Rena mencium aroma bunga menusuk lubang hidungnya. Lampu kamar dibiarkan mati, digantikan oleh cahaya temaram dari lilin-lilin di setiap sudut ruangan.
Ranjang dengan sprei putih ditaburi kelopak bunga mawar merah membentuk gambar hati. Tak jauh dari pintu kamar, troli tingkat dua berisi makanan dan dua macam minuman anggur beda warna."Ehem, ini agak canggung," ujar Joshua kemudian."Y- ya benar. Hahaha.""Kamu-" Mereka bicara serempak menimbulkan kecanggungan lainnya."Mau mandi dulu, Ren?" tanya Joshua.Sesaat ia sadar, pertanyaan yang dilontarkannya sedikit aneh dan terdengar seperti ajakan, sehingga wajahnya merona. "Ah, jangan salah paham. Aku biasanya mandi sebelum naik ke tempat tidur.""Aku juga. Kamu mau mandi dulu atau..."Atau? Rena heran sendiri kenapa ia mengucap kata itu. Rasa canggung bercampur gugup membuat mulutnya hilang kendali."Atau apa?""M- maksudku kamu mandi dulu saja!"Rena mendorong troli ke arah meja tamu kamarNella Gavin terkekeh di dekat ibunya. Mereka saling berbisik sambil menatap Rena dan Joshua. Entah apa yang Nella ucapkan sehingga membuat wanita tujuh puluh tahun tahun itu merona dan senyum malu-malu.Lydia, kakak ipar Nella, berdehem berkali-kali karena tak sengaja mendengar ucapan Nella baru saja. Ia mempertahankan wajah datar seraya menyuap sepotong daging ke mulut. Lalu terbatuk begitu mendengar bisikan Nella selanjutnya."Nella! Jangan berisik di meja makan!" hardik Lydia."Apa sih, suka suka, dong!""Kalian ngomongin apa? Seru sekali kelihatannya," tanya Mira."Abaikan saja, Kak." Lydia tersenyum anggun dengan wajah merah padam."Rena, Joshua, kalian nggak perlu cepat cepat makannya," sambung Lydia.Rena dan Joshua sedari tadi menyuap makanan dengan cepat. Mereka berdua mirip seperti robot vakum makanan."Makan yang banyak ya, Joshua. Biar kuat." Nella terkekeh sampai matanya melengkung ke bawah.Joshua tersedak karena ucapan tantenya
"Joshua!!!"Rena memukul-mukul Joshua dengan bantal. Pria itu menghalangi wajah dengan kedua tangan."Ren... Sebentar, Ren. Aku akan menjelaskan!""Diam! Dasar mesum!"Rena tak mau berhenti memukul Joshua sampai kapas bulu angsa dalam bantal berhamburan. Tak menyerah, ia meraih bantal lainnya."Dari kemarin bilang mau jelasin terus! Waktu ditanya langsung kabur!""Hahahah!" Joshua terpingkal-pingkal."Kamu bisa tertawa, hah!!""Lihat mukamu, bodoh!"Bulu-bulu angsa menelusup di rambut kusut Rena. Penampilannya menghibur Joshua di pagi hari yang cerah ini.Joshua sigap menangkap kedua pergelangan tangannya tatkala Rena akan memukul lagi. Ia menahan tawa dengan setitik air di ekor matanya.Pandangan mereka beradu dengan intens. Rena melepaskan bantal dalam genggaman."M- mau apa kamu?" lirih Rena.Joshua membelai rambut Rena, seperti adegan drama di mana si pria membersihkan kotoran di rambut si wanita. Kemudian si pria mengecup
Rena hampir saja berteriak. Ada rasa menggelitik di dalam perut, lalu berangsur naik ke atas sampai menusuk-nusuk jantung.Selama ini, Rena pikir telah melupakan Billy sepenuhnya. Di mana ia bisa tertawa dengan semua anggota keluarga Gavin tanpa beban. Ia pun bersenang-senang bukan hanya sandiwara saja.Tetapi ternyata tak semudah itu. Rena baru menyadari jika ia masih dalam fase penyangkalan, pura-pura tak tahu dengan apa yang telah terjadi. Dan ia baru memahami perasaannya sendiri setelah mendengar Billy sebentar lagi akan menikah."Nggak bisa dibiarkan!" bentak Oliver."Kenapa Kakek marah? Memangnya Kakek kenal Billy Volker?" pertanyaan Davina mewakili seluruh anggota keluarga."Berapa umur orang itu?" tanya Oliver."Dua puluh tujuh, sama denganku, Kek. Dulu Kakek pernah bertemu dengannya di rumahku waktu aku masih kuliah," terang Joshua."Benar, benar, pemuda itu! Aku masih ingat tatapan arogannya! Khas orang-orang Volker.""Tuh, Kakek saja nggak
Peter mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Aku nggak setuju, Pa." Semua pandangan sontak tertuju padanya."Apa alasanmu?" tanya Oliver."Jangan lupa, kita harus menghadapi Balacosa jika bertindak gegabah. Seharusnya sekarang kita harus mencegah undangan itu sampai di tangan orang-orang."Wajah Oliver mengeras. Tentu saja ia sudah mengantisipasi itu. Ia tinggal meminta Rena segera mengandung sebelum satu bulan. Dan saat hari pesta pernikahan mereka tiba, Balacosa tak akan bisa mengambil Rena dari keluarga Gavin.Bill Smith menimpali, "Kita selalu menghindari masalah dengan mereka selama ini. Mereka nggak akan mengganggu urusan kita."Peter melirik Oliver, mengirimkan sinyal dari sorot matanya agar semua orang tahu permasalahan Kai. Oliver menggeleng pelan."Sebenarnya, salah satu anggota keluarga Balaco-""Peter!" sentak Oliver mencegah anaknya bicara."Ada apa ini? Apa ada yang kalian sembunyikan?" tanya salah seorang pria."Kami juga ingin tahu
Rena merasa tenang setelah melihat Peter membuang nafas lega. Meskipun masih banyak yang memprotes pendapatnya."Bukankah kita harus memperlihatkan kehebatan Gavin kepada para Volker dan semua orang?" tanya Rena."Benar katanya. Dia sudah mirip dengan kita.""Lalu gimana dengan Balacosa? Kita nggak bisa mengabaikannya.""Joshua hebat memilih istri. Wanita itu nggak takut bertarung bersama kita meskipun nyawanya bisa jadi taruhan. Kita harus mendengar penjelasannya."Oliver menatap Rena dengan bangga. Ia menyunggingkan seulas senyuman ketika pandangan mereka saling beradu."Mungkin karena kamu masih terlalu muda dan banyak memimpikan pernikahan yang seperti dongeng," cerca William, "Jika mereka membawamu, kamu akan tetap bisa bahagia bergelimang harta di sana.""Lalu bagaimana caramu bertanggung jawab jika mereka menghancurkan Gavin di kemudian hari?" sambung William."Setelah mengadakan pesta pernikahan, saya dan Joshua bisa langsung kembali lagi
Rena merasakan hembusan nafas panas Joshua di lehernya. Tak beraturan dan semakin cepat. Joshua melepaskan ikatan tangannya lalu tertawa terbahak-bahak."Lihat, aku sampai memakai celana pendek, jaga-jaga kalau kamu hilang kendali.""Ng- nggak lucu, Josh!" pekik Rena.Joshua terengah-engah bahagia. Sekali lagi ia berhasil mengerjai Rena."Lain kali jangan rakus minumnya!""Aku nggak sadar. Habisnya anggur itu enak sekali.""Ayo, tidur!" Joshua memunggungi Rena.Jantung Rena masih berdebar tak karuan. Ia yakin sekali, mata Joshua tadi benar-benar berubah. Ia tahu betul tatapan pria yang sedang ingin bercinta."Maaf, Josh. Walaupun aku nggak mencintaimu saat ini, tapi kamu boleh melakukannya lagi setelah kita menikah sungguhan," batin Rena.***Seperti ucapan Oliver, undangan pernikahan Rena dan Joshua telah tersebar di mana-mana. Termasuk ke istana Volker.Tangan Aurora bergetar tatkala membaca undangan itu. Ia hendak menyembunyikannya agar Billy tak melihat. Namun Aurora terlambat satu
"Aku akan menyusul kalian besok." Oliver Gavin melambaikan tangan kepada istri dan anak cucunya sebelum mereka memasuki pesawat.Hari ini, Rena kembali ke Sukamaya. Dan besok, hari pernikahannya dengan Joshua pun tiba.Pulau Gavin yang cukup besar itu kian mengecil. Lalu beberapa saat tertutup oleh awan sepenuhnya. Ada rasa gugup terus mengikuti Rena ketika meninggalkan tempat itu. Bagaimana jika Kai akan menghancurkan hari bahagia yang telah ditunggu-tunggu semua orang? Bagaimana jika rencana yang telah ia susun bersama semua keluarga Gavin tak berhasil? "Jangan khawatir, Rena. Kami semua sudah memastikan dia nggak akan bisa mendekatimu ataupun Joshua." Samantha menggenggam tangan Rena."Benar, semua persiapan berjalan lancar. Aku juga mendapat informasi kalau Kai masih belum mendapat undangan pernikahan kita. Kemungkinan besar dia nggak akan tahu.""Baguslah.""Tapi kenapa kamu masih kelihatan gugup?" Joshua membelai kepala Rena."Nggak kok."Joshua mencondongkan kepala ke arah Re
Sebuah tangan mendorong kasar Billy Volker menjauh dari Rena. Pemilik tangan itu ialah sang calon suami, Joshua Gavin."Aku nggak akan memukulmu tapi cepat keluar dari sini!" bentak Joshua.Puluhan pengawal berlarian di luar kamar. Mereka menunggu perintah Joshua untuk melakukan aksi. Entah menghajar si Volker atau hanya mengusirnya. Namun mereka tak mendapat keduanya.Billy menatap Rena sekali lagi, "Ingat apa yang aku bilang, Rena." Lalu ia pergi. Di ambang pintu, Billy melihat Rena telah berada dalam pelukan Joshua."Kenapa dia bisa masuk ke sini, Josh?""Maafkan aku. Ada orang Volker yang diam-diam jadi sekuriti di sini. Aku sudah menghukumnya.""Maaf, Josh. Aku juga nggak bermaksud untuk memeluknya.""Sudah, sudah, nggak apa apa. Semua akan baik-baik saja." Joshua menenangkan Rena dengan belaian kasih sayang.Tak lama, Peter dan Mira dengan wajah panik masuk ke dalam. "Kamu gimana sih, Pa! Kenapa ada mata-mata Volker di sini!" pekik Mira."Re