Maka jadilah sejak saat itu Bara tinggal dan bersekolah di sana.
Pada saat usai subuh hingga jam berangkat sekolah dan setelah jam belajar malam, Bara secara khusus di latih ilmu beladiri oleh sang kakek. Sang kakek bagai berubah menjadi ‘monster’ galak bagi Bara, saat dia sedang melatih dirinya bela diri. Sungguh keras dan tak kenal kata kesalahan sedikitpun dalam kamus sang kakek. Namun Bara mengerti dan merasakan, tujuan sang kakek adalah demi kesempurnaan dirinya menyerap ajaran dan ilmu-ilmu sang kakek. Demikianlah 10 tahun lamanya Bara mendapat gemblengan keras dari sang kakek, hingga tak terasa ‘kemampuan’ dirinya saat itu sudah setara dengan sang kakek sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian kata pepatah, baru saja malamnya Bara menerima wedar aji ‘Sisik Naga Emas’ dari sang kakek. Pada ke esokkan harinya sang kakek menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang 76 tahun. Hanya karena sakit kepala hebat yang menderanya sejak pagi, hingga akhirnya sang kakek meninggal saat di larikan ke rumah sakit. Rumah sang kakek pun penuh dengan warga desa yang menjenguknya. Darmajati adalah sosok sepuh yang amat disegani warga desa bahkan hingga tingkat kecamatan. Sumbangsihnya bagi keamanan di desa Pandak dan sekitarnya selalu di kenang, oleh hampir seluruh warga desa. Beberapa kali sudah kelompok begal, komplotan perampok, serta tawuran antar pelajar di sekitar desa Pandak dan Baturaden berhasil di amankan olehnya. Oleh karenanya namanya menjadi momok bagi para preman dan penjahat di wilayah Baturaden, namun bagaikan pahlawan bagi warga di wilayah itu. Awan kesedihan pun menggantung di atas rumah Darmajati. Tiga hari tiga malam Bara termenung di tepi makam sang kakek, hanya sebotol air mineral dan beberapa potong roti sebagai bekalnya menyepi, di makam sang kakek yang juga adalah guru baginya itu. Sesungguhnya ada suatu ‘rahasia’ yang belum di ungkap dan di beberkan oleh sang kakek pada cucu kesayangannya itu. Sebuah rahasia yang telah di tulisnya sejak lama dan telah dipersiapkan bagi Bara..! Namun ‘kematian’ ternyata lebih cepat menjemputnya daripada niat hatinya. Karena dia ingin membeberkan rahasia itu tepat di saat usia Bara 20 tahun. Padahal hanya tinggal 6 bulan lagi, Bara sampai pada usianya yang ke 20 tahun. Sungguh disayangkan..! *** Isak tangis dan air mata sang ibu bergulir, saat Bara memohon pamit untuk merantau ke Jakarta di usianya yang 20 tahun lebih saat itu. Namun Marini sadar, tiada hak bagi dirinya menahan keinginan putranya yang ingin mengadu nasib ke Jakarta. Kota yang konon terkenal lebih kejam daripada neneknya ibu tiri. Hehe. “Bara, jangan kau datangi Ayahmu..! Biarkan dia bahagia dengan Tantemu. Dan jangan jadikan uang sebagai ‘tuanmu’..! Jadikan ‘uang’ sebagai budakmu..! Dan jika kau bertemu kekasih, cepat bawa dia kesini dan perkenalkan pada ibu ya Nak. Hati-hati dan selalu berjalanlah di atas kebaikkan anakku. Tskk, tskk..!” Sang ibu menciumi kening dan pipi Bara seraya mendekapnya. Dalam isak tangis penuh do’a bagi putra tersayang, yang akan merantau meninggalkannya. “Iya Bu. Ibu juga selalu jaga kesehatan ya. Jika ada rejeki, Bara pasti tak akan lupa pada Ibu. Bara akan segera pulang menjemput Ibu, jika Bara sudah memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan untuk Ibu. Bara pergi dulu ya Bu.” Sepasang mata Bara pun beriak basah, dia trenyuh dengan kesetiaan dan kasih sayang sang ibu.Ya, Bara tahu. Beberapa pria telah datang meminang ibunya yang memang masih cantik itu. Namun kesemuanya di tolak oleh sang ibu hanya dengan satu alasan, dia ingin penuh hanya menyayangi Bara, dan tak ingin membagi kasih sayangnya.
Bagaimana jiwa Bara tak tersentuh mendengarnya..?! *** Demikianlah pesan terakhir sang ibu yang selalu terngiang di benak dan hati Bara, hingga saat hampir 4 tahun setelahnya. Dan kini..! Bara masih tegak mematung dengan wajah penuh darah dan sadar, bahwa dia telah membunuh ‘seseorang’ untuk menjaga kehormatan bagi ibunya..! Dia tak merasa menyesal sama sekali..! Sirene mobil polisi dan ambulan terdengar makin jelas mendatangi lokasinya secara bersamaan, suasana di sekitar lapangan tenis itu pun sontak menjadi ramai oleh warga kompleks dan sekitarnya. Mereka menjadi heboh saat si pengawal Donald yang selamat berteriak-teriak di tengah jalan, sambil berlari ke arah posko security dan melaporkan insiden yang menyebabkan kematian tuan mudanya. Mendengar kabar itu, spontan para security yang bertugas menelepon polisi dan ambulan. Dan mereka bergegas menuju lokasi kejadian, untuk melihat langsung siapa dan apa yang menyebabkan terjadinya pembunuhan itu. “Degh..!” Didik dan Eko pun tersentak kaget bukan kepalang, saat melihat sosok yang berdiri tegak bak patung dengan wajah penuh darah itu adalah, Bara..! Rekan sesama security mereka selama 2 tahun belakangan ini, yang baru saja mengajukan pengunduran dirinya sebagai security kompleks perumahan pagi tadi. “Bara..!” seru mereka berdua kaget dan tertegun, tak bisa berbuat apa-apa. Lima orang polisi datang mendekat ke arah Bara, yang masih tegak mematung di tempatnya. “Saudara Bara Satria..! Kamu kami tangkap dan ikut kami ke kantor polisi untuk diproses, atas tuduhan pembunuhan..! Harap bekerja sama..! Borgol..!” seru seorang polisi yang memimpin penangkapan, seraya mengacungkan pistolnya ke arah Bara. Dia pun langsung memerintahkan bawahannya untuk memborgol tangan Bara. Bara hanya mandah tanpa melawan, saat dua orang petugas kepolisian membekuk dan memborgol tangannya. Bara mengikuti arahan mereka, dia melangkah tenang menuju mobil polisi yang telah terbuka pintunya. “Mas Bara...!” terdengar seruan seorang gadis, dari kerumunan warga sekitar yang ramai melihat penangkapan tersangka pembunuhan di lapangan tenis itu. Bara menoleh ke arah suara itu, dan dia mendapati seraut wajah jelita Resti yang matanya kini telah basah dengan guliran air mata di pipinya. “Resti.. Maafkan aku..” bisiknya lirih seolah pada diri sendiri. Bara kembali mengalihkan pandangannya dan langsung masuk ke dalam mobil polisi. Sementara terlihat mayat Donald yang membeku di letakkan di ranjang roda dan langsung di dorong masuk ke dalam mobil ambulan. Kedua sirene mobil polisi dan ambulan bagai sedang berlomba memperdengarkan suara identitas mereka. Dan akhirnya hampir bersamaan pula mereka meluncur kembali ke poskonya masing-masing. Kini lokasi di sekitar area lapangan tenis kompleks perumahan itu hanya tinggal kerumunan warga sekitar, yang asyik dan ramai berbincang seputaran kejadian. Dan perlahan mereka pun bubar dengan sendirinya, untuk melanjutkan aktivitas mereka masing-masing. Hanya tinggal beberapa orang yang tetap diam di sana, dua security rekan Bara, pengawal Donald yang selamat, serta seorang gadis yang terdiam di bawah sebuah pohon akasia dengan air mata masih menggulir di pipinya, Resti..! Setelah beberapa waktu, proses pengadilan pembunuhan atas Donald kembali digelar hari ini dengan acara putusan vonis terhadap Bara Satria sebagai terdakwanya. “...........dengan ini kami nyatakan terdakwa, Bara Satria. Dengan syah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang menghilangkan nyawa korban Donald Priatna. Karenanya kami memvonis terdakwa dengan hukuman penjara selama 7 tahun..!" TAGHH..!! Hakim mengetuk palunya setelah membacakan vonis hukuman bagi Bara. “Tidakk..! Harusnya dia divonis mati..! Pengadilan tidak adil..!” seru tak terima, dari seorang yang hadir menyaksikan sidang itu. Dan dia adalah ayah Donald, Rangga Winata! Tiada bantahan, penolakkan, raut sedih atau pun ucapan ‘naik banding’ dari mulut Bara. Dia hanya duduk dengan pandangan penuh ketenangan dan rasa yakin dalam dirinya. ‘Aku tidak bersalah..! Karena aku menegakkan martabat Ibuku..!’ bathinnya mantap. Bara berdiri dengan tegak dan mengulurkan tangannya, saat petugas polisi dari pengadilan mendekati dirinya untuk memborgol kembali tangannya. Dengan di iringi pandangan beragam dari segenap yang hadir di persidangan. Ada yang benci, kagum, bahkan ada yang sedih menangis diam-diam di pojokkan, lagi-lagi dia adalah Resti..! Bara melangkah dengan tegak dan mantap, menyongsong sel prodeo yang telah menantinya. Langkah-langkah tegak yang akan mengantarnya pada perjalanan terjal berliku penuh amarah dan darah. Perjalanan yang akan mengantarkannya duduk di singgasana tertinggi di dalam sana..menjadi ‘Sang Kaisar Prodeo’..! Julukkan yang bahkan tetap melekat setelah dia bebas di kemudian hari. Begini kisahnya ... *** Braaghk..!...Braaghk..! "Kagghh..!"Robert Tanujaya tewas dengan kepala pecah membentur pojokkan dinding tajam di ruang kantornya sendiri. Akibat tendangan deras bertenaga dalam dari kakak sepupunya sendiri, David Tandinata.David Tandinata menyerang dan tak sengaja menewaskan sepupunya itu bukan tanpa alasan, karena ini berkaitan dengan kematian ayahnya Julian Tanuwijaya.Julian Tanuwijaya adalah owner dari 'Kharisma Group', sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang retail dan properti. Perkembangan bisnisnya bahkan merambah hingga ke seluruh kota-kota besar di negeri ini.Bisa dikatakan dia adalah salah seorang triliuner sukses di negeri ini. Namun 6 bulan yang lalu sebuah kecelakaan tragis menimpanya, hal yang mengakibatkan dirinya tewas seketika di jalan raya. Porsche macan hitam yang dikendarainya mengalami tabrakkan beruntun di jalan, tepat sebelum masuk ke jalan tol Cikampek.Mobilnya dihantam oleh sebuah truk berkecepatan tinggi di belakangnya, sedangkan di depannya adalah sebuah tru
"Hahhh..! Punya kemampuan juga kau rupanya..!" seru kaget Paul, yang menyaksikan gerakan kilat Bara dari sel seberang."Bangsat..! Kita hajar dia..!" teriak Jarot yang masih kesakitan.Dalam emosinya Jarot tak bisa melihat betapa Bara jelas-jelas memiliki kemampuan jauh di atas dirinya dan dua rekannya.Dia malah memberi aba-aba untuk kembali menyerang Bara, yang tampak tersenyum dingin melihat kedegilan tiga cecunguk rekan satu selnya ini.Mendengar aba-aba dari pimpinan selnya, si kurus dan si gempal langsung mengikuti jejak Jarot. Mereka kembali sama menyerang Bara dengan tendangan ke tubuh Bara."Hiyahh..!" Wukkh..! Wush..! Wukk..!Tiga buah tendangan melesat ke arah dada dan lengan Bara, namun kali ini Bara hanya diam saja menerima semua serangan mereka.Diam-diam Bara mengerahkan Aji 'Perisai Baja'nya, yang merupakan tingkatan dasar dari aji 'Sisik Naga Emas' warisan sang kakek.Seketika tubuhnya bagai terselimuti lapisan energi tenaga dalamnya, sosok Bara menjadi sangat keras s
"Jarot..! Aku tak suka dengan orang yang semena-mena di depanku. Sekali lagi kau berbuat begitu kupatahkan kakimu..! Kau dengar itu Jarot..!" sentak Bara kesal. "Ba..baik bos..!" sahut Jarot patuh. Sedangkan Didin dan Amir hanya tertunduk pucat mendengar kejengkelan Bara. Ya, mereka bertiga memang sepakat menjadikan Bara pemimpin di sel mereka. Bahkan mereka yakin setelah melihat kemampuan Bara, maka Gang Teri akan mempunyai penguasa baru menggantikan Paul, dan Bara lah orangnya. Usai mandi, Bara langsung hendak menuju aula makan umum para napi. Namun Jarot menahan tangan Bara. "Bos, kami punya makanan khusus buat Bos. Tinggalkan saja jatah makan nasi cadong yang umum di sini, rasanya tak karuan Bos," ucap Jarot memberitahukan. Nasi cadong adalah nasi campur aneka lauk yang di sediakan pihak pengelola penjara, biasanya nasinya dari kualitas standart atau pera. "Biarlah aku cicipi dulu sebagai perkenalan Jarot, jika memang tak cocok besok-besok aku akan beli di warung sel," sahut
Braghh..!"Sama saja Resti..! Kau tak boleh lagi bertemu lagi dengan Bara..! Lihat akibatnya pada ayah..! Ayah Donald memutuskan kerjasama sepihak dengan ayah dan dia sekarang malah mensuplai pesaing bisnis ayah di kota ini..! Sungguh membuat sial si Bara itu..! Cepat masuk ke kamarmu Resti..!" Rudi menggebrak meja, lalu berkata-kata penuh kebencian disertai amarah di hadapan Resti dan Sofia istrinya."Resti masuklah ke kamarmu dulu, jangan membuat Ayahmu tambah meledak Nak," ucap Sofia pelan pada putrinya. Dia sendiri tak bisa berkata apa-apa dalam hal ini."Baik Mah," sahut Resti sambil bergegas kembali ke kamarnya. Hati Resti sungguh terluka, saat sang ayah mengatakan Bara sebagai pembuat sial bagi ayahnya.'Bukankah yang menyerang lebih dulu si Donald itu..!' pikir Resti kesal.***Bara sedang mengurut ke tiga rekan satu selnya secara bergiliran, karena keterbatasan sarana dia hanya menggunakan minyak goreng yang dicampur dengan minyak kayu putih.Namun intinya memang bukan pada '
"Aku membunuh sepupuku sendiri Bara. Karena dia telah membunuh ayahku," sahut David."Hmm. Kita sama saja David. Aku membunuh orang yang menista Ibuku," ucap Bara."Aku membunuh karena rebutan lahan parkir bos," Jarot ikut masuk dalam pembicaraan."Kalau aku membunuh orang yang menggoda istriku," Didin menimpali."Aku sih bunuh majikkan, gara-gara gaji 3 bulan nggak dibayar," timpal Amir."David, kamu tidak ke gereja penjara kota malam ini kawan..? Kulihat para napi nasrani boleh ijin keluar untuk ikut merayakan hari Natal di sana malam ini," tanya Bara, dia paham rata-rata keturunan memeluk agama nasrani."Aku disini saja malam Natal ini. Aku ingin bersama kalian saja di malam natal tahun ini," David berkata dengan serak. Baginya lebih baik merayakan natal di hatinya, dan menghabiskan malam natal sekaligus malam pertamanya di penjara dengan teman-teman barunya itu.Walau tetap saja dalam hati David nelangsa, mengingat malam Natal tahun lalu yang begitu ceria bersama papah, mamah, dan
"Aku..!"Bara berseru seraya berdiri dan menatap tajam pada Bora cs. Dia sangat tak suka dengan gaya Bora mendatangi selnya, dan bertanya seolah menantang dan meremehkan semua orang di selnya."Oh..! Ini orangnya..!" seru Bora sambil mengamati Bara dari atas ke bawah. Dilihatnya Bara yang memiliki tinggi badan sekitar 178cm, rambutnya lurus tebal dan hitam dengan tubuh sedang namun berisi.Rahang di wajah Bara juga cukup keras dan gagah dilihatnya. Namun yang membuat Bora agak tergetar adalah pandang mata Bara. Ya, sepasang mata milik pemuda itu begitu jernih namun tajam menusuk saat itu.Bara tetap diam menunggu,'Mau apa orang-orang ini mencariku..?' tanya hatinya penasaran."Kita akan bertemu 10 hari dari sekarang di arena Bara. Aku Bora penguasa Gang 3..! Bersiaplah..!" Bora berkata dengan nada mengancam."Arena apa..?!" seru Bara tak mengerti.Tiba-tiba seorang di belakang Bora melesatkan pukulan keras mengarah ke wajah Bara sambil memaki,"Banyak omong kau..! Wesshh..!"Namun bu
"Makasih Resti," ucap Bara terharu atas perhatian Resti.Dulu saat dia masih menjadi security komplek, dia selalu berbagi martabak pemberian Resti pada Didik dan Eko, rekannya sesama security. Kini Bara berniat membaginya dengan rekan satu selnya."Mas Bara, Resti sudah membayar kontrakkan Mas untuk 7 tahun. Motor Mas Bara juga sudah di masukkan ke dalamnya. Barang-barang Mas Bara aman di sana," bisik Resti lirih.Ya, Resti memang pernah beberapa kali mampir di kontrakkan Bara, saat mereka dulu masih menjalin kasih. Resti bahkan tahu alamat ibu Bara di Banyumas, dan Resti memang berniat datang ke sana suatu saat nanti.Sebenarnya memang cukup dalam Resti mengenal Bara dan sebaliknya. Namun 'tirani' yang di bangun oleh ayah dan ibu Resti memang cukup tinggi, sehingga tertutup kemungkinan bagi Bara untuk berkomunikasi dengan mereka. Bahkan kini sepertinya sudah 'tak mungkin' lagi itu terjadi."Resti, aku akan membayar kembali apa yang sudah kaubayarkan," ucap Bara serak, seluruh perhati
"Baik pak Samuel. Akan saya temukan cara secepatnya untuk menghabisi David," sahut Donny berjanji. "Baik. Cepatlah Donny..! David bagai batu aral selama dia masih hidup di dunia ini!" Klik.! Samuel pun langsung menutup panggilannya pada orang suruhannya itu. "Nah, Marina sayang, mari kita lanjutkan permainan kita," ucap Samuel penuh nafsu. Diremasnya buah dada sekretaris pribadinya itu dengan penuh hasrat, seraya menciumi wajah dan leher jenjangnya. Ya, Samuel memang seorang bandot kawakan! Di usianya yang 48 tahun itu, dia memang masih tampak bugar dan penuh hormon. Beberapa kali dia berganti sekretaris pribadinya dalam 3 tahun terakhir ini. Bagai habis manis sepah dibuang begitulah tabiatnya! Karena jika dia merasa sudah bosan dengan sekretaris pilihannya, maka tak berpikir panjang dia akan memberhentikan dan menggantinya dengan yang baru. Tentunya dengan 'uang tutup mulut' yang sangat cukup bagi sekretaris yang diberhentikannya itu. Begitulah sifat asli si Samuel ini. Ter