Sesampainya di taman putri, Larasati duduk pada sebuah gubuk dengan posisi bersandar pada dinding kayu, sementara Pramesti sendiri duduk di hadapannya.
"Dayang, tolong buatkan ramuan khusus penghilang nyeri untuk Putri Larasati!" perintah Pramesti sembari menoleh pelayan yang baru datang. "Segera saya siapkan, Dewi Putri." Setelah menyatukan kedua telapak tangan sembari menundukkan kepala, pelayan itu pun melangkah pergi. "Kakak, kapan kau akan menikah? Kau selalu mengurus kami, kapan kau akan mengurus suami? Aku takut Putri Sulung Panjalu akan menjadi perawan tua," protes Larasati. "Kalau ada seorang pangeran yang melamar, Kakak juga mau menikah. Kau tak perlu berpikir sekeras itu, Sati." Pramesti tersenyum menyikapi. "Kalau begitu, aku akan meminta Ayah membuatkan sayembara untukmu," cetus Larasati yang memeriksa tatanan rambut kuncirnya. "Tidak perlu. Ayah baru saja pulang dari perang. Kau hanya akan merepotkannya," tolak sang kakak. Beberapa saat kemudian pelayan datang membawa ramuan obat di sebuah cawan. Pramesti segera mengambil, lalu memberikannya pada Larasati. "Minumlah!" perintah Pramesti. Meski meneguknya perlahan karena menahan rasa pahit. Sesosok gadis berpakaian hijau tua datang menghampiri, memperhatikan kedua putri yang akur. Pramesti menoleh. "Sasanti." Iya, dia adalah Sasanti bungsu di antara mereka. Sasanti memiliki wajah yang sangat cantik, bibir tipis semerah jambu, dan bentuk tubuh yang seksi. Sikap pendiam serta pembawaan yang begitu tenang, membuat sang putri terlihat begitu berwibawa. Selain mahir dalam kepemimpinan, Sasanti juga sering terlibat dalam peperangan menaklukkan kembali Jenggala bersama sang ayah. "Aku baru saja memeriksa pembangunan prasasti di Hantang." Senyum mengembang di bibir Sasanti yang belah pinang. "Kau memang putri kebanggaan Ayah. Apapun bisa kau lakukan dengan baik," Puji Pramesti. "Bagaimana tanggapan penduduk tentang penghargaan yang Istana Panjalu berikan?" tanya Larasati. Gadis berambut panjang bergelombang tersebut menjawab, "Mereka sangat senang." "Semua setimpal dengan kesetiaan mereka selama perang berlangsung. Penduduk Hantang pantas mendapatkan hak-hak atas Kahuripan dan juga bantuan untuk kemakmuran mereka sebagai petani," sahut Larasati. Sejenak ketiga putri hanya terdiam dan saling memperhatikan. "Ayah akan mengadakan jamuan nanti malam. Sebaiknya kita bersiap untuk menyambut para tamu yang datang," ungkap Sasanti. Tubuh seksinya itu lalu berbalik. Pramesti bertanya, "Kau akan ke mana Santi?" Sasanti menoleh kedua saudarinya itu. "Aku akan menunggu kalian di kolam pemandian." Pramesti menyetujui. "Baiklah." *** Bayang-bayang kebahagiaan ketika ketiganya membersihkan diri dan menikmati segarnya air kolam pemandian putri terkenang kembali dalam ingatan Larasati. Silir angin membelai mesra tubuh bidadari tersebut, menerbangkan setiap anak rambutnya yang terurai panjang. Tak terasa air mata menetes ke pipi mengiringi kerinduan hati Larasati. Semua kenangan telah terpendam dalam-dalam bersama Kerajaan Kahuripan. Li Jing yang mengikuti Larasati, tak sengaja berpapasan dengan seorang nenek tua pencari kayu bakar. "Nenek, kalau boleh bertanya, tempat apakah ini?" Li yang Jing mengedarkan pandangan ke sekitar. "Hanya lereng gunung biasa. Sedang apa kau di sini, Nak?" Nenek tersebut balik bertanya. Dia memperhatikan Li Jing yang memiliki wajah asing. Li Jing mengalihkan perhatian pada si nenek dan tersenyum ramah. "Oh, temanku ... lihatlah!" Li Jing menunjuk Larasati yang berada tak begitu jauh sehingga si nenek mengerti. "Mungkin ada yang lain yang Nenek ketahui?" Li Jing kembali bertanya. "Dulu tempat ini adalah Istana Panjalu, bagian dari Kerajaan Kahuripan yang terbagi menjadi dua karena perebutan takhta. Arkeolog sering datang ke sini untuk menggali kembali kisah kepemimpinan di masa kejayaan Kahuripan," jawab si nenek yang begitu ramah. "Temanmu juga arkeolog?" Li Jing tersenyum hampa. Setelah mencerna apa yang diungkap si nenek, dia masih juga tidak mengerti apa hubungan Larasati dengan bekas peninggalan Kerajaan Kahuripan. "Terima kasih, Nek" ucap Li Jing sembari mengangguk. "Sama-sama, Nak." Wanita tua tersebut segera melangkah pergi. Perhatian Li Jing beralih pada Larasati yang bersedih memandangi kota dari lereng gunung. Dia pun menghampirinya dan melihat prasasti kuno bertuliskan aksara Jawa. "Kau baik-baik saja?" tanya Li Jing sembari menoleh kembali Larasati. Bidadari bergaun putih selutut tersebut berbalik. "Ini adalah Prasasti Hantang. Sembilan ratus tahun yang lalu aku lahir di sini, tumbuh bersama saudara-saudaraku," ungkap Larasati yang lalu melangkah pergi. Li Jing makin tak mengerti, apa yang dikatakan Larasati sungguh tidak masuk akal. Padahal sebelumnya, dia sangat yakin bahwa wanita tersebut bidadari, tetapi kini justru mengaku sebagai manusia di masa lalu yang hidup sampai sekarang. *** Li Jing duduk berhadapan dengan Larasati di restoran tempat mereka menginap. Setelah kejadian tadi siang Larasati tidak menjadi berselera makan, bahkan selama Li Jing menikmati steak dan wine, bidadari tersebut masih tak terlihat menyentuh apapun yang tersedia di meja, dia hanya terus menatap kosong. "Makanlah, atau kau akan mati!" perintah Li Jing. Larasati menyeringai. "Bodoh! Aku ini bidadari, mana mungkin akan mati semudah itu." "Terserah kau saja," sahut Li Jing yang masih menikmati makanan. Sejenak Larasati teringat kejadian memalukan di acara penghargaan Asian Film Awarda. Dia sempat melihat Han yang berada di samping Ying Fei, menjaga gadis pujaan hati Li Jing tersebut. "Kalau dilihat-lihat ... Han cukup menarik juga. Bagaimana kalau dia untukku saja?" Larasati mengangkat jari telunjuk ke dagu sembari tersenyum. Seketika Li Jing menghentikan gerakan, dia menatap dingin Larasati. Sebelum lalu membuang wajah karena tidak sanggup menahan tawa. Larasati menatap tajam pria tersebut. "Ada masalah?" "Apa kau pikir, kau pantas untuknya?" Li Jing tak habis pikir. Dengan sombongnya, Larasati berkata, "Tentu saja, aku ini bidadari. Kau meragukan kecantikanku? Aku bisa membuat siapa pun bertekuk lutut di hadapanku." "Membosankan." Li Jing tak peduli. Keduanya hanya terdiam untuk waktu yang cukup lama. Li Jing terus memperhatikan Larasati. Mengingat bagaimana bidadari tersebut begitu bersedih sewaktu di lereng gunung membuat pria itu mau tak mau harus percaya bahwa sosok yang berhadapan dengan dia memang berasal dari masa lalu. Sematang mungkin Li Jing memikirkan cara agar Larasati tak lagi mengikutinya setelah ini, bahkan telah berencana akan meninggalkan wanita bergaun putih tulang itu di hotel. Lalu dia sendiri terbang ke China dengan aman. Kehadiran Larasati telah menjadikan hidupnya menjadi tidak nyaman, apalagi media sedang memburu mereka sekarang. Larasati mengedipkan mata sembari mengetuk-ngetukan jemari di meja, memainkan lampu restoran hidup mati sesuai irama ketukan. Tentu saja semua orang menjadi panik dan kebingungan. Mereka pun ramai membicarakan yang terjadi. "Ada apa ini?" "Lampunya kenapa berkedip?" "Apa jangan-jangan ada hantu?" Li Jing segera menyadari perilaku nakal Larasati, sesaat dia melirik semua orang, kemudian beralih pada bidadari itu kembali. "Jangan berulah!" Pun Larasati segera sadar diri dan tersenyum bodoh. "Maaf, aku tidak menyadarinya."Malam telah larut, suara hewan malam mulai mengisi keheningan. Larasati berjalan keluar dari kamar. Sembari melihat ke atas, dia terbang dan memijakkan kaki di atap, kemudian duduk dengan posisi memeluk lutut. Keindahan sang bulan purnama tersaji di langit bersama jutaan kerlap-kerlip bintang. Memandangnya makin membuat hati Larasati tersiksa oleh kerinduan, hingga embusan napas kasar keluar. Akan tetapi, masih juga terasa sesak dalam dada bidadari itu.Sekelebat bayangan sesosok makhluk menampakkan diri menghalangi sang bulan. Berwujudkan pria berambut panjang dengan paras tampan yang teramat menawan. Dari cahaya di tubuhnya yang berbalut busana berwarna putih, sudah dapat dikenali bahwa dia adalah Dewa Mandala, Putra Mahkota Istana Langit Agnicaya. Senyum tak lepas dari wajah sang Dewa yang memiliki dagu belah. Pembawaannya begitu tenang, seakan-akan mampu menyihir Larasati sehingga terus memandangi sampai pria tersebut turun dan duduk bergabung di sisi kanan."Bagaimana keadaan A
"Assalamualaikum, Pandhita." Larasati memberi salam. Pria bersorban berbalik, memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari yang Larasati kira. " Waalaikumsalam." Seketika Larasati terkejut, ternyata sang Ulama bukanlah Syekh Maulana Ngali Samsujen, meski memiliki postur tubuh yang hampir sama dan sama-sama berwajah Persia. "Siapa, Nona, ini?" Pria tersebut bersikap ramah.Sadar telah salah orang, Larasati mengedipkan mata sembari tersenyum bodoh. "Maaf, tadi saya mengira Anda ... guru saya." Sang Ulama tersenyum menyikapi. "Silakan duduk dulu." Pria bersorban mengarahkan sebelah tangan dan mengambil tempat duduk bersila di lantai. Begitu juga Larasati yang segera menekuk lutut agar dapat bersimpuh. "Bagaimana Nona bisa mengira saya guru Nona? Siapa guru Nona?" tanya sang Ulama. "Saya akan menceritakan suatu kisah. 900 tahun yang lalu ...." Ingatan Larasati mulai menerawang. *** Jayabhaya kedatangan seorang ulama dari Mekkah. Dia segera turun dari singgasana menyambut baik tamu y
Di hutan, Larasati sedang mengarahkan anak panah pada seekor rusa di semak-semak. Namun, bidikannya meleset. Si hewan yang merasa terancam lari tunggang langgang. Pramesti dan Sasanti mentertawai gadis itu di belakang, lalu keduanya melangkah menghampiri. "Ah, sial!" Larasati menjadi kesal. "Cara memanahmu tidak terlalu bagus, Larasati," kata Pramesti. Larasati menoleh sang kakak dan menatap benci. "Kau harus belajar dariku, Kak!" ejek Sasanti. Larasati tak peduli, dia mengalihkan pandangan ke depan seraya mengayunkan tungkai. "Kalian berdua, senang sekali melihat kegagalanku." "Kakak, kau tak perlu khawatir. Aku benar-benar akan memperbaiki cara memanahmu." Sasanti menggoda gadis berkemban dengan bawahan rok putih itu, lalu bersama Pramesti mengimbangi langkah di belakang. "Sudahlah, jangan bersikap seperti anak kecil! Nanti Kakak buatkan sup jamur kesukamu. Lihat, Kakak mendapatkan banyak hari ini!" bujuk Pramesti dengan memperlihatkan rentengan tumbuhan berbentuk payung dala
Turun dari pesawat, Li Jing dan Larasati segera melangkah ke luar dari bandara. Ada beberapa orang berjas hitam mengapit keduanya, mereka adalah para bodyguard yang diminta Li Jing untuk mengamankan jalan. Walau telah memakai masker, aktor tampan tersebut masih menghalangi pandangan dengan cara menunduk. Namun, tetap saja ada yang mengenali dia hanya karena membawa asisten artis bernama Dong Min di sisi kanan. Para penggemar mulai bergerak mengerumuni, memfoto, dan berteriak histeris, bahkan di antara mereka ada yang berdesak-desakkan untuk melihat lebih jelas sang idola. Hal itu membuat Larasati kebingungan sehingga terus memperhatikan ke sekitar seraya memelankan langkah di belakang. Li Jing segera menyambar tangan bidadari itu. "Cepat!" perintahnya sembari menyeret Larasati menuju halaman. Pengawal membuka pintu, Li Jing memasukkan Larasati ke dalam mobil, disusul dia kemudian dari sisi kanan. Sementara itu, Asisten Dong Min segera menempati kursi kemudi. Setelah menyalakan me
Jumpa pers untuk acara promosi film tiba. Li Jing datang bersama Larasati dan juga Asisten Dong Min. Pria berkaus putih tersebut melempar senyum pada awak media, lalu beralih menatap Ying Fei dan Han yang berada tak jauh di depan. Wartawan segera mewawancarai. "Li Jing, siapakah Nona ini?""Apakah benar dia seorang penyihir?" "Lalu, bagaimana kalian bisa saling mengenal?" Sejenak Li Jing tersenyum menoleh Larasati di samping kiri, sebelum akhirnya, menoleh kembali awak media. "Dia temanku, Larasati. Kami bertemu saat sama-sama berlibur di Bali, setelah saling mengenal kami memutuskan untuk menjadi teman. Dia penyihir dari suku Jawa atau biasa dikenal sebagai dukun di berbagai belahan dunia," katanya. "Dukun?" Mata Larasati membelalak lebar, seketika dia menoleh aktor bergaya modis tersebut karena tak mengerti apa yang sedang dia katakan. "Soal kejadian di Asian Film Awards, aku meminta maaf. Dia memang suka lepas kendali, tapi semua tanpa kesengajaan." Li Jing mengklarifikasi.B
Di halaman, Larasati gugup sendiri sewaktu berjalan bersama pelayan tua di belakangnya. "Kalau begini aku bisa terlambat!" keluh Larasati yang memperhatikan pakaian sembari mengangkat bagian bawah kain jarik. "Putri, itu merusak dandananmu!" Pelayan memperingatkan, tetapi Larasati tidak peduli. Dia melanjutkan langkah sebelum terhenti kembali karena terkejut dengan sesosok pria di depan mata. Dharmasura 'Raja Asura dari Karpala' datang bersama Perdana Menteri Lokasura. Ketika melihat Larasati, sang Raja terpesona hingga matanya tak berkedip. Namun, semanis apa pun senyum yang dia berikan Larasati dingin hati. Gadis itu justru berlalu pergi. "Siapa putri cantik itu?" tanya Dharmasura pada Lokasura. "Dewi Laras Kencana, sang Prabu. Atau disebut juga Putri Larasati. Anak keempat Raja Jayabaya," jawab pria berparas tampan tersebut. Meski namanya Lokasura, tetapi Perdana Menteri Istana Karpala tersebut berwujud manusia, bukan golongan dari bangsa Asura. Selain tegas, pria bertubuh g
Di aula istana, Raja Jayabhaya melangkah menuruni singgasana. Tak jauh di belakang telah berdiri Permaisuri Sara, Jaya Amijaya, dan Perdana menteri Buta Locaya. Pramesti berusaha menenangkan Larasati dengan mengelus pundak gadis itu, sedangkan Sasanti yang juga berada di sisi Larasati lebih banyak diam memikirkan jalan keluar. “Tak tau bagaimana awalnya, Dharmasura menginginkan Laras Kencana,” kata Jayabhaya.” Ini bukan sesuatu yang baik, Dharmasura sangat ambisius. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan.”Jaya Amijaya gelisah. “Lalu kita harus bagaimana, Ayah?”“Semula aku berpikir dia akan melamar Larasati untuk putranya Jaka Lelana, tetapi ternyata Dharmasura sendiri yang tergila-gila.” Pria berhidung mancung itu tak menduga. “Aku tidak rela Larasati menikah dengan Dharmasura, Ayah. Dia bangsa Asura,” kata Pramesti. Jayabhaya masih begitu tenang menyikapi. “Kalian tak perlu khawatir! Laras Kencana tidak akan menikah. Aku telah menangguhka
Sembari tersenyum, Han melangkah menghampiri Larasati yang berdiri di antara para awak media dan kini mulai menyadari kedatangan dia. "Sudah menunggu lama?" tanya Han. Bidadari itu membalas senyum lalu menjawab, "Ya, sebentar lagi mungkin Li Jing akan keluar." "Mau kuantar pulang?" Pria dengan tatanan rambut kucir tersebut menawarkan diri. Larasati merasa ragu. "Tapi itu akan merepotkan.""Tidak, kita satu arah," kata Han. "Li Jing, mungkin akan pulang bersama Ying Fei." "Baiklah, kita pergi sekarang," ajak bidadari itu. Mereka berdua segera berbalik dan berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman studio. "Kalau kau punya waktu, pergilah denganku. Aku akan membawamu keliling kota." Han menoleh Larasati. Sejenak wanita itu memikirkan. "Aku akan mengatur jadwalnya. Pekerjaan di rumah Li Jing cukup membuatku repot." Han terkejut hingga meninggikan sebelah alis. "Pekerjaan? Kenapa harus kau yang melakukannya? Bukankah ada banyak pembantu?""Tidak-tidak. Itu kemauanku, aku ber