"Atas dasar apa kamu memecatku?""Aku nggak mau membuat calon tunanganku kesal karena kamu masih kelihatan di mana-mana," tutur Billy."Jadi berita itu benar." Rena menyeringai, menahan rasa ingin menangis.Rena menyaksikan raut wajah Billy yang sudah lama tak dilihatnya. Seperti awal awal mereka berjumpa. Seringai sinis yang tampak licik menghiasi wajah tampan nan angkuh."Kalau nggak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku pergi."Rena dapat melihat punggung pria yang dicintai semakin menjauh, memasuki pintu tangga darurat alih-alih masuk ke dalam lift. Dengan sendirinya, Rena mengikuti dengan langkah gontai, menuruni satu per satu anak tangga menuju ke arah pria yang bahkan tak melihat ke belakang."Billy!" Suara Rena menggema.Untuk sesaat Billy terpaku lalu melanjutkan perjalanan. Rena tak kuasa menahan rasa sakit yang kian terasa. Ia pun mempercepat kaki hingga hanya berjarak satu langkah darinya.Billy terkesiap ketika Rena memeluk dari belakang.
Fani Maharani tersenyum puas. Setelah bertahun-tahun menanti, Billy akhirnya datang padanya. Tak sia-sia ia mengorbankan kedua kakinya.Hari itu, seorang pria mendatangi Fani. Pria itu mengaku bernama Kai. Entah siapa nama belakang pria itu, Fani tak ingat dan tak peduli. Yang pasti Kai telah menyelamatkan dirinya.Kai mengungkap semua rencana Joshua dan Billy. "Apa kamu rela mendapatkan Billy cuma sehari saja?" tanya Kai."Aku bahagia walau hanya diberi waktu sehari untuk menjadi kekasih Billy.""Benarkah? Kalau bisa memilih, apa kamu tetap nggak mau mendapatkan Billy selamanya?""Tentu saja aku akan sangat bahagia jika bisa terus bersama Billy. Tapi aku nggak bisa terus memaksa. Aku juga masih punya harga diri."Kai terkekeh-kekeh. "Kamu punya harga diri? Setelah mempermalukan diri seperti itu?"Wajah Fani merona karena malu. Ia tak bisa menampik fakta yang diucapkan Kai."Bayangkan, jika kamu mendapatkan Billy, hidupmu akan berubah. Kamu akan
Billy sedih melihat ibunya terbaring lemah tak berdaya. Entah apa yang terjadi pada Aurora, sejak kedatangan Fani, ia sering sakit-sakitan.Aurora tampak selalu memikirkan sesuatu. Kemudian ibunya tiba-tiba menangis ketika semua orang pergi."Mama, makan dulu ya?" bujuk Billy.Aurora menggeleng lemah. "Nanti setelah kamu kerja."Seperti itu jawabannya, tapi Billy tahu ibunya selalu berbohong. Bella maupun Gladis, dan bahkan ayahnya tak mampu untuk mengembalikan senyuman di wajah Aurora.Ingatan Billy bergulir ke masa lalu. Ketika ia masih di Jepang, Aurora mendesaknya untuk meninggalkan Rena. Terang saja ia marah besar. Ayahnya pun turut membujuk dengan nada khawatir.Waktu itu, Billy kira, Aurora akan berbuat sesuatu yang buruk kepada Rena. Billy lantas memutuskan kontak dengan Rena sementara waktu untuk mengecoh Aurora.Kemudian Aurora tiba-tiba menyusulnya ke Jepang. Tampilan Aurora kala itu tak seperti biasa. Matanya sayu, seperti kehilangan gairah hidup.Aurora berlutut di hadapan
"Jangan lama-lama. Sebentar lagi hujan," ujar Joshua.Rintikan air hujan mulai turun membasahi bumi. Di bawah payung hitam, Rena dan Joshua jalan berdampingan menuju deretan mobil yang terparkir di luar pemakaman.Di mobil paling depan, Peter dan Mira telah menanti dirinya. Mira membuka kaca jendela, membiarkan tetesan air hujan membasahi tangan yang melambai-lambai."Rena, cepat masuk," teriaknya."Iya, Mama Mira. Jangan dibuka jendelanya!" balas Rena."Ayo, cepat, keburu ketinggalan pesawat." Joshua melingkarkan tangan di pinggang Rena, setengah menyeret tubuhnya agar berjalan lebih cepat.Di dalam mobil yang melaju, Rena menoleh ke belakang, ke arah batu nisan Thomas Volker yang kian tak terlihat. Hawa sedih kembali menyergap. Setitik penyesalan terpatri dalam hati.Mira memeluk Rena penuh kasih sayang. "Sudah, nggak apa apa. Semua akan baik-baik saja.""Iya, Ma. Terima kasih sudah mengizinkanku mengunjungi Kakek Thomas untuk yang terakhir kali."
Rena mencium aroma bunga menusuk lubang hidungnya. Lampu kamar dibiarkan mati, digantikan oleh cahaya temaram dari lilin-lilin di setiap sudut ruangan.Ranjang dengan sprei putih ditaburi kelopak bunga mawar merah membentuk gambar hati. Tak jauh dari pintu kamar, troli tingkat dua berisi makanan dan dua macam minuman anggur beda warna."Ehem, ini agak canggung," ujar Joshua kemudian."Y- ya benar. Hahaha.""Kamu-" Mereka bicara serempak menimbulkan kecanggungan lainnya."Mau mandi dulu, Ren?" tanya Joshua.Sesaat ia sadar, pertanyaan yang dilontarkannya sedikit aneh dan terdengar seperti ajakan, sehingga wajahnya merona. "Ah, jangan salah paham. Aku biasanya mandi sebelum naik ke tempat tidur.""Aku juga. Kamu mau mandi dulu atau..."Atau? Rena heran sendiri kenapa ia mengucap kata itu. Rasa canggung bercampur gugup membuat mulutnya hilang kendali."Atau apa?""M- maksudku kamu mandi dulu saja!"Rena mendorong troli ke arah meja tamu kamar
Nella Gavin terkekeh di dekat ibunya. Mereka saling berbisik sambil menatap Rena dan Joshua. Entah apa yang Nella ucapkan sehingga membuat wanita tujuh puluh tahun tahun itu merona dan senyum malu-malu.Lydia, kakak ipar Nella, berdehem berkali-kali karena tak sengaja mendengar ucapan Nella baru saja. Ia mempertahankan wajah datar seraya menyuap sepotong daging ke mulut. Lalu terbatuk begitu mendengar bisikan Nella selanjutnya."Nella! Jangan berisik di meja makan!" hardik Lydia."Apa sih, suka suka, dong!""Kalian ngomongin apa? Seru sekali kelihatannya," tanya Mira."Abaikan saja, Kak." Lydia tersenyum anggun dengan wajah merah padam."Rena, Joshua, kalian nggak perlu cepat cepat makannya," sambung Lydia.Rena dan Joshua sedari tadi menyuap makanan dengan cepat. Mereka berdua mirip seperti robot vakum makanan."Makan yang banyak ya, Joshua. Biar kuat." Nella terkekeh sampai matanya melengkung ke bawah.Joshua tersedak karena ucapan tantenya
"Joshua!!!"Rena memukul-mukul Joshua dengan bantal. Pria itu menghalangi wajah dengan kedua tangan."Ren... Sebentar, Ren. Aku akan menjelaskan!""Diam! Dasar mesum!"Rena tak mau berhenti memukul Joshua sampai kapas bulu angsa dalam bantal berhamburan. Tak menyerah, ia meraih bantal lainnya."Dari kemarin bilang mau jelasin terus! Waktu ditanya langsung kabur!""Hahahah!" Joshua terpingkal-pingkal."Kamu bisa tertawa, hah!!""Lihat mukamu, bodoh!"Bulu-bulu angsa menelusup di rambut kusut Rena. Penampilannya menghibur Joshua di pagi hari yang cerah ini.Joshua sigap menangkap kedua pergelangan tangannya tatkala Rena akan memukul lagi. Ia menahan tawa dengan setitik air di ekor matanya.Pandangan mereka beradu dengan intens. Rena melepaskan bantal dalam genggaman."M- mau apa kamu?" lirih Rena.Joshua membelai rambut Rena, seperti adegan drama di mana si pria membersihkan kotoran di rambut si wanita. Kemudian si pria mengecup
Rena hampir saja berteriak. Ada rasa menggelitik di dalam perut, lalu berangsur naik ke atas sampai menusuk-nusuk jantung.Selama ini, Rena pikir telah melupakan Billy sepenuhnya. Di mana ia bisa tertawa dengan semua anggota keluarga Gavin tanpa beban. Ia pun bersenang-senang bukan hanya sandiwara saja.Tetapi ternyata tak semudah itu. Rena baru menyadari jika ia masih dalam fase penyangkalan, pura-pura tak tahu dengan apa yang telah terjadi. Dan ia baru memahami perasaannya sendiri setelah mendengar Billy sebentar lagi akan menikah."Nggak bisa dibiarkan!" bentak Oliver."Kenapa Kakek marah? Memangnya Kakek kenal Billy Volker?" pertanyaan Davina mewakili seluruh anggota keluarga."Berapa umur orang itu?" tanya Oliver."Dua puluh tujuh, sama denganku, Kek. Dulu Kakek pernah bertemu dengannya di rumahku waktu aku masih kuliah," terang Joshua."Benar, benar, pemuda itu! Aku masih ingat tatapan arogannya! Khas orang-orang Volker.""Tuh, Kakek saja nggak