'Huhh..! Awas kau Bara..! Akan kubuat kau bertekuk lutut dalam seminggu ini..!' ancam bathin Clara kesal.Clara merasa tak di anggap dan 'dikacangin' oleh keangkuhan Bara. Tingkat kepercayaan diri atas kecantikkan dan kemenarikkan tubuhnya serasa 'down' ke titik terendah. Hal itu membuat dirinya bertanya-tanya pada dirinya sendiri,'Apakah daya tarikku sudah anjlok dan berkurang saat ini..?' tanya batin Clara cemas, seraya memandangi detail lekuk tubuhnya di cermin besar lemari.'Ahh, tidak kok. Tubuhku masih kencang, mulus, dan terjaga. Dasar Bara saja yang matanya nggak beres itu..!' sungut bathin Clara pada akhirnya, seraya memaki Bara."Upss.! Kamu sedang apa Clara..?" kejut Bara yang masuk ke kamar, dia hendak mengembalikan bantal dan guling yang semalam dibawanya keluar kamar. Saat melihat Clara sedang mematut-matut tubuh polosnya di depan kaca lemari kamar.Bara pun bertanya sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain dan terus berjalan ke arah ranjang.Sedemikian cepatnya Clar
"Kompetisi gelap..? Kompetisi apakah itu ibu..?" tanya Resti bingung. Dia sungguh tak mengerti, soal apa yang tadi di bicarakan Bara dan ibunya itu."Ahh..! Kau belum mengetahuinya Resti..?" tanya Marini seolah tak percaya."Belum ibu. Mas Bara tak pernah berbicara soal itu pada Resti," sahut Resti jujur. Marini pun terdiam menimbang sejenak. Dan akhirnya dia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Resti. "Kompetisi gelap adalah pertarungan sampai ada yang mati Resti. Entah pihak mana yang menyelenggarakan kompetisi biadab itu di dalam penjara. Dan Bara ikut serta di dalamnya Resti," jelas Marini pada Resti."Aihh..! Kejam sekali Bu. Bagaimana Mas Bara bisa ikut di dalamnya..?! Kenapa dia tak menolaknya Ibu..? Aduh, Mas Bara..!" sontak Resti terkejut bukan main, mendengar ada kompetisi semacam itu di dalam penjara. Kini hatinya berdebar cemas dan panik, memikirkan nasib kekasihnya Bara."Ibu juga sangat cemas Resti, tapi ibu percaya dengan kemampuan Bara. Tenanglah Resti, b
"Senang berjumpa lagi denganmu Mas Bara," sapa Marsha tersenyum cerah."Sama-sama Marsha, duduklah," sahut Bara tersenyum ramah, dan mempersilahkan Marsha duduk.Sementara sang sopir yang mengantarkan Marsha juga ikut turun dari mobilnya, dia membawakan tas koper roda milik Marsha lalu meletakkannya di lantai teras."Baik Nona Marsha, Tuan Bara. Saya permisi dulu," ucap sang supir ramah, pada keduanya."Baik Pak Amat. Terimakasih ya," ucap Marsha tersenyum pada sang supir."Baik Pak, terimakasih," ucap Bara merasa agak heran, saat melihat koper roda milik Marsha. Namun di tekannya dulu rasa herannya saat itu.Mobil itu pun melaju keluar dari vila melalui pagar gerbang yang dibukakan oleh security di pos gerbang vila."Mas Bara, aku tahu kau pasti heran dengan kedatanganku ke vila ini," ucap Marsha, yang melihat ekspresi bingung di wajah Bara."Ya Marsha, terus terang saja aku tak mengerti dengan maksud semua ini," sahut Bara jujur."Aku kesini atas permintaanku sendiri pada Freedy, Ma
"Kenapa ayah..?!" seru Freedy ikut terkejut, melihat sang ayah yang nampak panik itu."Ahh..! Lupakan saja Freedy. Ayah hanya teringat sesuatu, mungkin hanya mirip saja," sahut sang ayah kembali bersikap tenang.Mereka pun kembali menyimak tayangan di layar laptop Freedy itu. Nampak pertarungan sudah usai dan di layar terlihat seorang wanita berteriak lalu berjalan masuk ke arena, dengan diiringi empat sosok pengawal di kiri kanannya."Ahh..! Celaka..! Itu benar-benar mereka..!!" teriak keras sang ayah, dengan wajah pucat dan panik yang semakin meraja."Ayah..! Katakanlah ada apa sebenarnya..?!" seru Freedy yang merasa kaget dan cemas.Karena tak biasanya bahkan tak pernah, sang ayah sampai berteriak kaget dan menunjukkan kepanikkan yang teramat sangat di depan Freedy, seperti yang terjadi saat itu.Namun sang ayah tak menggubris seruan Freedy, matanya terus terbuka lebar menyaksikan tayangan di laptop putranya itu.Hingga akhirnya sang ayah melihat Bara memanggil wanita itu sebagai i
"Bagaimana David..? Apakah kau sudah katakan rencana kita pada Marsha..?" tanya Bara yang masuk ke vila luar kediaman David."Sudah Bara, dan dia bersedia masuk dalam skenario kita. Memang benar katamu Bara, tak ada yang lebih bisa masuk dalam lingkaran Samuel selain wanita. Dan kebetulan Marsha adalah wanita yang tepat untuk itu Bara, Marsha bercerita beberapa kali Samuel mencoba membeli jasanya, namun selalu ditolak oleh Marsha. Sepertinya ini akan berjalan sesuai rencana kita Bara. Thanks Bro," ujar David seraya tersenyum pada Bara."Hahaa.! Bra broo bra broo.. Broto kali. O ya Vid, besok aku berencana mengunjungi Ibuku di Jati Padang, apakah kau mau ikut..? Aku akan menghubungi Freedy untuk minta ijinnya.""Ahh, suatu kebetulan Bara. Bagaimana kalau besok aku ke rumah Mamah dulu, lalu mengajaknya mampir bersama ke rumahmu..?" tanya David bersemangat. Dia sangat ingin memperkenalkan sahabatnya itu pada sang mamah."Wahh, rencana bagus itu David. Baik besok aku tunggu kau dan Mamahm
Ting .. Tonngg ..!Terdengar suara bel vila utama berbunyi. Clara yang berada lebih dekat dengan pintu vila segera beranjak, untuk menemui orang yang menunggu di teras vila.Klekh!"Ya pak ada apa..?" tanya Clara pada tamu vila, yang ternyata adalah tiga orang berjas hitam."Malam Nona kami hendak bertemu dengan Tuan Bara dan David," sahut seorang di antara mereka.Dan Clara langsung paham, bahwa mereka adalah orang-orang suruhan Freedy."Baik Pak. Tunggu sebentar," ucap Clara seraya membalikkan badannya menuju ke ruang dapur."Mas Bara, mereka menunggu Mas di teras," ucap Clara di pintu ruang dapur, dia melihat Bara dan Marsha juga sedang melangkah keluar dari dapur."Baik Clara," ucap Bara. Dia pun mempercepat langkahnya menuju teras."Bagaimana Pak? Saya Bara," sapa Bara pada ketiga orang berjas hitam itu, setelah dirinya berada di teras."Tuan Bara. Kami diperintahkan Tuan Freedy, untuk memasangkan gelang khusus pada Tuan dan juga Tuan David," sahut seorang di antara mereka sopan.
"Uhhsgg..! Dimana aku..?!" seru terkejut Banu, saat dia sadar dari pingsannya. Dia melihat ke sekeliling sebuah ruangan yang tak dikenalnya. Didapatinya keadaan tubuhnya yang terikat tambang di sebuah kursi kayu, dengan kedua tangan dan kaki yang juga terikat kuat melekat pada kursi kayu jati itu.Banu pun tak berdaya, namun tentu saja nyali dan mulutnya masih bisa berbicara tanpa rasa gentar sedikitpun."Hahahaa..! Kau berada di markas Gankku Banu..! Inilah akibatnya kalau kau mengganggu kesenanganku, bangsat..!" terdengar suara sember yang dikenali Banu. Karena suara itulah yang sempat terekam di memorinya, sebelum dia tak sadarkan diri. Suara si Karim!"Huhh..! Brengsek kau Karim..! Sejak kapan kau bermain dengan Sisca di belakangku hahh..!!" sentak Banu garang pada Karim. Kedua matanya menyala bagai hendak membakar tubuh Karim, yang memang sudah terlihat gosong itu. Entah apa jadinya jika benar-benar si Karim itu dibakar."Hahahaa..! Kamu ini lelaki buta Banu, bahkan soal anakmu
Keesokkan harinya di villa utama kediaman Bara. Nampak Bara dan David telah siap hendak berangkat menuju ke kediaman mereka masing-masing.Ya, semalam Marsha menawarkan mereka menggunakan mobil pribadinya saja, dengan di antar oleh drivernya. Spontan Bara dan David menerima tawaran itu.Dan Marsha pun langsung menghubungi supir di rumahnya, lalu menyuruh drivernya untuk menjemput Bara dan David di vila itu besok pagi-pagi sekali.Maka pagi itu mereka pun tengah menunggu mobil Marsha tiba menjemput mereka."Mas Bara, David. Setelah pulang nanti, gantian kita yang diajak jalan-jalan ya," ucap Marsha tersenyum manis."Baik Marsha, besok kita jalan-jalan bersama ya Marsha, Clara. Sepertinya banyak curug indah di sekitar Bogor ini," sahut Bara tersenyum hangat. Dia sendiri merasa tak enak juga telah dipinjami mobil oleh Marsha. Maka dengan cepat dia menyambut ajakkan Marsha."Wah boleh juga tuh, kita jalan-jalan berempat ya," Clara juga menyetujui rencana Marsha dan Bara."Yang pasti aku ju
Di ruang tamu villa, nampak berkumpul Bara serta para sahabatnya. Sementara Leonard juga di dampingi 2 orang kepercayaannya, Jason dan Tommy. Mereka berbicara akrab dan hangat saat itu. Seperti tak pernah ada permusuhan di antara mereka. "Leonard. Terimakasih atas kesediaanmu mengantar sendiri pesanan kami," ucap Bara tersenyum. "Sama-sama Bara, aku senang bisa bersahabat dengan kalian semua. O ya, Marsha titip salam buat kalian semua. Tadinya dia memaksa ikut, namun dilarang keras sama Ibuku," ujar Leonard menyampaikan. "Ahh. Bagaimana kabar Marsha di sana Leonard..? Kapan kalian menikah..?" tanya Dimas. Dia memang sudah mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Ya, Dimas sudah belajar menghilangkan kebencian di hatinya pada Leonard. Dia sadar, kepentingan bersama para sahabatnya lebih utama, dibanding perasaan pribadinya. Namun tentu saja hal itu masih meninggalkan 'bekas mendalam' di hatinya. Hal yang berdampak pada dinginnya hati Dimas terhadap wanita. Dimas merasa sudah t
"Ahh..! Aku datang untuk mengantarkan dompet tanganmu yang tertinggal di dalam mobilku semalam Dewi," seru Dimas agak terpana melihat kecantikkan Dewi, seraya menyerahkan dompet itu pada Dewi. 'Tak kusangka di pagi hari kau malah semakin nampak cantik Dewi', batin Dimas mengakui. "Wah..! Terimakasih Mas Dimas, pantas Dewi cari-cari di tas semalam tak ketemu. Masuk dulu Mas Dimas ya," seru Dewi senang, dia pun membuka lebar pintu rumahnya mempersilahkan Dimas masuk. "Baiklah Dewi, tapi aku tak bisa lama-lama ya. Para sahabat menanti di rumah Mas Bara," sahut Dimas, seraya duduk di kursi tamu rumah. 'Mas Dimas pasti kurang tidur semalam', bathin Dewi, saat melihat mata Dimas yang terlihat cekung dan lelah."Mas Dimas, Dewi ucapkan terimakasih atas pertolongan Mas semalam, dan juga antaran dompet Dewi ya," ucap Dewi tersenyum. "Bukan apa-apa Dewi. Aku hanya kebetulan saja sedang berada di lokasi kejadian," sahut Dimas. Jujur saja Dimas agak jengah juga, karena Dewi menatapnya den
"Bagaimana hasil pengamatan kalian terhadap rumah Bara cs, Pandu..?" "Bersih di sana Paman Jendral, tak ada helikopter maupun orang-orang kita yang hilang di sana. Kami juga sudah memberi peringatan pada kediaman Bara, yang dijadikan markas oleh mereka itu paman," sahut Pandu apa adanya. "Hmm. Kau beri peringatan apa pada mereka Pandu..?" tanya sang Jendral penasaran. "Pandu melepaskan pukulan level ke 4 aji 'Singa Langit' pada kediaman mereka paman Jendral, namun Bara berhasil menangkis pukulan Pandu itu di udara. Dan dari situ ada kabar mengejutkan buat kita Paman Jendral," sahut Pandu, berhenti sejenak dari ucapannya. "Katakan cepat kabar itu Pandu..! Jangan sepotong-potong memberikan informasi padaku..!" sentak sang Jendral, yang menjadi gemas dan penasaran dengan penuturan Pandu. "Paman Jendral, dari beradunya pukulan Pandu dan pemuda bernama Bara itu, maka Pandu jadi yakin, jika saat ini Paman Drajat si 'Tapak Es' ada bersama mereka. Karena energi yang dilepaskan Bara te
Sementara itu, Dimas telah tiba di garasi kediamannya, Dimas bermaksud hendak langsung masuk ke kamarnya, dan menyendiri di sana. Namun saat dia turun dari mobilnya, dan hendak menutup kembali pintu mobil. "Ahh..!" Dimas berseru kaget, saat mendapati sebuah dompet tangan tergeletak di kursi sebelah kemudi. Dan Dimas langsung saja berpikir, jika dompet itu pasti dompet milik Dewi yang tertinggal. 'Biarlah besok saja kuantarkan ke rumahnya sekalian ke rumah Mas Bara', bathinnya. Dia tak hendak membawa dompet itu masuk ke dalam rumah. Maka disimpannya dompet milik Dewi itu di laci mobil. Lalu Dimas pun bergegas keluar dari garasi, menuju ke dalam kamarnya di lantai atas. Ya, hari itu adalah hari paling kelabu di hati Dimas. Di dalam kamar pun, Dimas tak bisa berhenti berpikir tentang Marsha. Hati dan pikirannya seolah terus 'terparkir' pada sosok wanita, yang memang sangat spesial di hatinya itu. Sungguh hal yang sangat 'menguras' energi Dimas. Sulit baginya saat itu, untuk fok
"Maaf Mas Bara dan semuanya. Sepertinya malam ini aku ingin pulang dulu, sekalian mengantarkan Dewi. Dia baru saja lolos dari aksi kejahatan di jalan. Kebetulan aku ada di dekat situ, usai dari warung bang Madi. Karena tinggalnya di Lenteng Agung, maka aku sekalian akan mengantarkannya pulang," ujar Dimas. Menjelaskan sekaligus menjawab tanda tanya di benak semua sahabatnya, tentang siapa wanita yang bersamanya itu. "Maaf Mas Dimas dan semuanya. Dewi jadi merepotkan dan mengganggu acara kalian," Dewi berkata dengan senyum jengah, dan wajah merasa bersalah. "Tak apa Dewi, namanya juga kejadian tak terduga. Silahkan Mas Dimas, besok main lagi ke sini kan Mas..?" sahut Bara, seraya bertanya pada Dimas. "Semoga Mas Bara, mari semuanya," sahut Dimas tersenyum, seraya beranjak menuju mobilnya. Tinn.. Tiinn..! Dimas membunyikan klakson mobilnya, saat hendak keluar dari rumah Bara. Hal yang disambut lambaian tangan dari para sahabatnya. Akhirnya mobilnya meluncur di atas jalan raya
"Itu bukan urusanmu..! Minggirr..!!" sentak orang itu, seraya menepis kasar tangan Dimas yang menahannya. Dagh..! Namun betapa terkejutnya orang itu. Karena saat menepis tangan Dimas, tangannya bagai menghantam besi baja. "Akhs..!" seru kesakitan lelaki sangar itu, dengan wajah meringis. Spontan tangannya terasa sakit dan kesemutan, sedangkan tangan Dimas masih pada posisinya di depan dadanya. "Bangsat..! Kau mau bermain-main dengan kami rupanya..!" seru orang itu emosi. Dan temannya yang sejak tadi hanya diam, dan mengamati di sebelahnya mulai ikut merangsek maju. Seth..! Seth..! Slaakh..!! Bagai dikomando, kedua orang itu secara serentak dan cepat menghunus pisau lipat mereka."Aduhh..! Awas Mas ..!!" teriak si wanita, yang panik dan ketakutan. Tentu saja dia menjadi cemas, melihat kedua orang yang memburu dirinya itu menghunus pisau, untuk mengeroyok pemuda penolongnya. Pisau di kedua tangan orang itu, dimainkan dengan cepat bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagai hendak mem
Tinn.. Tiinn..! Menjelang senja, mobil yang dikendarai David pun tiba di kediaman Bara. Dimas, Sandi, dan David, turun dari mobil dan langsung hendak menuju teras rumah. Di mana Bara dan Gatot telah menanti mereka. Namun setelah turun, langkah Dimas malah langsung menuju ke warung kopi 24 jam milik bang Madi. Yang berada diseberang rumah Bara. "Kalian duluanlah, aku hendak ngopi sejenak di warung seberang," ucap Dimas, pada David dan Sandi. Lalu Dimas kembali balik badan, meneruskan langkahnya ke warung bang Madi. "Mas ... " Sandi urung meneruskan ucapannya."Ssssttt. Sudahlah Sandi, sepertinya dia baru mengalami pukulan berat," bisik David, seraya menepuk dan menggelengkan kepalanya pada Sandi. Sandi pun akhirnya terdiam dengan wajah bingung, menuruti saran dari David. Sementara Bara yang melihat hal itu dari kejauhan, dia pun langsung menangkap makna dari sikap Dimas. Yang langsung berjalan ke warung seberang, tanpa menoleh padanya dan Gatot. Di tatapnya tubuh Dimas yang n
Nampak helikopter itu agak oleng, akibat pengaruh getar energi yang dikeluarkan oleh Pandu. Di saat yang sama, Bara dan Gatot telah berada di luar kediaman Bara. Mereka berdua segera memandang ke arah atas rumah, dan sontak mereka terkejut sekaligus bersiap melepaskan pukulan jarak jauh mereka. Karena mereka melihat sebuah helikopter dengan ketinggian hanya sekitar 25 meter di atas kediaman Bara! Nampak di dalam helikopter itu, sesosok pemuda yang tengah bersiap memukul ke arah kediaman Bara. "Hajar saja kediamannya, Pandu..!" teriak Denta. Saat dia juga melihat Bara dan seorang temannya telah bersiap melepas pukulan jarak jauh dari bawah. Denta berspekulasi, tentunya Bara akan melindungi kediamannya lebih dulu, dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pandu. "Hiyaahh.!!" Wuursshk..!! Dengan diiringi teriakkan kerasnya, Pandu melontarkan pukulannya tanpa ragu ke arah kediaman Bara. Seberkas cahaya merah keemasan melesat cepat, menuju ke atap rumah Bara. "Gatot kau p
Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.!"Hahh..! Marsha..?!" seru Dimas terkejut bukan main, saat dilihatnya nomor Marsha tertera di layar ponselnya. Saat itu dia masih berada di halaman vila markas yang baru saja dibelinya. Klik.! "Ya Marsha ...?! " sahut Dimas, penuh rasa rindu dan kecemasan. "Mas Dimas, Marsha saat ini berada di kediaman Leonard di Washington. Marsha baik-baik saja disini Mas Dimas," ucap Marsha serak. Dia tahu Dimas sangat mencemaskan dirinya. "Syukurlah Marsha. Tenanglah, sesegera mungkin aku akan menjemputmu pulang ke Indonesia. Aku sedang mempersiapkan visa untuk ke sana bersama Mas Bara," ucap Dimas, ingin menenangkan Marsha disana. "Maaf Mas Dimas, sepertinya itu tak perlu Mas lakukan. Karena Marsha disini sudah berkomitmen dengan Leonard. Hal ini benar-benar diluar dugaan Marsha Mas Dimas," ucap Marsha penuh rasa sesal. Karena mau tak mau, dia harus mengatakan hal yang pasti menyakitkan hati Dimas. "Apa maksudmu Marsha..?! Komitmen dengan Leonard..?" Dimas ber