"Hiyahh..!" Seth..! Slaph..! ... Setth..! seiring teriakkan kerasnya, nampak sosoknya bergerak makin cepat dan semakin cepat. Hingga akhirnya, Weesshh..!! Blaph..!Sosok lelaki itu bagai menghilang tiba-tiba. Dan kini hanya deruan angin, dengan selarik cahaya yang melesat cepat di sekitar pepohonan pinus itu.Bagai sebuah lintasan cahaya putih, yang melayang-layang di atas pucuk pepohonan. Perlahan hawa panas pun menebar ke segala penjuru di area halaman itu. Pucuk-pucuk pohon pinus itu pun serentak mengepulkan asapnya. Lalu lintasan cahaya itu pun akhirnya lenyap, bersamaan dengan suara teriakkan keras membahana, "Hiyaahh.!!" Byaarrshk..!! Sosok itu mendarat ringan di tengah-tengah area pohon pinus itu. Sementara seluruh dedaunan belasan pohon pinus itu, kini serentak terbakar tanpa sisa..! Meranggas total..!Ya, kini belasan pohon pinus itu kesemuanya kepulkan asap, dan meranggas kering tanpa daun..! Gundul tanpa sehelai daun pun yang tertinggal..! Namun uniknya, batang pohon
"Hahhh..!!" seru kaget Bara dan Gatot bersamaan. "A-apa maksud Paman Drajat..?!" seru Bara kaget, dia merasa salah mendengar. "Bara, hal ini sudah aku pikirkan masak-masak. Kekuatan yang akan kauhadapi sangatlah besar. Paman merasa dengan kekuatan murni dari 'Mustika Naga Emas' saja, itu rasanya belum cukup. Kamu harus lebih kuat untuk mengimbangi power gabungan Harimau Besi dan Singa Langit mereka Bara," ujar Drajat menjelaskan alasannya. "Tidak Paman..! Terimakasih atas maksud baik Paman Drajat. Tapi Bara merasa lebih membutuhkan Paman dalam kondisi seperti sekarang ini. Sementara Bara masih bisa meningkatkan kemampuan Bara dengan cara lain," ucap Bara tegas, menolak maksud baik Drajat. Sejujurnya Bara masih trauma dengan kematian sang Kakek, setelah mencabut dan menerapkan 'Mustika Naga Emas' ke dalam dirinya. Hal yang menyebabkan kondisi kesehatan sang kakek memburuk secara tiba-tiba, dan akhirnya meninggal dunia. Dia tidak ingin hal sama terjadi pada Drajat, hanya demi m
"Sangat setuju Paman Drajat..!" seru Gatot, menanggapi usulan Drajat dengan antusias. "Baik Paman Drajat. Bara setuju dengan gagasan Paman, tapi bagaimana cara kita merekrut ke 11 orang itu..? Apakah kita harus membuka iklan loker Paman..?" Bara menyetujui seraya bertanya. "Tenang Bara, soal itu paman memiliki cara sendiri. Yang pasti, hanya bibit-bibit unggul, yang bisa menjadi anggota pasukan 'Super Level' bentukkan paman ini," sahut Drajat tersenyum. Tinn .. Tinn..! Masuk Pagero Sport hitam milik David ke halaman rumah Bara. Nampak David melemparkan senyumnya dari kaca jendela mobil yang terbuka. "Pagi semuanya, apakah aku melewatkan sesuatu..?" tanya David yang langsung bergabung bersama mereka. "Pagi David..!" sahut mereka. "David. Kami sedang berembug masalah pertaruhan di kompetisi pertarungan Bara besok. Apakah kau memiliki rencana atau kita 'off' dulu pada pertaruhan besok..?" tanya Gatot. "Kita akan ikut taruhan itu besok," sahut David yakin. "Ahh..! Apakah kita ak
"Setuju sekali dengan usul Bara dan Mas Dimas," tanggap Gatot. "Aku setuju Bara, Mas Dimas, Paman. Jika perlu vilaku bisa kalian gunakan untuk markas kita," sambut Sandi setuju seraya menawarkan vilanya. "Tidak Sandi, lebih baik kita tidak mencampurkan hal ini dengan milik pribadi. Kita akan membelinya dari uang kita bersama," ujar Bara, menolak tawaran vila milik Sandi dijadikan markas mereka. "Benar Bara, sebaiknya kita beli saja vila dengan lahan yang luas sebagai markas kita. Dan jika kita menang taruhan nanti. Aku mengusulkan agar kita memiliki kamuflase bisnis 'Charter Pesawat'. Karena kita pasti akan memerlukan mobilitas ke luar negeri nantinya, saat kompetisi internasional dimulai. Kita mampu membeli beberapa pesawat jet pribadi, untuk dijadikan lahan bisnis dan pemasukkan bagi kita semua. Disamping kita bisa menggunakan sendiri pesawat pribadi tersebut untuk misi kita," ujar David, memberikan masukkan pada para sahabatnya. "Pas David..! Aku juga sedang berpikir tentan
"Baik Marsha, aku penuhi keinginanmu itu sayang," ucap Leonard lembut, seraya wajahnya mendekat, hendak mencium pipi Marsha yang mulus itu. "Haish..! Kita belum syah jadi suami istri Leonard..!" sentak Marsha, seraya menjauhkan wajahnya dari angsuran wajah tampan Leonard. "Ahh, ok Marsha," keluh Leonard, namun segera dia tersenyum senang. Sikap Marsha malah membuatnya semakin penasaran dan bergairah, untuk 'melahap' Marsha habis-habisan setelah mereka menikah nanti. 'Hmm. Awas kau Marsha sayang..', bisik hati Leonard gemas. Rupanya sang Lokha Lama guru Leonard di kuil Rituo - Tibet, memang tak salah dalam 'melihat' watak asli Leonard di masa depan.Kini ilmu yang diturunkannya pada Leonard sudah berada kembali di jalurnya dengan benar. Sungguh guru yang waskita..! *** Sementara kesepakatan telah terjadi, antara Norman dan Bara cs. Norman bersedia Bara cs memasang taruhan atas namanya sebesar 1 triliun rupiah. Demi melihat besarnya nilai taruhan dan keyakinan Bara cs, maka No
Dua buah mobil meluncur menuju ke arah puncak pagi itu. Nampak Jeep Cherokee putih yang dikemudikan Dimas, diikuti oleh sebuah Pagero Sport hitam milik David. Bara duduk di sebelah David, mereka bertiga memang berniat mencari sebuah vila berlahan luas, yang sedang dijual di daerah puncak. Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun menemukan sebuah vila yang dijual, dengan bangunan dan sisa lahan yang cukup luas untuk markas mereka. Bangunan vila cukup megah itu memiliki 11 kamar dengan lahan seluas 8000 meter persegi. Setelah David melakukan nego maka dicapailah kesepakatan harga menjadi 20,25 miliar, dari harga awal yang ditawarkan senilai 20,5 miliar. Dimas pun bersedia menghandel urusan jual beli vila itu. Sedangkan David dan Bara langsung melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke vila milik penyelenggara. "David. Aku dan Mas Dimas hendak meminta bantuanmu, untuk mengurus visa kami berdua ke Amerika. Kami hendak melacak keberadaan Marsha di sana. Itu pun jika ada waktu senggang,
"Nah, Marsha sayang. Selamat datang di kediamanku. Kita akan menetap di sini hingga hari pernikahan kita tiba," ucap Leonard lembut, dengan senyum penuh kebahagiaan. "Kediaman yang asri Leonard," puji Marsha tersenyum. Betapa bahagianya hati Leonard, melihat kini Marsha sudah bisa tersenyum lepas seperti itu. "Benar Marsha. Di sinilah aku menghabiskan masa kecilku. Sedangkan masa remajaku, aku menghabiskannya di New York," ujar Leonard. Teringat dia akan masa kecilnya yang bahagia, serta masa remajanya yang 'liar dan penuh gelora' di New York. 'Hmm, sepertinya Tuan Muda kali ini serius dengan wanita jelita ini. Sungguh beruntung Nona Marsha itu, dan beruntung pula Tuan Muda mendapatkan wanita yang tak ada duanya di Medina ini. Sungguh cantik dan ramah tak dibuat-buat', bathin Jason, seraya mengemudikan mobilnya masuk ke area kediaman Leonard. Dan mobil yang dikemudikan Jason akhirnya berhenti, di depan teras megah dan luas bangunan kastil itu. Nampak pintu utama rumah
"Hmm. Rupanya dia ingin membalik keadaan pada kita, dan meraup semua uang taruhan khusus di pasar pertaruhan," ujar David langsung mengerti apa maksud si Jendral culas itu. Tak lama kemudian malam pun menjelang, Bara dan David bergegas menunggu helikopter pihak penyelenggara, yang akan menjemput mereka di belakang vila. Akhirnya helikopter yang menjemput mereka pun datang, setelah pemegang kunci melepas 'gelang khusus palsu' mereka. Maka helikopter pun kembali mengudara menuju ke arena pertarungan kompetisi wilayah, yang pastinya tengah menunggu kedatangan Bara. Tampak suasana di area gedung arena kompetisi telah ramai dengan para tamu dan para penonton. Mereka juga kebanyakkan adalah para peserta taruhan, pada pertarungan perdana kompetisi penguasa wilayah itu. Maka begitu helikopter mereka mendarat, banyak di antara orang-orang itu yang meneriaki mereka. "Wahh..! Itu Sang Kaisar Prodeo telah tiba..!" "Hidup Sang Kaisar..!! Aku bertaruh untukmu..!" "Bara..! Kau harus menang..
"Kalian rakit dan arahkan sniper ke gedung arena pertarungan itu. Backing kami dan habisi saja siapapun yang membahayakan orang-orang kita..!" seru Drajat. "Siap Jendral..!" sahut keduanya mengerti. Mereka pun langsung mengambil posisi ternyaman dan tersembunyi, dari lokasi itu mengarah ke gedung arena. Sedangkan Drajat sendiri mengarahkan teropong Night Visionnya, ke arah gedung arena kompetisi itu. Nampak olehnya masih banyak orang lalu lalang, di sekitar pintu utama gedung arena. Drajat terus menyisir area sekitar gedung dengan teropongnya itu, dan saat teropong di arahkan ke atas gedung ... "Brengsek..! Denta, Pandu dan Freedy, berada di atas gedung arena itu..! Ada sekitar 7 orang Pasukan Harimau Besi juga bersama mereka di sana," seru Drajat mengkonfirmasi pada para sahabat. Dia memberikan teropongnya, agar Dimas, Brian, dan Gatot, juga bisa melihat situasi itu. Maka bergantian para sahabat meneropong kondisi gedung arena, untuk sekaligus merekam posisi musuh dalam memor
"Bagus Bara! Memang sebaiknya begitu, agar mereka berpikir segala sesuatunya berjalan seperti biasanya. Sesuai jadwal dan rencana mereka, jika memang mereka merencanakan sesuatu terhadap kita. Namun pada akhirnya, akan kita buat mereka terkejut nantinya! Hehe," ujar Drajat terkekeh. Dan setelah Bara cs usai makan siang di markas. Maka sesuai rencana Drajat, Dimas, Brian, dan Gatot, bersama dengan 2 orang anggota Pasukan Super Level segera berangkat, menuju ke wilayah kepulauan seribu. Mereka berniat menyewa speed boat dan mempersiapkan 'misi' mereka nanti malam. Dua buah mobil melaju keluar membawa mereka ke lokasi, mobil milik Dimas dan juga sedan milik Bara. Dewi akan ikut naik helikopter, dan akan masuk ke dalam gedung arena kompetisi bersama David. Untuk menyaksikan pertarungan sekaligus mengawasi kondisi di dalam gedung arena. Sementara Sandi dan dua anggota Pasukan Super Level, akan berjaga di sekitar helikopter mereka. Hal yang bertujuan berjaga dari segala kemungkinan
Tiin.. Tinn..! Nampak Jeep Cherokee putih milik Dimas masuk ke dalam vila markas.Dimas pun turun diikuti oleh Dewi di belakangnya. Sontak mata para sahabat pun tercengang, saat melihat sosok Dewi di belakang Dimas. Sepertinya pikiran dan pertanyaan serupa melintas di benak mereka, 'Sepercaya itukah Dimas membawa Dewi ke markas mereka..?' pikir mereka semua bingung. Sebaliknya, Dimas sudah membaca dan menduga kebingungan hati para sahabatnya itu. Karena Dimas melihat dari cara mereka memandang dirinya dan Dewi, saat mendekati mereka semua. "Dewi. Di depan para sahabatku. Kau katakanlah jati dirimu yang sebenarnya. Kau seorang polisi yang sedang menyamar bukan..?" bisik Dimas tajam, seraya terus berjalan ke arah para sahabatnya. "A-apa maksudmu Mas Dimas..?!" bisik Dewi terkejut bukan kepalang, saat mengetahui penyamarannya telah terbongkar oleh Dimas. "Sudahlah Dewi, mengaku sajalah agar semuanya menjadi mudah. Aku yakin tujuan misimu tak jauh dari misi kami. Kau ditugaskan u
"Denta! Mulai sekarang kau berjaga langsung di gedung arena pertarungan untuk nanti malam. Misimu adalah mencari celah, untuk menghabisi Bara sebelum atau sesudah pertarungan berlangsung..! Pakailah cara halus Denta, jangan sampai membuat pengunjung merasa tidak nyaman atau ikut menjadi korban..! Mereka adalah aset kita di masa depan..! Ingat itu..!" sentak Graito mengingatkan. "Baik Jendral..!" seru Denta siap. "Sekarang kalian pergilah ke posisi masing-masing. Pandu bawa beberapa anggota Pasukan Harimau Besi, dan ikutlah bersama Denta menjaga gedung arena pertarungan. Bekerjasamalah kalian untuk menghabisi Bara, jika rencana peledakkan helikopter nanti malam gagal..!" seru sang Jendral tegas. "Baik Jendral..!" sahut mereka serentak. Mereka segera keluar dari ruang pribadi sang Jendral, untuk melaksanakan misi mereka. *** Pagi-pagi sekali Dimas telah menaiki scoppy milik Dewi, untuk mengantarkannya ke ke kontrakkan Dewi. Semalam mereka memang pulang agak larut, usai urusa
"Resti, Revina, apakah semua sahabat Mas Dimas memiliki kemampuan seperti itu..?" tanya Dewi takjub. Resti dan Revina saling pandang sejenak, mereka juga bingung hendak menjawab bagaimana. Namun karena memandang Dewi adalah sahabat Dimas, akhirnya Resti pun berkata, "Mbak Dewi, semua sahabat Mas Dimas adalah putra-putra para petinggi militer di jamannya. Dan juga tak terkecuali David, mereka semua memang memiliki kemampuan di atas rata-rata Mbak," sahut Resti jujur. "Ohhh..! Luar biasa. Kukira hanya Mas Dimas dan Mas Bara saja yang memiliki kemampuan seperti itu," sahut Dewi merasa kagum, dengan lingkaran para sahabat Bara dan Dimas. Dewi sendiri juga memiliki kemampuan bela diri Karate dan Taekwondo. Namun setelah melihat rekannya Hari dan Dewo, yang notabene kemampuannya berada di atas dirinya saja tumbang. Hanya dengan sekali 'tamparan dahsyat' dari Dimas. Maka dirinya merasa kemampuannya bagaikan 'ikan Teri', di antara para 'ikan Paus'. 'Sungguh lingkaran para pria utama'
"Tak perlu Dewi. Andai kau tak berjodoh dengan Dimas, maka simpan saja cincin itu untuk kenangan. Namun ibu yakin kalian berjodoh, jika kamu sabar dan yakin Dewi. Ibu akui saat ini Dimas sepertinya sedang tidak stabil dan down. Setengah dari semangat hidupnya seperti hilang Dewi. Ibu minta tolong padamu untuk menemaninya dengan sabar. Semoga bersamamu semangat hidupnya akan kembali utuh," ucap Retno lembut, penuh harapan. "Baik Bu, Dewi akan mencobanya," ucap Dewi berjanji. Tok .. tokk..! "Ibu, Dimas berangkat dulu ke rumah Mas Bara ya," ucap Dimas, seraya mengetuk pintu kamar ibunya. "Dimas..! Sebentar Nak," seru sang ibu dari dalam kamarnya. "Ya Bu," sahut Dimas, otomatis dia menanti di depan kamar sang ibu. Klek.! "Dimas biarkan Dewi ikut bersamamu. Ayo Dewi, kamu ikut Dimas bertemu dengan sahabat-sahabatnya," ucap sang ibu dengan tegas, dan terkesan tak boleh dibantah oleh Dimas. "Tapi Bu, motor Dewi..?" tanya Dewi bingung. "Dewi, motormu biar di antar Dimas besok pagi
"Ahh, Dimas. Akhirnya kau pulang Nak," sambut sang ibu, seraya memeluk Dimas. Retno terlihat kangen dengan putranya, yang telah seminggu berada di vila itu. Sesungguhnya Retno sangat cemas melihat kondisi tubuh Dimas, yang terlihat bertambah kurus belakangan ini. Dia juga pernah memergoki putranya itu kembali merokok di kamarnya. Hal yang semakin menguatkan dugaannya, bahwa ada sebuah masalah dan keresahan dalam jiwa putra tersayangnya itu. "Dimas baik-baik saja Ibu," ucap Dimas. Dan memang selalu kata itu yang kerap diucapkan Dimas pada ibunya. Karena Dimas juga tahu, jika sang ibu mencemaskan perubahan dirinya saat ini. "Salam Ibu," sapa Brian, seraya mencium tangan Retno. "Nah, kebetulan ada Brian. Langsung saja kalian makan bersama ya. Ibu sudah masakkan sop iga sapi kesukaanmu. Tadi Dewi mengabarkan pada ibu soal kepulanganmu Dimas," ujar sang ibu setengah memaksa. 'Ahh, pantas saja', bathin Dimas. Rupanya Dewi telah bertindak cepat, mengabarkan hal ini pada ibunya. Dan
"Baik Pak ... eh Mas David," Dewi berkata gugup dan tersenyum jengah, lalu keluar dari ruangan David. "Cantik juga bawaan Mas Dimas itu ya David," celetuk Gatot. "Hushh..! Dia sepertinya ada hati sama Dimas, Gatot," sergah David. "Semoga saja mereka jadian. Kasihan Mas Dimas ..." ujar Gatot, tak meneruskan ucapannya. "Semoga saja Gatot," sahut David cepat. Dia memaklumi ucapan Gatot. Karena dia juga sudah tahu tentang kisah Dimas dan Marsha. "Gatot, sebaiknya kita keluar saja dari kantor sekarang. Karena tentunya pengintai itu akan mengikuti kita. Nanti kita akan berhenti di tempat agak sepi, dan membereskan mereka. Karena cafe itu terlalu ramai dan mencolok mata," ujar David mengungkapkan rencananya. "Benar David! kita akan kejutkan mereka nanti..!" sambut Gatot setuju. "Gan. Sepertinya target kita sudah berada di dalam kantornya saat ini," ucap seorang pengunjung Cafe Tosca siang itu. "Benar Do, sekarang kita tinggal menunggu dia keluar dan mengikutinya," sahut temannya.
"Baik Dewi. Aku percaya padamu, tapi untuk apa mereka mengawasi rumahku ya..?" tanya Dimas seolah pada diri sendiri. "Dewi mana tahu Mas Dimas. Hihihi," sahut Dewi tertawa geli, mendengar nada bingung Dimas. "Ohh..! Baik Dewi terimakasih infonya ya." Klik.! Dimas seperti tersadar dan buru-buru menutup panggilan. "Paman Drajat, sebaiknya Dimas bersiap pulang dulu sekarang," pamit Dimas pada Drajat, yang masih mengawasi latihan pasukannya. "Baik Dimas, terimakasih atas pelatihannya selama seminggu ini ya," ujar Drajat tersenyum gembira. Dimas beranjak menuju ke teras vila, di mana dilihatnya para sahabat sedang berkumpul di sana. "Apakah aku ketinggalan sesuatu..?" tanya Dimas tersenyum. "Mas Dimas, sudah selesaikah latihan khusus darimu buat pasukan kita..?" tanya Bara tersenyum. "Baru saja selesai subuh tadi Mas Bara. Tapi sepertinya aku harus pulang dulu siang ini ke Depok," sahut Dimas, seraya memberitahu rencana kepulangannya. Wah kebetulan Mas Dimas..! Kami juga hendak