juga melihat Bara dan seorang temannya telah bersiap melepas pukulan jarak jauh dari bawah. Denta berspekulasi, tentunya Bara akan melindungi kediamannya lebih dulu, dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pandu. "Hiyaahh.!!" Wuursshk..!! Dengan diiringi teriakkan kerasnya, Pandu melontarkan pukulannya tanpa ragu ke arah kediaman Bara. Seberkas cahaya merah keemasan melesat cepat, menuju ke atap rumah Bara. "Gatot kau p
Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.!"Hahh..! Marsha..?!" seru Dimas terkejut bukan main, saat dilihatnya nomor Marsha tertera di layar ponselnya. Saat itu dia masih berada di halaman vila markas yang baru saja dibelinya. Klik.! "Ya Marsha ...?! " sahut Dimas, penuh rasa rindu dan kecemasan. "Mas Dimas, Marsha saat ini berada di kediaman Leonard di Washington. Marsha baik-baik saja disini Mas Dimas," ucap Marsha serak. Dia tahu Dimas sangat mencemaskan dirinya. "Syukurlah Marsha. Tenanglah, sesegera mungkin aku akan menjemputmu pulang ke Indonesia. Aku sedang mempersiapkan visa untuk ke sana bersama Mas Bara," ucap Dimas, ingin menenangkan Marsha disana. "Maaf Mas Dimas, sepertinya itu tak perlu Mas lakukan. Karena Marsha disini sudah berkomitmen dengan Leonard. Hal ini benar-benar diluar dugaan Marsha Mas Dimas," ucap Marsha penuh rasa sesal. Karena mau tak mau, dia harus mengatakan hal yang pasti menyakitkan hati Dimas. "Apa maksudmu Marsha..?! Komitmen dengan Leonard..?" Dimas ber