"Ayo kita ke kamar, Zhee!" ajak Reza sambil merangkul pundakku.
Aku pasrah meskipun hatiku teramat berat tapi apalah dayaku. Aku benar-benar gelisah, bagaimana kalau dokter datang terlambat terlanjur Arjun melakukan hubungan intim sama Diana.
Ting ... tong ... ting ... tong! Bel pintu berbunyi. Plong! Dadaku terasa ada yang terlepas dan lega.
"Biar aku yang membuka, Zhee!" ucap Reza.
Hampir saja kaki menitih tangga, akhirnya kami berdua membalikkan badan. Karena penasaran aku mengikuti Reza membuka pintu.
"Selamat malam," sapa seseorang di depan pintu.
"Iya, siapa ya?" tanya Reza.
"Saya Dokter Sahid," katanya.
"Iya dokter silakan masuk!" sahutku mempersilahkan masuk takut keburu Reza menolaknya.
"Kamukah yang memanggil dokter, Zhee?" tanya Reza berbisik.
"Betul, Mas Reza. Arjun harus segera mendapat pertolongan," jawabku.
"Kenapa sih kamu kepo dengan urusan mereka?" ketus Reza lirih.
"Mas
"Zhee!" teriak Arjun yang muncul dari kamarnya dengan berjalan terhuyung-huyung dan memegang kepalanya. "Aku harus pulang duluan, Arjun!" ketusku. "Aku akan mengantarmu!" teriak Arjun. "Dengan keadaanmu yang seperti itu? Yang ada kamu bukan melindungi aku malah membebaniku, Arjun!" ketusku. "Kamu tega bicara seperti itu kepadaku?" tanya Arjun sedih. Entah kenapa hatiku sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Yang ada hanya emosi menahan cemburu hingga terasa tak sanggup bernapas. Saat kakiku hendak melangkah lagi Reza bergegas menyambar tubuh mungilku dan membopongku ke kamar atas. "Lepaskan! Mas Reza, lepaskan aku!" teriakku histeris. "Arjuuuuun, tolong aku!" jeritku kemudian. "Coba saja kalau berani?" hardik Reza. Aku menatap Arjun yang serba salah, sementara tangan Diana melingkar di lengan Arjun. Dia hanya menatapku iba dengan mata berkaca-kaca. Aku benci dengan sifat lemahmu ... dengan ketidakberdayaanmu, Arju
Tersiksa sekali menahan rindu kepada Arjun. Sudah tiga hari aku menghindari Arjun. Tidak terbayang betapa sakit dan hancurnya hatiku. "Ayo kita turun sarapan, Zhee!" "Makanlah sendiri, Mas Reza, aku belum lapar," jawabku. "Aku tahu kamu menghindar dari Arjun kan? Sampai kapan, Zhee? Jangan sakiti dirimu sendiri! Aku tidak ingin melihat dirimu terpuruk seperti ini," ujar Reza sedih. Aku diam tidak menjawab, air mataku deras mengalir di pipiku. "Kamu merindukannya bukan?" bisik Reza di telingaku. Aku berdiri di depan cermin kemudian dia memeluk tubuhku dari belakang. Tangannya mendekap dan meremas tanganku dengan kuat. "Kenapa hatiku sesakit ini, Zhee. Melihat istriku sedang terang-terangan merindukan lelaki lain," bisik Reza meratap di telingaku. Sontak hatiku terasa teriris, membayangkan aku diposisi Reza. Seorang istri yang sangat dicintainya dengan segenap jiwa raganya sedang menangis merindukan lelaki lain. Apa
"Aku yakin ada mahluk lain di kamar ini," gumamnya asal. Tiba-tiba dia melepas bajunya satu-persatu dengan tanpa canggung lagi. "Aku tidak peduli, aku atau kamu yang malu," ujarnya mengancam. Sontak hatiku berdebar kencang dia benar-benar tidak malu lagi melepas bajunya bahkan tinggal boxer hitam yang melekat di tubuhnya. "Berhenti!" teriakku. Akhirnya aku menyerah, aku keluar dari tempat persembunyianku. "Kamu gila ya?" ketusku. "Ini tempatku, aku bisa melakukan apa saja di sini. Karena kamu adalah istriku, boleh deh berbagi tempat, hiks ... hiks ... hiks!" candanya. Aku tidak tertarik dengan candaannya. Hatiku masih bergejolak karena malu dan tertantang gelora birahiku. Tubuhnya yang tinggi dan kekar berotot serta putih bersih sangat tampan. Aku terkesima, gejolak di dadaku meletup-letup mau meledak. Perlahan aku menghampirinya sambil menutupi wajahku karena malu. Dengan sigap Arjun meraih tanganku sehingga tubuhku ja
"Hanya karena gadis itu menarik tangan papanya kamu menganggap gadis itu tidak mau menolongmu?" tanyaku geram. "Iya, dia pasti jijik melihat kami hanyalah orang rendahan. Apalagi keadaan papaku yang berlumuran darah pasti mereka lebih jijik lagi takut akan mengotori mobilnya!" ungkap Arjun. "Darimana kamu bisa berpikiran seperti itu? Ternyata salah aku menganggap kamu seseorang yang pantas menjadi imamku. Aku kira kamu sudah dewasa di usia kamu yang jauh lebih muda dari aku. Ternyata itu juga salah," ketusku. "Aku benci ada orang lain mengusik masa laluku!" hardiknya. "Apa kamu tenang hidup dengan rasa dendammu itu? Ceritakan padaku apa yang akan kamu lakukan bila bertemu gadis itu? Kamu akan membunuhnya? Kamu mengancam akan membuatnya menderita, penderitaan yang seperti apa?" hardikku bertanya. "Diam! Jangan ikut campur, Zhee! Kamu tidak tahu betapa aku menderita hidup sebatang kara sejak berusia tujuh tahun, Zhee!" teriak Arjun makin e
Ini hari kedua aku terbaring di rumah sakit. Rasa jenuh dan bosan mencekamku. Sebentar -sebentar aku menatap layar ponsel baik ponsel yang khusus buat komunikasi sama Reza maupun ponsel lain khusus buat komunikasi sama Arjun. Aku tercekam kesepian, dada serasa mau meledak menahan perasaan dengan berbagai macam rasa. Aku merasa sekarang semua orang sedang meninggalkan aku sendiri. Aku mencoba turun dari tempat tidur dan berjalan keluar. Aku duduk mencari udara segar di taman. Dari jauh aku melihat Arjun berjalan menuju kamar inapku. Bergegas aku mencari tempat sembunyi. Baju rumah sakit aku lepas dan kutinggalkan di bangku taman. Aku berlari menyelinap meninggalkan rumah sakit. Tiba-tiba perutku terasa nyeri sekali kepalaku serasa berputar. Aku meninggalkan dua ponselku di kamar. Untung aku tak sengaja membawa dompet. Aku melihat taksi sedang menurunkan penumpang di depanku, kebetulan akhirnya aku segera naik. "Kemana Nyonya?" tanya sopir taksi. "Ke ho
Ivan membelikan aku ponsel baru, juga baju-baju baru. Sudah dua Minggu aku berada di Hotel Clareza. Kadang perasaan rindu yang tidak tertahan membuat aku berkeliaran kaya orang gila hanya ingin mengintip Reza maupun Arjun."Ngapain kamu di sini?" tanya Ivan yang memergoki aku sedang menyamar duduk di bangku lobi. Aku mengenakan hoodie dengan kacamata hitam dan masker."Kalau kamu saja masih mengenali aku, apalagi mereka. Kok kamu tahu kalau ini aku, darimana sih, penasaran?" tanyaku berbisik."Aroma tubuhmu, perawakanmu dan ...""Pak Ivan!" teriak Arjun memanggil.Bagai sebongkah batu menghantam dadaku sontak lemas tiada berdaya. Itu suara Arjun memanggil Ivan, aku tidak berani menoleh bahkan bergeming."Cepat pergi dari sini, Ivan! Jangan sampai dia datang ke sini!" desakku.Reza dan Arjun berjalan menghampiri Ivan. Bergegas Ivan berlari ke arah mereka. Mereka bertiga berdiri di belakangku tak jauh dari aku duduk. Napasku terasa terh
Hatiku begitu hancur, minggu depan Arjun menikah. Sedang saat ini posisi hubunganku dengannya sedang tidak baik-baik saja. Ivan masih merangkul pundakku menunggu di depan lift. Aku masih memeriksa ponselku. "Bos Reza!" teriak Ivan membangunkan konsentrasiku. Segera aku membalikkan badan dan memeluk Ivan untuk menyembunyikan wajahku. "Ivan, bantu Arjun menyiapkan untuk pernikahannya di sini!" perintah Reza. "Oh pernikahan diadakan di sini, Bos?" tanya Ivan terkejut. "Emang kamu belum mendapat undangan?" tanyanya. "Sudah, Bos, Tapi belum sempat aku periksa," jawab Ivan. "Siapa dia?" bisik Reza bertanya sambil menunjuk ke arahku yang berada dalam dekapan Ivan. "Oh dia pacar saya, Bos. Biasa kita lagi bertengkar, dia sedang menangis," bisik Ivan. "Permisi saya mau mengantar dia ke kamarnya," ujar Ivan sambil memeluk dan menarik tubuhku masuk ke lift. Reza menatap penasaran sampai akhirnya lift tert
Ivan mengantar aku ke ruanganku. Aku mulai diperkenalkan dengan teman-teman tim kerjaku. "Mayang, ini ketua tim kerja kamu namanya Rodeo," Ivan memperkenalkan. "Selamat siang, Pak Rodeo," sapaku. "Selamat siang, Mayang," jawab Rodeo. Setelah aku berjabat tangan dengan ketua tim disambung dengan jabat tangan dengan teman-teman yang lain. Tim kami ada enam orang dua diantara wanita, yaitu aku dan Diah. Aku bersyukur mereka ramah-tamah dan open menerimaku. "Rodeo, kalau ada masalah aku siap membantu. Aku titip sepupuku tolong dibantu ya?" pesan Ivan kepada Rodeo. "Beres, Pak Ivan. Jangan khawatir!" jawabnya. "Mayang, semangat bekerja ya!" pesan Ivan sambil mengepal dan mengangkat tangannya. Dan aku pun membalasnya dengan reflek. Ivan pergi meninggal ruanganku. "Ayo kita makan siang! Habis itu kita rapat memabahas rencana pernikahan Pak Arjun," ujar Rodeo. "Ayo Mayang," ajak Diah kemudian menggandeng tangank