Ketika menggeser layar ponsel pintar, tak sengaja Li Jing menemukan gosip yang beredar di Youtube, tentang rencana pertunangan Ying Fei dan Han. Dari video yang beredar, tampak keduanya malu-malu untuk mengakui adanya hubungan serius. Ying Fei selalu membantah, tetapi dari sorot matanya terlihat seolah-olah memang sangat menyukai Han yang berada di samping kanan. Han pun demikian, meski tak membenarkan berita tersebut, dia selalu memperhatikan Ying Fei.
Menyaksikan itu, Li Jing menjadi sangat kesal sehingga meletakan ponsel pintar di meja. Dia segera berdiri dari sofa dan melangkah pergi menuju ke kamar, lalu berpapasan dengan Larasati yang membawa teh panas serta sepotong kue di kedua tangan. Tak sengaja Larasati menabrak pria tersebut dan menumpahkan kue ke kemeja putih yang dia kenakan. Tatapan dingin Li Jing membuat Larasati menarik napas dalam-dalam. Meski kesal bidadari itu masih bersikap ramah. "Kau tak apa?" tanyanya seraya bergerak akan mengelap baju Li Jing. Tak disangka, Li Jing justru menolak dengan menghempaskan tangan Larasati sebelum sempat menyentuhnya. "Lain kali pakai matamu saat kau jalan!" Setelah memberi peringatan lantas Li Jing melanjutkan langkah dan menaiki anak tangga. Larasati terkejut bukan main, tak tahu mengapa sang aktor menjadi emosi tingkat dewa. Bahkan bidadari tersebut sampai berbalik, matanya bergerak mengikuti ke mana pria bercelana jogger abu-abu tersebut pergi. Setelah memperhatikan Li Jing beberapa saat, bidadari itu pun membereskan kue dan tumpahan teh di lantai. "Kenapa dia? Membosankan sekali!" umpatnya. Seorang pelayan yang melihat datang menghampiri. "Biar saya saja, Nona." "Terima kasih, Bi," ucap Larasati. Dia membiarkan si pelayan membantu. "Saya dengar, tadi Tuan memaki Nona," ungkap pelayan sembari memungut pecahan gelas dengan hati-hati. Larasati tersenyum menyikapi. "Tidak apa, Bi. Mungkin aku memang kurang berhati-hati." "Ketika saya memperhatikan Nona Larasati pertama kali, sepertinya ... Nona berasal dari tempat yang jauh?" tebak pelayan yang berdiri membawa pecahan gelas. Larasati menepuk-nepuk kedua telapak tangan untuk menghilangkan sisa kue yang menempel. "Aku hanya lupa di mana tinggalku. Semenjak kecelakaan tidak banyak yang bisa aku ingat." Bidadari tersebut beralasan, dia memasang wajah sedih untuk meyakinkan. "Apa Nona juga tidak memiliki KTP?" tanya pelayan tua bertubuh gemuk tersebut. Larasati meninggikan sebelah alis. "KTP?" "Kartu kecil yang berisikan semua informasi tentang Nona, biasanya akan ada foto Nona di bagian atas kartu?" Pelayan menjelaskan. Larasati tak mengerti. "Sepertinya aku kehilangan benda tersebut." "Baiklah, tak apa. Tapi Nona harus berhati-hati jika keluar dari rumah. Para polisi adat bisa saja menangkap dan membawa Nona ke banjar jika mereka tau Anda tidak memiliki identitas. Yang jadi masalah saat ini Nona lupa ingatan," kata pelayan. Larasati tersenyum mendengarnya. "Tak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri, Bi" "Saya percaya Nona." Pelayan tak menaruh curiga. "Oh, iya, hari ini saya memasak bebek betutu. Mau mencicipi? Masih ada sisa dua porsi di dapur?" tanya pelayan. "Tentu saja, sepertinya ini makanan enak," jawab Larasati yang tak menolak. "Mari." Pelayan mempersilakan. Keduanya pun segera melangkah menuju ke dapur. *** Setelah selesai mencicipi masakan yang di tawarkan pelayan, Larasati menuju ruang televisi. Karena jenuh, dia mengambil sebuah majalah dari meja, lalu membacanya dengan posisi masih berdiri. Hingga tak lama kemudian terdengar derap langkah kaki menuruni anak tangga. Ketika Larasati menoleh, Li Jing yang telah berpakaian rapi melangkah cepat keluar dari rumah. Perhatian Larasati teralihkan, dia segera menaruh majalah kembali ke meja dan mengikuti di belakang. Namun, Li Jing telah memasuki mobil yang kemudian melaju cepat keluar dari halaman. Masih tak putus asa, Larasati berlari mengejar hingga mobil Li Jing menghilang di kejauhan. Asing dengan perkotaan membuat bidadari bergaun putih selutut itu menghentikan langkah seraya berputar dan mengedarkan pandangan. Lampu-lampu menerangi setiap bangunan besar yang menjulang tinggi, sedang dia sendiri tengah berdiri di antara kendaraan sedang berlalu lalang. Setelah 900 tahun, Larasati baru menyadari bahwa dunia telah berubah menjadi peradaban yang maju memenuhi ramalan sang ayah Sri Aji Jayabhaya. Klakson-klakson dan umpatan benci, segera menyadarkan Larasati dari keterpakuan. Dia kembali berlari seraya berubah wujud menjadi seekor burung pipit putih yang terbang cepat mengejar mobil Li Jing. *** Li Jing memarkir mobil di halaman sebuah gedung, turun ke karpet merah dan memasuki acara penghargaan Asian Film Awards yang diselenggarakan khusus untuk para aktor kelas ternama. Jepretan dari para wartawan menghampiri pria tersebut. Dia segera bergabung bersama para tamu lain. Larasati yang berwujudkan burung pipit, turun seraya menjelma menjadi sesosok bidadari cantik. Dia mengenakan pakaian khas abadinya, gaun berwarna gading bermotif batik emas yang begitu mewah. Dengan anggunnya bidadari itu melangkah menuju karpet merah, tetapi dua orang pengawas tamu tiba-tiba menghentikan dia. "Maaf, Nona tidak diizinkan masuk," ucap yang bertubuh dempak, sementara yang agak kurus dan berkulit putih hanya kompak mengadang. Larasati tersenyum sinis, lalu mengibaskan sebelah tangannya disertai kilauan matra pelemah jiwa. Seketika kedua pengawas terpengaruh hingga terlihat seperti sedang mabuk. Tak lama kemudian mereka segera menyingkir untuk memberi jalan. "Silakan, Nona." Ketika Larasati memijakkan kaki ke sepanjang karpet merah, semua mata segera tertuju padanya. Mereka tercedak kagum melihat sosoknya yang teramat cantik menawan. Pesona Larasati memang begitu indah, membuat siapa pun tak akan berhenti memujinya, memujanya yang sangat sempurna. "Wah!" "Siapa dia?" "Cantik sekali!" "Artis barukah?" Para wartawan tak melewatkan kesempatan, mereka mengabadikan momen tersebut dalam lensa kamera. Sementara itu, di dalam gedung, Li Jing menatap ke arah Ying Fei dan Han. Keduanya sedang menerima wawancara atas hubungan mereka yang menjadi trending topik beberapa pekan terakhir. Tentu saja media masih tak puas, sebab belum mendapat jawaban pasti apakah sang idola sudah berpacaran atau masih berteman. "Tidak ... tidak. Aku dan dia hanya berteman, kami memang tak memiliki hubungan apa pun," ungkap Ying Fei sembari malu-malu mengangkat kedua tangannya, lalu dia menoleh Han di samping kiri. "Kalian terlalu berlebihan, dan seolah mendukung jika kami berdua memang berpacaran." Han mengimbangi. "Ah, rupanya masih juga tak mau mengakui. Tapi baiklah para penggemar akan menunggu kelanjutan dari hubungan kalian. Semoga kalian memang benar-benar memiliki kedekatan seperti yang diharapkan." Wartawan menoleh Han bergantian dengan Ying Fei. Tidak jauh dari mereka, Larasati yang telah bergabung dalam pesta, mencari Li Jing dan menemukan pria berblazer hitam tersebut di antara para aktor lain. Melihat Li Jing terus memperhatikan Ying Fei, Larasati segera mengerti apa yang terjadi. Dia tersenyum angkuh saat mengalihkan pandangan pada Ying Fei dan Han, tanpa ragu mengangkat sebelah tangan kemudian memetik jemari. Semua mata tertuju padanya, mereka terdiam untuk sejenak. Akan tetapi, tak disangka, lampu-lampu di dalam gedung tiba-tiba meledak secara bersamaan. Para tamu sontak histeris, mereka panik mencari perlindungan. Termasuk Ying Fei yang memundurkan diri dan mendekat pada Han di belakang. Sentuhan kedua tangan Han di pundak Ying Fei berusaha menenangkan, meski pandangan pria tersebut terus tertuju pada Larasati. Di waktu yang sama, Li Jing juga menoleh, bahkan sampai-sampai mendelik menyaksikan apa yang dilakukan Larasati. Dengan langkah terburu-buru dia menghampiri, lalu menyambar tangan bidadari itu. "Kau!" serunya seraya memicingkan mata. Sebelum beralih kepada semua orang yang sedang memperhatikannya bersama Larasati, termasuk Ying Fei dan Han. Menyadari kehadiran Larasati menimbulkan banyak masalah, Li Jing segera mengamankan sang Bidadari. "Pergi," ajak Li Jing seraya menggeret Larasati untuk berlari cepat ke luar dari gedung. Para tamu bergerak mengejar termasuk juga beberapa wartawan, sehingga Li Jing dan Larasati harus sesekali menoleh ke belakang. Setelah tiba di halaman, Li Jing segera membuka pintu dan memasukkan Larasati ke dalam mobil, disusul dirinya kemudian dari sisi kanan yang duduk di kursi kemudi. Mobil pun melesat jauh. ***"Kau ... apa yang kau lakukan!" Li jing menepuk dahi dengan sebelah tangan.Sementara itu, Larasati mengedipkan mata seakan-akan tak mengerti. "Aku hanya membantumu.""Kau menghancurkan acaranya dan membuat awak media memburu kita sekarang!" gerutu Li Jing."Ah, aku minta maaf," ucap Larasati. "Aku benar-benar tidak bermaksud merepotkan." Meski Li Jing sangat marah, tetapi semua telah terlanjur, bahkan Larasati yang merasa bersalah sebelumnya juga tidak tahu bahwa Li Jing tak menyukai tindakannya. "Kita tidak bisa pulang ke rumah. Aku akan mencari tempat untuk beristirahat," kata Li Jing yang berusaha menenangkan diri, walau begitu masih tidak mau menatap Larasati. ***Matahari telah terbit menyinari jagat raya, pagi pun menjelang. Sementara Larasati tertidur, Li Jing masih mengemudikan mobil menuju pegunungan. Keduanya telah meninggalkan kota, juga menyeberang pulau. Sesaat Li Jing memperhatikan Larasati, sebelum terfokus kembali pada jalanan di depan. Kereta tanpa kuda, berhenti
Sesampainya di taman putri, Larasati duduk pada sebuah gubuk dengan posisi bersandar pada dinding kayu, sementara Pramesti sendiri duduk di hadapannya. "Dayang, tolong buatkan ramuan khusus penghilang nyeri untuk Putri Larasati!" perintah Pramesti sembari menoleh pelayan yang baru datang. "Segera saya siapkan, Dewi Putri." Setelah menyatukan kedua telapak tangan sembari menundukkan kepala, pelayan itu pun melangkah pergi. "Kakak, kapan kau akan menikah? Kau selalu mengurus kami, kapan kau akan mengurus suami? Aku takut Putri Sulung Panjalu akan menjadi perawan tua," protes Larasati. "Kalau ada seorang pangeran yang melamar, Kakak juga mau menikah. Kau tak perlu berpikir sekeras itu, Sati." Pramesti tersenyum menyikapi. "Kalau begitu, aku akan meminta Ayah membuatkan sayembara untukmu," cetus Larasati yang memeriksa tatanan rambut kuncirnya. "Tidak perlu. Ayah baru saja pulang dari perang. Kau hanya akan merepotkannya," tolak sang kakak. Beberapa saat kemudian pelayan datang
Malam telah larut, suara hewan malam mulai mengisi keheningan. Larasati berjalan keluar dari kamar. Sembari melihat ke atas, dia terbang dan memijakkan kaki di atap, kemudian duduk dengan posisi memeluk lutut. Keindahan sang bulan purnama tersaji di langit bersama jutaan kerlap-kerlip bintang. Memandangnya makin membuat hati Larasati tersiksa oleh kerinduan, hingga embusan napas kasar keluar. Akan tetapi, masih juga terasa sesak dalam dada bidadari itu.Sekelebat bayangan sesosok makhluk menampakkan diri menghalangi sang bulan. Berwujudkan pria berambut panjang dengan paras tampan yang teramat menawan. Dari cahaya di tubuhnya yang berbalut busana berwarna putih, sudah dapat dikenali bahwa dia adalah Dewa Mandala, Putra Mahkota Istana Langit Agnicaya. Senyum tak lepas dari wajah sang Dewa yang memiliki dagu belah. Pembawaannya begitu tenang, seakan-akan mampu menyihir Larasati sehingga terus memandangi sampai pria tersebut turun dan duduk bergabung di sisi kanan."Bagaimana keadaan A
"Assalamualaikum, Pandhita." Larasati memberi salam. Pria bersorban berbalik, memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari yang Larasati kira. " Waalaikumsalam." Seketika Larasati terkejut, ternyata sang Ulama bukanlah Syekh Maulana Ngali Samsujen, meski memiliki postur tubuh yang hampir sama dan sama-sama berwajah Persia. "Siapa, Nona, ini?" Pria tersebut bersikap ramah.Sadar telah salah orang, Larasati mengedipkan mata sembari tersenyum bodoh. "Maaf, tadi saya mengira Anda ... guru saya." Sang Ulama tersenyum menyikapi. "Silakan duduk dulu." Pria bersorban mengarahkan sebelah tangan dan mengambil tempat duduk bersila di lantai. Begitu juga Larasati yang segera menekuk lutut agar dapat bersimpuh. "Bagaimana Nona bisa mengira saya guru Nona? Siapa guru Nona?" tanya sang Ulama. "Saya akan menceritakan suatu kisah. 900 tahun yang lalu ...." Ingatan Larasati mulai menerawang. *** Jayabhaya kedatangan seorang ulama dari Mekkah. Dia segera turun dari singgasana menyambut baik tamu y
Di hutan, Larasati sedang mengarahkan anak panah pada seekor rusa di semak-semak. Namun, bidikannya meleset. Si hewan yang merasa terancam lari tunggang langgang. Pramesti dan Sasanti mentertawai gadis itu di belakang, lalu keduanya melangkah menghampiri. "Ah, sial!" Larasati menjadi kesal. "Cara memanahmu tidak terlalu bagus, Larasati," kata Pramesti. Larasati menoleh sang kakak dan menatap benci. "Kau harus belajar dariku, Kak!" ejek Sasanti. Larasati tak peduli, dia mengalihkan pandangan ke depan seraya mengayunkan tungkai. "Kalian berdua, senang sekali melihat kegagalanku." "Kakak, kau tak perlu khawatir. Aku benar-benar akan memperbaiki cara memanahmu." Sasanti menggoda gadis berkemban dengan bawahan rok putih itu, lalu bersama Pramesti mengimbangi langkah di belakang. "Sudahlah, jangan bersikap seperti anak kecil! Nanti Kakak buatkan sup jamur kesukamu. Lihat, Kakak mendapatkan banyak hari ini!" bujuk Pramesti dengan memperlihatkan rentengan tumbuhan berbentuk payung dala
Turun dari pesawat, Li Jing dan Larasati segera melangkah ke luar dari bandara. Ada beberapa orang berjas hitam mengapit keduanya, mereka adalah para bodyguard yang diminta Li Jing untuk mengamankan jalan. Walau telah memakai masker, aktor tampan tersebut masih menghalangi pandangan dengan cara menunduk. Namun, tetap saja ada yang mengenali dia hanya karena membawa asisten artis bernama Dong Min di sisi kanan. Para penggemar mulai bergerak mengerumuni, memfoto, dan berteriak histeris, bahkan di antara mereka ada yang berdesak-desakkan untuk melihat lebih jelas sang idola. Hal itu membuat Larasati kebingungan sehingga terus memperhatikan ke sekitar seraya memelankan langkah di belakang. Li Jing segera menyambar tangan bidadari itu. "Cepat!" perintahnya sembari menyeret Larasati menuju halaman. Pengawal membuka pintu, Li Jing memasukkan Larasati ke dalam mobil, disusul dia kemudian dari sisi kanan. Sementara itu, Asisten Dong Min segera menempati kursi kemudi. Setelah menyalakan me
Jumpa pers untuk acara promosi film tiba. Li Jing datang bersama Larasati dan juga Asisten Dong Min. Pria berkaus putih tersebut melempar senyum pada awak media, lalu beralih menatap Ying Fei dan Han yang berada tak jauh di depan. Wartawan segera mewawancarai. "Li Jing, siapakah Nona ini?""Apakah benar dia seorang penyihir?" "Lalu, bagaimana kalian bisa saling mengenal?" Sejenak Li Jing tersenyum menoleh Larasati di samping kiri, sebelum akhirnya, menoleh kembali awak media. "Dia temanku, Larasati. Kami bertemu saat sama-sama berlibur di Bali, setelah saling mengenal kami memutuskan untuk menjadi teman. Dia penyihir dari suku Jawa atau biasa dikenal sebagai dukun di berbagai belahan dunia," katanya. "Dukun?" Mata Larasati membelalak lebar, seketika dia menoleh aktor bergaya modis tersebut karena tak mengerti apa yang sedang dia katakan. "Soal kejadian di Asian Film Awards, aku meminta maaf. Dia memang suka lepas kendali, tapi semua tanpa kesengajaan." Li Jing mengklarifikasi.B
Di halaman, Larasati gugup sendiri sewaktu berjalan bersama pelayan tua di belakangnya. "Kalau begini aku bisa terlambat!" keluh Larasati yang memperhatikan pakaian sembari mengangkat bagian bawah kain jarik. "Putri, itu merusak dandananmu!" Pelayan memperingatkan, tetapi Larasati tidak peduli. Dia melanjutkan langkah sebelum terhenti kembali karena terkejut dengan sesosok pria di depan mata. Dharmasura 'Raja Asura dari Karpala' datang bersama Perdana Menteri Lokasura. Ketika melihat Larasati, sang Raja terpesona hingga matanya tak berkedip. Namun, semanis apa pun senyum yang dia berikan Larasati dingin hati. Gadis itu justru berlalu pergi. "Siapa putri cantik itu?" tanya Dharmasura pada Lokasura. "Dewi Laras Kencana, sang Prabu. Atau disebut juga Putri Larasati. Anak keempat Raja Jayabaya," jawab pria berparas tampan tersebut. Meski namanya Lokasura, tetapi Perdana Menteri Istana Karpala tersebut berwujud manusia, bukan golongan dari bangsa Asura. Selain tegas, pria bertubuh g