“Jadi Ibu tinggal di sini?”“Iya, Mas …,” jawab Bu Sulis dengan wajah sendu. Bu Sulis menggunakan tempat tinggal milik seorang pemulung untuk menjalankan aksi tipu-tipunya. Dia tahu bahwa para konten kreator itu akan mencarinya. Sehingga Bu Sulis membuat skenario seolah-olah menjadi seorang pemulung sekaligus nenek hebat—menghidupi cucu semata wayangnya dalam keterbatasan.“Jadi guys … Bu Sulis ini adalah seorang pemulung yang tinggal di kolong jembatan. Beliau juga harus merawat cucunya yang masih bayi dalam keterbatasannya. Biasanya, beliau akan mulai mencari rongsok saat subuh dan malam hari. Baby Nadia tak ada yang menjaga hingga dia juga harus ikut mencari nafkah dengan sang nenek.”Begitulah narasi salah seorang di antara beberapa konten kreator itu. Ponsel dan kamera mereka mengarah ke Bu Sulis dan bayinya. Mereka mengambil gambar dari berbagai sudut agar terlihat lebih dramatis. “Yang mau menyisihkan sedikit rezekinya untuk kebutuhan hidup Bu Sulis dan Baby Nadia, hubungi ka
TokTokTok“Permisi, Bu … Bu Jesika.”Lingga bertandang ke rumah pemilik kontrakan. Dia ingin meminta maaf sekaligus berterima kasih karena telah membantu proses pemakaman ibunya. Lingga juga ingin mengambil motornya yang kini terparkir di rumah Bu Jesika.“Siapa itu?”Pintu rumah belum terbuka, tapi dari dalam sudah terdengar suara si empunya rumah.“Saya Lingga, Bu,” jawab Lingga dari balik pintu.Setelah mendengar nama Lingga disebut, suara kunci pun terdengar diputar dari dalam.CeklekKini pintu rumah Bu Jesika telah terbuka. Memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan rambut dicepol dan memakai daster bermotif bunga-bunga.“Lingga?” tanya Bu Jesika dengan alis mengkerut.“Iya, Bu. Ini saya Lingga.”“Mau ngapain kamu ke sini? Ibumu sudah mati.”Tanpa basa-basi, Bu Jesika pun mengatakan apa yang terjadi selama Lingga tak ada di kontrakan. Respon Lingga pun cukup mengejutkan Bu Jesika. Pasalnya, Lingga hanya tersenyum tipis sambil mengusap-usap dad4nya. Bagi Bu Jesika, responn
“Bu … nasinya, 1, ya. Lauknya dicampur.”Dengan kondisi raga yang belum pulih akibat pukvlan prem4n pasar kemarin, Lingga tetap mencari makan di warung nasi dekat kos. Saat Lingga tiba di sana, warungnya cukup sepi. Hanya dia pelanggan satu-satunya di warung itu.“Adek tinggal dimana? Di komplek ini juga? Saya baru lihat,” ucap ibu-ibu penjaga warung. Mulutnya bertanya asal usul Lingga tapi tangannya tetap lihai mengisi piring dengan berbagai macam lauk sesuai pesanan.“Iya, Bu. Saya ngekos di depan sana,” ucap Lingga sembari menunjuk gang yang menuju ke tempat kos-nya.“Oh … kos di tempat Herman? Pantesan ke sininya cuma jalan kaki. Ternyata nge-kos di sana toh. Trus itu kenapa pipinya? Kok ungu-ungu gitu? Habis dipukvlin sama maling, ya, Dek? Di kos sana kan banyak k4sus pencuri4n dan penganiay4an.”Ibu-ibu penjaga warung itu ternyata cukup penasaran dengan kondisi Lingga yang penuh bekas leb4m akibat pukvlan kemarin. Dia sengaja berbasa-basi menanyakan tempat tinggal Lingga agar bi
“Bibi sudah pulang, Nes?”“Belum, tuh.”Nesi menjawab pertanyaan Agnes dengan acuh. Perhatiannya masih terfokus pada ponsel di tangannya. Sedangkan Agnes baru saja pulang dari bengkel—tempat usaha lelaki incarannya.“Kamu abis dari bengkel Yono, ya, Nes?” tanya Nesi pada Agnes.Mendengar pertanyaan sepupunya, Agnes hanya bisa tersenyum malu. Benar. Saat ini dia sedang jatuh cinta pada bos bengkel itu. Dia juga dimanjakan dengan u4ng oleh Yono, si pemilik bengkel dan usaha jual-beli motor bekas.“Mesam-mesem aja, lu. Bagi dvit dong!” pinta Nesi pada sepupunya.“Enak saja. Kalau mau dapat u4ng, kerja dong!”“Memangnya kamu kerja? Sesama pengangguran jangan saling menghin4 dong!"“Wah kalau aku beda, Nes. Walaupun pengangguran, tapi kan aku punya cowok k4ya. Jadi gak perlu khawatir lagi soal u4ng,” ucap Agnes sambil berlalu menuju kamarnya. Sedangkan Nesi hanya bisa mencebik melihat tingkah sepupunya.Sore pun tiba. Bu Sulis tak kunjung pulang ke kontrakan mereka. Agnes yang baru saja ba
Bulan terus mencari informasi soal keberadaan Lingga dan anaknya. Sampai akhirnya dia dihubungi oleh seseorang bahwa Lingga berada di rumah sakit. Pria itu sudah tiga hari menemani anaknya yang sedang dirawat. Tanpa pikir panjang, Bulan lantas pergi ke rumah sakit yang dimaksud. Dia tak sabar bertemu dengan Lingga dan Baby Nadya.Lima belas menit menempuh perjalanan, Bulan akhirnya sampai di rumah sakit—tempat Baby Nadya dirawat. Gegas dia bertanya ke pusat informasi untuk mengetahui ruang rawat bayi itu.Setelah mengantongi nomor ruangan, Bulan menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke tempat tujuan. Hingga tiba di lorong terakhir, dia mendapati seorang pria kurus duduk meringkuk sembari menenggel4mkan kepalanya di kedua lutut. Awalnya Bulan tak mengenali siapa sosok itu, hingga dia terus mendekat dan menyadari bahwa sosok itu adalah mantan suaminya, Lingga.“Mas … Mas Lingga.”Bulan memanggil nama itu sembari menepuk pundaknya pelan. Pria itu pun mengangkat kepalanya dan melihat
Bulan menghela nafas dalam-dalam. Dia sangat terkejut sekaligus kecewa akan perkataan Arga. Bulan mengerti kalau Arga mengkhawatirkannya dan tak ingin melihat dia disakiti lagi oleh Lingga. Tapi wanita itu tahu bahwa mantan suaminya kini telah berubah. Bulan ingin bersahabat, bersahabat dengan siapa saja, baik Lingga maupun Arga. Toh, Bulan sudah lebih dewasa saat ini. Bisa menjaga diri dan tak mudah untuk disakiti. Kini Bulan merasa terjebak di antara perasaannya yang masih terikat pada Lingga dan tekanan yang diberikan oleh Arga. Namun, dia tahu dia harus membuat keputusan. Dia pun memberanikan diri untuk berucap pada Arga."Dengar, Arga! Aku menghargai perhatianmu, tapi aku punya hak untuk memilih sendiri. Aku ingin kembali ke dalam dan menemani Lingga juga Baby Nadya. Mereka butuh dukunganku," ucap Bulan dengan tegas.Arga terdiam sejenak, terkejut dengan sikap Bulan yang begitu mantap. Namun, raut wajahnya segera berubah menjadi kesal."Dukunganmu? Kamu lupa, Lan? Kamu dan pria
Bulan duduk di hadapan ayahnya dengan perasaan campur aduk. Terkejut, marah, dan tidak terima atas perintah tegas itu bercampur menjadi satu. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Menghadapi tekanan dari orang tua, Arga yang posesif, serta konflik batinnya terhadap Lingga, membuatnya merasa semakin terjerat. Hatinya tengah menjerit, tapi raganya bungkam, tak mampu mengeluarkan suara.“Ini gak boleh, Pa,” gumam Bulan pelan.“Apanya yang gak boleh? Kamu mau menolak perintah Papa?” ucap Papa Kevin dengan tatapan mengintimidasi.Apa yang terjadi? Seorang Ayah yang selalu lembut dan menjadi sahabat bagi putri satu-satunya kini justru berbalik menjadi musuh. Memaksakan kehendaknya tanpa mau mendengarkan pendapat anaknya terlebih dahulu. Begitu kuat pengaruh Arga pada keluarga Bulan.Bulan yang sedang dalam tekanan masih tetap teguh atas keputusannya. Ini bukan menyangkut soal Lingga. Bulan belum terpikir untuk kembali pada pria itu. Keputusan ini dia ambil semata-mata untuk dirinya.
Ketegangan di antara mereka semakin memuncak ketika Clarissa menemukan pesan dari Lingga di ponsel Bulan. Dia merasa semakin yakin bahwa Bulan masih terlibat dengan Lingga.“Ini apa, huh? Bisa-bisanya, ya, kamu masih berhubungan dengan suamiku?”Clarissa berjalan mendekati Bulan dengan tatapan tajam. Dia serupa istri sah yang sedang melabrak selingkuh4n suaminya. Seperti adegan yang ada di sinetron atau media sosial.“Iya. Itu memang pesan dari Lingga,” jawab Bulan, berusaha untuk tetap tenang.“Nak ….” Mama Mery terkejut. Tak menyangka anak perempuannya akan benar-benar berhubungan kembali dengan mantan suaminya.“Kur4ng 4jar kamu, ya.”Tangan Clarissa terangkat, siap menjamb4k rambut Bulan. Ponsel Bulan yang semula dipegangnya, dibanting dengan begitu keras. Beruntung ponsel itu jatuh di tumpukan baju yang sempat dihamburkan Clarissa ke lantai. Hingga tak sampai membuat benda itu hancur.Saat tangan Clarissa ingin menyentuh tubuh Bulan, dengan sigap Bulan menepisnya. Dia bukanlah wa
“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian
“Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas
“Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak
“Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt
“Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng
“Baru saja pulang, Pak. Dia pulang bersama kakeknya.”Tentu saja kakek yang dimaksud oleh petugas rumah sakit adalah lelaki tua yang membantu Nadya dan Maga tempo hari.“Apa mereka tak menitipkan pesan atau memberitahukan alamat mereka?”“Maaf, Pak. Tidak ada.”Jaka menghela nafas pelan. Dua hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan juga keluarganya. Dia harus menjadi tameng dan tembok pembatas bagi istri dan anak perempuannya yang sedang perang dingin. Sehingga ia lupa menemui pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan adik kembarnya.“Dia sudah pergi, Yan. Aku tak tahu dimana keberadaannya sekarang.”Jaka memberi laporan pada adik kembarnya yang lain. Dia gagal mencari tahu tentang asal-usul pemuda itu. Dia kehilangan jejak.“Sudah, tak apa-apa, Mas! Kalau memang benar dia keponakan kita, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.”Dari seberang telepon, Yanti berusaha menghibur kakaknya. Sebenarnya ia pun tak yakin kalau pemuda yang dimaksud oleh kakaknya adalah kepona
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat