Share

Bab 7 : Terjebak Dalam Kenangan Masa Lalu

Sesampainya di taman putri, Larasati duduk pada sebuah gubuk dengan posisi bersandar pada dinding kayu, sementara Pramesti sendiri duduk di hadapannya.

"Dayang, tolong buatkan ramuan khusus penghilang nyeri untuk Putri Larasati!" perintah Pramesti sembari menoleh pelayan yang baru datang.

"Segera saya siapkan, Dewi Putri." Setelah menyatukan kedua telapak tangan sembari menundukkan kepala, pelayan itu pun melangkah pergi.

"Kakak, kapan kau akan menikah? Kau selalu mengurus kami, kapan kau akan mengurus suami? Aku takut Putri Sulung Panjalu akan menjadi perawan tua," protes Larasati.

"Kalau ada seorang pangeran yang melamar, Kakak juga mau menikah. Kau tak perlu berpikir sekeras itu, Sati." Pramesti tersenyum menyikapi.

"Kalau begitu, aku akan meminta Ayah membuatkan sayembara untukmu," cetus Larasati yang memeriksa tatanan rambut kuncirnya.

"Tidak perlu. Ayah baru saja pulang dari perang. Kau hanya akan merepotkannya," tolak sang kakak.

Beberapa saat kemudian pelayan datang membawa ramuan obat di sebuah cawan. Pramesti segera mengambil, lalu memberikannya pada Larasati.

"Minumlah!" perintah Pramesti. Meski meneguknya perlahan karena menahan rasa pahit.

Sesosok gadis berpakaian hijau tua datang menghampiri, memperhatikan kedua putri yang akur.

Pramesti menoleh. "Sasanti."

Iya, dia adalah Sasanti bungsu di antara mereka. Sasanti memiliki wajah yang sangat cantik, bibir tipis semerah jambu, dan bentuk tubuh yang seksi. Sikap pendiam serta pembawaan yang begitu tenang, membuat sang putri terlihat begitu berwibawa.

Selain mahir dalam kepemimpinan, Sasanti juga sering terlibat dalam peperangan menaklukkan kembali Jenggala bersama sang ayah.

"Aku baru saja memeriksa pembangunan prasasti di Hantang." Senyum mengembang di bibir Sasanti yang belah pinang.

"Kau memang putri kebanggaan Ayah. Apapun bisa kau lakukan dengan baik," Puji Pramesti.

"Bagaimana tanggapan penduduk tentang penghargaan yang Istana Panjalu berikan?" tanya Larasati.

Gadis berambut panjang bergelombang tersebut menjawab, "Mereka sangat senang."

"Semua setimpal dengan kesetiaan mereka selama perang berlangsung.

Penduduk Hantang pantas mendapatkan hak-hak atas Kahuripan dan juga bantuan untuk kemakmuran mereka sebagai petani," sahut Larasati.

Sejenak ketiga putri hanya terdiam dan saling memperhatikan.

"Ayah akan mengadakan jamuan nanti malam. Sebaiknya kita bersiap untuk menyambut para tamu yang datang," ungkap Sasanti. Tubuh seksinya itu lalu berbalik.

Pramesti bertanya, "Kau akan ke mana Santi?"

Sasanti menoleh kedua saudarinya itu. "Aku akan menunggu kalian di kolam pemandian."

Pramesti menyetujui. "Baiklah."

***

Bayang-bayang kebahagiaan ketika ketiganya membersihkan diri dan menikmati segarnya air kolam pemandian putri terkenang kembali dalam ingatan Larasati.

Silir angin membelai mesra tubuh bidadari tersebut, menerbangkan setiap anak rambutnya yang terurai panjang. Tak terasa air mata menetes ke pipi mengiringi kerinduan hati Larasati. Semua kenangan telah terpendam dalam-dalam bersama Kerajaan Kahuripan.

Li Jing yang mengikuti Larasati, tak sengaja berpapasan dengan seorang nenek tua pencari kayu bakar.

"Nenek, kalau boleh bertanya, tempat apakah ini?" Li yang Jing mengedarkan pandangan ke sekitar.

"Hanya lereng gunung biasa. Sedang apa kau di sini, Nak?" Nenek tersebut balik bertanya. Dia memperhatikan Li Jing yang memiliki wajah asing.

Li Jing mengalihkan perhatian pada si nenek dan tersenyum ramah. "Oh, temanku ... lihatlah!"

Li Jing menunjuk Larasati yang berada tak begitu jauh sehingga si nenek mengerti.

"Mungkin ada yang lain yang Nenek ketahui?" Li Jing kembali bertanya.

"Dulu tempat ini adalah Istana Panjalu, bagian dari Kerajaan Kahuripan yang terbagi menjadi dua karena perebutan takhta. Arkeolog sering datang ke sini untuk menggali kembali kisah kepemimpinan di masa kejayaan Kahuripan," jawab si nenek yang begitu ramah. "Temanmu juga arkeolog?"

Li Jing tersenyum hampa. Setelah mencerna apa yang diungkap si nenek, dia masih juga tidak mengerti apa hubungan Larasati dengan bekas peninggalan Kerajaan Kahuripan.

"Terima kasih, Nek" ucap Li Jing sembari mengangguk.

"Sama-sama, Nak." Wanita tua tersebut segera melangkah pergi.

Perhatian Li Jing beralih pada Larasati yang bersedih memandangi kota dari lereng gunung. Dia pun menghampirinya dan melihat prasasti kuno bertuliskan aksara Jawa.

"Kau baik-baik saja?" tanya Li Jing sembari menoleh kembali Larasati.

Bidadari bergaun putih selutut tersebut berbalik. "Ini adalah Prasasti Hantang. Sembilan ratus tahun yang lalu aku lahir di sini, tumbuh bersama saudara-saudaraku," ungkap Larasati yang lalu melangkah pergi.

Li Jing makin tak mengerti, apa yang dikatakan Larasati sungguh tidak masuk akal. Padahal sebelumnya, dia sangat yakin bahwa wanita tersebut bidadari, tetapi kini justru mengaku sebagai manusia di masa lalu yang hidup sampai sekarang.

***

Li Jing duduk berhadapan dengan Larasati di restoran tempat mereka menginap. Setelah kejadian tadi siang Larasati tidak menjadi berselera makan, bahkan selama Li Jing menikmati steak dan wine, bidadari tersebut masih tak terlihat menyentuh apapun yang tersedia di meja, dia hanya terus menatap kosong.

"Makanlah, atau kau akan mati!" perintah Li Jing.

Larasati menyeringai. "Bodoh! Aku ini bidadari, mana mungkin akan mati semudah itu."

"Terserah kau saja," sahut Li Jing yang masih menikmati makanan.

Sejenak Larasati teringat kejadian memalukan di acara penghargaan Asian Film Awarda. Dia sempat melihat Han yang berada di samping Ying Fei, menjaga gadis pujaan hati Li Jing tersebut.

"Kalau dilihat-lihat ... Han cukup menarik juga. Bagaimana kalau dia untukku saja?" Larasati mengangkat jari telunjuk ke dagu sembari tersenyum.

Seketika Li Jing menghentikan gerakan, dia menatap dingin Larasati. Sebelum lalu membuang wajah karena tidak sanggup menahan tawa.

Larasati menatap tajam pria tersebut. "Ada masalah?"

"Apa kau pikir, kau pantas untuknya?" Li Jing tak habis pikir.

Dengan sombongnya, Larasati berkata, "Tentu saja, aku ini bidadari. Kau meragukan kecantikanku? Aku bisa membuat siapa pun bertekuk lutut di hadapanku."

"Membosankan." Li Jing tak peduli.

Keduanya hanya terdiam untuk waktu yang cukup lama. Li Jing terus memperhatikan Larasati. Mengingat bagaimana bidadari tersebut begitu bersedih sewaktu di lereng gunung membuat pria itu mau tak mau harus percaya bahwa sosok yang berhadapan dengan dia memang berasal dari masa lalu.

Sematang mungkin Li Jing memikirkan cara agar Larasati tak lagi mengikutinya setelah ini, bahkan telah berencana akan meninggalkan wanita bergaun putih tulang itu di hotel. Lalu dia sendiri terbang ke China dengan aman. Kehadiran Larasati telah menjadikan hidupnya menjadi tidak nyaman, apalagi media sedang memburu mereka sekarang. Larasati mengedipkan mata sembari mengetuk-ngetukan jemari di meja, memainkan lampu restoran hidup mati sesuai irama ketukan.

Tentu saja semua orang menjadi panik dan kebingungan. Mereka pun ramai membicarakan yang terjadi.

"Ada apa ini?"

"Lampunya kenapa berkedip?"

"Apa jangan-jangan ada hantu?"

Li Jing segera menyadari perilaku nakal Larasati, sesaat dia melirik semua orang, kemudian beralih pada bidadari itu kembali. "Jangan berulah!"

Pun Larasati segera sadar diri dan tersenyum bodoh. "Maaf, aku tidak menyadarinya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status