Share

Bab 003. PERJALANAN MULAI

Maka jadilah sejak saat itu Bara tinggal dan bersekolah di sana.

Pada saat usai subuh hingga jam berangkat sekolah dan setelah jam belajar malam, Bara secara khusus di latih ilmu beladiri oleh sang kakek.

Sang kakek bagai berubah menjadi ‘monster’ galak bagi Bara, saat dia sedang melatih dirinya bela diri. Sungguh keras dan tak kenal kata kesalahan sedikitpun dalam kamus sang kakek.

Namun Bara mengerti dan merasakan, tujuan sang kakek adalah demi kesempurnaan dirinya menyerap ajaran dan ilmu-ilmu sang kakek.

Demikianlah 10 tahun lamanya Bara mendapat gemblengan keras dari sang kakek, hingga tak terasa ‘kemampuan’ dirinya saat itu sudah setara dengan sang kakek sendiri.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian kata pepatah, baru saja malamnya Bara menerima wedar aji ‘Sisik Naga Emas’ dari sang kakek. Pada ke esokkan harinya sang kakek menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang 76 tahun.

Hanya karena sakit kepala hebat yang menderanya sejak pagi, hingga akhirnya sang kakek meninggal saat di larikan ke rumah sakit. Rumah sang kakek pun penuh dengan warga desa yang menjenguknya.

Darmajati adalah sosok sepuh yang amat disegani warga desa bahkan hingga tingkat kecamatan. Sumbangsihnya bagi keamanan di desa Pandak dan sekitarnya selalu di kenang, oleh hampir seluruh warga desa.

Beberapa kali sudah kelompok begal, komplotan perampok serta tawuran antar pelajar di sekitar desa Pandak dan Baturaden berhasil di amankan olehnya. Oleh karenanya namanya menjadi momok para preman dan penjahat di wilayah Baturaden, namun bagaikan pahlawan bagi warga di wilayah itu.

Awan kesedihan pun menggantung di atas rumah Darmajati.

Tiga hari tiga malam Bara termenung di tepi makam sang kakek, hanya sebotol air mineral dan beberapa potong roti sebagai bekalnya menyepi, di makam sang kakek yang juga adalah guru baginya itu.

Sesungguhnya ada suatu ‘rahasia’ yang belum di ungkap dan di beberkan oleh sang kakek pada cucu kesayangannya itu. Sebuah rahasia yang telah di tulisnya sejak lama dan dipersiapkan bagi Bara..!

Namun ‘kematian’ ternyata lebih cepat menjemputnya daripada niat hatinya. Karena dia ingin membeberkan rahasia itu tepat di saat usia Bara 20 tahun. Padahal hanya tinggal 6 bulan lagi, Bara sampai pada usianya yang ke 20 tahun itu. Sungguh disayangkan..!

***

Isak tangis dan air mata sang ibu bergulir, saat Bara memohon pamit untuk merantau ke Jakarta di usianya yang 20 tahun lebih saat itu.

Namun Marini sadar, tiada hak bagi dirinya menahan keinginan putranya yang ingin mengadu nasib ke Jakarta. Kota yang konon terkenal lebih kejam daripada neneknya ibu tiri. Hehe.

“Bara, jangan kau datangi Ayahmu..! Biarkan dia bahagia dengan Tantemu. Dan jangan jadikan uang sebagai ‘tuanmu’..! Jadikan ‘uang’ sebagai budakmu..! Dan jika kau bertemu kekasih, cepat bawa dia kesini dan perkenalkan pada ibu ya Nak.

Hati-hati dan selalu berjalanlah di atas kebaikkan anakku. Tskk, tskk..!” Sang ibu menciumi kening dan pipi Bara seraya mendekapnya. Dalam isak tangis penuh do’a bagi putra tersayang, yang akan merantau meninggalkannya.

“Iya Bu. Ibu juga selalu jaga kesehatan ya. Jika ada rejeki, Bara pasti tak akan lupa pada Ibu. Bara akan segera pulang menjemput Ibu, jika Bara sudah memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan untuk Ibu. Bara pergi dulu ya Bu.”

Sepasang mata Bara pun beriak basah, dia trenyuh dengan kesetiaan dan kasih sayang sang ibu. Beberapa pria telah datang meminangnya. Namun kesemuanya di tolak oleh sang ibu hanya dengan satu alasan, dia ingin penuh hanya menyayangi dirinya, dan tak ingin membagi kasih sayangnya.

Bagaimana jiwa Bara tak tersentuh mendengarnya..?!

***

Demikianlah pesan terakhir sang ibu yang selalu terngiang di benak dan hati Bara, hingga saat hampir 4 tahun setelahnya.

Dan kini..!

Bara masih tegak mematung dengan wajah penuh darah dan sadar, bahwa dia telah membunuh ‘seseorang’ untuk menjaga kehormatan bagi ibunya..! Dia tak merasa menyesal sama sekali..!

Sirene mobil polisi dan ambulan terdengar makin jelas mendatangi lokasinya secara bersamaan, suasana di sekitar lapangan tenis itu pun sontak menjadi ramai oleh warga kompleks dan sekitarnya.

Mereka menjadi heboh saat si pengawal Donald yang selamat berteriak-teriak di tengah jalan, sambil berlari ke arah posko security dan melaporkan insiden yang menyebabkan kematian tuan mudanya.

Mendengar kabar itu, spontan para security yang bertugas menelepon polisi dan ambulan. Dan mereka bergegas menuju lokasi kejadian, untuk melihat langsung siapa dan apa yang menyebabkan terjadinya pembunuhan itu.

“Degh..!”

Didik dan Eko pun tersentak kaget bukan kepalang, saat melihat sosok yang berdiri tegak bak patung dengan wajah penuh darah itu adalah, Bara..! Rekan sesama security mereka selama 2 tahun belakangan ini, yang baru saja mengajukan pengunduran dirinya sebagai security kompleks perumahan pagi tadi.

“Bara..!” seru mereka berdua kaget dan tertegun, tak bisa berbuat apa-apa.

Lima orang polisi datang mendekat ke arah Bara, yang masih tegak mematung di tempatnya.

“Saudara Bara Satria..! Kamu kami tangkap dan ikut kami ke kantor polisi untuk diproses, atas tuduhan pembunuhan..! Harap bekerja sama..! Borgol..!” seru seorang polisi yang memimpin penangkapan, seraya mengacungkan pistolnya ke arah Bara. Dia pun langsung memerintahkan bawahannya untuk memborgol tangan Bara.

Bara hanya mandah tanpa melawan, saat dua orang petugas kepolisian membekuk dan memborgol tangannya. Bara mengikuti arahan mereka, dia melangkah tenang menuju mobil polisi yang telah terbuka pintunya.

“Mas Bara...!” terdengar seruan seorang gadis, dari kerumunan warga sekitar yang ramai melihat penangkapan tersangka pembunuhan di lapangan tenis itu.

Bara menoleh ke arah suara itu, dan dia mendapati seraut wajah jelita Resti yang matanya kini telah basah dengan guliran air mata di pipinya.

“Resti.. Maafkan aku..” bisiknya lirih seolah pada diri sendiri. Bara kembali mengalihkan pandangannya dan langsung masuk ke dalam mobil polisi.

Sementara terlihat mayat Donald yang membeku di letakkan di ranjang roda dan langsung di dorong masuk ke dalam mobil ambulan.

Kedua sirene mobil polisi dan ambulan bagai sedang berlomba memperdengarkan suara identitas mereka. Dan akhirnya hampir bersamaan pula mereka meluncur kembali ke poskonya masing-masing.

Kini lokasi di sekitar area lapangan tenis kompleks perumahan itu hanya tinggal kerumunan warga sekitar, yang asyik dan ramai berbincang seputaran kejadian.

Dan perlahan mereka pun bubar dengan sendirinya, untuk melanjutkan aktivitas mereka masing-masing. Hanya tinggal beberapa orang yang tetap diam di sana, dua security rekan Bara, pengawal Donald yang selamat, serta seorang gadis yang terdiam di bawah sebuah pohon akasia dengan air mata masih menggulir di pipinya, Resti..!

Setelah beberapa waktu, proses pengadilan pembunuhan atas Donald kembali digelar hari ini dengan acara putusan vonis terhadap Bara Satria sebagai terdakwanya.

“...........dengan ini kami nyatakan terdakwa, Bara Satria. Dengan syah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang menghilangkan nyawa korban Donald Priatna. Karenanya kami memvonis terdakwa dengan hukuman penjara selama 7 tahun..!" TAGHH..!!

Hakim mengetuk palunya setelah membacakan vonis hukuman bagi Bara.

“Tidakk..! Harusnya dia divonis mati..! Pengadilan tidak adil..!” seru tak terima, dari seorang yang hadir menyaksikan sidang itu. Dan dia adalah ayah Donald, Rangga Winata!

Tiada bantahan, penolakkan, raut sedih atau pun ucapan ‘naik banding’ dari mulut Bara. Dia hanya duduk dengan pandangan penuh ketenangan dan rasa yakin dalam dirinya.

‘Aku tidak bersalah..! Karena aku menegakkan martabat Ibuku..!’ bathinnya mantap.

Bara berdiri dengan tegak dan mengulurkan tangannya, saat petugas polisi dari pengadilan mendekati dirinya untuk memborgol kembali tangannya. Dengan di iringi pandangan beragam dari segenap yang hadir di persidangan.

Ada yang benci, kagum, bahkan ada yang sedih menangis diam-diam di pojokkan, lagi-lagi dia adalah Resti..!

Bara melangkah dengan tegak dan mantap, menyongsong sel prodeo yang telah menantinya. Langkah-langkah tegak yang akan mengantarnya pada perjalanan terjal berliku penuh amarah dan darah.

Perjalanan yang akan mengantarkannya duduk di singgasana tertinggi di dalam sana..menjadi ‘Sang Kaisar Prodeo’..! Julukkan yang bahkan tetap melekat setelah dia bebas di kemudian hari.

Begini kisahnya ...

***

Braaghk..!...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status