Upacara pernikahan Pramesti berlangsung sangat meriah, dihadiri oleh para raja dari berbagai kerajaan, baik kerajaan kecil di bawah kepemerintahan Kahuripan atau kerajaan sahabat. Para dayang berlalu lalang mengantar makanan untuk menjamu para tamu, sedangkan di dekorasi pengantin telah duduk bersimpuh Pramesti dan Astradharma. Keduanya saling menjaga sikap masing-masing, tak lain karena menjadi pusat perhatian semua orang. Di tikar permadani, Larasati duduk bersimpuh bersama Sasanti. Tak jauh dari mereka di tempat terpisah ada Jaya Amijaya yang juga menemani sang Putra Mahkota Sarweswara. Sementara itu, Raja Jayabhaya sendiri menempati posisi singgasana bersama Permaisuri Sara, keduanya didampingi oleh Perdana Menteri Buta Locaya dan Panglima Tunggul Wulung yang duduk menghadap kepada para tamu. "Laras Dewi ... selalu menyulitkan saya, dia bertanya yang tidak seharusnya dia ketahui," kata Jaka Lelana. Di hadapannya duduk Maulana Ngali yang tersenyum memperhatikan kedua penganti
Seorang abdi menyodorkan gulungan lontar, yang lantas diambil Jayabhaya. Begitu membaca isi tulisan dalam bahasa kawi itu, sang Raja begitu terkejut. Tak lain karena kabar buruk yang disampaikan Jenggala sangat buruk. "Raja Lembu Amiluhur mengatakan bahwa setelah mendengar kematian Anggraeni, Dewi Sekartaji pergi meninggalkan istana. Putri menolak keras pernikahannya dengan Pangeran Inu Kertapati, bahkan meminta agar Kahuripan membatalkan saja. Karena dia merasa sangat dipermalukan,” jelas Jayabhaya yang lantas menarik napas sengal. “Membunuh Anggraeni adalah tindakan gegabah. Meski Jenggala membenci dan menuntut keadilan atas pernikahan Pangeran Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji, tidak seharusnya Anggraeni diperlakukan secara tidak manusiawi.” “Masalah ini telah menimbulkan konflik baru yang membuat hubungan Panjalu dan Jenggala semakin memanas." "Bagaimana pun Kuda Wanengpati telah menjadi gila, itu cukup membuktikan bahwa Pangeran sangat mencintai Anggraeni," komentar Buta L
Sesampainya di Karpala, Jaka Lelana langsung memasuki istana. Di mana sedang terjadi rumor antara dirinya dan Dyah Puspitasari, bahkan ketika melangkah menuju aula, tak sengaja dia melihat Wareng berbicara dengan Lokasura."Lokasura, adikmu sampai pergi ke hutan. Kenapa kau tidak membujuknya untuk pulang?" tanya Wareng.Akan tetapi, Lokasura justru bersikap angkuh dengan mendongakkan dagu. "Apa peduliku, itu bukan urusanku!" "Lokasura, dia adikmu," tegas Wareng."Semua masalah ini terjadi karenamu, kau tak berusaha menghentikannya."Kali ini Lokasura menatap acuh tak acuh mantan Perdana Menteri Karpala tersebut. "Terserah Ayah saja. Aku hanya mengikuti perintah Raja, bukan Ayah." Wareng menggeleng kepala karena tidak mengerti dengan cara berpikir Lokasura, sedangkan Jaka Lelana segera berbalik dan melangkah cepat menuju ke hutan. Ada kekhawatiran yang tersirat di wajah sang Pangeran kala memikirkan Dyah Puspitasari, apa lagi di luar turun hujan.***Tujuh hari sudah Dyah tak beranja
Setiba di halaman rumah, Wareng disambut oleh sang istri yang sedang memilah beras pada sebuah tampah. Walau sempat terkejut saat melihat Wareng pulang dengan membawa sesuatu yang dibedung, tetapi kemudian Dasima melangkah menghampiri"Seorang bayi?" Wanita berkemban itu mengamati Dyah Puspitasari.Wareng sendiri tanpa ragu menjelaskan, "Ya, aku menemukannya di dalam hutan. Mulai sekarang dia akan menjadi anak kita." "Aku akan merawatnya dengan baik,” balas Dasima sembari tersenyum menoleh suaminya itu.Dari dalam rumah, Lokasura kecil berlari kegirangan ke hadapan Wareng. Namun, sewaktu mengetahui sang ayah menggendong bayi berwajah aneh, dia menjadi bergidik."Ayah, bayi apa ini? Kenapa mengerikan sekali!" celetuknya. Seketika Wareng menggeleng. "Lokasura, tidak boleh begitu, mulai sekarang dia akan menjadi adikmu. Kau harus bersikap baik padanya.”"Apa? Bayi mengerikan ini, adikku?" Mata Lokasura kecil membelalak menatap sang ayah. "Kalian saja! sampai kapan pun aku tidak mau me
Demam di tubuh Dyah Puspitasari makin tinggi sehingga dia mengigau. "Pangeran!" lirihnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.Sementara itu, Jaka Lelana dan Wareng masih menikmati kopi mereka di ruang tamu. Saking asyiknya mengobrol, kedua pria tersebut sampai tidak menyadari dengan apa yang terjadi pada Dyah Puspitasari. Kenangan di masa kecil singgah dalam mimpi sang Panglima. Kala itu, anak-anak para pejabat kembali mengganggu Dyah Puspitasari dengan menyiramkan pasir ke kepala anak kecil berambut terurai itu. Tangis si Dyah adalah kebahagiaan bagi mereka."Aku sudah mengatakan padamu, pergi dari sini, tapi kau masih juga tak mendengarku! Salahmu sendiri!" maki Lokasura seraya membuang wajah."Dasar cengeng!" "Dia sudah buruk rupa, berdiam diri semakin membuatnya terlihat seperti Arca Dwarapala!" tunjuk seorang anak perempuan yang lantas tertawa saat menoleh teman-temannya.Air mata berlinangan membasahi pipi Dyah Puspitasari, bahkan walau tidak tahan lagi masih tak beranjak dar
Sejenak kedua pasang mata saling menatap, Jaka Lelana tersenyum pada Dyah Puspitasari, begitu juga sebaliknya, sebelum mereka bergandengan tangan dan melangkah memasuki gerbang Istana Karpala. Di malam purnama itu, Jaka Lelana harus melalui prosesi pertunangan yang panjang dengan Dyah Puspitasari, membuat para hadirin terharu karena menyaksikan mereka berdua mengasihi satu sama lain. Cinta yang diberikan sang Pangeran begitu nyata bagi Dyah Puspitasari, sampai-sampai wanita itu tak dapat melukiskan betapa bahagianya dirinya.***Keresahan meliputi hati Larasati ketika dia sedang memacu cepat kudanya menerobos Hutan Asmarantaka. Cinta yang begitu dalam serta rasa rindu yang menggebu membuatnya ingin segera sampai dan bertemu dengan sang pujaan hati. Namun, di tengah jalan dia dikepung segerombolan perampok yang tiba-tiba mengadang, bahkan sebagian dari mereka membawa golok.Seketika Larasati menarik tali kekang hingga kuda mengangkat kaki depan saat menghentikan langkah. "Serahkan s
Pagi menjelang, sang surya mulai menyinari jagat raya, cahayanya menembus kegelapan hutan seiring kicauan burung-burung di pepohonan. Pun embun pagi dari dedaunan menetes ke pipi putih Larasati sehingga perlahan gadis itu membuka mata, lantas menggeliat seraya menoleh ke sekitar Namun, ternyata sang Dewi sudah tak ada."Rupanya dia sudah pergi." Dengan segera Larasati menyambar pedang di sebelah kanannya untuk kemudian berdiri, tetapi baru saja akan melangkah, ada silau cahaya yang membuat dia menghentikan ayunan tungkai serta harus menghalangi pandangan.Sebias cahaya turun dari langit, lalu menjelma menjadi sesosok pria tua yang melayang di udara. Pria tersebut mengenakan pakaian layaknya abadi tinggi istana langit. Pun Larasati terpaku ketika mengintip sampai-sampai menurunkan tangan kanan dari depan mata. "Siapakah kau ini?" tanyanya."Aku Dewa Narada. Apa kau tak bisa mengenaliku?" Sang Dewa menjadi heran. Dengan angkuh, Larasati meninggikan sebelah alis. "Oh, rupanya kau Nara
Mendung gelap, kilatan petir serta guntur pun menyapa. Meski begitu, Larasati tak berhenti memacu kuda hitamnya menuju Panjalu. Sepanjang perjalanan hanya kenangan manis sang Pangeran yang memenuhi pikiran gadis tersebut, sampai-sampai membuat air matanya jatuh ke pipi, lantas menyatu dengan tetesan hujan.Waktu terus berjalan siring sinar matahari yang mulai memecah cakrawala pada keesokan pagi. Ketika itu, Larasati baru sampai di Panjalu kembali sehingga mulai melangkah memasuki halaman istana. Namun, betapa terkejutnya dia setelah mendapati semua orang sedang berkumpul, lebih-lebih saat melihat Pramesti menangis. Larasati makin tak mengerti karena Jaya Amijaya dan Sarweswara menatap penuh kebencian, bahkan Dewi Sara juga bersedih hati. Hanya sang Raja Jayabhaya yang masih begitu tenang menyikapi walau emosi, sementara Maulana Ngali justru tersenyum menoleh kedatangan gadis tersebut.Tanpa menunda lagi, Larasati langsung melangkah cepat ke kerumunan. “Apa yang terjadi?” tanyanya.Ak