TokTokTok“Permisi, Bu … Bu Jesika.”Lingga bertandang ke rumah pemilik kontrakan. Dia ingin meminta maaf sekaligus berterima kasih karena telah membantu proses pemakaman ibunya. Lingga juga ingin mengambil motornya yang kini terparkir di rumah Bu Jesika.“Siapa itu?”Pintu rumah belum terbuka, tapi dari dalam sudah terdengar suara si empunya rumah.“Saya Lingga, Bu,” jawab Lingga dari balik pintu.Setelah mendengar nama Lingga disebut, suara kunci pun terdengar diputar dari dalam.CeklekKini pintu rumah Bu Jesika telah terbuka. Memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan rambut dicepol dan memakai daster bermotif bunga-bunga.“Lingga?” tanya Bu Jesika dengan alis mengkerut.“Iya, Bu. Ini saya Lingga.”“Mau ngapain kamu ke sini? Ibumu sudah mati.”Tanpa basa-basi, Bu Jesika pun mengatakan apa yang terjadi selama Lingga tak ada di kontrakan. Respon Lingga pun cukup mengejutkan Bu Jesika. Pasalnya, Lingga hanya tersenyum tipis sambil mengusap-usap dad4nya. Bagi Bu Jesika, responn
“Bu … nasinya, 1, ya. Lauknya dicampur.”Dengan kondisi raga yang belum pulih akibat pukvlan prem4n pasar kemarin, Lingga tetap mencari makan di warung nasi dekat kos. Saat Lingga tiba di sana, warungnya cukup sepi. Hanya dia pelanggan satu-satunya di warung itu.“Adek tinggal dimana? Di komplek ini juga? Saya baru lihat,” ucap ibu-ibu penjaga warung. Mulutnya bertanya asal usul Lingga tapi tangannya tetap lihai mengisi piring dengan berbagai macam lauk sesuai pesanan.“Iya, Bu. Saya ngekos di depan sana,” ucap Lingga sembari menunjuk gang yang menuju ke tempat kos-nya.“Oh … kos di tempat Herman? Pantesan ke sininya cuma jalan kaki. Ternyata nge-kos di sana toh. Trus itu kenapa pipinya? Kok ungu-ungu gitu? Habis dipukvlin sama maling, ya, Dek? Di kos sana kan banyak k4sus pencuri4n dan penganiay4an.”Ibu-ibu penjaga warung itu ternyata cukup penasaran dengan kondisi Lingga yang penuh bekas leb4m akibat pukvlan kemarin. Dia sengaja berbasa-basi menanyakan tempat tinggal Lingga agar bi
“Bibi sudah pulang, Nes?”“Belum, tuh.”Nesi menjawab pertanyaan Agnes dengan acuh. Perhatiannya masih terfokus pada ponsel di tangannya. Sedangkan Agnes baru saja pulang dari bengkel—tempat usaha lelaki incarannya.“Kamu abis dari bengkel Yono, ya, Nes?” tanya Nesi pada Agnes.Mendengar pertanyaan sepupunya, Agnes hanya bisa tersenyum malu. Benar. Saat ini dia sedang jatuh cinta pada bos bengkel itu. Dia juga dimanjakan dengan u4ng oleh Yono, si pemilik bengkel dan usaha jual-beli motor bekas.“Mesam-mesem aja, lu. Bagi dvit dong!” pinta Nesi pada sepupunya.“Enak saja. Kalau mau dapat u4ng, kerja dong!”“Memangnya kamu kerja? Sesama pengangguran jangan saling menghin4 dong!"“Wah kalau aku beda, Nes. Walaupun pengangguran, tapi kan aku punya cowok k4ya. Jadi gak perlu khawatir lagi soal u4ng,” ucap Agnes sambil berlalu menuju kamarnya. Sedangkan Nesi hanya bisa mencebik melihat tingkah sepupunya.Sore pun tiba. Bu Sulis tak kunjung pulang ke kontrakan mereka. Agnes yang baru saja ba
Bulan terus mencari informasi soal keberadaan Lingga dan anaknya. Sampai akhirnya dia dihubungi oleh seseorang bahwa Lingga berada di rumah sakit. Pria itu sudah tiga hari menemani anaknya yang sedang dirawat. Tanpa pikir panjang, Bulan lantas pergi ke rumah sakit yang dimaksud. Dia tak sabar bertemu dengan Lingga dan Baby Nadya.Lima belas menit menempuh perjalanan, Bulan akhirnya sampai di rumah sakit—tempat Baby Nadya dirawat. Gegas dia bertanya ke pusat informasi untuk mengetahui ruang rawat bayi itu.Setelah mengantongi nomor ruangan, Bulan menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke tempat tujuan. Hingga tiba di lorong terakhir, dia mendapati seorang pria kurus duduk meringkuk sembari menenggel4mkan kepalanya di kedua lutut. Awalnya Bulan tak mengenali siapa sosok itu, hingga dia terus mendekat dan menyadari bahwa sosok itu adalah mantan suaminya, Lingga.“Mas … Mas Lingga.”Bulan memanggil nama itu sembari menepuk pundaknya pelan. Pria itu pun mengangkat kepalanya dan melihat
Bulan menghela nafas dalam-dalam. Dia sangat terkejut sekaligus kecewa akan perkataan Arga. Bulan mengerti kalau Arga mengkhawatirkannya dan tak ingin melihat dia disakiti lagi oleh Lingga. Tapi wanita itu tahu bahwa mantan suaminya kini telah berubah. Bulan ingin bersahabat, bersahabat dengan siapa saja, baik Lingga maupun Arga. Toh, Bulan sudah lebih dewasa saat ini. Bisa menjaga diri dan tak mudah untuk disakiti. Kini Bulan merasa terjebak di antara perasaannya yang masih terikat pada Lingga dan tekanan yang diberikan oleh Arga. Namun, dia tahu dia harus membuat keputusan. Dia pun memberanikan diri untuk berucap pada Arga."Dengar, Arga! Aku menghargai perhatianmu, tapi aku punya hak untuk memilih sendiri. Aku ingin kembali ke dalam dan menemani Lingga juga Baby Nadya. Mereka butuh dukunganku," ucap Bulan dengan tegas.Arga terdiam sejenak, terkejut dengan sikap Bulan yang begitu mantap. Namun, raut wajahnya segera berubah menjadi kesal."Dukunganmu? Kamu lupa, Lan? Kamu dan pria
Bulan duduk di hadapan ayahnya dengan perasaan campur aduk. Terkejut, marah, dan tidak terima atas perintah tegas itu bercampur menjadi satu. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Menghadapi tekanan dari orang tua, Arga yang posesif, serta konflik batinnya terhadap Lingga, membuatnya merasa semakin terjerat. Hatinya tengah menjerit, tapi raganya bungkam, tak mampu mengeluarkan suara.“Ini gak boleh, Pa,” gumam Bulan pelan.“Apanya yang gak boleh? Kamu mau menolak perintah Papa?” ucap Papa Kevin dengan tatapan mengintimidasi.Apa yang terjadi? Seorang Ayah yang selalu lembut dan menjadi sahabat bagi putri satu-satunya kini justru berbalik menjadi musuh. Memaksakan kehendaknya tanpa mau mendengarkan pendapat anaknya terlebih dahulu. Begitu kuat pengaruh Arga pada keluarga Bulan.Bulan yang sedang dalam tekanan masih tetap teguh atas keputusannya. Ini bukan menyangkut soal Lingga. Bulan belum terpikir untuk kembali pada pria itu. Keputusan ini dia ambil semata-mata untuk dirinya.
Ketegangan di antara mereka semakin memuncak ketika Clarissa menemukan pesan dari Lingga di ponsel Bulan. Dia merasa semakin yakin bahwa Bulan masih terlibat dengan Lingga.“Ini apa, huh? Bisa-bisanya, ya, kamu masih berhubungan dengan suamiku?”Clarissa berjalan mendekati Bulan dengan tatapan tajam. Dia serupa istri sah yang sedang melabrak selingkuh4n suaminya. Seperti adegan yang ada di sinetron atau media sosial.“Iya. Itu memang pesan dari Lingga,” jawab Bulan, berusaha untuk tetap tenang.“Nak ….” Mama Mery terkejut. Tak menyangka anak perempuannya akan benar-benar berhubungan kembali dengan mantan suaminya.“Kur4ng 4jar kamu, ya.”Tangan Clarissa terangkat, siap menjamb4k rambut Bulan. Ponsel Bulan yang semula dipegangnya, dibanting dengan begitu keras. Beruntung ponsel itu jatuh di tumpukan baju yang sempat dihamburkan Clarissa ke lantai. Hingga tak sampai membuat benda itu hancur.Saat tangan Clarissa ingin menyentuh tubuh Bulan, dengan sigap Bulan menepisnya. Dia bukanlah wa
Sudah hampir sebulan Lingga diajak berlibur oleh Clarissa. Tiap hari lelaki itu meminta untuk dipulangkan. Dia ingin bertemu bayi cantiknya. Tapi Clarissa tetap menunda dengan terus mengatakan besok, besok, dan besok lagi. Hingga hari terus berganti menjadi minggu. Dan kini, mereka telah tinggal selama 3 minggu di villa milik keluarga Clarissa yang Lingga tak kenal daerahnya. Yang pasti, villa itu berada di dataran tinggi dan penuh dengan penjagaan. Lebih dari sepuluh bodyguard yang menjaga tempat itu. Mustahil bagi Lingga untuk melarikan diri.“Hari ini kita jalan-jalan ke air terjun, yuk, Mas.” ajak Clarissa pada suaminya.“Aku mau pulang, Sa. Ayo lah! Kita sudah terlalu lama di sini. Aku mau bertemu Nadya.”Nama yang disebut Lingga membuat hati Clarissa meradang. Dia geram melihat suaminya yang terus merengek meminta dipertemukan dengan anaknya.“Nadya … Nadya … Nadya lagi. Mas, aku ini istrimu. Aku yang harus mendapatkan perhatianmu. Aku akan melahirkan anakmu, darah dagingmu send