"Dek Sum, nanti pulang dari sini oleskan kunyit ke kedua telingamu, ya," bisik Mbak Pur yang ikut melayat denganku.
"Kenapa memangnya, Mbak?" tanyaku penasaran.
"Sudah turuti saja, ini demi kebaikanmu dan janin yang ada di kandungan." Mbak Pur bukannya menjawab malah membuatku tambah penasaran, tetapi kuputuskan tidak bertanya lagi karena khawatir suaraku menganggu pelayat lainnya.
Namun, ada kejadian yang membuatku shock hingga orang-orang akhirnya beramai-ramai mengantarku pulang, yakni saat hendak meletakkan amplop berisi uang takziah di wadah dekat jenasah Mpok Lela, tiba-tiba kain jarik penutup wajah si mayit terbuka. Matanya terbelalak menatap ke arahku, membuat kakiku lemas dan terjatuh bersimpuh di hadapannya.
"Bagaimana sekarang, Dek? Masih lemas?" tanya Mbak Pur, setelah sampai di rumahku.
"Alhamdulillah, sudah membaik Mbak. Saya tadi hanya kaget saja."
"Kalau begitu, kita pulang, ya. Ingat pesanku, Dek." Setelah memastikan aku dal
"Bang, lama banget, sih? Kemana saja?" rajukku manja. Mengkhawatirkan laki-laki tercintaku."I-iya, Abang tugas luar kota, Sum." Aku merasa aneh dengan nada suara Bang Adi, tetapi semua kuabaikan karena rasa rindu yang telah menumpuk. Kemesraan kami terhenti sesaat kala Mas Gondo dan Tini pamit pulang.Selepas kepulangan Mas Gondo dan Tini, aku menarik tangan Bang Adi masuk ke rumah. Setelah kupastikan pintu terkunci, aku merangsek, menciumi pipi dan tubuh Bang Adi."Bang, aku kangen." Desahan mengiringi ucapanku. Bang Adi membalasnya dengan ciuman yang tak kalah panasnya."Abang, juga kangen Sayang." Bang Adi mengangkat tubuhku masuk ke dalam kamar, meletakkan perlahan di atas ranjang. Melucuti seluruh pakaianku lalu menciumiku seluruh tubuhku dari atas hingga bawah. Aku sangat menikmati setiap sentuhan yang dilakukan suamiku. Namun, ketika ragawi mulai menyatu dan merasakan sensasi kenikmatan. Bang Adi mendorongku hingga terjatuh, wajahnya menyiratkan k
Aku memandangi tubuh Bang Adi hingga menghilang di ujung jalan. Seperti hari-hari sebelumnya, dia pamit kerja tanpa ritual yang dulu aku lakukan. Apalagi tadi aku sempat membangunkannya untuk Salat Subuh, tetapi yang kuterima malah bentakan. Membuat aku tergugu di sudut dapur. Pisang goreng di wajan menjadi hangus, tak kuperdulikan padahal itu makanan kesukaan Bang Adi.Setelah Bang Adi berangkat, aku segera bersiap. Tujuanku hari ini, ingin memeriksakan kandungan. Jadwal ke Bidan yang seharusnya kulakukan dua hari lalu.Aku merasa langkah menjadi pendek, tempat praktek Bu Bidan terasa jauh dari rumahku. Padahal biasanya hanya ditempuh tidak lebih lebih dari lima belas menit, tetapi kenapa sekarang terasa lama? Aku terus saja berjalan, perasaanku semakin tidak enak karena sejauh ini tidak ada orang atau kendaraan lewat, biasanya jam-jam seperti ini ramai.Keringat mulai membasahi kening dan tubuhku. Aku menghapusnya dengan ujung jilbab yang kukenakan. Perut pun
Alhamdulillah, setelah aku lanjutkan terus membacanya. Lambat laun suara-suara tersebut menghilang seiring azan Ashar berkumandang. Gegas, aku melanjutkan menunaikan salat karena masih dalam keadaan suci.Tak lama Bang Adi pulang kerja, tetapi balik lagi katanya ada barang yang harus diantar kembali. Dari dalam rumah kulihat truk putih yang terparkir di halaman terlihat berasap dan warna putihnya penuh bercak darah. Aku mengucap kalam Ilahi serta mengkerjapkan mata. Sontak pemandangan mengerikan itu hilang."Sum, aku jalan, ya!" Bang Adi berjalan cepat ke arah truk, setelah menepuk bahuku."Bang, tunggu! Ada yang mau kuceritakan!" Aku berteriak seraya menyusul Bang Adi tetap dia seakan tak menghiraukan, menutup pintu truk, menyalakannya dan berlalu meninggalkanku.Bang, kenapa kamu sekarang berbeda? Aku meratap dalam hati. Melangkah pelan memasuki rumah, duduk di kursi panjang sambil melihat foto pernikahan kami yang terpajang di dinding. Otakku berpikir,
Aku berjalan tergesa-gesa pulang ke rumah, tetapi anehnya langkahku malah memutar melewati kebun tempat Mpok Lela gantung diri. Entah mengapa bukannya berjalan, aku malah berhenti dan memandang pada pohon kecapi besar yang di dahannya melambai-lambai seutas tali tambang."Sumiii ...." lirih terdengar suara yang kukenali.Aku memejamkan mata berusaha menetralisir diri bahwa pendengaranku salah, tetapi kini sosok yang kukhawatirkan muncul di hadapanku. Sama penampakannya seperti malam itu, wajah pucat menyeramkan dengan tali tambang terikat di lehernya. Tubuhku lemas tidak bisa menahan ketakutan."Mbak, ngapain di situ?"Sosok laki-laki bertopi menegurku, sepertinya dia pencari rumput. Aku tidak menjawab, mengedarkan pandangan. Hantu Mpok Lela telah menghilang. Hati terasa lega, buru-buru pulang ke rumah. Sebentar lagi senja datang.Rasa lega menghampiri saat seiring azan Magrib, aku tiba di rumah. Setelah mandi dan salat, aku merenung di kamar
Ketika kami asik bercengkrama, suara deru mesin mobil terdengar dari ujung jalan. Truk putih yang tampak gahar mendekat ke rumah."Bang, kok, dibawa truknya?" tanyaku sesaat, Bang Adi memarkirkan kendaraannya."Iya , aku malas balik ke perusahaan. Sudah tenang, ada aku ini," ujar Bang Adi yang langsung masuk ke rumah setelah berbasa-basi sebentar pada Tini.Hatiku rasanya jadi tidak tenang, teringat peristiwa mengerikan saat awal truk putih datang. Aku pun berprasangka penyebab kejadian-kejadian di rumah adalah berasal dari makhluk tak kasat mata penunggu truk."Sum, aku pamit pulang, ya. Oh, iya sudah diminum ramuan dari Nyi Retno?" tanya Tini sesaat dia hendak pulang. Aku hanya mengangguk, lidah tak mampu berbohong."Bang, makan dulu. Tadi aku buat kue sama telur balado," ucapku saat Bang Adi keluar kamar mandi."Entar saja, Sum. Aku capek banget." Bang Adi masuk ke kamar. Memang terlihat sekali kelelahan di wajahnya. Khawatir mengan
Benar saja, tak lama terdengar teriakan panik dari sahabatku, Tini. Entah dapat kekuatan dari mana, dia mengangkat tubuhku dan meletakkan di jok belakang mobil yang dibawanya."Sabar, ya, Sum! Tenang yang penting kamu sudah minum ramuan Nyi Retno pasti semua akan baik-baik saja." Aku terkejut mendengar ucapan Tini, sempat-sempatnya dia berkata seperti itu di saat aku dalam keadaan menahan sakit. Tanpa menunggu jawabanku, Tini segera menyalakan mesin mobil, mengendarai dengan kecepatan penuh diiringi pandangan aneh orang-orang di jalan."Suami ibu, mana? Biar azanin anaknya dulu!" Seorang wanita muda berpakaian perawat menghampiri dan bertanya padaku. Aku menggeleng lemah sambil berkata, "Kerja." Untung saja semua orang di rumah sakit sigap serta baik. Perawat laki-laki menggendong anakku sambil mengucapkan Kalam Illahi.Air mataku berderai menyaksikan pemandangan di hadapanku. Di saat moment mengharukan itu, tiba-tiba Tini menerobos masuk. Matanya terbelalak mel
"Astagfirullah!" Aku berlari menghampiri Rizky, meraih dalam gendongan sambil membaca surah-surah pendek. Setelah tidak menangis, aku menyusuinya dan kembali tertidur. Namun kali ini aku tidak berani meninggalkannya apalagi azan Magrib telah berkumandang. Sepanjang malam aku terjaga, khawatir terjadi sesuatu hal tidak diinginkan.Pagi harinya, setelah memandikan Rizky, aku berniat mencari sarapan sambil melihat-lihat keadaan sekitar tempat tinggalku yang baru agar bisa lebih mudah bersosialisasi sekaligus mencari pelanggan jasa jahitan."Teteh, orang baru, ya?" tanya seorang wanita memakai daster kuning saat aku mengantre nasi uduk di warung dekat rumah."Iya, Mbak," jawabku sambil tersenyum. Wanita itu menjulurkan tangannya sambil berkata, "Panggil saja Dewi, Teh. Sepertinya usianya di atas saya.""Oh, iya maaf.""Enggak apa-apa, Teh. Omong-omong rumah saya, pas di depan rumah Teteh. Kalau ada perlu datang saja ke rumah, ya. Pemilik kontraka
Aku pun segera berlalu, untung saja ada tukang ojek sehingga dapat lebih cepat sampai ke rumah. Setelahnya, aku meluruskan badan, lumayan lelah kali ini.Rizky kuletakkan di atas kasur kecil di ruang tamu bermain dengan guling kecilnya, sedangkan aku merapikan barang-barang yang tadi kubeli. Setelah salat Zuhur, aku tertidur di ruang tamu sambil memeluk anak tersayang.Tok! Tok! Tok!Mataku terbuka saat mendengar ketukan di pintu, aku mengintip dari balik gorden. Ternyata Dewi dengan kedua orang tuanya. Aku segera memindahkan Rizky ke dalam kamar dan membuka pintu."Apa kabar, Dek Sumi?" Pak Dodo dan Ibu Astuti, pemilik kontrakan yang merupakan orang tua Dewi menyapa."Alhamdulillah, baik Pak-Bu. Sudah hampir tiga bulan tidak bertemu, ya." Memang terakhir kali aku berjumpa dengan mereka saat membayar kontrakan untuk setahun kedepan."Oh, sukurlah. Betah
"Mana Sumi? Aku ingin bertemu dia juga anakku!" Adi menerobos masuk ke dalam rumah diikuti si wanita yang tak lain adalah Tini."Dia tidak ada di sini, Di! Cepat keluar dari rumahku!" Tini menarik tangan Adi yang tak menghiraukan perintahnya.Merasa kesal dengan perlakuan Tini, Adi menepis tangan dan mendorong tubuh perempuan cantik tersebut hingga terjatuh ke lantai, lalu bergegas membuka pintu kamar satu persatu dengan harapan bertemu Sumi. Namun, alangkah terkejutnya pria tersebut saat mendapati kamar kedua yang dibukanya terdapat patung menyerupai Sang Junjungan lengkap dengan altarnya."Gil*! Ternyata kau juga salah satu pemuja setan keparat itu, Tin?! Kau sengaja mendekati Sumi agar bisa ditumbalkan?" Adi berbalik mendekati Tini dengan tatapan tajam, kemarahannya sudah di ubun-ubun."Bukan begitu, Di ... malah sebaliknya, aku ingin melindungi Sumi, dia ...." Belum selesai ucapan Tin
Di tempat lain, Retno sedang bercakap-cakap dengan Adi. "Tidak salah lagi, Di. Kampung belakang komplek ini, Sumi berada. Aku bisa merasakan kehadirannya walau sosok istri dan anakmu tidak terlihat." "Jadi bagaimana, Bik?" Adi mendekatkan dirinya kepada Retno. "Menurutku, coba kau yang lihat ke sana. Aku yakin, perisai dibuat Gondo dan Yudhis hanya berlaku kepadaku." Retno menyakinkan Adi agar menuruti perintahnya, dia tidak mau tenaganya terus terkuras habis akibat menembus benteng yang dibuat rival-rivalnya itu. "Baiklah, Bik. Kebetulan besok aku libur, mudah-mudahan benar apa yang dikatakan Bibik." Meski ada rasa kecewa, Adi berusaha bertemu Sumi dan menyakinkan diri agar mereka bisa bersama lagi. **** Keesokan pagi dengan menyewa sepeda motor, Adi berangkat menuju kampung belakang komplek. Semilir angin sejuk menerpa wajah perseginya, membuat
Setelah dirasakan tenang, Dewi dan Armand pamit pulang dengan pikirannya masing-masing. Terutama Dewi yang berniat akan mengaku kepada Sumi tentang keadaan almarhum orang tuanya serta dirinya---para penyembah Sang Junjungan. Dia ingin bertaubat karena tak ingin kematian mengerikan menjemputnya. Namun, niat baiknya itu ternyata tak mampu terwujud. Keesokan hari, Dewi beserta suaminya mati ditemukan gantung diri di langit-langit ruang tamu."Ya Allah, bagaimana kejadiannya, Dek?" tanya Sumi setelah mendengar kematian Dewi dan Surya kepada Armand yang menangkupkan kedua tangan menutupi wajah lelahnya."Selepas salat Subuh di musala, saya mendengar suara tercekik dari dalam rumah, pintu keadaan setengah terbuka. Saya pikir tumben Teh Dewi dan Mas Surya sudah bangun. Ternyata yang saya temukan tubuh mereka tergantung, Mbak." Armand menahan tangis. Dalam hitungan hari, dia sudah kehilangan semua anggota keluarga, membuat hatinya bertanya-tan
"Mbak, saya juga mau pamit, ya." Setelah ikut merapikan ruangan, Armand beserta ibu-ibu lainnya pulang. Meninggalkan Sumi dan Rizky yang terbangun dari sebelum Magrib."Anak Ibu mau apa?" tanya Sumi kepada Rizky yang menatap ceria ke buah-buahan yang masih banyak tersaji. Rizky menunjuk ke arah jeruk Mandarin. Sumi dengan penuh kasih menyuapkan ke anaknya."Enak Sayang ...."Rizky membalas pertanyaan ibunya dengan tawa riang. Sumi gemas lalu menciuminya berulang kali.Siiir!Suara angin berdesir masuk kedalam jendela nako yang masih terbuka, Sumi lupa menutupnya. Aroma daging terbakar seketika menyeruak, pikir Sumi itu adalah bau asap dari penjual sate yang biasa mangkal di seberang jalan.Namun, terjadi keganjilan saat Sumi hendak menutup jendela. Tampak di depan rumahnya beberapa orang berdiri membelakangi. Dia melirik jam di dinding, ternyata sudah p
Sebelum ke rumah Bu Wid, Dewi bertandang ke rumah Sumi untuk memberitahukan tidak perlu menyiapkan apa-apa karena semua kebutuhan tahlilan dia yang akan mempersiapkannya. Namun, Sumi tidak tinggal diam. Saat Rizky bermain dengan mainannya, dia pun membersihkan rumah, agar terasa nyaman jika para tamu datang."Assalamualaikum ...." Suara salam diiringi riuh terdengar dari depan. Beberapa ibu-ibu tampak membawa penganan serta minuman."Waalaikumsallam, masuk Bu." Sumi menyambut ramah.Mereka menata makanan yang dibawa dengan sesekali menggoda Sumi."Aduh, sebentar lagi Rizky punya Bapak baru, nih.""Cocok, tahu, Mbak dengan Armand. Satunya ganteng, satunya lagi cantik."Panas sebenarnya telinga Sumi mendengarkan celotehan ibu-ibu tersebut, tetapi ditahannya di hati. Dia hanya diam, tidak banyak bicara menimpalinya dengan senyuman karena tahu panjang urusan jika
Tragis, mengerikan? Pasti. Siapa yang bersekutu dengan iblis dan akhir hidupnya belum bertaubat, ruhnya akan penasaran bahkan bisa terpenjara dalam lingkaran si iblis. **** Kampung tempat tinggal Pak Dodo dengan Bu Astuti heboh atas peristiwa terbakarnya rumah juragan kaya di wilayah tersebut. Bagaimana tidak, selain seluruh bangunan beserta harta benda lainnya terbakar habis. Para penghuninya pun tersisa jadi abu. Sepasang suami istri tersebut juga kedua anak serta mantunya juga dua pekerja rumah tewas terbakar, keluarga itu hanya tinggal Dewi serta suaminya dan Armand yang kebetulan berada di luar kota untuk keperluan pekerjaan. "Bapak! Ibu!" Teriakan histeris Dewi membahana, suaminya serta Armand berusaha menenangkan. "Sudah, Teh, tenang ... sekarang kita urus acara pemakaman mereka serta tahlilan." Armand berusaha agar Dewi tidak terus berteriak, benar saja Dewi terdiam. Namun, bukan kare
Semua usaha Retno dan Mas Gondo telah mereka lakukan sebisa mungkin walau dengan tujuan berbeda. Satu iblis yang sama dipuja menyebabkan mereka bagaikan dipermainkan dan Sang Iblis hanya tertawa melihat para pemujanya berebutan menarik perhatian apa pun bentuknya."Tin, aku ke rumah Yudhis dulu, mencari jawaban bagaimana cara membunuh Retno." Mas Gondo pamit kepada kekasihnya setelah merasa baikan. Tini mengangguk sebagai jawaban.Terik matahari tidak menghalangi Tini menuju rumah Sumi, sepeninggal Mas Gondo hatinya merasa tidak tenang. Khawatir terhadap anak serta cucunya.Di bawah naungan payung hitam, Tini mengintip dari balik pohon. Perasaannya lega melihat Sumi serta anaknya dalam kondisi baik-baik saja. Namun, ternyata bukan Sumi yang harus dikhawatirkan keadaannya, tetapi dirinya sendiri karena dua pasang mata menatap tajam ke arahnya yakni Pak Dodo dan Bu Astuti. Benar saja, ketika Tini hendak melangkah pulang, l
Setelah menyantap makanan yang disajikan Adi, Retno menuju kamar mandi, membersihkan diri lalu bersiap menjalankan misinya. Mencari keberadaan Sumi, dia dapat merasakan getaran bahwa orang yang dicarinya tidak jauh dari kontrakan Adi.Setelah menengok kiri kanan, Retno mulai menyusuri jalan menuju perkampungan-perkampungan yang berada di belakang komplek perumahan tempat tinggal Adi, tetapi ada yang aneh dengan penampilan Retno kali ini. Dia menyamar sebagai pengemis, berpakaian lusuh, wajah ditutupi jelaga serta memakai selendang di kepala agar dapat leluasa menjalankan aksinya. Sungguh luar biasa tekad perempuan itu, semua demi kejayaannya.Mulut Retno komat-kamit, matanya terus mencari, berharap apa yang dilihat dengan mata batinnya benar adanya. Bahwa Sumi beserta anaknya berada di sekitaran daerah itu, tetapi dari kampung-kampung sudah dijelajahinya sosok dicari belum ketemu jua. Tubuh Retno mulai terasa lelah hingga dia memutuskan beri
Hampir tengah malam saat Adi sampai di kontrakan dan mendapati Retno masih terbaring lemah di lantai."Bik, Bibik!" Adi berusaha membangunkan Retno. Namun, perempuan itu tidak bergeming. Sehingga Adi memutuskan ingin membawanya ke rumah sakit, tetapi saat tubuhnya hendak diangkat, mata Retno membuka."Ambilkan tas Bibik, Di ...." Adi bergegas mengambilkan tas kecil yang diletakkan Retno di kursi, sebelum dia mencoba menerawang tadi."Ini, Bik!" Adi memberikan tas Retno kepada pemiliknya. Perempuan itu langsung mengeluarkan botol kecil berisi cairan merah pekat yang langsung diteguknya habis. Mata Retno mengerjap, wajahnya pun tampak segar setelah meminum cairan tersebut."Ada apa, kok, Bibik pingsan?" tanya Adi."Aku tadi berusaha mencari tahu keberadaan Sumi karena merasakan getarannya, tetapi saat berusaha lebih jauh lagi, aku diserang. Sepertinya oleh Gondo dan Yudhis,"