Karena telah menjadi Penasihat Raja, Maulana Ngali mengambil alih perpustakaan yang sebelumnya milik Empu Sedah. Sembari berdiri, ulama tersebut membuka sebuah dokumen berisi tatanan kerajaan. Tiba-tiba, Jaka Lelana melangkah memasuki ruangan, lantas menyatukan kedua telapak tangan sembari menunduk."Lelana, kau sudah sampai istana.” Maulana Ngali berbalik untuk berhadapan dengan si murid. "Maaf, Guru, baru mengunjungi Anda sekarang," ucap Jaka Jaka Lelana.Pun sang Ulama mengulas senyum sebelum menaruh dokumen ke rak. "Tak masalah.”"Guru mengurus tugas kenegaraan?" Jaka Lelana sedikit terkejut.Perlahan tangan kanan Maulana Ngali menghitung zikir sir menggunakan untaian tasbih. "Posisi penasehat kosong, Raja memintaku membantunya." "Ini akan sedikit berbeda dengan tugas kenegaraan di Kerajaan Mekah, tempat Guru berasal,” kata Jaka Lelana."Tak masalah, bagaimanapun aku tetap seorang Pangeran,” ungkap sang Ulama. “Aku memahami tatanan negara sebelum melepas statusku dan menjadi seo
Cuaca begitu panas, terik matahari berada di tengah bayangan, bahkan pemandian putri telah diisi oleh tawa renyah para bidadari warna. Mereka sedang berendam di dalam sendang, asyik saling menyiramkan air ke satu sama lain, sampai-sampai tidak menyadari kedatangan Larasati yang menggeleng kepala sembari terus melangkah turun dari undak."Kalian, bisakah kalian pergi dari sana!" usir Larasati. Para bidadari segera menolehnya hingga seketika naik dari kolam dan menyatukan kedua telapak tangan dengan posisi kepala menunduk."Salam, Putri." Salam, Putri."Tanpa berbasa-basi, Larasati memberi titah, "Pergilah, aku ingin mandi!" Bidadari berpakaian kuning mengangkat wajah. "Saya perlu menggantikan pakaian Putri.""Aku bilang pergi, tinggalkan tempat ini!” bentak Larasati.Cepat-cepat bidadari kuning mengangguk. "Baik, Putri." Ketika makhluk abadi tersebut mengibaskan tangan kanan untuk membersihkan air pemandian dengan kekuatan adikodratinya, yang lain telah terbang dan menghilang. Di
Mencinta Panji Asmara Bangun bagai menggenggam dua mata pisau bagi Anggraeni. Selama ini dia mampu bertahan dengan berbagai siksaan, berharap hati Raja Lembu Amijaya dan Permaisuri luluh. Namun, ternyata lagi-lagi mereka merencana niat jahat, yang baru disadari oleh Anggraeni ketika telah sampai hutan. Meski dirundung pilu, Anggraeni masih bisa tersenyum. Keyakinan bahwa sang Panji tak akan pernah datang terbesit dalam sanubari wanita berkebaya cokelat itu, bahkan mungkin kerinduannya pada sang Pangeran kali ini tak dapat terobati, karena hasrat bertemu kekasih hanya dijadikan tipu muslihat keluarga Kerajaan Kadiri. Kini Anggraeni memilih menghadapi kematian sendiri.Air mata tak henti membasahi pipi seputih kapasnya. Sewaktu anak panah melesat cepat dari arah belakang, Anggraeni menutup mata. Sepenuh jiwa raga telah dia kuatkan agar sanggup menerima kenyataan saat harus menjadi korban pernikahan politik sang suami, Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji. Seketika jantungnya tertemb
Upacara pernikahan Pramesti berlangsung sangat meriah, dihadiri oleh para raja dari berbagai kerajaan, baik kerajaan kecil di bawah kepemerintahan Kahuripan atau kerajaan sahabat. Para dayang berlalu lalang mengantar makanan untuk menjamu para tamu, sedangkan di dekorasi pengantin telah duduk bersimpuh Pramesti dan Astradharma. Keduanya saling menjaga sikap masing-masing, tak lain karena menjadi pusat perhatian semua orang. Di tikar permadani, Larasati duduk bersimpuh bersama Sasanti. Tak jauh dari mereka di tempat terpisah ada Jaya Amijaya yang juga menemani sang Putra Mahkota Sarweswara. Sementara itu, Raja Jayabhaya sendiri menempati posisi singgasana bersama Permaisuri Sara, keduanya didampingi oleh Perdana Menteri Buta Locaya dan Panglima Tunggul Wulung yang duduk menghadap kepada para tamu. "Laras Dewi ... selalu menyulitkan saya, dia bertanya yang tidak seharusnya dia ketahui," kata Jaka Lelana. Di hadapannya duduk Maulana Ngali yang tersenyum memperhatikan kedua penganti
Seorang abdi menyodorkan gulungan lontar, yang lantas diambil Jayabhaya. Begitu membaca isi tulisan dalam bahasa kawi itu, sang Raja begitu terkejut. Tak lain karena kabar buruk yang disampaikan Jenggala sangat buruk. "Raja Lembu Amiluhur mengatakan bahwa setelah mendengar kematian Anggraeni, Dewi Sekartaji pergi meninggalkan istana. Putri menolak keras pernikahannya dengan Pangeran Inu Kertapati, bahkan meminta agar Kahuripan membatalkan saja. Karena dia merasa sangat dipermalukan,” jelas Jayabhaya yang lantas menarik napas sengal. “Membunuh Anggraeni adalah tindakan gegabah. Meski Jenggala membenci dan menuntut keadilan atas pernikahan Pangeran Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji, tidak seharusnya Anggraeni diperlakukan secara tidak manusiawi.” “Masalah ini telah menimbulkan konflik baru yang membuat hubungan Panjalu dan Jenggala semakin memanas." "Bagaimana pun Kuda Wanengpati telah menjadi gila, itu cukup membuktikan bahwa Pangeran sangat mencintai Anggraeni," komentar Buta L
Sesampainya di Karpala, Jaka Lelana langsung memasuki istana. Di mana sedang terjadi rumor antara dirinya dan Dyah Puspitasari, bahkan ketika melangkah menuju aula, tak sengaja dia melihat Wareng berbicara dengan Lokasura."Lokasura, adikmu sampai pergi ke hutan. Kenapa kau tidak membujuknya untuk pulang?" tanya Wareng.Akan tetapi, Lokasura justru bersikap angkuh dengan mendongakkan dagu. "Apa peduliku, itu bukan urusanku!" "Lokasura, dia adikmu," tegas Wareng."Semua masalah ini terjadi karenamu, kau tak berusaha menghentikannya."Kali ini Lokasura menatap acuh tak acuh mantan Perdana Menteri Karpala tersebut. "Terserah Ayah saja. Aku hanya mengikuti perintah Raja, bukan Ayah." Wareng menggeleng kepala karena tidak mengerti dengan cara berpikir Lokasura, sedangkan Jaka Lelana segera berbalik dan melangkah cepat menuju ke hutan. Ada kekhawatiran yang tersirat di wajah sang Pangeran kala memikirkan Dyah Puspitasari, apa lagi di luar turun hujan.***Tujuh hari sudah Dyah tak beranja
Setiba di halaman rumah, Wareng disambut oleh sang istri yang sedang memilah beras pada sebuah tampah. Walau sempat terkejut saat melihat Wareng pulang dengan membawa sesuatu yang dibedung, tetapi kemudian Dasima melangkah menghampiri"Seorang bayi?" Wanita berkemban itu mengamati Dyah Puspitasari.Wareng sendiri tanpa ragu menjelaskan, "Ya, aku menemukannya di dalam hutan. Mulai sekarang dia akan menjadi anak kita." "Aku akan merawatnya dengan baik,” balas Dasima sembari tersenyum menoleh suaminya itu.Dari dalam rumah, Lokasura kecil berlari kegirangan ke hadapan Wareng. Namun, sewaktu mengetahui sang ayah menggendong bayi berwajah aneh, dia menjadi bergidik."Ayah, bayi apa ini? Kenapa mengerikan sekali!" celetuknya. Seketika Wareng menggeleng. "Lokasura, tidak boleh begitu, mulai sekarang dia akan menjadi adikmu. Kau harus bersikap baik padanya.”"Apa? Bayi mengerikan ini, adikku?" Mata Lokasura kecil membelalak menatap sang ayah. "Kalian saja! sampai kapan pun aku tidak mau me
Demam di tubuh Dyah Puspitasari makin tinggi sehingga dia mengigau. "Pangeran!" lirihnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.Sementara itu, Jaka Lelana dan Wareng masih menikmati kopi mereka di ruang tamu. Saking asyiknya mengobrol, kedua pria tersebut sampai tidak menyadari dengan apa yang terjadi pada Dyah Puspitasari. Kenangan di masa kecil singgah dalam mimpi sang Panglima. Kala itu, anak-anak para pejabat kembali mengganggu Dyah Puspitasari dengan menyiramkan pasir ke kepala anak kecil berambut terurai itu. Tangis si Dyah adalah kebahagiaan bagi mereka."Aku sudah mengatakan padamu, pergi dari sini, tapi kau masih juga tak mendengarku! Salahmu sendiri!" maki Lokasura seraya membuang wajah."Dasar cengeng!" "Dia sudah buruk rupa, berdiam diri semakin membuatnya terlihat seperti Arca Dwarapala!" tunjuk seorang anak perempuan yang lantas tertawa saat menoleh teman-temannya.Air mata berlinangan membasahi pipi Dyah Puspitasari, bahkan walau tidak tahan lagi masih tak beranjak dar