Home / Urban / Sang KAISAR PRODEO / Bab 002. PANGLIMA NAGA EMAS

Share

Bab 002. PANGLIMA NAGA EMAS

Ibu!

Kata yang merupakan ‘ajimat’ dan sangat ‘sakral’ bagi Bara. Teringat jelas dalam memorinya, kejadian 15 tahun lalu saat usianya masih 9 tahun.

Baru saja Banu Hartadi pulang dari kantornya, dia sudah mendapat laporan tak mengenakkan dari istri mudanya Sisca. Tentang kelakuan kejam istri tuanya Marini dan Bara putra tunggalnya.

“Gara-gara mereka mendorong mamah, tadi mamah sampai terjatuh di kamar mandi Pah! Untung saja kandungan anak kita tak apa-apa. Tskk ... tskk,” ungkap Sisca pada Banu, dengan di iringi isak tangis ‘modus’nya.

Karuan saja amarah Banu meledak, mendengar laporan Sisca yang terdengar selalu teraniaya, setiap hari dia pulang dari kantor.

Kemarin soal Sisca diberi makan sambal terlalu pedas, kemarinnya lagi soal Sisca di suruh jalan ke pasar, dan kemarinnya lagi..lagi..dan lagi.

Dan kini soal jatuhnya istri kesayangannya itu di kamar mandi, akibat perbuatan istri pertamanya Marini dan Bara yang juga putranya sendiri.

Maka setan pun masuk ke dalam otak dan hati Banu di sore hari itu. Di ambilnya sebuah penggaris besi dari kamarnya, dan di datanginya Bara yang sedang anteng menonton TV di ruang tengah. Marini juga sedang menemani Bara di sana sambil asyik menyulam. Saat,

Plakkh!! Plakkhh!! Plakhh!!

“Aduhhh! Aakhhss! Ayahh..! Ampun Ayah!! Sakitt Ayahh..! Huhuu...!!”

Bara berteriak keras, akibat sabetan penggaris besi sang ayah yang mendarat di paha dan punggungnya.

“Mass..!! Masya Allah..!! Hentikann..!!” Marini melempar sulamannya dan langsung berlari mendekap Bara, melindunginya dari amukan kesetanan sang suami.

“Pergi kau dari rumah ini Marini! Bawa anak sialmu sekalian! Rupanya kalian belum puas kalau belum mencelakai anak dalam kandungan Siska ya!!" Plakkhh!! bentak Banu Hartadi murka, sambil mendaratkan sabetan penggaris besinya juga ke punggung Marini.

“Akskh! Cukup Mass!! Baik! Kami akan pergi!” seru Marini keras, dia merasa cukup sudah kesabarannya selama ini menerima fitnah dari Sisca dan kelakuan kasar suaminya.

Suami yang dulu begitu di kaguminya kini telah lenyap, berganti dengan suami yang berat sebelah dan suka menganiaya putranya sendiri. Putra yang dulu mereka ‘usaha’kan dengan taburan benih-benih kasih dan sayang, kini bagai sampah saja di mata suaminya itu.

Entah setan apa yang membuat suaminya itu membawa Sisca ke rumah 4 bulan yang lalu, dan menyatakan bahwa dia sudah menikah sirri dengan perempuan itu.

Terjadi pertengkaran sengit antara dirinya dan suaminya, yang berakhir dengan pisah ranjangnya dia dan suaminya.

Selama 4 bulan kehadiran Sisca di rumahnya pula, Marini dan Bara selalu di fitnah dengan berbagai tuduhan tanpa bukti dari Sisca.

Dan selalu saja Banu lebih mendengar kata-kata dari Sisca ketimbang ucapan Marini dan Bara.

Bara yang baru duduk di kelas 3 SD selalu mendapat omelan dan cacian dari Sisca. Apalagi jika dia sedang ditinggal sendiri di rumah oleh ibunya karena ada keperluan, habis sudah Bara menjadi bulan-bulanan Sisca. Entah itu di caci hingga dipukuli dengan sapu lidi, namun Bara akan diam dan tak melaporkan penganiayaan ini ke ayah atau pun ibunya.

Ya, Bara mulai paham, jika dia mengadu pasti ibunya yang akan tambah menderita akibat bertengkar dengan ayahnya.

Karena ayahnya yang sekarang sangat berbeda dengan ayah yang dulu, kini ayah yang begitu sayang padanya sudah tiada. Berganti dengan ayah yang pemarah, suka memukuli dia dan ibunya, serta hanya sayang pada tante Sisca yang jahat.

“Bara, ayo ikut ibu ke kamar. Kita siap-siap pergi dari sini Nak,” ajak Marini sambil mengulurkan tangannya. Sudut matanya telah basah dengan air mata tergenang, sakit dan sesak sekali rasa dadanya harus meninggalkan rumah yang telah 11 tahun di tinggalinya.

Rumah itu dahulu dibangun dengan sebagian biayanya adalah dari ayahnya. Namun dia sudah terlanjur muak dengan suaminya sekarang, dia enggan berbantahan dengan suaminya soal rumah dan lain-lainnya.

Apalagi jika dia harus berbantahan dengan Sisca yang sangat dibencinya itu. Pernah sekali dia ‘menampar’ Sisca, akibat dia memukuli Bara dengan gagang sapu untuk masalah yang sepele.

Tapi saat suaminya pulang kantor, ganti dia yang ditampar 3 kali oleh suaminya itu. Sakit sekali perasaannya, saat pria yang di cintainya itu malah membela wanita yang di bencinya.

“Iya ibu, huhuu..!Bu punggung Bara pedih Bu, huhuhuu!” Bara menyambut uluran tangan sang ibu, berjalan di sisi sang ibu sambil menangis kesakitan.

Ada pun Banu hanya terdiam melihat itu semua, ada rasa sakit juga di hatinya. Namun entah kenapa dia sama sekali tak bisa menahan amarahnya, jika mendengar pengaduan Sisca soal Marini dan Bara.

Akhirnya senja itu juga Marini bersama Bara keluar dari rumah itu, tanpa mendapat uang sangu atau ucapan apa pun dari suaminya. Marini hanya membawa perhiasan miliknya dan sedikit uang di tabungannya bernilai 7 juta rupiah lebih.

Untuk terakhir kali, di suruhnya Bara pamit pada ayahnya, saat mereka sudah di teras rumah.

“Bara pamit sama Ayah, cium tangannya,” Marini menunduk dan berbisik pelan ke dekat telinga Bara.

Bara mengangguk lalu kembali masuk ke dalam rumah dengan wajah agak takut. Bara masih ‘shock’ dengan sabetan penggaris besi sang ayah, yang masih terasa pedih di punggung dan pahanya.

Dan Bara akan selalu teringat, itu adalah salam terakhirnya pada sang ayah.

“Ayah, Bara pergi dulu sama Ibu,” ucap Bara sambil menarik dan mencium tangan ayahnya, yang terduduk lesu di kursi ruang tamu.

“Bara, maafkan ayah. Dan jaga Ibumu baik-baik ya,” tubuh Banu gemetar saat mengatakan itu, dia seperti sedang melawan mati-matian bisikkan jahat dalam dirinya, yang menyuruhnya untuk membenci putranya sendiri.

Ya, rupanya Banu telah terkena ‘guna-guna’ oleh seorang dukun yang dibayar Sisca..!

Pagi harinya Marini dan Bara telah tiba di terminal Purwokerto, dari terminal mereka naik angkot jurusan Baturaden dan turun di desa Pandak.

Di desa inilah ayah Marini tinggal setelah kematian ibunya di Jakarta. Marini baru 3 kali kerumah ayahnya yang sekarang ini, dulu dia pernah datang merayakan lebaran di sini bersama suaminya dan Bara yang masih kecil.

Damarjati menyambut kedatangan putri dan cucunya itu dengan gembira, saat melihat mereka berada di depan pintu rumahnya.

Namun melihat wajah muram dan sedih Marini, maka dia pun maklum ada hal berat yang sedang di hadapi oleh putrinya itu. Dibiarkannya dulu putri dan cucunya itu beristirahat di kamar yang di sediakannya.

Damarjati terlihat masih gagah di usianya yang hampir 65 tahun saat itu. Pakaiannya sederhana dan pandang matanya masih tajam dan teduh namun berwibawa.

Tidak heran, karena dia dulunya adalah mantan Komandan Pasukkan Luar Biasa. Tugasnya adalah mengawal secara pribadi para pejabat tinggi bahkan Presiden, dan tak jarang di tugaskan menyelesaikan misi-misi ‘halus dan mustahil’ yang teramat rahasia sifatnya.

Semboyan pasukkan ini adalah ‘Bergerak bagai badai, menghilang bagai asap’. Sebuah pasukkan yang di sangkal keberadaannya oleh negara, namun terasa nyata gerakkannya. Julukannya adalah ‘Panglima Naga Emas’!

Melihat rumah Damarjati yang sederhana? Tidak! Sesungguhnya Damarjati sangat kaya!

Setelah istrinya meninggal, Damarjati mundur dari pasukkannya dan menitipkan kepengurusan rumahnya di Jakarta pada mantan bawahannya yang paling setia, Tedjo. Dan dia sendiri pindah dan mencari ketenangan di desa kelahirannya itu.

Damarjati sangat marah dan kecewa pada Banu Hartadi menantunya itu, saat dengan jujur Marini menceritakan apa yang terjadi dalam rumah tangganya.

Damarjati sampai hendak menyusul ke Jakarta, untuk melabrak menantu dan istri mudanya itu. Namun Marini memohon sambil terisak pada ayahnya itu, untuk tidak ikut campur urusan pribadinya.

Marini berkata sudah rela berpisah dan meninggalkan semua kenangan buruk dalam hidupnya itu.

“Baiklah Marini, kau boleh larang bapak menemui mantu tak tahu adat itu! Tapi jangan larang bapak menurunkan ‘kemampuan’ bapak pada Bara mulai saat ini!” seru Damarjati tegas dan tak terbantahkan.

Maka jadilah sejak saat itu,..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status