"Mas Dimas..!!" keempat sahabatnya berseru serentak dalam rasa cemas. Bara segera memegang pundak Dimas, dan mengalirkan kembali energi hawa murninya ke tubuh Dimas. "Tenanglah Mas Dimas, pasti ada kesalah pahaman di sini. Beristirahatlah kembali Mas Dimas," ucap Bara menenangkan sahabatnya, yang nampak terpukul setelah melihat gambar pelatih pasukkan Harimau Besi itu. Bara terus mengalirkan hawa murninya ke tubuh Dimas. Setelah dirasanya cukup, Bara pun menghentikan aliran energinya itu. "Maaf Mas Dimas, Tukh..!" Gatot berkata seraya menotok titik tak sadarkan diri, di sisi leher Dimas. Dan Dimaspun kembali lunglai tak sadarkan diri, pulas. "Benar Gatot," bisik Bara setuju dengan tindakan Gatot. Karena memang Dimas sangat membutuhkan istirahat saat itu. "Sebaiknya kita kembali bicara di ruang tamu saja, biarkan Mas Dimas beristirahat," ujar Bara, seraya menuju ke ruang tamu. "O ya David. Mulai besok kita akan bergantian mengawasi gerak-gerik Freedy dan ayahnya Denta. Menurut
"Mas Gatot. Biarlah aku yang membajak helikopter itu ke kediaman Mas Bara. Kabarkan saja pada Mas Bara, untuk bersiap menyambutku di halaman belakang rumahnya," ucap Brian. Mereka sudah mengamati kebiasaan para security di area itu. Ya, para security tampak tak begitu memperhatikan helikopter-helikopter yang keluar dan masuk ke area itu. Mereka seperti beranggapan tak akan ada yang berani mengusik pulau yang dikuasai 'pihak penyelenggara' bos mereka. Dan lagi sejauh ini tak pernah ada kejadian luar biasa di srea itu. Begitu mungkin pikiran yang ada di benak mereka. Dan sepertinya kali ini mereka salah..! "Kalau kau yakin maka lakukanlah Brian. Aku memang melihat ada sebuah heliport di belakang rumah Bara. Mungkin dulunya heliport itu sering dipakai sang Panglima. Baik akan kukabarkan setelah kau telah berada dalam helikopter itu," sahut Gatot. "Baik aku akan berada di pucuk pohon dekat helikopter itu. Nanti pada saat ketinggian helikopter sudah sesuai, aku akan langsung melesat
Jika Ruben menolaknya dan memutuskan hubungan dengannya, Marina masih memiliki harapan pada Samuel. Jika Ruben menerimanya, maka dia hanya akan meminta kompensasi pada Samuel. Namun jika keduanya menolak..? Maka Marina akan menuntut kompensasi pada Samuel secara hukum, dengan nilai yang fantastis, karena dia berpikir Samuel tak akan mau menjatuhkan nama baiknya dan perusahaannya sendiri di pengadilan. Namun melihat gelagat dari Samuel yang seperti mau bertanggung jawab, maka rencana ketiga secara otomatis hilang dari daftar Marina. Kini Marina masih menunggu jawaban dari Ruben, yang meminta waktu untuk menjawabnya. Intinya Marina tak ingin dan tak akan pernah, mengaborsi janin di perutnya itu. "Baiklah Rina. Kuberikan kau rumah sementara, untuk beristirahat dan menjaga 'anak kita' yang ada di perutmu itu ya," Samuel berkata melembut. "Bagaimana Pak Sam..? Apakah ini berarti Rina di liburkan dari pekerjaan..?" tanya Marina kurang yakin. "Benar Marina. Sebaiknya sementar
'Tubuh yang kencang dan indah sekali', bathin Samuel, dengan mata merayapi lekuk indah tubuh Clara. Ya, Samuel seolah sudah tak sabar, hendak 'membajak' tubuh Clara di ranjangnya. "Baiklah Om, tapi mulai kapankah Clara bisa bekerja di kantor Om Samuel..?" tanya Clara, dengan senyum senang di wajahnya. "Mulai besok hari Clara. Karena mulai besok, sekretaris om sebelumnya sudah tak bekerja lagi di ruangan om," sahut Samuel cepat. "Ohh..! Begitu cepatnya Om Samuel..? Baiklah, Clara akan mengajukan cuti kuliah dan bekerja di kantor Om." "Hahaaa. Bagus Clara. Tugasmu tak terlalu sulit kok. Kamu hanya ikuti saja apa-apa yang om perintahkan nanti di ruangan kerja om. Kamu 'mengerti' Clara..?" tanya Samuel penuh makna, seraya tertawa senang sekali. "Baik pak, eh Om Samuel," sahut Clara menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Clara. Apakah kau ada acara malam ini setelah dinner..?" tanya Samuel, dia bermaksud langsung mengajak Clara ke ruang pribadinya di kantor malam itu juga. Jaku
Tinn.. Tiinn..! Bunyi klakson terdengar diikuti oleh masuknya Porsche 718 putih milik David. Mobil itu langsung parkir di dekat teras rumah Bara. Dari dalamnya turunlah David yang diikuti oleh Revina, keduanya langsung menebarkan senyum pada mereka semua. "Halo semuanya..! Maaf aku terlambat datang," seru David seraya menghampiri para sahabatnya, yang berkumpul di teras rumah Bara. Dan semua sahabat pun menyambut gembira, kedatangan kedua sahabat mereka itu. "Wahh..! Kebetulan kalian juga datang. Ada beberapa hal yang memang harus kita bicarakan saat ini," seru Bara senang. "Baik Bara. Aku ikut senang mendengar keberhasilan misi Brian dan Gatot hari ini. Kalian berdua hebat..!" puji David pada kedua sahabatnya itu, seraya mengacungkan jempolnya. "Ahh, biasa saja David. Itu si Brian yang heboh, kecepatan ilmu meringankan tubuhnya sangat mengagumkan. Hehe," sahut Gatot terkekeh memuji Brian. "Julukan Sayap Elang memang bukan nama kosong rupanya, mantap Brian..!" seru Dimas, turu
"Hhhh, Graito! Kenapa hingga saat sudah sepuh begini kau masih saja belum mampu berpikir 'jauh'! Jelas saja keturunan mereka akan mencarimu dan menuntut balas. Dan aku yakin kemampuan mereka semua pasti tak jauh dari orangtuanya. Ini akan rumit Graito, walaupun kemampuanmu berada di atas mereka sekalipun. Kau takkan mampu menghadapi mereka, tanpa jatuh korban di pihakmu. Bagaimana dengan keponakanku Angga..? Semoga dia baik-baik saja." Sang Jendral langsung tertegun, dalam rasa kagum dan cemas berbaur jadi satu. Betapa tajam pengamatan seniornya si Singa langit ini. Bahkan dia seperti sudah menduga akan terjadi sesuatu dengan Angga. Dan memang benar, Angga sudah mengalami luka dalam parah pada pertarungannya dengan Bara belum lama ini. "Mas Haryo, belum lama memang Angga terluka parah dalam pertarungan melawan Bara, cucu si Damarjati itu. Sepertinya Damarjati telah berhasil menurunkan semua kemampuannya pada cucunya itu, termasuk mewariskan 'Mustika Naga Emas' padanya,"
"Sudahlah Mas Dimas, Brian, itu tak ada artinya bila dibanding bantuan mendiang Ayah kalian pada keluargaku. Aku masih berhutang banyak pada mereka Mas Dimas, Brian, dan juga kamu Gatot," Bara berucap dengan nada serak, teringat jasa-jasa mendiang ayah para sahabatnya itu pada keluarganya, terkhusus pada ibunya. "O ya Mas Bara, apakah motor HD VR1000 yang berada di garasi belakang itu boleh aku perbaiki. Sayang sekali motor antik itu tergeletak begitu saja, aku rasa aku dan temanku bisa mengembalikannya dalam kondisi semula," ucap Brian, yang dasarnya memang suka dengan otomotif. "Wah, syukurlah kalau bisa memperbaikinya Brian. Biar nanti aku sediakan biayanya," sahut Bara gembira. Dia memang berniat mencari orang yang bisa memperbaiki motor warisan kakeknya itu. "Soal biaya gampanglah Mas Bara, yang penting aku diperbolehkan memperbaikinya. Itu adalah hobiku dan temanku Mas Bara," Brian berkata dengan wajah gembira. *** "Selamat pagi Bu, saya Clara. Apakah Pak Samuel Wijaya ada
Karena itu artinya dia harus membubuhkan 'obat bius tanpa rasa, tanpa warna, dan tanpa bau', di jus mangga pada sebuah gelas khusus. Dan jika bosnya berkata 'seperti biasa', itu artinya 'obat perangsanglah' yang harus dicampurkan. Sedangkan tanpa kedua kata itu, artinya dia hanya menyajikan pesanan bosnya secara normal. Sungguh 'bejad' bos bernama Samuel ini dalam merancang 'aksinya'. Kemampuan Samuel berkolaborasi dengan sang koki kantornya itu sungguh rapih, licin, dan mengerikkan. Dan tentunya sang Koki mendapat 'gaji lebih' dari Samuel. Dengan cekatan sang koki mulai mempersiapkan pesanan 'bos bejad'nya itu. Sebenarnya tak perlu Samuel melakukan hal memalukan itu, jika dia tahu siapa Clara sebenarnya. Tanpa diberi obat bius pun Clara pasti sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Karena dia pasti sudah paham akan konsekuensi, dari 'skenario' yang sedang dijalaninya. Namun Samuel berpikir akan memakan waktu lama dan bertele-tele. Jika dia mengajak Clara yang dinilainya masih c
Di ruang tamu villa, nampak berkumpul Bara serta para sahabatnya. Sementara Leonard juga di dampingi 2 orang kepercayaannya, Jason dan Tommy. Mereka berbicara akrab dan hangat saat itu. Seperti tak pernah ada permusuhan di antara mereka. "Leonard. Terimakasih atas kesediaanmu mengantar sendiri pesanan kami," ucap Bara tersenyum. "Sama-sama Bara, aku senang bisa bersahabat dengan kalian semua. O ya, Marsha titip salam buat kalian semua. Tadinya dia memaksa ikut, namun dilarang keras sama Ibuku," ujar Leonard menyampaikan. "Ahh. Bagaimana kabar Marsha di sana Leonard..? Kapan kalian menikah..?" tanya Dimas. Dia memang sudah mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Ya, Dimas sudah belajar menghilangkan kebencian di hatinya pada Leonard. Dia sadar, kepentingan bersama para sahabatnya lebih utama, dibanding perasaan pribadinya. Namun tentu saja hal itu masih meninggalkan 'bekas mendalam' di hatinya. Hal yang berdampak pada dinginnya hati Dimas terhadap wanita. Dimas merasa sudah t
"Ahh..! Aku datang untuk mengantarkan dompet tanganmu yang tertinggal di dalam mobilku semalam Dewi," seru Dimas agak terpana melihat kecantikkan Dewi, seraya menyerahkan dompet itu pada Dewi. 'Tak kusangka di pagi hari kau malah semakin nampak cantik Dewi', batin Dimas mengakui. "Wah..! Terimakasih Mas Dimas, pantas Dewi cari-cari di tas semalam tak ketemu. Masuk dulu Mas Dimas ya," seru Dewi senang, dia pun membuka lebar pintu rumahnya mempersilahkan Dimas masuk. "Baiklah Dewi, tapi aku tak bisa lama-lama ya. Para sahabat menanti di rumah Mas Bara," sahut Dimas, seraya duduk di kursi tamu rumah. 'Mas Dimas pasti kurang tidur semalam', bathin Dewi, saat melihat mata Dimas yang terlihat cekung dan lelah."Mas Dimas, Dewi ucapkan terimakasih atas pertolongan Mas semalam, dan juga antaran dompet Dewi ya," ucap Dewi tersenyum. "Bukan apa-apa Dewi. Aku hanya kebetulan saja sedang berada di lokasi kejadian," sahut Dimas. Jujur saja Dimas agak jengah juga, karena Dewi menatapnya den
"Bagaimana hasil pengamatan kalian terhadap rumah Bara cs, Pandu..?" "Bersih di sana Paman Jendral, tak ada helikopter maupun orang-orang kita yang hilang di sana. Kami juga sudah memberi peringatan pada kediaman Bara, yang dijadikan markas oleh mereka itu paman," sahut Pandu apa adanya. "Hmm. Kau beri peringatan apa pada mereka Pandu..?" tanya sang Jendral penasaran. "Pandu melepaskan pukulan level ke 4 aji 'Singa Langit' pada kediaman mereka paman Jendral, namun Bara berhasil menangkis pukulan Pandu itu di udara. Dan dari situ ada kabar mengejutkan buat kita Paman Jendral," sahut Pandu, berhenti sejenak dari ucapannya. "Katakan cepat kabar itu Pandu..! Jangan sepotong-potong memberikan informasi padaku..!" sentak sang Jendral, yang menjadi gemas dan penasaran dengan penuturan Pandu. "Paman Jendral, dari beradunya pukulan Pandu dan pemuda bernama Bara itu, maka Pandu jadi yakin, jika saat ini Paman Drajat si 'Tapak Es' ada bersama mereka. Karena energi yang dilepaskan Bara te
Sementara itu, Dimas telah tiba di garasi kediamannya, Dimas bermaksud hendak langsung masuk ke kamarnya, dan menyendiri di sana. Namun saat dia turun dari mobilnya, dan hendak menutup kembali pintu mobil. "Ahh..!" Dimas berseru kaget, saat mendapati sebuah dompet tangan tergeletak di kursi sebelah kemudi. Dan Dimas langsung saja berpikir, jika dompet itu pasti dompet milik Dewi yang tertinggal. 'Biarlah besok saja kuantarkan ke rumahnya sekalian ke rumah Mas Bara', bathinnya. Dia tak hendak membawa dompet itu masuk ke dalam rumah. Maka disimpannya dompet milik Dewi itu di laci mobil. Lalu Dimas pun bergegas keluar dari garasi, menuju ke dalam kamarnya di lantai atas. Ya, hari itu adalah hari paling kelabu di hati Dimas. Di dalam kamar pun, Dimas tak bisa berhenti berpikir tentang Marsha. Hati dan pikirannya seolah terus 'terparkir' pada sosok wanita, yang memang sangat spesial di hatinya itu. Sungguh hal yang sangat 'menguras' energi Dimas. Sulit baginya saat itu, untuk fok
"Maaf Mas Bara dan semuanya. Sepertinya malam ini aku ingin pulang dulu, sekalian mengantarkan Dewi. Dia baru saja lolos dari aksi kejahatan di jalan. Kebetulan aku ada di dekat situ, usai dari warung bang Madi. Karena tinggalnya di Lenteng Agung, maka aku sekalian akan mengantarkannya pulang," ujar Dimas. Menjelaskan sekaligus menjawab tanda tanya di benak semua sahabatnya, tentang siapa wanita yang bersamanya itu. "Maaf Mas Dimas dan semuanya. Dewi jadi merepotkan dan mengganggu acara kalian," Dewi berkata dengan senyum jengah, dan wajah merasa bersalah. "Tak apa Dewi, namanya juga kejadian tak terduga. Silahkan Mas Dimas, besok main lagi ke sini kan Mas..?" sahut Bara, seraya bertanya pada Dimas. "Semoga Mas Bara, mari semuanya," sahut Dimas tersenyum, seraya beranjak menuju mobilnya. Tinn.. Tiinn..! Dimas membunyikan klakson mobilnya, saat hendak keluar dari rumah Bara. Hal yang disambut lambaian tangan dari para sahabatnya. Akhirnya mobilnya meluncur di atas jalan raya
"Itu bukan urusanmu..! Minggirr..!!" sentak orang itu, seraya menepis kasar tangan Dimas yang menahannya. Dagh..! Namun betapa terkejutnya orang itu. Karena saat menepis tangan Dimas, tangannya bagai menghantam besi baja. "Akhs..!" seru kesakitan lelaki sangar itu, dengan wajah meringis. Spontan tangannya terasa sakit dan kesemutan, sedangkan tangan Dimas masih pada posisinya di depan dadanya. "Bangsat..! Kau mau bermain-main dengan kami rupanya..!" seru orang itu emosi. Dan temannya yang sejak tadi hanya diam, dan mengamati di sebelahnya mulai ikut merangsek maju. Seth..! Seth..! Slaakh..!! Bagai dikomando, kedua orang itu secara serentak dan cepat menghunus pisau lipat mereka."Aduhh..! Awas Mas ..!!" teriak si wanita, yang panik dan ketakutan. Tentu saja dia menjadi cemas, melihat kedua orang yang memburu dirinya itu menghunus pisau, untuk mengeroyok pemuda penolongnya. Pisau di kedua tangan orang itu, dimainkan dengan cepat bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagai hendak mem
Tinn.. Tiinn..! Menjelang senja, mobil yang dikendarai David pun tiba di kediaman Bara. Dimas, Sandi, dan David, turun dari mobil dan langsung hendak menuju teras rumah. Di mana Bara dan Gatot telah menanti mereka. Namun setelah turun, langkah Dimas malah langsung menuju ke warung kopi 24 jam milik bang Madi. Yang berada diseberang rumah Bara. "Kalian duluanlah, aku hendak ngopi sejenak di warung seberang," ucap Dimas, pada David dan Sandi. Lalu Dimas kembali balik badan, meneruskan langkahnya ke warung bang Madi. "Mas ... " Sandi urung meneruskan ucapannya."Ssssttt. Sudahlah Sandi, sepertinya dia baru mengalami pukulan berat," bisik David, seraya menepuk dan menggelengkan kepalanya pada Sandi. Sandi pun akhirnya terdiam dengan wajah bingung, menuruti saran dari David. Sementara Bara yang melihat hal itu dari kejauhan, dia pun langsung menangkap makna dari sikap Dimas. Yang langsung berjalan ke warung seberang, tanpa menoleh padanya dan Gatot. Di tatapnya tubuh Dimas yang n
Nampak helikopter itu agak oleng, akibat pengaruh getar energi yang dikeluarkan oleh Pandu. Di saat yang sama, Bara dan Gatot telah berada di luar kediaman Bara. Mereka berdua segera memandang ke arah atas rumah, dan sontak mereka terkejut sekaligus bersiap melepaskan pukulan jarak jauh mereka. Karena mereka melihat sebuah helikopter dengan ketinggian hanya sekitar 25 meter di atas kediaman Bara! Nampak di dalam helikopter itu, sesosok pemuda yang tengah bersiap memukul ke arah kediaman Bara. "Hajar saja kediamannya, Pandu..!" teriak Denta. Saat dia juga melihat Bara dan seorang temannya telah bersiap melepas pukulan jarak jauh dari bawah. Denta berspekulasi, tentunya Bara akan melindungi kediamannya lebih dulu, dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pandu. "Hiyaahh.!!" Wuursshk..!! Dengan diiringi teriakkan kerasnya, Pandu melontarkan pukulannya tanpa ragu ke arah kediaman Bara. Seberkas cahaya merah keemasan melesat cepat, menuju ke atap rumah Bara. "Gatot kau p
Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.!"Hahh..! Marsha..?!" seru Dimas terkejut bukan main, saat dilihatnya nomor Marsha tertera di layar ponselnya. Saat itu dia masih berada di halaman vila markas yang baru saja dibelinya. Klik.! "Ya Marsha ...?! " sahut Dimas, penuh rasa rindu dan kecemasan. "Mas Dimas, Marsha saat ini berada di kediaman Leonard di Washington. Marsha baik-baik saja disini Mas Dimas," ucap Marsha serak. Dia tahu Dimas sangat mencemaskan dirinya. "Syukurlah Marsha. Tenanglah, sesegera mungkin aku akan menjemputmu pulang ke Indonesia. Aku sedang mempersiapkan visa untuk ke sana bersama Mas Bara," ucap Dimas, ingin menenangkan Marsha disana. "Maaf Mas Dimas, sepertinya itu tak perlu Mas lakukan. Karena Marsha disini sudah berkomitmen dengan Leonard. Hal ini benar-benar diluar dugaan Marsha Mas Dimas," ucap Marsha penuh rasa sesal. Karena mau tak mau, dia harus mengatakan hal yang pasti menyakitkan hati Dimas. "Apa maksudmu Marsha..?! Komitmen dengan Leonard..?" Dimas ber