"Hanya karena gadis itu menarik tangan papanya kamu menganggap gadis itu tidak mau menolongmu?" tanyaku geram.
"Iya, dia pasti jijik melihat kami hanyalah orang rendahan. Apalagi keadaan papaku yang berlumuran darah pasti mereka lebih jijik lagi takut akan mengotori mobilnya!" ungkap Arjun.
"Darimana kamu bisa berpikiran seperti itu? Ternyata salah aku menganggap kamu seseorang yang pantas menjadi imamku. Aku kira kamu sudah dewasa di usia kamu yang jauh lebih muda dari aku. Ternyata itu juga salah," ketusku.
"Aku benci ada orang lain mengusik masa laluku!" hardiknya.
"Apa kamu tenang hidup dengan rasa dendammu itu? Ceritakan padaku apa yang akan kamu lakukan bila bertemu gadis itu? Kamu akan membunuhnya? Kamu mengancam akan membuatnya menderita, penderitaan yang seperti apa?" hardikku bertanya.
"Diam! Jangan ikut campur, Zhee! Kamu tidak tahu betapa aku menderita hidup sebatang kara sejak berusia tujuh tahun, Zhee!" teriak Arjun makin e
Ini hari kedua aku terbaring di rumah sakit. Rasa jenuh dan bosan mencekamku. Sebentar -sebentar aku menatap layar ponsel baik ponsel yang khusus buat komunikasi sama Reza maupun ponsel lain khusus buat komunikasi sama Arjun. Aku tercekam kesepian, dada serasa mau meledak menahan perasaan dengan berbagai macam rasa. Aku merasa sekarang semua orang sedang meninggalkan aku sendiri. Aku mencoba turun dari tempat tidur dan berjalan keluar. Aku duduk mencari udara segar di taman. Dari jauh aku melihat Arjun berjalan menuju kamar inapku. Bergegas aku mencari tempat sembunyi. Baju rumah sakit aku lepas dan kutinggalkan di bangku taman. Aku berlari menyelinap meninggalkan rumah sakit. Tiba-tiba perutku terasa nyeri sekali kepalaku serasa berputar. Aku meninggalkan dua ponselku di kamar. Untung aku tak sengaja membawa dompet. Aku melihat taksi sedang menurunkan penumpang di depanku, kebetulan akhirnya aku segera naik. "Kemana Nyonya?" tanya sopir taksi. "Ke ho
Ivan membelikan aku ponsel baru, juga baju-baju baru. Sudah dua Minggu aku berada di Hotel Clareza. Kadang perasaan rindu yang tidak tertahan membuat aku berkeliaran kaya orang gila hanya ingin mengintip Reza maupun Arjun."Ngapain kamu di sini?" tanya Ivan yang memergoki aku sedang menyamar duduk di bangku lobi. Aku mengenakan hoodie dengan kacamata hitam dan masker."Kalau kamu saja masih mengenali aku, apalagi mereka. Kok kamu tahu kalau ini aku, darimana sih, penasaran?" tanyaku berbisik."Aroma tubuhmu, perawakanmu dan ...""Pak Ivan!" teriak Arjun memanggil.Bagai sebongkah batu menghantam dadaku sontak lemas tiada berdaya. Itu suara Arjun memanggil Ivan, aku tidak berani menoleh bahkan bergeming."Cepat pergi dari sini, Ivan! Jangan sampai dia datang ke sini!" desakku.Reza dan Arjun berjalan menghampiri Ivan. Bergegas Ivan berlari ke arah mereka. Mereka bertiga berdiri di belakangku tak jauh dari aku duduk. Napasku terasa terh
Hatiku begitu hancur, minggu depan Arjun menikah. Sedang saat ini posisi hubunganku dengannya sedang tidak baik-baik saja. Ivan masih merangkul pundakku menunggu di depan lift. Aku masih memeriksa ponselku. "Bos Reza!" teriak Ivan membangunkan konsentrasiku. Segera aku membalikkan badan dan memeluk Ivan untuk menyembunyikan wajahku. "Ivan, bantu Arjun menyiapkan untuk pernikahannya di sini!" perintah Reza. "Oh pernikahan diadakan di sini, Bos?" tanya Ivan terkejut. "Emang kamu belum mendapat undangan?" tanyanya. "Sudah, Bos, Tapi belum sempat aku periksa," jawab Ivan. "Siapa dia?" bisik Reza bertanya sambil menunjuk ke arahku yang berada dalam dekapan Ivan. "Oh dia pacar saya, Bos. Biasa kita lagi bertengkar, dia sedang menangis," bisik Ivan. "Permisi saya mau mengantar dia ke kamarnya," ujar Ivan sambil memeluk dan menarik tubuhku masuk ke lift. Reza menatap penasaran sampai akhirnya lift tert
Ivan mengantar aku ke ruanganku. Aku mulai diperkenalkan dengan teman-teman tim kerjaku. "Mayang, ini ketua tim kerja kamu namanya Rodeo," Ivan memperkenalkan. "Selamat siang, Pak Rodeo," sapaku. "Selamat siang, Mayang," jawab Rodeo. Setelah aku berjabat tangan dengan ketua tim disambung dengan jabat tangan dengan teman-teman yang lain. Tim kami ada enam orang dua diantara wanita, yaitu aku dan Diah. Aku bersyukur mereka ramah-tamah dan open menerimaku. "Rodeo, kalau ada masalah aku siap membantu. Aku titip sepupuku tolong dibantu ya?" pesan Ivan kepada Rodeo. "Beres, Pak Ivan. Jangan khawatir!" jawabnya. "Mayang, semangat bekerja ya!" pesan Ivan sambil mengepal dan mengangkat tangannya. Dan aku pun membalasnya dengan reflek. Ivan pergi meninggal ruanganku. "Ayo kita makan siang! Habis itu kita rapat memabahas rencana pernikahan Pak Arjun," ujar Rodeo. "Ayo Mayang," ajak Diah kemudian menggandeng tangank
"Berhenti!" Arjun berteriak menghentikan langkahku. "Kamu tahu berapa harga ponselku? Sampai kapan aku menunggu ponselku kau ganti? Ponselku saat ini sangat penting untuk komunikasi karena banyak hal yang harus saya selesaikan untuk persiapan pernikahanku," ujar Arjun. Aku berhenti tapi tidak berani menoleh. Dia begitu serius dalam mempersiapkan acara pernikahannya. "Jangan khawatir, besuk saya belikan!" janjiku. "Emangnya kamu tahu betapa harganya? Kamu punya uang?" oloknya. Hatiku teramat sakit, sekarang dia bahkan berani menghinaku seperti ini. Hanya kamu yang bisa melakukannya, Arjun. Bahkan Reza tidak sampai hati bicara seperti itu kepada orang lain apalagi kepadaku. "Kugadaikan rumahku untuk mengganti ponsel anda," ujarku geram, kemudian melangkah pergi. "Pedas banget sih!" ketusnya. "Tapi ngomong-ngomong kenapa aroma tubuhmu kok sama dengan dia," katanya kemudian. Aku melanjutkan melangkah tanpa menoleh lagi maup
Dekorasi dan katering serta susunan acara sudah tertata sesuai harapan. Akhirnya akad nikah di adakan di taman hotel, sesuai keinginan Diana. Diana sudah siap dengan gaun kebaya modern yang didesain oleh desainer kondang. Seirama dengan warna setelan jas putih yang dikenakan Arjun. Tema Nirwana dengan glamor serba putih. Demikian juga tamu undangan diminta mengenakan warna putih. Aku mengenakan setelan celana blezer lengan panjang warna putih. Kini aku berada di tengah-tengah acara pernikahan Arjun bukan karena pekerjaan, melainkan aku datang sebagai istri yang sedang mengandung anaknya. Rasa sakit dan cemburu tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahkan aku takut tidak bisa mengendalikan diri dan akhirnya pingsan lagi. Bila itu terjadi semua orang akan mengenali siapa aku? Acara belum di mulai karena penghulu belum datang. Arjun tampak gelisah, dia mondar-mandir menjauh dari orang-orang. Sedang Reza hanya tertegun dan sebentar-sebentar menatap layar
Aku melangkah mundur dan terus mundur sambil membawa beban di dada yang semakin berat dan membuat sesak bernapas. Kepalaku pun mendadak berat dan berputar-putar. Akhirnya aku pun roboh, untung saja Ivan berlari menangkap tubuhku, dia berdiri tak jauh dariku. "Mayang!" panggilnya lirih. Aku masih bisa mendengarnya meskipun samar-samar. "Ada apa, Ivan?" tanya Reza saat Ivan berlalu di depan Reza sambil membopong aku. "Dia pingsan, dia sedang kecapekan saja, Pak Presdir," jawab Ivan. Aku merasa Ivan berjalan begitu jauh, ternyata dia membawa aku ke asramaku. Tubuhku lemah tak berdaya, aku bukan saja kehilangan tenagaku tapi juga akalku. Sempat putus asa ingin mati saja rasanya. Beban ini terlalu berat untuk kutanggung sendiri. "Kenapa aku tidak mati saja," gumamku lirih. "Kamu sudah sadar, Zhee? Apa yang terjadi? Kamu harus kuat demi bayimu, Zhee!" ujar Ivan memberi semangat. "Hilang sudah kesempatanku untuk bersatu dengan
"Keluarga pasien!" teriak perawat memanggil. "Iya saya, Sus!" "Silakan masuk, dokter menunggu di dalam?" ujar perawat. Aku melihat Reza mengikuti perawat masuk. Dengan menahan perasaan gugup aku masih berpura-pura pingsan. Rasa malu karena tingkah kekanakanku membuatku enggan membuka mata. "Bagaimana keadaan istri saya. Dok?" tanya Reza. "Dia stres. Sepertinya dia lemah karena dia tidak makan dan kurang tidur," kata dokter. "Bagaimana bayinya, Dok?" tanya Reza lagi. "Bayinya sehat, ini detak jantungnya," kata dokter sambil memainkan alat USG. "Ini bayinya, Pak," katanya sambil menunjukkan di gambar. "Tolong dijaga makan dan pola tidurnya!" pesan dokter. "Jangan sampai dia stres!" lanjutnya. "Baik, Dokter. Saya akan menjaganya dengan segenap jiwa saya," jawab Reza. "Harus itu, apalagi kandungannya sangat lemah." "Kenapa dia belum sadar juga, Dokter?" tanya Reza khawatir. "Tunggu saja!"