Di aula istana, Raja Jayabhaya melangkah menuruni singgasana. Tak jauh di belakang telah berdiri Permaisuri Sara, Jaya Amijaya, dan Perdana menteri Buta Locaya. Pramesti berusaha menenangkan Larasati dengan mengelus pundak gadis itu, sedangkan Sasanti yang juga berada di sisi Larasati lebih banyak diam memikirkan jalan keluar. “Tak tau bagaimana awalnya, Dharmasura menginginkan Laras Kencana,” kata Jayabhaya.” Ini bukan sesuatu yang baik, Dharmasura sangat ambisius. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan.”Jaya Amijaya gelisah. “Lalu kita harus bagaimana, Ayah?”“Semula aku berpikir dia akan melamar Larasati untuk putranya Jaka Lelana, tetapi ternyata Dharmasura sendiri yang tergila-gila.” Pria berhidung mancung itu tak menduga. “Aku tidak rela Larasati menikah dengan Dharmasura, Ayah. Dia bangsa Asura,” kata Pramesti. Jayabhaya masih begitu tenang menyikapi. “Kalian tak perlu khawatir! Laras Kencana tidak akan menikah. Aku telah menangguhka
Sembari tersenyum, Han melangkah menghampiri Larasati yang berdiri di antara para awak media dan kini mulai menyadari kedatangan dia. "Sudah menunggu lama?" tanya Han. Bidadari itu membalas senyum lalu menjawab, "Ya, sebentar lagi mungkin Li Jing akan keluar." "Mau kuantar pulang?" Pria dengan tatanan rambut kucir tersebut menawarkan diri. Larasati merasa ragu. "Tapi itu akan merepotkan.""Tidak, kita satu arah," kata Han. "Li Jing, mungkin akan pulang bersama Ying Fei." "Baiklah, kita pergi sekarang," ajak bidadari itu. Mereka berdua segera berbalik dan berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman studio. "Kalau kau punya waktu, pergilah denganku. Aku akan membawamu keliling kota." Han menoleh Larasati. Sejenak wanita itu memikirkan. "Aku akan mengatur jadwalnya. Pekerjaan di rumah Li Jing cukup membuatku repot." Han terkejut hingga meninggikan sebelah alis. "Pekerjaan? Kenapa harus kau yang melakukannya? Bukankah ada banyak pembantu?""Tidak-tidak. Itu kemauanku, aku ber
Di lokasi syuting, Li Jing yang telah mengenakan pakaian tradisional China berwarna putih mengibaskan pedang dan beradu akting dengan beberapa aktor lain. Di tempat yang sama Ying Fei sedang didandani oleh beberapa penata rias artis, sementara Han duduk di kursi membaca skenario. Tak jauh dari mereka, Larasati tersenyum memperhatikan Li Jing yang terlihat tampan saat berpenampilan seperti pendekar. Bidadari tersebut juga ramah menyikapi para kru yang sesekali menyapa saat sedang lewat. Han berjalan menghampiri dan berdiri di samping Larasati sembari menatap ke arah Li Jing. “Apa Li Jing memang memperkerjakanmu sebagai asistennya?” “Ada masalah?” Wanita tersebut balik bertanya.“Di mana ada dia, kau selalu bersamanya,” jawab Han. Larasati menoleh dan tersenyum menggoda. “Bukannya ... dengan begitu aku bisa bertemu denganmu?” “Kau benar-benar wanita yang sulit di mengerti.” Han mengalihkan perhatian pada Larasati dan tertawa kecil. “Siapa yang menulis cerita dari tokoh yang kalian
Sementara itu, Larasati sedang jalan-jalan di sebuah mal. Dia begitu menikmati keramaian, hingga saat menuju eskalator untuk naik ke lantai dua, tiba-tiba seseorang menimpuknya dengan kertas. Bidadari itu pun segera menoleh.“Hei, kau! Kau pikir kau ini siapa? Kenapa selalu dekat dengan Li Jing!” caci seorang remaja sembari menatap benci, tak lain adalah penggemar fanatik Li Jing. Ada beberapa gadis lain di belakang yang juga bersikap sama. Larasati hanya tersenyum angkuh menyikapi, matanya melirik satu persatu dari mereka. “Ya, jauhi dia! Kami tidak suka melihatmu!” perintah remaja yang sinis dan membuang wajah. “Kau dengar kami bukan?” Gadis di depan menjadi provokator. “Heh, kau tak layak untuk Li Jing! Kau tau itu!” Yang lain menyahut, sehingga mereka semua bergerak mengerumuni bidadari tersebut. “Beri dia pelajaran!” Komando dari yang pertama kali menimpuk Larasati. Mereka menyerang dan berusaha memukul bidadari itu untuk memberi efek jera, tetapi secepat kilat Larasati men
Ketika mendengar ada suara mobil yang berhenti di halaman rumah, Li Jing segera melangkah ke jendela dan menyingkap tirai. Terlihat Larasati sedang turun dari mobil, lalu tersenyum melambaikan tangan pada Han. Li Jing segera menutup tirai begitu mobil si sahabat melaju kembali, tetapi Larasati sudah terlanjur melihat dia sewaktu berbalik, sehingga pria tersebut hanya berdiri membelakangi sewaktu Larasati memasuki rumah. Meski tahu bahwa Li Jing akan marah, Larasati masih bersikap tenang, bahkan tersenyum menutupi rasa tidak nyaman. “Ada apalagi kali ini? Kau akan memprotesku karena kejadian tadi siang?” ketusnya.Li Jing menoleh tanpa berbalik. “Terserah kau saja. Lakukan apa pun yang kau suka, aku tidak akan mencegahmu.” Larasati tersenyum menyeringai seraya melangkah lebih dekat. Pada saat bersamaan, Li Jing berbalik sehingga mereka kedua saling berhadapan. “Kalau karirku hancur, itu juga bukan masalah bagimu?” Pria tersebut menggeleng. Larasati menatap tak mengerti. “Apa maksu
Malam dipenuhi gemerlap bintang di langit gelap. Silir angin bertiup, menerbangkan setiap anak rambut Larasati yang sedang duduk bersila melakukan pernapasan yoga untuk menyerap energi metafisika dari sang bulan. Kelembutan terasa merasuk lewat titik cakra hingga seakan-akan menggerakkan jemari Larasati yang dengan lemah gemulai menari, sementara selendang sutra terbang rendah di rerumputan dan mengitari lekuk tubuhnya yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun melekat. Sejenak bidadari itu terfokus hanyut dalam ketenangan jiwa dari sebuah meditasi. Di sisi lain, Li Jing yang membuka pintu tak menemukan Larasati ada di kamar. Saat mata sang aktor bergerak menuju jendela, tak sengaja dia melihat bidadari tersebut di luar. Rasa ingin tahu menuntun langkah Li Jing yang perlahan mendekat sembari memandangi bagian punggung Larasati. Namun, karena sangat peka, bidadari itu membuka mata ketika menyadari ada yang datang. Secepat kilat dia menarik selendang sehingga melekat di tubuh bersa
Pagi begitu cerah ketika Jaya Amijaya, Pramesti, dan Sansati yang telah mengenakan pakaian hitam melangkah memasuki pendapa. Mereka segera duduk di lantai mengisi bangku-bangku belajar. Tak berselang lama, Guru Maulana datang, lalu memperhatikan satu per satu murid mulai dari Jaya Amijaya, Pramesti, dan Sansati sehingga dia menyadari ada yang kurang. "Ke mana Laras Dewi?" tanyanya. Jaya Amijaya, Pramesti, dan Sansati saling menoleh. Jaya Amijaya segera mengingat kebiasaan Larasati dan memicingkan mata. "Larasati!" "Maaf, Guru. Laras Kencana memang sedikit nakal. Dia pasti pergi pagi-pagi dan menyelinap keluar," kata Pramesti dengan wajah memelas. Guru Maulana tersenyum menyikapi. "Tidak masalah. Lanjutkan belajar!" Tanpa menunggu lagi, ulama tersebut segera duduk di bangku paling depan menghadap para murid. *** Sementara di hutan, Larasati sedang memfokuskan penglihatannya. Dia menarik busur dan mengarahkan anak panah pada kelinci putih di rerumputan. Namun, kar
Langit menunjukan waktu telah memasuki senjakala. Ketika matahari mulai tenggelam, Larasati menyelinap keluar dari pondok dengan memanjat dinding belakang, lalu melompat turun dan melangkah menuju pusat keramaian di Setana. Dari kejauhan, dia melihat sedang ada pementasan seni tayub yang dibawakan oleh beberapa sinden. Wanita-wanita tersebut bernyanyi sambil berlenggak-lenggok untuk menggiring penonton menari bersama. Larasati tersenyum menyaksikan masyarakat yang bersuka ria, mereka sangat menikmati hiburan. Semua berjalan dengan begitu damai karena masyarakat rukun dan antusias. Tak jauh dari pentas seni, Larasati melihat Lelana yang sedang berbicara pada seseorang. Lelana segera menyadari kehadiran Larasati sehingga berbalik dan tersenyum menatap gadis itu. Larasati sendiri tak tinggal diam, dia berjalan menghampiri sang pujaan hati. "Nona, di sini." Lelana melirik ke sekitar. Larasati sedikit canggung. "Ya, Anda sendiri?" "Seperti yang Nona lihat." Senyum di wajah Lelana