Ibu!
Kata yang merupakan ‘ajimat’ dan sangat ‘sakral’ bagi Bara. Teringat jelas dalam memorinya, kejadian 15 tahun lalu saat usianya masih 9 tahun. Baru saja Banu Hartadi pulang dari kantornya, dia sudah mendapat laporan tak mengenakkan dari istri mudanya Sisca. Tentang kelakuan kejam istri tuanya Marini dan Bara putra tunggalnya. “Gara-gara mereka mendorong mamah, tadi mamah sampai terjatuh di kamar mandi Pah! Untung saja kandungan anak kita tak apa-apa. Tskk ... tskk,” ungkap Sisca pada Banu, dengan di iringi isak tangis ‘modus’nya. Karuan saja amarah Banu meledak, mendengar laporan Sisca yang terdengar selalu teraniaya, setiap hari dia pulang dari kantor. Kemarin soal Sisca diberi makan sambal terlalu pedas, kemarinnya lagi soal Sisca di suruh jalan ke pasar, dan kemarinnya lagi..lagi..dan lagi. Dan kini soal jatuhnya istri kesayangannya itu di kamar mandi, akibat perbuatan istri pertamanya Marini dan Bara yang juga putranya sendiri. Maka setan pun masuk ke dalam otak dan hati Banu di sore hari itu. Di ambilnya sebuah penggaris besi dari kamarnya, dan di datanginya Bara yang sedang anteng menonton TV di ruang tengah. Marini juga sedang menemani Bara di sana sambil asyik menyulam. Saat, Plakkh!! Plakkhh!! Plakhh!! “Aduhhh! Aakhhss! Ayahh..! Ampun Ayah!! Sakitt Ayahh..! Huhuu...!!” Bara berteriak keras, akibat sabetan penggaris besi sang ayah yang mendarat di paha dan punggungnya. “Mass..!! Masya Allah..!! Hentikann..!!” Marini melempar sulamannya dan langsung berlari mendekap Bara, melindunginya dari amukan kesetanan sang suami. “Pergi kau dari rumah ini Marini! Bawa anak sialmu sekalian! Rupanya kalian belum puas kalau belum mencelakai anak dalam kandungan Siska ya!!" Plakkhh!! bentak Banu Hartadi murka, sambil mendaratkan sabetan penggaris besinya juga ke punggung Marini. “Akskh! Cukup Mass!! Baik! Kami akan pergi!” seru Marini keras, dia merasa cukup sudah kesabarannya selama ini menerima fitnah dari Sisca dan kelakuan kasar suaminya. Suami yang dulu begitu di kaguminya kini telah lenyap, berganti dengan suami yang berat sebelah dan suka menganiaya putranya sendiri. Putra yang dulu mereka ‘usaha’kan dengan taburan benih-benih kasih dan sayang, kini bagai sampah saja di mata suaminya itu. Entah setan apa yang membuat suaminya itu membawa Sisca ke rumah 4 bulan yang lalu, dan menyatakan bahwa dia sudah menikah sirri dengan perempuan itu. Terjadi pertengkaran sengit antara dirinya dan suaminya, yang berakhir dengan pisah ranjangnya dia dan suaminya. Selama 4 bulan kehadiran Sisca di rumahnya pula, Marini dan Bara selalu di fitnah dengan berbagai tuduhan tanpa bukti dari Sisca. Dan selalu saja Banu lebih mendengar kata-kata dari Sisca ketimbang ucapan Marini dan Bara. Bara yang baru duduk di kelas 3 SD selalu mendapat omelan dan cacian dari Sisca. Apalagi jika dia sedang ditinggal sendiri di rumah oleh ibunya karena ada keperluan, habis sudah Bara menjadi bulan-bulanan Sisca. Entah itu di caci hingga dipukuli dengan sapu lidi, namun Bara akan diam dan tak melaporkan penganiayaan ini ke ayah atau pun ibunya. Ya, Bara mulai paham, jika dia mengadu pasti ibunya yang akan tambah menderita akibat bertengkar dengan ayahnya. Karena ayahnya yang sekarang sangat berbeda dengan ayah yang dulu, kini ayah yang begitu sayang padanya sudah tiada. Berganti dengan ayah yang pemarah, suka memukuli dia dan ibunya, serta hanya sayang pada tante Sisca yang jahat. “Bara, ayo ikut ibu ke kamar. Kita siap-siap pergi dari sini Nak,” ajak Marini sambil mengulurkan tangannya. Sudut matanya telah basah dengan air mata tergenang, sakit dan sesak sekali rasa dadanya harus meninggalkan rumah yang telah 11 tahun di tinggalinya. Rumah itu dahulu dibangun dengan sebagian biayanya adalah dari ayahnya. Namun dia sudah terlanjur muak dengan suaminya sekarang, dia enggan berbantahan dengan suaminya soal rumah dan lain-lainnya. Apalagi jika dia harus berbantahan dengan Sisca yang sangat dibencinya itu. Pernah sekali dia ‘menampar’ Sisca, akibat dia memukuli Bara dengan gagang sapu untuk masalah yang sepele. Tapi saat suaminya pulang kantor, ganti dia yang ditampar 3 kali oleh suaminya itu. Sakit sekali perasaannya, saat pria yang di cintainya itu malah membela wanita yang di bencinya. “Iya ibu, huhuu..!Bu punggung Bara pedih Bu, huhuhuu!” Bara menyambut uluran tangan sang ibu, berjalan di sisi sang ibu sambil menangis kesakitan. Ada pun Banu hanya terdiam melihat itu semua, ada rasa sakit juga di hatinya. Namun entah kenapa dia sama sekali tak bisa menahan amarahnya, jika mendengar pengaduan Sisca soal Marini dan Bara. Akhirnya senja itu juga Marini bersama Bara keluar dari rumah itu, tanpa mendapat uang sangu atau ucapan apa pun dari suaminya. Marini hanya membawa perhiasan miliknya dan sedikit uang di tabungannya bernilai 7 juta rupiah lebih. Untuk terakhir kali, di suruhnya Bara pamit pada ayahnya, saat mereka sudah di teras rumah. “Bara pamit sama Ayah, cium tangannya,” Marini menunduk dan berbisik pelan ke dekat telinga Bara. Bara mengangguk lalu kembali masuk ke dalam rumah dengan wajah agak takut. Bara masih ‘shock’ dengan sabetan penggaris besi sang ayah, yang masih terasa pedih di punggung dan pahanya. Dan Bara akan selalu teringat, itu adalah salam terakhirnya pada sang ayah. “Ayah, Bara pergi dulu sama Ibu,” ucap Bara sambil menarik dan mencium tangan ayahnya, yang terduduk lesu di kursi ruang tamu. “Bara, maafkan ayah. Dan jaga Ibumu baik-baik ya,” tubuh Banu gemetar saat mengatakan itu, dia seperti sedang melawan mati-matian bisikkan jahat dalam dirinya, yang menyuruhnya untuk membenci putranya sendiri. Ya, rupanya Banu telah terkena ‘guna-guna’ oleh seorang dukun yang dibayar Sisca..! Pagi harinya Marini dan Bara telah tiba di terminal Purwokerto, dari terminal mereka naik angkot jurusan Baturaden dan turun di desa Pandak. Di desa inilah ayah Marini tinggal setelah kematian ibunya di Jakarta. Marini baru 3 kali kerumah ayahnya yang sekarang ini, dulu dia pernah datang merayakan lebaran di sini bersama suaminya dan Bara yang masih kecil. Damarjati menyambut kedatangan putri dan cucunya itu dengan gembira, saat melihat mereka berada di depan pintu rumahnya. Namun melihat wajah muram dan sedih Marini, maka dia pun maklum ada hal berat yang sedang di hadapi oleh putrinya itu. Dibiarkannya dulu putri dan cucunya itu beristirahat di kamar yang di sediakannya. Damarjati terlihat masih gagah di usianya yang hampir 65 tahun saat itu. Pakaiannya sederhana dan pandang matanya masih tajam dan teduh namun berwibawa. Tidak heran, karena dia dulunya adalah mantan Komandan Pasukkan Luar Biasa. Tugasnya adalah mengawal secara pribadi para pejabat tinggi bahkan Presiden, dan tak jarang di tugaskan menyelesaikan misi-misi ‘halus dan mustahil’ yang teramat rahasia sifatnya. Semboyan pasukkan ini adalah ‘Bergerak bagai badai, menghilang bagai asap’. Sebuah pasukkan yang di sangkal keberadaannya oleh negara, namun terasa nyata gerakkannya. Julukannya adalah ‘Panglima Naga Emas’! Melihat rumah Damarjati yang sederhana? Tidak! Sesungguhnya Damarjati sangat kaya! Setelah istrinya meninggal, Damarjati mundur dari pasukkannya dan menitipkan kepengurusan rumahnya di Jakarta pada mantan bawahannya yang paling setia, Tedjo. Dan dia sendiri pindah dan mencari ketenangan di desa kelahirannya itu. Damarjati sangat marah dan kecewa pada Banu Hartadi menantunya itu, saat dengan jujur Marini menceritakan apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Damarjati sampai hendak menyusul ke Jakarta, untuk melabrak menantu dan istri mudanya itu. Namun Marini memohon sambil terisak pada ayahnya itu, untuk tidak ikut campur urusan pribadinya. Marini berkata sudah rela berpisah dan meninggalkan semua kenangan buruk dalam hidupnya itu. “Baiklah Marini, kau boleh larang bapak menemui mantu tak tahu adat itu! Tapi jangan larang bapak menurunkan ‘kemampuan’ bapak pada Bara mulai saat ini!” seru Damarjati tegas dan tak terbantahkan. Maka jadilah sejak saat itu,..Maka jadilah sejak saat itu Bara tinggal dan bersekolah di sana. Pada saat usai subuh hingga jam berangkat sekolah dan setelah jam belajar malam, Bara secara khusus di latih ilmu beladiri oleh sang kakek. Sang kakek bagai berubah menjadi ‘monster’ galak bagi Bara, saat dia sedang melatih dirinya bela diri. Sungguh keras dan tak kenal kata kesalahan sedikitpun dalam kamus sang kakek. Namun Bara mengerti dan merasakan, tujuan sang kakek adalah demi kesempurnaan dirinya menyerap ajaran dan ilmu-ilmu sang kakek. Demikianlah 10 tahun lamanya Bara mendapat gemblengan keras dari sang kakek, hingga tak terasa ‘kemampuan’ dirinya saat itu sudah setara dengan sang kakek sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian kata pepatah, baru saja malamnya Bara menerima wedar aji ‘Sisik Naga Emas’ dari sang kakek. Pada ke esokkan harinya sang kakek menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang 76 tahun. Hanya karena sakit kepala hebat yang menderanya sejak pagi, hingga akhi
Braaghk..! "Kagghh..!"Robert Tanujaya tewas dengan kepala pecah membentur pojokkan dinding tajam di ruang kantornya sendiri. Akibat tendangan deras bertenaga dalam dari kakak sepupunya sendiri, David Tandinata.David Tandinata menyerang dan tak sengaja menewaskan sepupunya itu bukan tanpa alasan, karena ini berkaitan dengan kematian ayahnya Julian Tanuwijaya.Julian Tanuwijaya adalah owner dari 'Kharisma Group', sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang retail dan properti. Perkembangan bisnisnya bahkan merambah hingga ke seluruh kota-kota besar di negeri ini.Bisa dikatakan dia adalah salah seorang triliuner sukses di negeri ini. Namun 6 bulan yang lalu sebuah kecelakaan tragis menimpanya, hal yang mengakibatkan dirinya tewas seketika di jalan raya. Porsche macan hitam yang dikendarainya mengalami tabrakkan beruntun di jalan, tepat sebelum masuk ke jalan tol Cikampek.Mobilnya dihantam oleh sebuah truk berkecepatan tinggi di belakangnya, sedangkan di depannya adalah sebuah tru
"Hahhh..! Punya kemampuan juga kau rupanya..!" seru kaget Paul, yang menyaksikan gerakan kilat Bara dari sel seberang."Bangsat..! Kita hajar dia..!" teriak Jarot yang masih kesakitan.Dalam emosinya Jarot tak bisa melihat betapa Bara jelas-jelas memiliki kemampuan jauh di atas dirinya dan dua rekannya.Dia malah memberi aba-aba untuk kembali menyerang Bara, yang tampak tersenyum dingin melihat kedegilan tiga cecunguk rekan satu selnya ini.Mendengar aba-aba dari pimpinan selnya, si kurus dan si gempal langsung mengikuti jejak Jarot. Mereka kembali sama menyerang Bara dengan tendangan ke tubuh Bara."Hiyahh..!" Wukkh..! Wush..! Wukk..!Tiga buah tendangan melesat ke arah dada dan lengan Bara, namun kali ini Bara hanya diam saja menerima semua serangan mereka.Diam-diam Bara mengerahkan Aji 'Perisai Baja'nya, yang merupakan tingkatan dasar dari aji 'Sisik Naga Emas' warisan sang kakek.Seketika tubuhnya bagai terselimuti lapisan energi tenaga dalamnya, sosok Bara menjadi sangat keras s
"Jarot..! Aku tak suka dengan orang yang semena-mena di depanku. Sekali lagi kau berbuat begitu kupatahkan kakimu..! Kau dengar itu Jarot..!" sentak Bara kesal. "Ba..baik bos..!" sahut Jarot patuh. Sedangkan Didin dan Amir hanya tertunduk pucat mendengar kejengkelan Bara. Ya, mereka bertiga memang sepakat menjadikan Bara pemimpin di sel mereka. Bahkan mereka yakin setelah melihat kemampuan Bara, maka Gang Teri akan mempunyai penguasa baru menggantikan Paul, dan Bara lah orangnya. Usai mandi, Bara langsung hendak menuju aula makan umum para napi. Namun Jarot menahan tangan Bara. "Bos, kami punya makanan khusus buat Bos. Tinggalkan saja jatah makan nasi cadong yang umum di sini, rasanya tak karuan Bos," ucap Jarot memberitahukan. Nasi cadong adalah nasi campur aneka lauk yang di sediakan pihak pengelola penjara, biasanya nasinya dari kualitas standart atau pera. "Biarlah aku cicipi dulu sebagai perkenalan Jarot, jika memang tak cocok besok-besok aku akan beli di warung sel," sahut
Braghh..!"Sama saja Resti..! Kau tak boleh lagi bertemu lagi dengan Bara..! Lihat akibatnya pada ayah..! Ayah Donald memutuskan kerjasama sepihak dengan ayah dan dia sekarang malah mensuplai pesaing bisnis ayah di kota ini..! Sungguh membuat sial si Bara itu..! Cepat masuk ke kamarmu Resti..!" Rudi menggebrak meja, lalu berkata-kata penuh kebencian disertai amarah di hadapan Resti dan Sofia istrinya."Resti masuklah ke kamarmu dulu, jangan membuat Ayahmu tambah meledak Nak," ucap Sofia pelan pada putrinya. Dia sendiri tak bisa berkata apa-apa dalam hal ini."Baik Mah," sahut Resti sambil bergegas kembali ke kamarnya. Hati Resti sungguh terluka, saat sang ayah mengatakan Bara sebagai pembuat sial bagi ayahnya.'Bukankah yang menyerang lebih dulu si Donald itu..!' pikir Resti kesal.***Bara sedang mengurut ke tiga rekan satu selnya secara bergiliran, karena keterbatasan sarana dia hanya menggunakan minyak goreng yang dicampur dengan minyak kayu putih.Namun intinya memang bukan pada '
"Aku membunuh sepupuku sendiri Bara. Karena dia telah membunuh ayahku," sahut David."Hmm. Kita sama saja David. Aku membunuh orang yang menista Ibuku," ucap Bara."Aku membunuh karena rebutan lahan parkir bos," Jarot ikut masuk dalam pembicaraan."Kalau aku membunuh orang yang menggoda istriku," Didin menimpali."Aku sih bunuh majikkan, gara-gara gaji 3 bulan nggak dibayar," timpal Amir."David, kamu tidak ke gereja penjara kota malam ini kawan..? Kulihat para napi nasrani boleh ijin keluar untuk ikut merayakan hari Natal di sana malam ini," tanya Bara, dia paham rata-rata keturunan memeluk agama nasrani."Aku disini saja malam Natal ini. Aku ingin bersama kalian saja di malam natal tahun ini," David berkata dengan serak. Baginya lebih baik merayakan natal di hatinya, dan menghabiskan malam natal sekaligus malam pertamanya di penjara dengan teman-teman barunya itu.Walau tetap saja dalam hati David nelangsa, mengingat malam Natal tahun lalu yang begitu ceria bersama papah, mamah, dan
"Aku..!"Bara berseru seraya berdiri dan menatap tajam pada Bora cs. Dia sangat tak suka dengan gaya Bora mendatangi selnya, dan bertanya seolah menantang dan meremehkan semua orang di selnya."Oh..! Ini orangnya..!" seru Bora sambil mengamati Bara dari atas ke bawah. Dilihatnya Bara yang memiliki tinggi badan sekitar 178cm, rambutnya lurus tebal dan hitam dengan tubuh sedang namun berisi.Rahang di wajah Bara juga cukup keras dan gagah dilihatnya. Namun yang membuat Bora agak tergetar adalah pandang mata Bara. Ya, sepasang mata milik pemuda itu begitu jernih namun tajam menusuk saat itu.Bara tetap diam menunggu,'Mau apa orang-orang ini mencariku..?' tanya hatinya penasaran."Kita akan bertemu 10 hari dari sekarang di arena Bara. Aku Bora penguasa Gang 3..! Bersiaplah..!" Bora berkata dengan nada mengancam."Arena apa..?!" seru Bara tak mengerti.Tiba-tiba seorang di belakang Bora melesatkan pukulan keras mengarah ke wajah Bara sambil memaki,"Banyak omong kau..! Wesshh..!"Namun bu
"Makasih Resti," ucap Bara terharu atas perhatian Resti.Dulu saat dia masih menjadi security komplek, dia selalu berbagi martabak pemberian Resti pada Didik dan Eko, rekannya sesama security. Kini Bara berniat membaginya dengan rekan satu selnya."Mas Bara, Resti sudah membayar kontrakkan Mas untuk 7 tahun. Motor Mas Bara juga sudah di masukkan ke dalamnya. Barang-barang Mas Bara aman di sana," bisik Resti lirih.Ya, Resti memang pernah beberapa kali mampir di kontrakkan Bara, saat mereka dulu masih menjalin kasih. Resti bahkan tahu alamat ibu Bara di Banyumas, dan Resti memang berniat datang ke sana suatu saat nanti.Sebenarnya memang cukup dalam Resti mengenal Bara dan sebaliknya. Namun 'tirani' yang di bangun oleh ayah dan ibu Resti memang cukup tinggi, sehingga tertutup kemungkinan bagi Bara untuk berkomunikasi dengan mereka. Bahkan kini sepertinya sudah 'tak mungkin' lagi itu terjadi."Resti, aku akan membayar kembali apa yang sudah kaubayarkan," ucap Bara serak, seluruh perhati