Setelah sidang resmi digelar, pikiranku semrawut. Semakin tak tenang berada di dalam sidang tertutup ini. Sementara Salma juga sama tegangnya denganku. Hakim Ketua masih terus melanjutkan sidang ini dengan seksama. Tapi tidak denganku, aku tidak bisa mengikutinya. Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku harus bertindak, sesuai dengan hati nuraniku.
"Baiklah, jika tidak ada kendala maka sidang akan diputuskan,--"
"Tunggu, Pak Hakim Ketua," ucapku memotong pembicaraan Hakim Ketua.
"Iya, saudara Rama, apa ada yang ingin disampaikan?" tanya Hakim Ketua.
Bab : 56. Dendam Yang Tersimpan"Oke, langsung saja, karena aku orangnya tak suka basa-basi. Maukah kamu bekerja sama denganku?"Mataku membulat mendengarkan tawarannya."Siapa kamu?" ucapku tajam.Aku tak tahu siapa wanita ini dan apa maunya. Lalu tiba-tiba datang dan menawarkan kerjasama. Kerjasama apa yang ingin ditawarkan padaku? Aku hanya tukang ojek."Kenalkan, namaku Melani. Mantan pacarnya Daffa,"Mataku membulat. Daffa kan, pengacaranya Salma.
Bab : 57. Bertahanlah, Salma!POV AUTHORMenjelang sore, nampak sepasang sahabat tengah menyusuri jalan menikmati indahnya sore hari. Salma berkali-kali menghembuskan nafas lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Seakan menghilangkan beban yang ada di dalam hatinya."Sal, rasanya udah lama aku tak jalan-jalan seperti ini, ternyata menyenangkan," ucap Rani dengan mata yang tak lepas memperhatikan sekeliling."Kamu kan sibuk terus, Ran, makanya sering-sering lah main kesini. Kita kan bisa jalan-jalan bareng,""Coba kalau Daffa ikut ya, pasti seru,"
Bab : 58Kondisi Salma saat ini.***Rasanya bagaikan tersambar petir mendengar kabar dari Papa. Tanganku masih gemetaran memegang ponsel. Bagaimana mungkin? Salma ketabrak? Kata Papa, Salma jadi korban tabrak lari, dan sekarang kondisinya parah. Tak mau menunggu waktu lagi, ku tancap gas menuju rumah sakit dimana kini Salma dirawat. Entahlah aku ngebutnya seperti apa, yang jelas rasanya ingin cepat sampai ke rumah sakit. Salma, bertahanlah.Setelah memarkir motor, aku langsung bergegas lari di depan ruangan dimana kini Salma berada. Lututku sangat lemas ketika mendapati Salma tengah berada di ruang ICU sekarang. Dan nampak semua orang menangis menunggu Salma yang berada di dalam. Ya Allah, Sal, mengapa jadi seperti ini?"Gimana kondisi Salma, Ran?" tanyaku pada Rani."Salma mengeluarkan banyak darah, sampai sekarang masih ditangani Dokter, Ram," ucap Rani dengan suara bergetar.Tubuhku bergetar hebat mendengar ucapan Rani. Mama nampak masih menangis di pelukan Papa. Begitupun Papa,
Bab : 59Pertemuan Yang Mengharukan.***Saat tengah merenung, mataku menangkap sosok seseorang yang pernah kukenal sedang panik membuntuti Suster mendorong ranjang. Bukankah tadi, Silvia? Lalu, siapa yang sakit? Nuraniku mengatakan, aku harus mengejarnya. Tak ingin kehilangan kesempatan, aku pamit pada Paman sebentar untuk mengejar Silvia. Entahlah, aku tak tahu kenapa ingin mengejarnya. Yang jelas, saat ini aku sangat ingin menemuinya.Saat masuk ke lorong arah Silvia tadi, ternyata lorong sudah sangat sepi. Tak kutemukan lagi suara roda ranjang berjalan seperti tadi. Sial, aku kehilangan jejak. Aku berjalan gontai ingin kembali bersama Paman. Namun tak lama, aku melihat Silvia dari jauh, tak tahu mau kemana yang jelas dari raut wajahnya dia nampak panik sekali."Silvia!" Seketika dia menoleh mendengar panggilanku. Silvia membelalakkan matanya saat tahu bahwa aku berada di belakangnya. Aku berlari dengan tergesa dan menghampirinya."Ya Allah, Mas Rama, alhamdulillah ya Allah, akhi
Bab : 60Titik terberat bagi seorang anak.***Saat sampai di depan ruangan Salma, Mama dan Papa sudah berkumpul dengan Paman Hartono. Mama juga sudah siuman walaupun mukanya masih pucat. Paman terlihat sangat terkejut dengan kehadiran kami seperti ini, terlebih saat melihat Ibu. Begitu juga Mama dan Papa, matanya nampak tak berkedip saat melihat Ibu yang tak berdaya diatas kursi roda."Retno," lirih Paman. Mungkin syok melihat Ibu yang kurus seperti ini."Hartono, aku minta maaf kalau selama ini sudah kasar sama kamu," ucap Ibu pada Paman, lirih sekali. Dan terlihat Ibu menyeka air matanya."Sudahlah, Retno, tak perlu minta maaf seperti itu. Aku sudah ikhlas, yang penting saat ini kamu cepet sembuh," ujar Paman. Ibu menggeleng lemah. "Aku titip anak-anakku, Hartono." Aku mengusap punggungnya pelan, menguatkan kalau Ibu harus kuat dan sembuh agar bisa kembali ke rumah bersamaku."Pasti, Retno. Mereka keponakanku, aku akan menjaganya segenap jiwaku." Ibu menyuruhku mendorong kursi
Bab : 61Dibalik cobaan yang berat.***Kini, tinggal aku dan Paman Hartono yang berdiri di pemakaman Ibu. Tak lama kutemukan keberadaan Ibu, lalu kini aku kembali kehilangan untuk selama-lamanya. Tenanglah dialam sana, Bu, aku ikhlas dan ridho dengan kepergianmu. Bahagialah disana, Bu. Dan sampai kapanpun aku tetaplah milikmu."Sudah, Ram, sudah." Paman Hartono kembali merangkul bahuku ketika beberapa kali aku mencium batu nisan yang baru tertancap ini. Lantas Paman mengajakku beranjak dari tempat ini."Ibu … Ibu kenapa pergi secepat ini, Bu, hik … hik … Ibu kenapa tak menunggu kedatanganku? Hmm …." Aku terkejut ketika tiba-tiba datang seorang perempuan yang tergopoh meraung di pemakaman Ibu.Aku mencengkram bahu Paman, pertanda bahwa aku bertanya, siapa dia? Dan Paman juga sama tercengangnya denganku. Siapa wanita ini? Berpakaian baju serba hitam dan mengenakan kacamata hitam dengan selendang di bahunya. Aku dan Paman hanya mematung. Menunggu reaksi perempuan ini, dan ingin memast
Bab : 62Meminta kesempatan sekali lagi.***"Aku ikut berduka cita ya, Ram," ucap Rani yang berada disisi Salma yang lain. "Iya Ran, terima kasih." "Sabar, Ram, yang ikhlas yang legowo. Agar Ibumu tenang disana," ucap Papa yang sedari tadi mengelus bahuku."Mama …." Sania tiba-tiba memeluk Salma dengan kencang hingga Salma meringis. "Jangan, Sayang. Tuh liatin, punggung Mama masih sakit," ujarku dengan menggendong Sania. Sungguh, menggemaskan sekali tingkahnya. Dan Salma hanya tersenyum melihat tingkah Sania."Kan Sania kangen sama Mama, ayo pulang lah Ma, Sania bosen di sini terus." Sontak seisi ruangan tertawa mendengar celoteh cempreng Sania. Dan aku pun tak kalah gemas, kupeluk dan ku pencet hidungnya yang menggemaskan ini."Nanti juga pulang, Sayang. Tunggu Mama pulih dulu, ya." Salma pun bersuara juga untuk menenangkan Sania."Yaudah deh, tapi nanti Papa ikut pulang Sania, kan? Sania kangen bercanda dengan Papa," Glekk!Ku teguk ludah ini kuat-kuat. Jujur saja aku bingung
BAB : 63Kembali Merajut Cinta.***Tak terasa sudah seminggu Salma berada di rumah sakit ini. Dan sore ini Dokter sudah mengizinkan Salma pulang. Selama seminggu ini aku menjaga Salma, dan kadang bergantian dengan Mama. Paman dan Fera sudah balik ke Bandung, karena pekerjaan yang tak bisa ditinggal lama. Aku sudah mengikrarkan untuk rujuk kembali dengan Salma, dan disaksikan oleh kerabat terdekat kami. Dan mulai saat ini aku akan menjaganya dengan sepenuh hatiku."Yee … Mama sama Papa udah pulang." Sania terlihat senang sekali melihat kedatangan kami. Ya, Papa yang menjemput kami di rumah sakit sedangkan Mama dan Sania menunggu dirumah. Salma turun dari mobil dengan dituntun oleh Mama, luka di punggungnya sudah lumayan kering tapi harus rutin minum obat sampai benar-benar pulih."Kamu istirahat ya, Sayang! Jangan banyak bergerak dulu, Mas mau pulang ke kontrakan," ucapku setelah mengantarkan Salma untuk istirahat. "Kok, aku mau ditinggal lagi, Mas?" ucapnya sembari bersiap ingin m
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin