"Assalamualaikum, Pandhita." Larasati memberi salam.
Pria bersorban berbalik, memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari yang Larasati kira. " Waalaikumsalam." Seketika Larasati terkejut, ternyata sang Ulama bukanlah Syekh Maulana Ngali Samsujen, meski memiliki postur tubuh yang hampir sama dan sama-sama berwajah Persia. "Siapa, Nona, ini?" Pria tersebut bersikap ramah. Sadar telah salah orang, Larasati mengedipkan mata sembari tersenyum bodoh. "Maaf, tadi saya mengira Anda ... guru saya." Sang Ulama tersenyum menyikapi. "Silakan duduk dulu." Pria bersorban mengarahkan sebelah tangan dan mengambil tempat duduk bersila di lantai. Begitu juga Larasati yang segera menekuk lutut agar dapat bersimpuh. "Bagaimana Nona bisa mengira saya guru Nona? Siapa guru Nona?" tanya sang Ulama. "Saya akan menceritakan suatu kisah. 900 tahun yang lalu ...." Ingatan Larasati mulai menerawang. *** Jayabhaya kedatangan seorang ulama dari Mekkah. Dia segera turun dari singgasana menyambut baik tamu yang berbeda negara tersebut. "Salam, Raja." Syekh Maulana Ngali Samsujen. Ulama berusia enam puluh tahun yang memiliki tinggi sekitar 185cm serta mengenakan jubah berwarna putih tulang tersebut merupakan guru spiritual Jayabhaya. Sang Raja sangat menaruh hormat, baginya Syekh Maulana Ngali orang istimewa yang berkedudukan setara dengan Baladewa. "Guru Maulana, suatu kehormatan Pandhita datang ke istana." Jayabaya tersenyum ramah. "Raja, ada perihal yang ingin kusampaikan padamu ...," ungkap sang Ulama. Dia melirik Jaya Amijaya sebelum melanjutkan pembicaraan. Raja tersenyum menyikapi, lalu menoleh Jaya Amijaya. "Jaya, tolong tinggalkan kami." Setelah putranya mematuhi dengan menyatukan kedua telapak tangan sembari menunduk lalu pergi, Jayabhaya kembali menatap pria berjenggot putih tersebut di hadapan. "Ada apa, Guru Pandhita? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting?" tanya sang Raja. "Ki Hajar melakukan kesalahan, dia membuka tabir ilmu yang belum waktunya ...." Sang Ulama menceritakan permasalahan yang teramat panjang dan rumit dijelaskan. Raja mengerti, setelah berpikir cukup lama dan menimbang-nimbang, akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil tindakan. *** "Jaya, siapkan dirimu, beberapa hari lagi kita akan melakukan perjalanan ke Gunung Padang!" perintah Jayabhaya yang baru saja mengantar Syekh Maulana Ngali pulang sampai halaman istana. "Baik, Ayah, tapi, untuk apakah kita ke sana?" tanya Jaya Amijaya yang tak mengerti. "Untuk bertemu Ki Hajar, aku harus berbicara dengannya," jawab raja berambut sedada bergelombang serta berkumis itu. "Ya, Ayah." Jaya Amijaya menunduk memberi hormat. *** Raja Jayabhaya dan Jaya Amijaya melakukan perjalanan ke Gunung Padang. Setelah menempuh waktu lebih dari setengah hari serta melewati perbukitan terjal, akhirnya, mereka sampai pada tujuan. Ki Hajar menyambut baik kedatangan mereka berdua dan mempersilakannya masuk ke dalam pondok bambu beratap jerami. Putri Ki Hajar yang adalah seorang Endang atau putri Resi, juga sangat antusias. Gadis cantik berpakaian putih dengan rambut disanggul itu menyatukan kedua telapak tangan sembari menunduk untuk memberi salam. Ki Hajar melangkah lebih dulu ke dalam pondok lalu duduk bersila pada tikar pandan di lantai, sedangkan Jayabhaya dan Jaya Amijaya yang menyusul di belakang, kemudian bergabung. Posisi mereka saling berhadap-hadapan. "Saudara Jayabhaya, gerangan apakah yang membuatmu datang kemari?" Ki Hajar bertanya dengan ramah. Sang Raja tersenyum, meski memiliki maksud tertentu juga bersikap baik seperti apa yang diamanahkan sang Guru. "Aku hanya ingin mengunjungi Ki Hajar, lama tidak bertemu. Sejak terakhir di Setana, kita disibukkan oleh diri masing-masing," katanya. Ki Hajar manggut-manggut. "Kau adalah seorang raja besar, sementara aku hanyalah seorang resi. Tugasmu mengatur pemerintahan, aku menjadi petapa. Kita tak pernah ketemu, tetapi demi kebaikan dunia, itu bukanlah masalah. Kau tetaplah saudaraku." Endang datang membawa suguhan berupa setakir kue ketan, satu umbi bawang putih, sebungkus bunga melati, darah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan sebungkus bunga mojar di dalam sebuah tampah. Dia membungkuk, bahkan sampai bersimpuh saat meletakkannya pada tikar di hadapan Raja Jayabaya dan Jaya Amijaya. "Silakan dimakan, Tuan. Hanya ini yang kami punya." Endang menunduk, tetapi tatapan mata gadis bertubuh kurus itu seakan-akan menyembunyikan sesuatu. Melihat suguhan, Raja menjadi waspada, walau pria berkulit sawo matang tersebut mampu menjaga sikap hingga Endang memundurkan diri. "Kau datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Kami tidak dapat menyiapkan apa-apa." Resi berambut putih digelung tersebut menyayangkan. "Saudaraku, ini sudah sangat istimewa bagiku." Jayabhaya berdiri, dengan gagah melangkah menghampiri Ki Hajar seakan-akan sangat berterima kasih atas kebaikan Resi. Demikian Ki Hajar yang segera memeluk saudara seperguruannya itu. Namun, bukan kehangatan yang diberikan sang Raja, dia justru menusukan Keris 'pusaka magis bergelombang' ke perut Resi. Ki Hajar sekarat, seketika jatuh di lantai dengan mata yang masih terbuka. Meski begitu sang Resi tersenyum sebelum mengembuskan napas terakhir. Jaya Amijaya segera bangkit dari tikar, sebab tak menyangka ayahnya akan bertidak kejam. Jeritan terdengar dari mulut Endang yang histeris menyaksikan kematian Ki Hajar, gadis itu sangat ketakutan. Jayabhaya segera mengarahkan tangan dengan kekuatan magis, bagai sihir melempar pedang di punggung Jaya Amijaya menembus dada Endang hingga tewas seketika dan terjatuh di lantai. Setelah pedang kembali ke tangan, sang Raja segera melangkah keluar dari pondok. Jaya Amijaya yang masih terkejut, menyusulnya kemudian. Sepanjang perjalanan kembali ke Panjalu, pangeran yang memiliki mata tajam tersebut begitu kecewa pada sang ayah sehingga hanya terdiam tanpa mengucap sepatah kata. Raja mulai menyadari sikap Jaya Amijaya, jadi menolehnya di samping kiri. "Ada apa, Jaya? Kenapa mukamu seperti itu?" Jaya Amijaya menghentikan langkah, sejenak menarik napas dan mengalihkan pandangan. "Ayah telah membunuh Ki Hajar." "Anakku, sebenarnya ... Ki Hajar telah berkhianat pada guruku Maulana Ngali Samsujen. Dia membuka tabir keilmuan yang seharusnya tidak diketahui khalayak umum. Maka dari itu Ayah membunuh Ki Hajar. Ini demi kebaikan kita bersama," ungkap sang Raja. Jaya Amijaya menoleh ayahnya yang sedang tersenyum sembari mengedarkan pandangan pada rerumputan di lereng gunung. "Apa yang telah disuguhkan Endang, adalah suatu pertanda buruk yang akan terjadi di masa depan. Ayah akan menyuruh Empu Panuluh untuk mencatat ini, agar suatu hari rakyat mengetahui tanda-tanda akhir jaman, agar mereka mengingatnya sebagai petunjuk atas penglihatanku di masa lalu." "Aku mengerti, Ayah." Pangeran bertubuh gagah serta berkulit kuning langsat itu tak ingin berdebat meski kurang setuju. Raja Jayabhaya menatap si putra kembali, lalu bertanya, "Jaya, di manakah kakak dan adik-adikmu?" "Mereka sedang berburu, Ayah," jawab Jaya Amijaya. "Suruh mereka mempersiapkan diri. Kau dan saudari-saudarimu akan kukirim ke pondok Guru Ulama di Setana!" perintah sang Raja. "Baik, Ayah." Pangeran kedua Panjalu tersebut mengerti.Di hutan, Larasati sedang mengarahkan anak panah pada seekor rusa di semak-semak. Namun, bidikannya meleset. Si hewan yang merasa terancam lari tunggang langgang. Pramesti dan Sasanti mentertawai gadis itu di belakang, lalu keduanya melangkah menghampiri. "Ah, sial!" Larasati menjadi kesal. "Cara memanahmu tidak terlalu bagus, Larasati," kata Pramesti. Larasati menoleh sang kakak dan menatap benci. "Kau harus belajar dariku, Kak!" ejek Sasanti. Larasati tak peduli, dia mengalihkan pandangan ke depan seraya mengayunkan tungkai. "Kalian berdua, senang sekali melihat kegagalanku." "Kakak, kau tak perlu khawatir. Aku benar-benar akan memperbaiki cara memanahmu." Sasanti menggoda gadis berkemban dengan bawahan rok putih itu, lalu bersama Pramesti mengimbangi langkah di belakang. "Sudahlah, jangan bersikap seperti anak kecil! Nanti Kakak buatkan sup jamur kesukamu. Lihat, Kakak mendapatkan banyak hari ini!" bujuk Pramesti dengan memperlihatkan rentengan tumbuhan berbentuk payung dala
Turun dari pesawat, Li Jing dan Larasati segera melangkah ke luar dari bandara. Ada beberapa orang berjas hitam mengapit keduanya, mereka adalah para bodyguard yang diminta Li Jing untuk mengamankan jalan. Walau telah memakai masker, aktor tampan tersebut masih menghalangi pandangan dengan cara menunduk. Namun, tetap saja ada yang mengenali dia hanya karena membawa asisten artis bernama Dong Min di sisi kanan. Para penggemar mulai bergerak mengerumuni, memfoto, dan berteriak histeris, bahkan di antara mereka ada yang berdesak-desakkan untuk melihat lebih jelas sang idola. Hal itu membuat Larasati kebingungan sehingga terus memperhatikan ke sekitar seraya memelankan langkah di belakang. Li Jing segera menyambar tangan bidadari itu. "Cepat!" perintahnya sembari menyeret Larasati menuju halaman. Pengawal membuka pintu, Li Jing memasukkan Larasati ke dalam mobil, disusul dia kemudian dari sisi kanan. Sementara itu, Asisten Dong Min segera menempati kursi kemudi. Setelah menyalakan me
Jumpa pers untuk acara promosi film tiba. Li Jing datang bersama Larasati dan juga Asisten Dong Min. Pria berkaus putih tersebut melempar senyum pada awak media, lalu beralih menatap Ying Fei dan Han yang berada tak jauh di depan. Wartawan segera mewawancarai. "Li Jing, siapakah Nona ini?""Apakah benar dia seorang penyihir?" "Lalu, bagaimana kalian bisa saling mengenal?" Sejenak Li Jing tersenyum menoleh Larasati di samping kiri, sebelum akhirnya, menoleh kembali awak media. "Dia temanku, Larasati. Kami bertemu saat sama-sama berlibur di Bali, setelah saling mengenal kami memutuskan untuk menjadi teman. Dia penyihir dari suku Jawa atau biasa dikenal sebagai dukun di berbagai belahan dunia," katanya. "Dukun?" Mata Larasati membelalak lebar, seketika dia menoleh aktor bergaya modis tersebut karena tak mengerti apa yang sedang dia katakan. "Soal kejadian di Asian Film Awards, aku meminta maaf. Dia memang suka lepas kendali, tapi semua tanpa kesengajaan." Li Jing mengklarifikasi.B
Di halaman, Larasati gugup sendiri sewaktu berjalan bersama pelayan tua di belakangnya. "Kalau begini aku bisa terlambat!" keluh Larasati yang memperhatikan pakaian sembari mengangkat bagian bawah kain jarik. "Putri, itu merusak dandananmu!" Pelayan memperingatkan, tetapi Larasati tidak peduli. Dia melanjutkan langkah sebelum terhenti kembali karena terkejut dengan sesosok pria di depan mata. Dharmasura 'Raja Asura dari Karpala' datang bersama Perdana Menteri Lokasura. Ketika melihat Larasati, sang Raja terpesona hingga matanya tak berkedip. Namun, semanis apa pun senyum yang dia berikan Larasati dingin hati. Gadis itu justru berlalu pergi. "Siapa putri cantik itu?" tanya Dharmasura pada Lokasura. "Dewi Laras Kencana, sang Prabu. Atau disebut juga Putri Larasati. Anak keempat Raja Jayabaya," jawab pria berparas tampan tersebut. Meski namanya Lokasura, tetapi Perdana Menteri Istana Karpala tersebut berwujud manusia, bukan golongan dari bangsa Asura. Selain tegas, pria bertubuh g
Di aula istana, Raja Jayabhaya melangkah menuruni singgasana. Tak jauh di belakang telah berdiri Permaisuri Sara, Jaya Amijaya, dan Perdana menteri Buta Locaya. Pramesti berusaha menenangkan Larasati dengan mengelus pundak gadis itu, sedangkan Sasanti yang juga berada di sisi Larasati lebih banyak diam memikirkan jalan keluar. “Tak tau bagaimana awalnya, Dharmasura menginginkan Laras Kencana,” kata Jayabhaya.” Ini bukan sesuatu yang baik, Dharmasura sangat ambisius. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan.”Jaya Amijaya gelisah. “Lalu kita harus bagaimana, Ayah?”“Semula aku berpikir dia akan melamar Larasati untuk putranya Jaka Lelana, tetapi ternyata Dharmasura sendiri yang tergila-gila.” Pria berhidung mancung itu tak menduga. “Aku tidak rela Larasati menikah dengan Dharmasura, Ayah. Dia bangsa Asura,” kata Pramesti. Jayabhaya masih begitu tenang menyikapi. “Kalian tak perlu khawatir! Laras Kencana tidak akan menikah. Aku telah menangguhka
Sembari tersenyum, Han melangkah menghampiri Larasati yang berdiri di antara para awak media dan kini mulai menyadari kedatangan dia. "Sudah menunggu lama?" tanya Han. Bidadari itu membalas senyum lalu menjawab, "Ya, sebentar lagi mungkin Li Jing akan keluar." "Mau kuantar pulang?" Pria dengan tatanan rambut kucir tersebut menawarkan diri. Larasati merasa ragu. "Tapi itu akan merepotkan.""Tidak, kita satu arah," kata Han. "Li Jing, mungkin akan pulang bersama Ying Fei." "Baiklah, kita pergi sekarang," ajak bidadari itu. Mereka berdua segera berbalik dan berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman studio. "Kalau kau punya waktu, pergilah denganku. Aku akan membawamu keliling kota." Han menoleh Larasati. Sejenak wanita itu memikirkan. "Aku akan mengatur jadwalnya. Pekerjaan di rumah Li Jing cukup membuatku repot." Han terkejut hingga meninggikan sebelah alis. "Pekerjaan? Kenapa harus kau yang melakukannya? Bukankah ada banyak pembantu?""Tidak-tidak. Itu kemauanku, aku ber
Di lokasi syuting, Li Jing yang telah mengenakan pakaian tradisional China berwarna putih mengibaskan pedang dan beradu akting dengan beberapa aktor lain. Di tempat yang sama Ying Fei sedang didandani oleh beberapa penata rias artis, sementara Han duduk di kursi membaca skenario. Tak jauh dari mereka, Larasati tersenyum memperhatikan Li Jing yang terlihat tampan saat berpenampilan seperti pendekar. Bidadari tersebut juga ramah menyikapi para kru yang sesekali menyapa saat sedang lewat. Han berjalan menghampiri dan berdiri di samping Larasati sembari menatap ke arah Li Jing. “Apa Li Jing memang memperkerjakanmu sebagai asistennya?” “Ada masalah?” Wanita tersebut balik bertanya.“Di mana ada dia, kau selalu bersamanya,” jawab Han. Larasati menoleh dan tersenyum menggoda. “Bukannya ... dengan begitu aku bisa bertemu denganmu?” “Kau benar-benar wanita yang sulit di mengerti.” Han mengalihkan perhatian pada Larasati dan tertawa kecil. “Siapa yang menulis cerita dari tokoh yang kalian
Sementara itu, Larasati sedang jalan-jalan di sebuah mal. Dia begitu menikmati keramaian, hingga saat menuju eskalator untuk naik ke lantai dua, tiba-tiba seseorang menimpuknya dengan kertas. Bidadari itu pun segera menoleh.“Hei, kau! Kau pikir kau ini siapa? Kenapa selalu dekat dengan Li Jing!” caci seorang remaja sembari menatap benci, tak lain adalah penggemar fanatik Li Jing. Ada beberapa gadis lain di belakang yang juga bersikap sama. Larasati hanya tersenyum angkuh menyikapi, matanya melirik satu persatu dari mereka. “Ya, jauhi dia! Kami tidak suka melihatmu!” perintah remaja yang sinis dan membuang wajah. “Kau dengar kami bukan?” Gadis di depan menjadi provokator. “Heh, kau tak layak untuk Li Jing! Kau tau itu!” Yang lain menyahut, sehingga mereka semua bergerak mengerumuni bidadari tersebut. “Beri dia pelajaran!” Komando dari yang pertama kali menimpuk Larasati. Mereka menyerang dan berusaha memukul bidadari itu untuk memberi efek jera, tetapi secepat kilat Larasati men