Ketika mendengar ada suara mobil yang berhenti di halaman rumah, Li Jing segera melangkah ke jendela dan menyingkap tirai. Terlihat Larasati sedang turun dari mobil, lalu tersenyum melambaikan tangan pada Han. Li Jing segera menutup tirai begitu mobil si sahabat melaju kembali, tetapi Larasati sudah terlanjur melihat dia sewaktu berbalik, sehingga pria tersebut hanya berdiri membelakangi sewaktu Larasati memasuki rumah. Meski tahu bahwa Li Jing akan marah, Larasati masih bersikap tenang, bahkan tersenyum menutupi rasa tidak nyaman. “Ada apalagi kali ini? Kau akan memprotesku karena kejadian tadi siang?” ketusnya.Li Jing menoleh tanpa berbalik. “Terserah kau saja. Lakukan apa pun yang kau suka, aku tidak akan mencegahmu.” Larasati tersenyum menyeringai seraya melangkah lebih dekat. Pada saat bersamaan, Li Jing berbalik sehingga mereka kedua saling berhadapan. “Kalau karirku hancur, itu juga bukan masalah bagimu?” Pria tersebut menggeleng. Larasati menatap tak mengerti. “Apa maksu
Malam dipenuhi gemerlap bintang di langit gelap. Silir angin bertiup, menerbangkan setiap anak rambut Larasati yang sedang duduk bersila melakukan pernapasan yoga untuk menyerap energi metafisika dari sang bulan. Kelembutan terasa merasuk lewat titik cakra hingga seakan-akan menggerakkan jemari Larasati yang dengan lemah gemulai menari, sementara selendang sutra terbang rendah di rerumputan dan mengitari lekuk tubuhnya yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun melekat. Sejenak bidadari itu terfokus hanyut dalam ketenangan jiwa dari sebuah meditasi. Di sisi lain, Li Jing yang membuka pintu tak menemukan Larasati ada di kamar. Saat mata sang aktor bergerak menuju jendela, tak sengaja dia melihat bidadari tersebut di luar. Rasa ingin tahu menuntun langkah Li Jing yang perlahan mendekat sembari memandangi bagian punggung Larasati. Namun, karena sangat peka, bidadari itu membuka mata ketika menyadari ada yang datang. Secepat kilat dia menarik selendang sehingga melekat di tubuh bersa
Pagi begitu cerah ketika Jaya Amijaya, Pramesti, dan Sansati yang telah mengenakan pakaian hitam melangkah memasuki pendapa. Mereka segera duduk di lantai mengisi bangku-bangku belajar. Tak berselang lama, Guru Maulana datang, lalu memperhatikan satu per satu murid mulai dari Jaya Amijaya, Pramesti, dan Sansati sehingga dia menyadari ada yang kurang. "Ke mana Laras Dewi?" tanyanya. Jaya Amijaya, Pramesti, dan Sansati saling menoleh. Jaya Amijaya segera mengingat kebiasaan Larasati dan memicingkan mata. "Larasati!" "Maaf, Guru. Laras Kencana memang sedikit nakal. Dia pasti pergi pagi-pagi dan menyelinap keluar," kata Pramesti dengan wajah memelas. Guru Maulana tersenyum menyikapi. "Tidak masalah. Lanjutkan belajar!" Tanpa menunggu lagi, ulama tersebut segera duduk di bangku paling depan menghadap para murid. *** Sementara di hutan, Larasati sedang memfokuskan penglihatannya. Dia menarik busur dan mengarahkan anak panah pada kelinci putih di rerumputan. Namun, kar
Langit menunjukan waktu telah memasuki senjakala. Ketika matahari mulai tenggelam, Larasati menyelinap keluar dari pondok dengan memanjat dinding belakang, lalu melompat turun dan melangkah menuju pusat keramaian di Setana. Dari kejauhan, dia melihat sedang ada pementasan seni tayub yang dibawakan oleh beberapa sinden. Wanita-wanita tersebut bernyanyi sambil berlenggak-lenggok untuk menggiring penonton menari bersama. Larasati tersenyum menyaksikan masyarakat yang bersuka ria, mereka sangat menikmati hiburan. Semua berjalan dengan begitu damai karena masyarakat rukun dan antusias. Tak jauh dari pentas seni, Larasati melihat Lelana yang sedang berbicara pada seseorang. Lelana segera menyadari kehadiran Larasati sehingga berbalik dan tersenyum menatap gadis itu. Larasati sendiri tak tinggal diam, dia berjalan menghampiri sang pujaan hati. "Nona, di sini." Lelana melirik ke sekitar. Larasati sedikit canggung. "Ya, Anda sendiri?" "Seperti yang Nona lihat." Senyum di wajah Lelana
Di pagi cerah ketika matahari telah meninggi, Larasati yang baru saja bangun tidur melangkah menuju ke kamar mandi dan berganti pakaian. Padahal saudara-saudaranya bersiap untuk belajar, tetapi gadis itu justru berjalan mengendap-endap menuju kandang. Dia menuntun seekor kuda berwarna putih, lalu menungganginya keluar dari gerbang pondok. Larasati menarik tali kekang, sebelum turun dan mengikat kuda pada pohon kecil di dekat Sungai Brantas. Ada gubuk jerami di tepi sungai sehingga dia duduk di sana sembari menikmati indahnya pemandangan alam, bahkan saking terlenanya tidak menyadari kedatangan Lelana yang sejenak tersenyum memperhatikan. “Sudah lama menunggu?” seru pria tersebut. Seketika Larasati menoleh. Dia turun dari gubuk setelah tahu siapa yang berdiri di belakang, lantas mengayunkan tungkai lebih dekat pada sang pujaan hati. “Tidak, aku juga baru sampai,” katanya. “Aku telah berjanji membawamu berkeliling Setana hari ini, jadi mari berangkat sekarang,” ajak Jaka Lelana
Makin malam, Larasati yang bersandar di tubuh Li Jing makin larut dalam kekacauan hati. Walau bercerita indahnya jatuh cinta, nyatanya Larasati sangat terpuruk kala mengingat sang pujaan hati."Lelana pria baik, di muka bumi ini hanya dialah yang mampu mengalihkan duniaku," ungkap Larasati.Li Jing menjadi penasaran. "Lalu bagaimana dia bisa mati?" "Itu cerita yang lain." Ingatan Larasati menerawang ke masa lampau ketika Jaka Lelana berakhir di tangan Dharmasura. "Tidak!" Waktu itu, Larasati menyaksikan Jaka Lelana tertusuk oleh pusaka magis sang Raja Asura "Kau harus tetap hidup. Aku mencintaimu, Larasati," ungkap Jaka Lelana yang sekarat di pangkuan Larasati. Sesaat kemudian, pria tersebut memejamkan mata dan mengembuskan napas terakhir. Seketika Larasati menggila, jeritannya begitu menyayat hati karena tak mampu menerima kenyataan bahwa Jaka Lelana telah kembali lebih dulu pada Sang Hyang Widhi. Air mata makin deras membasahi pipi Larasati. Dia tak mampu lagi membayangkan beta
Masakan di meja makan masih utuh sehingga benak Larasati bertanya-tanya, mengapa Li Jing belum sarapan walau waktu sudah siang. Kebetulan ada seorang pelayan yang sedang menyapu, bidadari itu pun menolehnya. “Bibi, apa Li Jing sudah pergi ke Studio?” tanyanya. Sembari menunduk pelayan menjawab, “Tuan Muda belum terlihat sejak pagi, Nona.” “Benarkah.” Larasati mulai merasa aneh. Wanita di hadapan berpamitan. “Permisi, Nona.” Bidadari itu membalas senyum, tak lama kemudian melangkah menaiki anak tangga dan menuju lantai atas. Setelah dia membuka pintu sebuah kamar, ternyata Li Jing masih terlelap di ranjang dengan seluruh tubuh tertutup bad cover. “Bukannya hari ini kau ada syuting?” tanya Larasati. “Kenapa malah bermalas-malasan?” Akan tetapi, hening, tak ada jawaban dari Li Jing. Karena khawatir, Larasati cepat-cepat mendekat, lantas menyibak selimut di bagian kepala sang aktor. Seketika, matanya membelalak lebar begitu melihat pria tersebut menggigil kedinginan. Perlahan
Matahari mulai mengurangi panas dari sinarnya, pertanda waktu memasuki senja. Pada saat itu, Larasati dan Han berjalan-jalan di sekitaran taman kota.“Dunia artis memiliki banyak sekali peraturan, yang membuat kami harus melakukan penipuan publik. Juga kami punya batasan untuk menjalin hubungan asmara dengan artis lain, bahkan jika agensi kami sama-sama tidak setuju, bisa dipastikan karir kami akan hancur,” ungkap Han.“Kenapa bisa begitu?” Larasati menolehnya sesaat sebelum mengalihkan pandangan kembali ke depan. “Tapi apa pun alasannya, aku tidak menyukai sikap Ying Fei. Dia seperti sengaja melukai perasaan Li Jing.”“Kau terlihat seperti orang cemburu,” terka Han sembari memperhatikan bidadari tersebut.Larasati tersenyum jengah menyikapi. “Aku ini temannya, mana mungkin cemburu? Aku hanya tidak suka melihat Li Jing dipermainkan,” terangnya. “Saat Li Jing mabuk, dia berkata tidak ingin kehilanganku. Kalau aku pergi dia benar-benar sendiri.”Sejenak Han berpikir keras hingga mengeru
Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul
Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye
Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra
Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya
Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har
Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya
Sembari duduk pada sebuah batu kristal, Shima Dahyang mengelus puncak kepala harimau putih yang sedang menunjukkan sikap manja. Matanya begitu teduh ketika beralih memperhatikan sekitar, di mana banyak pantulan cahaya putih menembus Taman Arutala. Meski meski sekian lama tak dapat singgah untuk menenangkan diri seperti sekarang, dia seakan-akan tak merasakan adanya perubahan. Perlahan, sang Dewi Agung berdiri, lantas berjalan ke tengah-tengah sehingga bayangan dirinya tergambar jelas pada lantai sebening air. Pandangannya memang tertuju pada langit-langit, tetapi ingatannya menerawang ke masa-masa sulit kala hidup sebagai manusia fana. Kutukan raja asura berkepala kambing memang menjadi kenyataan, Shima Dahyang mengalami penderitaan sewaktu menjalani kehidupan Larasati yang jatuh cinta kepada Jaka Lelana, bahkan hingga berstatus abadi pun masih dipermainkan oleh sang Atmajaya Wimala. Itulah alasan mengapa wanita tersebut tak mengambil sikap setelah kembali menemukan kesejatian dir
Begitu menyakitkannya hidup yang Larasati alami, cinta telah membuatnya terluka hingga begitu dalam. Walau terpuruk, kali kini, dia sudah mengikhlas apa yang terjadi, bahkan berniat melepas segala keterikatan duniawi. Setiap langkah pada perbukitan terjal menuju puncak gunung kian pasti, hatinya mantap untuk menyerahkan semua masalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada takdir yang bisa ditolak, tetapi yoga brata bisa membawa siapa saja menuju kedamaian, meski harus lenyap dari semesta alam. Dari kejauhan, Li Jing menatap kepergian bidadari itu untuk selamanya. Memang berat jika dia harus melepas si sahabat, sayangnya Larasati kukuh pada pendirian sehingga pria tersebut tak mampu menghentikannya. Maylano demikian, anak itu sungguh tidak menginginkan nyonyanya pergi secepat ini. Namun, bagaimanapun dia mengerti bahwa penderitaan cinta Larasati begitu dalam, mau tak mau Maylano harus membiarkannya memutuskan jalan demi menemukan kebahagiaan. "Hei, bocah, pergilah denganku ke China, a
Seakan-akan seperti mengulang masa lalu, sang Atmajaya Wimala duduk di samping Larasati yang telah direbahkan pada kasur awan. Dengan kekuatan adikodrati, pria tersebut mengarahkan tangan kanan sehingga perlahan darah merah Sujatmika tertarik keluar melalui mulut Larasati, lantas melayang di udara. Namun, setelah membuangnya ke sembarang arah, Mandala justru terbatuk-batuk sampai percikan cairan berwarna putih melekat pada telapak tangannya. Selain menahan nyeri di dada, pandangan Mandala sedikit kabur, walau begitu tetap memutuskan berdiri dan melangkah pergi. Sesaat kemudian, Larasati membuka mata sampai-sampaiterkejut ketika menemukan diri sedang berada di Taman Asmaradahana. Bergegas bidadari itu beralih ke posisi duduk. Saat bola matanya bergerak memindai ke sekitar, dia melihat darah merah yang membekas pada lantai awan. Sejenak pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sewaktu diculik Sujatmika, sebelum mengalihkan perhatian dan malah menemukan berca