Li Jing merupakan aktor papan atas dunia perfilman. Wajahnya tampan, memiliki kulit putih bersih serta tubuh yang gagah. Tingginya kira-kira 185 cm.
Aktor asal China itu kini harus di sebuah pulau yang terkenal dengan keindahan pantainya, Bali. Selain karena urusan syuting pembuatan film, Li Jing juga di Indonesia untuk menghadiri Asian Film Awards yang rencananya akan digelar beberapa pekan ke depan. Dalam acara bergengsi tersebut turut diundang para aktor dan aktris kelas ternama dunia untuk menerima penghargaan. Malam ini, Li Jing datang pada sebuah acara jumpa pers untuk promo drama kolosal Xiaxian terbarunya. Dia tidak sendiri ada beberapa aktor dan aktris lain yang akan menerima wawancara. Mereka semua terlibat dalam pembuatan film. Mata sipit Li Jing sudah sangat akrab dengan lampu kamera wartawan, bahkan bibir tipisnya selalu tersenyum kala menjawab berbagai pertanyaan seputar perannya sebagai tokoh utama. Semua semata-mata karena dia seorang publik figur yang harus menjaga citra agar menarik lebih banyak penonton. Acara jumpa pers segera berlangsung, sesi foto dan pemberian tanda tangan untuk penggemar pun telah dilakukan. Li Jing segera melangkah keluar dari gedung, sementara beberapa pengawal mengamankan jalannya menuju ke dalam mobil bmw berwarna hitam. Setelah masuk dan menutup pintu kendaraan, dia menyalakan mesin, lalu mengemudi meninggalkan halaman. Tangan kiri Li Jing membuka beberapa kancing bagian atas kemeja putihnya serta melonggarkan kerah. Embusan napas lega keluar dari hidung lancip pria tersebut. Dia memandangi pinggiran kota yang sepi, sebelum akhirnya memarkir mobil di tepi jalan dan melangkah turun. Pepohonan rindang di sekitar menjadikan udara terasa dingin, tetapi Li Jing justru naik ke kap, kemudian duduk bersantai menatap sang bulan. Tiba-tiba saja dia teringat pada Ying Fei, gadis yang sedang disukainya. Saat ini dia memang tidak mampu menyatakan cinta. Katakanlah Li Jing memang pria yang kaku, pendiam dan terkesan kurang ekspresi, bahkan tak bisa menunjukkan perhatian khusus, apalagi membuat Ying Fei terkesima dengan kata-kata romantis seperti dalam drama. Namun, meski begitu, Li Jing selalu memikirkan Ying Fei, berharap sang pujaan hati akan menyadari perasaannya dan segera membalas. Ketika Li Jing masih larut dalam lamunan, ada cahaya melesat jatuh dari langit hingga seketika perhatian pria tersebut teralih. Bintang? Mungkinkah bisa sampai ke bumi? Batin Li Jing. Tentu saja dia tahu bahwa benda langit tersebut pasti meleleh jika sampai ke bumi, tetapi yang tadi masih bersinar sewaktu akan menyentuh tanah. Rasa ingin tahu membuat Li Jing tak berdiam diri. Pria itu segera melompat turun dari kap, lalu berlari secepat mungkin. Memasuki kawasan mata air, dia harus melangkah hati-hati sebab banyak rumput ilalang yang tumbuh lebat menghalangi, bisa-bisa menginjak hewan berbisa yang sedang bersembunyi. Seketika Li Jing terpaku saat melihat jemari tangan sesosok wanita muncul ke permukaan. Tangan itu meraih batu besar di tepi mata air, kemudian mengangkat kepala dari air dan menyandarkannya di atas batu tadi. Sosok yang tak lain dan tak bukan adalah Larasati. Bidadari itu sempat membuka mata sebentar, sebelum terpejam kembali. Kepalanya perlahan merosot, lalu tenggelam ke dalam air seiring dengan lepasnya kedua tangan dari batu. Sadar ada yang membutuhkan pertolongan, Li Jing menyambar pergelangan tangan Larasati sehingga ketika ditarik tubuh lencir bidadari tersebut dapat terangkat ke daratan. Li Jing pun merebahkannya di rerumputan. Penampilan Larasati sangat aneh di mata Li Jing. Rambutnya panjang teruai dengan hiasan sumping di belakang telinga, mengenakan gaun lebar semacam sutra berwarna gading dilengkapi kain selendang yang mengikat di pinggangnya, juga kulit Larasati yang memancarkan cahaya silau walau perlahan mulai meredup. Makhluk apa ini? Dalam hati, Li Jing bertanya. Dia makin sulit menebak setelah melihat luka serius yang mengalirkan cairan berwarna putih keemasan di bagian dada dan lengan Larasati. Meski begitu Li Jing tak ambil pusing lantaran telah berniat meninggalkan. Jadi, dia berbalik, lantas mengayunkan tungkai. Namun, belum terlalu jauh, harus terhenti oleh kekhawatiran yang memaksa untuk menoleh kembali Larasati di belakang. Tak apakah jika kutinggalkan sendiri? Dia masih terluka? Sejenak Li Jing memikirkan. Mau tak mau Li Jing menghampiri Larasati. Dia duduk mengangkat tubuh bidadari tersebut ke dalam bopongan, lalu membawanya melangkah menuju ke mobil. Setelah menempatkan Larasati di samping kursi kemudi, Li Jing segera menyalakan mesin sebelum akhirnya mobil melaju dengan kecepatan sedang. “Lelana!” lirih Larasati yang tengah mengigau. “Lelana, jangan tinggalkan aku.” Untuk sesaat, Li Jing menoleh bidadari itu, sebelum terfokus pada jalanan di depan kembali. Akan tetapi, lagi-lagi Larasati mengigau sehingga pria tersebut segera menempelkan jemari tangan kirinya ke kening Larasati. “Suhu badannya tinggi sekali!” Li Jing agak terkejut. “Sebaiknya aku bawa ke rumah sakit saja,” pikirnya seraya mengalihkan perhatian ke depan. “Tapi dia bukan manusia.” “Sebenarnya siapa kau ini?” Lirikan mata pria itu pun menunjukkan kekesalan. Sementara itu, alam bawah sadar Larasati menghadirkan bayangan masa lalunya ketika masih gadis, dia yang sedang sakit bersandar di bahu sesosok kusir tampan pada sebuah kereta kuda. Sebelah kiri tangan pria tersebut memegangi bahu Larasati agar tak terjatuh. Sekilas mimpi berganti dengan peperangan besar antara dua kerajaan. Peristiwa berdarah yang mengakibatkan mayat-mayat para prajurit tergeletak di mana-mana. Di antara mereka ada yang tinggal kepala, ada pula yang organ dalamnya terburai hingga dikerubuti lalat, bahkan ada yang hancur hingga tak dikenali. “Tidak!” jerit Larasati muda yang menangisi kematian sesosok pria tampan di pangkuannya. Sayatan menganga pada bagian dada dari sosok berpenampilan ningrat tersebut terus mengalirkan cairan merah berbau anyir. Kenangan buruk telah melekat dalam ingatan Larasati, menyempurnakan rasa sakit di seluruh jiwa raganya saat ini. Air mata yang bercucuran di pipi bidadari tersebut makin membuat Li Jing tak mengerti dengan apa yang terjadi sebelum Larasati dia temukan.Saat membuka mata, Larasati menemukan diri telah berada di sebuah kamar besar bercat gading. Melihat pakaiannya telah diganti, dia terkejut. Segera beralih dari posisi merebah ke posisi duduk. Lupa bahwa dia sedang terluka, sehingga merasakan sakit di bagian dada, lalu menyentuhnya dengan sebelah tangan. Pertarungan sengit di istana langit melawan Sujatmika, tersaji dalam ingatan Larasati. Namun, sebelum berakhir telah buyar karena kedatangan seseorang dari pintu yang terbuka. "Kau sudah sadar?" tanya Li Jing sembari menghentikan langkah tak jauh di depan. Tak ada jawaban, Larasati justru terdiam dan memperhatikan pria berwajah lancap tersebut dari ujung kaki sampai ujung kepala. Siapa dia? Apa yang menolongku semalam? Batinnya. "Di mana rumahmu? Biar aku antar kau pulang." Li Jing bersikap dingin. Larasati masih tak mengatakan sepatah kata, dia tidak ingin Li Jing tahu bahwa dirinya bukan manusia. Hingga pria tersebut mengembuskan napas lelah dan berbalik. "Aku tak punya rumah,
Karena tidak ada kesibukan syuting, Li Jing hanya menghabiskan waktu seharian di rumah untuk beristirahat, sedangkan cuaca musim panas cukup membuat berkeringat sehingga dia memilih melepas pakaian. Setelah melemparnya ke sembarang arah, Li Jing berjalan ke kamar mandi, lalu menutup pintu transparan. Tak lama kemudian, Larasati yang membantu membereskan rumah memasuki kamar. Seprei kotor segera digantinya, tak lupa bidadari itu juga membungkuk untuk memungut baju yang tergeletak di lantai. Namun, tiba-tiba terdengar suara gemercik air. Sejenak Larasati terdiam. Sampai akhirnya, pintu kamar mandi terbuka. Li Jing keluar hanya dengan memakai handuk yang melilit menutupi bagian pusar hingga ke lutut. Otot-otot dadanya membentuk sempurna ketika terkena tetesan air. Pria tersebut mengibaskan rambut yang basah. "Aaaaaaa!" Larasati terbelalak hingga baju dalam genggamannya terlepas dan dia jatuh bersimpuh di lantai. Posisinya menahan diri dengan kedua tangan di belakang. Li Jing menatap
Ketika menggeser layar ponsel pintar, tak sengaja Li Jing menemukan gosip yang beredar di Youtube, tentang rencana pertunangan Ying Fei dan Han. Dari video yang beredar, tampak keduanya malu-malu untuk mengakui adanya hubungan serius. Ying Fei selalu membantah, tetapi dari sorot matanya terlihat seolah-olah memang sangat menyukai Han yang berada di samping kanan. Han pun demikian, meski tak membenarkan berita tersebut, dia selalu memperhatikan Ying Fei. Menyaksikan itu, Li Jing menjadi sangat kesal sehingga meletakan ponsel pintar di meja. Dia segera berdiri dari sofa dan melangkah pergi menuju ke kamar, lalu berpapasan dengan Larasati yang membawa teh panas serta sepotong kue di kedua tangan. Tak sengaja Larasati menabrak pria tersebut dan menumpahkan kue ke kemeja putih yang dia kenakan.Tatapan dingin Li Jing membuat Larasati menarik napas dalam-dalam. Meski kesal bidadari itu masih bersikap ramah. "Kau tak apa?" tanyanya seraya bergerak akan mengelap baju Li Jing. Tak disangka,
"Kau ... apa yang kau lakukan!" Li jing menepuk dahi dengan sebelah tangan.Sementara itu, Larasati mengedipkan mata seakan-akan tak mengerti. "Aku hanya membantumu.""Kau menghancurkan acaranya dan membuat awak media memburu kita sekarang!" gerutu Li Jing."Ah, aku minta maaf," ucap Larasati. "Aku benar-benar tidak bermaksud merepotkan." Meski Li Jing sangat marah, tetapi semua telah terlanjur, bahkan Larasati yang merasa bersalah sebelumnya juga tidak tahu bahwa Li Jing tak menyukai tindakannya. "Kita tidak bisa pulang ke rumah. Aku akan mencari tempat untuk beristirahat," kata Li Jing yang berusaha menenangkan diri, walau begitu masih tidak mau menatap Larasati. ***Matahari telah terbit menyinari jagat raya, pagi pun menjelang. Sementara Larasati tertidur, Li Jing masih mengemudikan mobil menuju pegunungan. Keduanya telah meninggalkan kota, juga menyeberang pulau. Sesaat Li Jing memperhatikan Larasati, sebelum terfokus kembali pada jalanan di depan. Kereta tanpa kuda, berhenti
Sesampainya di taman putri, Larasati duduk pada sebuah gubuk dengan posisi bersandar pada dinding kayu, sementara Pramesti sendiri duduk di hadapannya. "Dayang, tolong buatkan ramuan khusus penghilang nyeri untuk Putri Larasati!" perintah Pramesti sembari menoleh pelayan yang baru datang. "Segera saya siapkan, Dewi Putri." Setelah menyatukan kedua telapak tangan sembari menundukkan kepala, pelayan itu pun melangkah pergi. "Kakak, kapan kau akan menikah? Kau selalu mengurus kami, kapan kau akan mengurus suami? Aku takut Putri Sulung Panjalu akan menjadi perawan tua," protes Larasati. "Kalau ada seorang pangeran yang melamar, Kakak juga mau menikah. Kau tak perlu berpikir sekeras itu, Sati." Pramesti tersenyum menyikapi. "Kalau begitu, aku akan meminta Ayah membuatkan sayembara untukmu," cetus Larasati yang memeriksa tatanan rambut kuncirnya. "Tidak perlu. Ayah baru saja pulang dari perang. Kau hanya akan merepotkannya," tolak sang kakak. Beberapa saat kemudian pelayan datang
Malam telah larut, suara hewan malam mulai mengisi keheningan. Larasati berjalan keluar dari kamar. Sembari melihat ke atas, dia terbang dan memijakkan kaki di atap, kemudian duduk dengan posisi memeluk lutut. Keindahan sang bulan purnama tersaji di langit bersama jutaan kerlap-kerlip bintang. Memandangnya makin membuat hati Larasati tersiksa oleh kerinduan, hingga embusan napas kasar keluar. Akan tetapi, masih juga terasa sesak dalam dada bidadari itu.Sekelebat bayangan sesosok makhluk menampakkan diri menghalangi sang bulan. Berwujudkan pria berambut panjang dengan paras tampan yang teramat menawan. Dari cahaya di tubuhnya yang berbalut busana berwarna putih, sudah dapat dikenali bahwa dia adalah Dewa Mandala, Putra Mahkota Istana Langit Agnicaya. Senyum tak lepas dari wajah sang Dewa yang memiliki dagu belah. Pembawaannya begitu tenang, seakan-akan mampu menyihir Larasati sehingga terus memandangi sampai pria tersebut turun dan duduk bergabung di sisi kanan."Bagaimana keadaan A
"Assalamualaikum, Pandhita." Larasati memberi salam. Pria bersorban berbalik, memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari yang Larasati kira. " Waalaikumsalam." Seketika Larasati terkejut, ternyata sang Ulama bukanlah Syekh Maulana Ngali Samsujen, meski memiliki postur tubuh yang hampir sama dan sama-sama berwajah Persia. "Siapa, Nona, ini?" Pria tersebut bersikap ramah.Sadar telah salah orang, Larasati mengedipkan mata sembari tersenyum bodoh. "Maaf, tadi saya mengira Anda ... guru saya." Sang Ulama tersenyum menyikapi. "Silakan duduk dulu." Pria bersorban mengarahkan sebelah tangan dan mengambil tempat duduk bersila di lantai. Begitu juga Larasati yang segera menekuk lutut agar dapat bersimpuh. "Bagaimana Nona bisa mengira saya guru Nona? Siapa guru Nona?" tanya sang Ulama. "Saya akan menceritakan suatu kisah. 900 tahun yang lalu ...." Ingatan Larasati mulai menerawang. *** Jayabhaya kedatangan seorang ulama dari Mekkah. Dia segera turun dari singgasana menyambut baik tamu y
Di hutan, Larasati sedang mengarahkan anak panah pada seekor rusa di semak-semak. Namun, bidikannya meleset. Si hewan yang merasa terancam lari tunggang langgang. Pramesti dan Sasanti mentertawai gadis itu di belakang, lalu keduanya melangkah menghampiri. "Ah, sial!" Larasati menjadi kesal. "Cara memanahmu tidak terlalu bagus, Larasati," kata Pramesti. Larasati menoleh sang kakak dan menatap benci. "Kau harus belajar dariku, Kak!" ejek Sasanti. Larasati tak peduli, dia mengalihkan pandangan ke depan seraya mengayunkan tungkai. "Kalian berdua, senang sekali melihat kegagalanku." "Kakak, kau tak perlu khawatir. Aku benar-benar akan memperbaiki cara memanahmu." Sasanti menggoda gadis berkemban dengan bawahan rok putih itu, lalu bersama Pramesti mengimbangi langkah di belakang. "Sudahlah, jangan bersikap seperti anak kecil! Nanti Kakak buatkan sup jamur kesukamu. Lihat, Kakak mendapatkan banyak hari ini!" bujuk Pramesti dengan memperlihatkan rentengan tumbuhan berbentuk payung dala