Tersiksa sekali menahan rindu kepada Arjun. Sudah tiga hari aku menghindari Arjun. Tidak terbayang betapa sakit dan hancurnya hatiku.
"Ayo kita turun sarapan, Zhee!"
"Makanlah sendiri, Mas Reza, aku belum lapar," jawabku.
"Aku tahu kamu menghindar dari Arjun kan? Sampai kapan, Zhee? Jangan sakiti dirimu sendiri! Aku tidak ingin melihat dirimu terpuruk seperti ini," ujar Reza sedih.
Aku diam tidak menjawab, air mataku deras mengalir di pipiku.
"Kamu merindukannya bukan?" bisik Reza di telingaku.
Aku berdiri di depan cermin kemudian dia memeluk tubuhku dari belakang. Tangannya mendekap dan meremas tanganku dengan kuat.
"Kenapa hatiku sesakit ini, Zhee. Melihat istriku sedang terang-terangan merindukan lelaki lain," bisik Reza meratap di telingaku.
Sontak hatiku terasa teriris, membayangkan aku diposisi Reza. Seorang istri yang sangat dicintainya dengan segenap jiwa raganya sedang menangis merindukan lelaki lain. Apa
"Aku yakin ada mahluk lain di kamar ini," gumamnya asal. Tiba-tiba dia melepas bajunya satu-persatu dengan tanpa canggung lagi. "Aku tidak peduli, aku atau kamu yang malu," ujarnya mengancam. Sontak hatiku berdebar kencang dia benar-benar tidak malu lagi melepas bajunya bahkan tinggal boxer hitam yang melekat di tubuhnya. "Berhenti!" teriakku. Akhirnya aku menyerah, aku keluar dari tempat persembunyianku. "Kamu gila ya?" ketusku. "Ini tempatku, aku bisa melakukan apa saja di sini. Karena kamu adalah istriku, boleh deh berbagi tempat, hiks ... hiks ... hiks!" candanya. Aku tidak tertarik dengan candaannya. Hatiku masih bergejolak karena malu dan tertantang gelora birahiku. Tubuhnya yang tinggi dan kekar berotot serta putih bersih sangat tampan. Aku terkesima, gejolak di dadaku meletup-letup mau meledak. Perlahan aku menghampirinya sambil menutupi wajahku karena malu. Dengan sigap Arjun meraih tanganku sehingga tubuhku ja
"Hanya karena gadis itu menarik tangan papanya kamu menganggap gadis itu tidak mau menolongmu?" tanyaku geram. "Iya, dia pasti jijik melihat kami hanyalah orang rendahan. Apalagi keadaan papaku yang berlumuran darah pasti mereka lebih jijik lagi takut akan mengotori mobilnya!" ungkap Arjun. "Darimana kamu bisa berpikiran seperti itu? Ternyata salah aku menganggap kamu seseorang yang pantas menjadi imamku. Aku kira kamu sudah dewasa di usia kamu yang jauh lebih muda dari aku. Ternyata itu juga salah," ketusku. "Aku benci ada orang lain mengusik masa laluku!" hardiknya. "Apa kamu tenang hidup dengan rasa dendammu itu? Ceritakan padaku apa yang akan kamu lakukan bila bertemu gadis itu? Kamu akan membunuhnya? Kamu mengancam akan membuatnya menderita, penderitaan yang seperti apa?" hardikku bertanya. "Diam! Jangan ikut campur, Zhee! Kamu tidak tahu betapa aku menderita hidup sebatang kara sejak berusia tujuh tahun, Zhee!" teriak Arjun makin e
Ini hari kedua aku terbaring di rumah sakit. Rasa jenuh dan bosan mencekamku. Sebentar -sebentar aku menatap layar ponsel baik ponsel yang khusus buat komunikasi sama Reza maupun ponsel lain khusus buat komunikasi sama Arjun. Aku tercekam kesepian, dada serasa mau meledak menahan perasaan dengan berbagai macam rasa. Aku merasa sekarang semua orang sedang meninggalkan aku sendiri. Aku mencoba turun dari tempat tidur dan berjalan keluar. Aku duduk mencari udara segar di taman. Dari jauh aku melihat Arjun berjalan menuju kamar inapku. Bergegas aku mencari tempat sembunyi. Baju rumah sakit aku lepas dan kutinggalkan di bangku taman. Aku berlari menyelinap meninggalkan rumah sakit. Tiba-tiba perutku terasa nyeri sekali kepalaku serasa berputar. Aku meninggalkan dua ponselku di kamar. Untung aku tak sengaja membawa dompet. Aku melihat taksi sedang menurunkan penumpang di depanku, kebetulan akhirnya aku segera naik. "Kemana Nyonya?" tanya sopir taksi. "Ke ho
Ivan membelikan aku ponsel baru, juga baju-baju baru. Sudah dua Minggu aku berada di Hotel Clareza. Kadang perasaan rindu yang tidak tertahan membuat aku berkeliaran kaya orang gila hanya ingin mengintip Reza maupun Arjun."Ngapain kamu di sini?" tanya Ivan yang memergoki aku sedang menyamar duduk di bangku lobi. Aku mengenakan hoodie dengan kacamata hitam dan masker."Kalau kamu saja masih mengenali aku, apalagi mereka. Kok kamu tahu kalau ini aku, darimana sih, penasaran?" tanyaku berbisik."Aroma tubuhmu, perawakanmu dan ...""Pak Ivan!" teriak Arjun memanggil.Bagai sebongkah batu menghantam dadaku sontak lemas tiada berdaya. Itu suara Arjun memanggil Ivan, aku tidak berani menoleh bahkan bergeming."Cepat pergi dari sini, Ivan! Jangan sampai dia datang ke sini!" desakku.Reza dan Arjun berjalan menghampiri Ivan. Bergegas Ivan berlari ke arah mereka. Mereka bertiga berdiri di belakangku tak jauh dari aku duduk. Napasku terasa terh
Hatiku begitu hancur, minggu depan Arjun menikah. Sedang saat ini posisi hubunganku dengannya sedang tidak baik-baik saja. Ivan masih merangkul pundakku menunggu di depan lift. Aku masih memeriksa ponselku. "Bos Reza!" teriak Ivan membangunkan konsentrasiku. Segera aku membalikkan badan dan memeluk Ivan untuk menyembunyikan wajahku. "Ivan, bantu Arjun menyiapkan untuk pernikahannya di sini!" perintah Reza. "Oh pernikahan diadakan di sini, Bos?" tanya Ivan terkejut. "Emang kamu belum mendapat undangan?" tanyanya. "Sudah, Bos, Tapi belum sempat aku periksa," jawab Ivan. "Siapa dia?" bisik Reza bertanya sambil menunjuk ke arahku yang berada dalam dekapan Ivan. "Oh dia pacar saya, Bos. Biasa kita lagi bertengkar, dia sedang menangis," bisik Ivan. "Permisi saya mau mengantar dia ke kamarnya," ujar Ivan sambil memeluk dan menarik tubuhku masuk ke lift. Reza menatap penasaran sampai akhirnya lift tert
Ivan mengantar aku ke ruanganku. Aku mulai diperkenalkan dengan teman-teman tim kerjaku. "Mayang, ini ketua tim kerja kamu namanya Rodeo," Ivan memperkenalkan. "Selamat siang, Pak Rodeo," sapaku. "Selamat siang, Mayang," jawab Rodeo. Setelah aku berjabat tangan dengan ketua tim disambung dengan jabat tangan dengan teman-teman yang lain. Tim kami ada enam orang dua diantara wanita, yaitu aku dan Diah. Aku bersyukur mereka ramah-tamah dan open menerimaku. "Rodeo, kalau ada masalah aku siap membantu. Aku titip sepupuku tolong dibantu ya?" pesan Ivan kepada Rodeo. "Beres, Pak Ivan. Jangan khawatir!" jawabnya. "Mayang, semangat bekerja ya!" pesan Ivan sambil mengepal dan mengangkat tangannya. Dan aku pun membalasnya dengan reflek. Ivan pergi meninggal ruanganku. "Ayo kita makan siang! Habis itu kita rapat memabahas rencana pernikahan Pak Arjun," ujar Rodeo. "Ayo Mayang," ajak Diah kemudian menggandeng tangank
"Berhenti!" Arjun berteriak menghentikan langkahku. "Kamu tahu berapa harga ponselku? Sampai kapan aku menunggu ponselku kau ganti? Ponselku saat ini sangat penting untuk komunikasi karena banyak hal yang harus saya selesaikan untuk persiapan pernikahanku," ujar Arjun. Aku berhenti tapi tidak berani menoleh. Dia begitu serius dalam mempersiapkan acara pernikahannya. "Jangan khawatir, besuk saya belikan!" janjiku. "Emangnya kamu tahu betapa harganya? Kamu punya uang?" oloknya. Hatiku teramat sakit, sekarang dia bahkan berani menghinaku seperti ini. Hanya kamu yang bisa melakukannya, Arjun. Bahkan Reza tidak sampai hati bicara seperti itu kepada orang lain apalagi kepadaku. "Kugadaikan rumahku untuk mengganti ponsel anda," ujarku geram, kemudian melangkah pergi. "Pedas banget sih!" ketusnya. "Tapi ngomong-ngomong kenapa aroma tubuhmu kok sama dengan dia," katanya kemudian. Aku melanjutkan melangkah tanpa menoleh lagi maup
Dekorasi dan katering serta susunan acara sudah tertata sesuai harapan. Akhirnya akad nikah di adakan di taman hotel, sesuai keinginan Diana. Diana sudah siap dengan gaun kebaya modern yang didesain oleh desainer kondang. Seirama dengan warna setelan jas putih yang dikenakan Arjun. Tema Nirwana dengan glamor serba putih. Demikian juga tamu undangan diminta mengenakan warna putih. Aku mengenakan setelan celana blezer lengan panjang warna putih. Kini aku berada di tengah-tengah acara pernikahan Arjun bukan karena pekerjaan, melainkan aku datang sebagai istri yang sedang mengandung anaknya. Rasa sakit dan cemburu tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahkan aku takut tidak bisa mengendalikan diri dan akhirnya pingsan lagi. Bila itu terjadi semua orang akan mengenali siapa aku? Acara belum di mulai karena penghulu belum datang. Arjun tampak gelisah, dia mondar-mandir menjauh dari orang-orang. Sedang Reza hanya tertegun dan sebentar-sebentar menatap layar
Ting ... tong ... ting ... tong! Bel pintu kamar berbunyi. Arjun segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil dompet. Aku hanya menatapnya dengan geram menahan emosi. Tak berselang lama dia sudah kembali dengan sebuah hem cantik dan celana dan satu lagi sebuah gaun indah. "Pilihlah yang kamu suka," tawar Arjun. "Kapan kamu memesannya? Aku salut kamu memang tahu kesukaanku," kataku sambil beranjak bangun dan menyambar gaun biru muda dari tangan Arjun. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan mandi besar. Saat aku keluar dari kamar mandi aku melihat Arjun sedang mengamati ponselku. "Apa yang kamu lakukan, Arjun? Beraninya kamu menyentuh ponselku. Mas Reza saja tidak berani melakukannya," ketusku sambil merebutnya dari tangannya. "Aku hanya ingin melihat apakah masih ada fotoku di ponselmu," jawabnya. "Tidak ada, jangankan fotomu bahkan aku sudah menghapus namamu dari hidupku," ketusku sambil memasukkan ponsel ke tasku. Aku menatap wajahku di cermin dan Arjun datang memelukk
Aku sengaja tidak mengunci kembali pintunya agar aku tidak kerepotan bila langsung ingin pergi keluar. Entah kenapa aku berpikiran tidak ingin berlama-lama di dekat Arjun. Aku takut tidak bisa mengendalikan sikapku saat bersama Arjun. Itu mungkin karena rasa rinduku yang sudah menggunung. Rasa benci dan cinta tersekat tipis sehingga aku tidak bisa membedakannya aku sedang cinta atau benci. "Kemarilah, Zhee! Tutup kembali pintunya," pinta Arjun. "Aku yakin kamu pasti datang menemui ku. Bukankah kamu juga merindukan aku, Zhee?" tanya Arjun menggoda, tatapannya tajam seolah hendak mengikutiku. "Kamu benar, Arjun, tidak dapat kupungkiri aku memang sedang merindukanmu. Aku sangat mencintaimu, Arjun," kataku tegas. Aku masih berdiri di depan pintu, Arjun pun menghampiriku dan memelukku kemudian tangannya menghempaskan pintu, "creg." Arjun dengan bernafsu mematuk bibirku dan mengulumnya. Ciuman penuh cinta dan kerinduan yang membara membakar birahi kami berdua. Aku menahan diri dengan si
Deg, jantungku rasanya mau copot. Bagaimana dengan tiba-tiba Mas Reza menghampiriku dan merebut ponselku. Apakah sebenarnya dia curiga kalau yang telepon Arjun. Dia menekan speaker seolah ingin menunjukkan kepadaku bahwa aku jujur atau tidak. "Nyonya Reza yang cantik, aku mohon kamu bisa hadir di pestaku ya? Teman-teman tim kita hadir semua, Nyonya Mayang eh keliru Nyonya Zhee," pinta Diah terdengar lantang di speaker. Aku tidak mengira ternyata telepon yang barusan berdering dari Diah dan benar dia memaksa aku menghadiri pestanya. Oh dewa penolong benar-benar sedang berpihak kepadaku. Bukan saja aku yang terbelalak terkejut tapi Mas Reza juga. Pasti yang ada di otaknya aku sedang teleponan dengan Arjun. Kenapa begitu kebetulan sekali Diah menelepon di saat yang tepat, bagai Dewi penyelamat bagiku. "Diah, dimana sih pesta kamu diadakan? Kok aku nggak diundang sih?" tanya Mas Reza. "Di restoran deket rumah saya, Pak CEO," jawabnya ragu. "Cuma pesta kecil kok tidak ada yang istimewa
"Aku tidak mau kehilangan semuanya, Mas, aku bersedia menikah lagi secara agama denganmu," ujarku. Sebenarnya Mas Reza sudah tahu akan keberadaan Arjun tapi dia berpura-pura dan mengikuti sandiwaraku. Aku harus mengakhirinya, aku harus segera menentukan pilihan. Otak waras pasti akan memilih Mas Reza sebagai pendamping hidup. Aku berharap otakku waras sehingga bisa mengubur kenangan bersama Arjun. "Terima kasih, Sayang. Aku akan segera menyiapkan semuanya," kata Mas Reza. "Aku juga akan menyiapkan keperluanku, Mas Reza. Satu permintaanku kita ijab kabul sederhana saja di masjid," pesanku. "Aku setuju apapun permintaanmu, Zhee ... apapun!" janjinya menegaskan. Aku tahu betapa besar cinta Mas Reza kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan nya lagi. Apalagi untuk kuserahkan kepada Putri, tidak akan pernah. "Apapun kebutuhanmu biar aku yang menyiapkan, Zhee," usul Mas Reza. "Baik, kita bicarakan lagi nanti di rumah! Aku permisi dulu, Pak CEO," pamitku menggoda. "Zhee, kamu ya?" sahut
Sesaat kami saling berpandangan, Mas Reza menatap dalam mataku. "Zhee," panggilnya lembut. Tiba-tiba tangannya meraba laci nakas dan mengambil kotak kecil. Dia membukanya dan mengambil sebatang seperti permen dan mengulumnya. Entah apakah yang diambil dari laci nakas itu? Apakah itu permen ataukah obat perangsang? Ah masa bodoh, karena mabok mungkin juga itu obat pengar. Setelah dia mengulumnya dengan kasar menarik tubuhku kemudian mematuk bibirku dan akhirnya mengulumnya. Bibir saling bertemu dan Mas Reza melontarkan sesuatu yang dikulum itu ke dalam mulutku. Aku terkesiap, aku merasakan seperti aroma terapi yang mampu membuat mood ku membaik. Aku melontarkan kembali sesuatu itu ke dalam mulut Mas Reza. Ciuman kami berdua semakin membara. Lama kami berdua tidak melakukan ini. "Aku merindukanmu, Zhee," bisik Mas Reza setelah melepas sesaat ciumannya. "Aku juga, Mas Reza," jawabku dalam hati. Aku pasrah saat Mas Reza mulai menciumi leherku bahkan dengan lidahnya yang basah dan han
Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku membalas dengan bogem mentahku kepada wanita licik di depanku. Tapi tidak, bekas tamparan ini akan membantuku menunjukkan seperti apa sifat Putri sebenarnya. Agar Mas Reza berpikir ulang bila berhubungan lebih jauh dengannya. "Zhee, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mas Reza yang terkejut melihat aku. Aku terkejut tapi aku berusaha menenangkan hatiku agar tidak terkesan sebagai pendosa. Aneh memang kenapa aku ada di sini? Aku sengaja menutupi pipiku dengan kedua tanganku. Dengan meringis menahan kesakitan, ini sengaja aku lakukan untuk menunjukkan kepada Mas Reza agar mendapatkan simpatinya. "Kamu kenapa?" tanyanya penasaran sambil meraih tanganku. Aku membiarkan tangan Mas Reza menarik tanganku dan memeriksa pipiku. Dia tampak terperanjat dan memandang mataku tersirat banyak pertanyaan. Aku kenal sekali dengan Mas Reza dia tidak suka dengan banyak argumentasi yang berbelit-belit. Aku hanya diam dan menunjukkan bekas tamparan yang jelas
"Ma, Abim mau pipis," pinta Abim manja. "Diantar papa ya? Soalnya Abim harus ke toilet pria," jawabku memberi pengertian. "Ya iyalah sama papa Abim kan lelaki," sahut Mas Reza. Akhirnya Abim menurut saat Mas Reza menuntunnya ke toilet. Mas Reza menggandengnya dengan manja dan sayang. Aku hanya menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Tit ... tit ... tit! Ponsel Mas Reza berbunyi tanda ada pesan masuk. Sekilas aku melirik dan ada notifikasi yang terbaca olehku. "Tolong antar aku periksa ke dokter kandungan, Pak..." Membaca notifikasi yang hanya sepenggal membuatku semakin penasaran. Akhirnya aku nekad meraih ponsel Mas Reza di atas meja. Ternyata layar ponselnya terkunci. Karena rasa penasaran yang besar membuat aku terus berusaha agar bisa membuka kuncinya. Berkali-kali mencoba dari tanggal lahir Mas Reza, Abim dan Nayna tapi belum juga kebuka. Dengan geram aku mencoba dengan asal tanggal lahirku justru langsung terbuka. Oh, ternyata betapa istimewanya aku di mata Mas Reza.
"Om yang mana?" tanya Mas Reza terkejut."Itu," jawab Abim sambil menunjuk Arjun yang berdiri di taman agak jauh dari halaman sekolah.Mas Reza segera menengok dan mendapati Arjun yang spontan mengangguk sopan. "Kenapa aku merasa postur itu tidak asing bagiku," gumam Mas Reza."Dia om yang menolong aku waktu sakit kan, Pa?" tanya Abim meyakinkan."Iya, Sayang."Tiba-tiba Mas Reza menarik pundak Abim merangkul membawanya menghampiri Arjun. Hatiku berdebar-debar takut kalau Mas Reza bisa mengenalinya. Apalagi dia sudah menaruh curiga, maklumlah mereka tumbuh besar bersama sejak kecil."Kita mau kemana sih?" ceplos ku bertanya."Kita bertemu Juna sebentar, kenapa dia menemui Abim di sekolah, aku jadi penasaran?" ujarnya."Kenapa sih kamu jadi kepo, siapa tahu hanya kebetulan dia lewat di depan sekolah Abim," selaku mematahkan.Tanpa menjawab lagi dia dan Abim berjalan di depan ku melalui aku yang tertegun berdiri. Aku melihat Arjun yang menyambutnya dengan menganggukkan kepalanya. Dia m
Arjun terpaku, dia tidak mengira aku akan senekat itu dengan memaksa membuka masker dan kacamatanya. Matanya mulai berkaca-kaca dan menatap sayu ke arahku. "Siapa gadis kecil yang bersamamu tadi? Apakah dia anak kamu bersama Diana? Apa diam-diam kamu kembali dan hidup bersamanya? Padahal dulu kamu berjanji tidak memilih salah satu diantara kita berdua, tapi ternyata ...?" gerutuku meluapkan kekesalanku kepadanya. Betapa selama ini aku tersiksa tercekam sakit karena cinta dan rindu. Arjun diam tanpa sepatah kata pun, hanya air matanya meleleh, bukankah aku yang tersakiti harusnya aku yang menangis tapi kenapa dia ikutan meruraian air mata. Dengan meluapkan rasa sakit dan benci aku mulai bereaksi. "Kenapa kau lakukan ini kepadaku, Arjun? Kenapa? Kamu lelaki brengsek sama hal Mas Reza!" ketusku berteriak. "Jadi kamu melihat kami bertiga?" tanyanya meyakinkan. "Zhee, anak kecil tadi Diana yang mengadopsinya dari panti asuhan. Dia tidak bisa memliki anak karena rahimnya harus diangkat.