“Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Lan. Jangan seperti ini!”“Iya, Nak. Kalian jangan bercerai!”Lingga dan ibunya terlihat cemas. Mereka takut kalau Bulan benar-benar menggugat cerai. Kalau itu terjadi, Lingga harus keluar dari rumah. Tak ada juga harta gono-gini. Seperti yang tercantum di surat perjanjian pra-nikah, jika Lingga berkhianat.“Tapi aku kan gak selingkuh, Lan? Aku menikahi Agnes. Dia menjadi madumu. Aku gak berzina.”Lingga terus membela diri. Bukannya meminta maaf, pria itu justru terus melancarkan aksinya merangkai kata untuk membenarkan sikapnya. Tentu saja Bulan dan lainnya semakin geram. Pak Kevin bahkan sempat ingin memukul Lingga kembali, namun dicegah oleh Arga.“Iya benar, Nak. Ibu yakin kalau Lingga bisa berlaku adil.”“Iya, Mbak. Tolong restui kami! Aku janji, kalau aku tak akan menjadi madu yang menyusahkan. Tak akan tantrum saat Mas Lingga bersamamu. Kita bisa menjadi teman, bahkan seperti kakak adik.”Agnes mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah B
Bulan terbaring lemah di rumah sakit, merasakan rasa sakit fisik dan hati yang mendalam. Sementara itu, Lingga ditempatkan di sel penjara, menghadapi konsekuensi perbuatannya.“Mama gak nyangka Lingga bisa seperti itu.”“Papa salah menilai pria itu. Wajah polosnya hanya dipakai untuk menutupi monster mengerikan dalam dirinya.”Bulan hanya terdiam mendengar ucapan kedua orang tuanya. Dia hanya ingin fokus untuk kesembuhannya. Sembuh dari sakit fisik maupun hatinya.Di tempat lain, Arga merasa sangat kasihan pada nasib Bulan. Wanita itu tak seharusnya mendapat perlakuan buruk seperti ini. Menjadi korban tapi tetap dipaksa untuk mengalah.“Mas Lingga memang keterlaluan. Padahal Mbak Bulan begitu baik,” gumam Arga.Diam-diam, dia telah lama memperhatikan Bulan. Sejak wanita itu mengetuk pintu rumahnya dan memperkenalkan diri sebagai tetangga baru, entah kenapa Arga merasa tertarik. Senyum ramah maupun pembawaan Bulan yang terlihat ceria, membuatnya jatuh hati. Tapi Arga seringkali menepis
Sella merasakan adrenalinnya meningkat saat memegang ponselnya, siap untuk menyebarkan rekaman yang dapat mengungkap segala rahasia keluarga aneh di komplek itu. Hatinya berdebar-debar, tahu bahwa langkah ini bisa mengubah dinamika komplek secara drastis.Tanpa disadari oleh wanita itu, ada sepasang mata yang melihat aksinya dari balik jendela. Itu adalah Arga. Dia tahu apa yang dilakukan Sella demi menjawab rasa penasarannya terhadap keluarga Bu Sulis. Arga merasa dilema. Dia tahu bahwa ini bukanlah urusan yang seharusnya dia campuri, tetapi di sisi lain, dia merasa perlu untuk melindungi privasi Bulan. Pada akhirnya, Arga menghampiri Sella dengan mengendap-endap."Mbak Sella ….”Sella terkejut. Dia pikir, aksinya diketahui oleh salah satu keluarga Bu Sulis atau bahkan tetangga lainnya, bukan Arga. “Astaga, Mas. Kamu ngagetin aku. Ssst. Jangan berisik!”Sella memberi isyarat pada Arga untuk diam. Dia lantas menarik tangan Arga untuk menjauh dari rumah Bu Sulis. Ketika dirasa aman,
“Huuuu ….”Terdengar sorak sorai dari luar rumah. Masih banyak orang yang mencaci maki keluarga Bu Sulis dari luar rumah. Bahkan ada yang melempari rumah mereka dengan telur dan tomat busuk. Sepertinya, kali ini warga tak bisa tinggal diam. Mereka benar-benar muak. Sebenarnya komplek perumahan ini cukup aman dari gossip. Warganya tak begitu suka mencampuri urusan orang lain. Mereka sibuk akan pekerjaan rumah dan juga kantor mereka. Tapi kenapa kali ini mereka kompak mendatangi rumah Bu Sulis dan melabraknya? Alasannya tentu saja sangat jelas. Hampir semua orang pernah bermasalah dengan keluarga itu. Bu Sulis suka mencari masalah dan menguji kesabaran para tetangganya itu.“Aku gak mau tinggal di sini lagi, Mas. Bawa aku pindah dari sini,” rengek Nesi pada Handi.“Kur4ng 4jar. Kenapa mereka bisa tiba-tiba tahu rahasia kita, sih?” Bu Sulis nampak geram. Gemerutuk giginya terdengar oleh yang lainnya. Wajahnya semakin nampak seram.“Siapa lagi kalau bukan si wanita tua itu pelakunya, Bu.
“Mas Lingga?” Agnes terkejut melihat kedatangan suaminya.Agnes dengan susah payah mendorong kursi rodanya hingga ke ruang tamu. Dia ingin secepatnya bertemu dengan sang suami. Sudah sebulan lebih mereka dipisahkan oleh jarak.“Sini, Nak! Ibu bantu.”Bu Ines dengan sigap membantu menantunya untuk lebih dekat dengan sang putra.Kini Lingga dan Agnes berjarak beberapa centimeter saja. Mereka saling pandang. Mata Agnes berkaca-kaca karena menahan rindu berkepanjangan. Sedangkan Lingga hanya mematung dengan wajah datar. Hal itu sontak membuat Agnes keheranan.“Peluk aku, Mas! Kenapa kamu diam saja? Apa kamu gak suka kita bersatu lagi? Aku janji, mulai hari ini … tak akan ada yang memisahkan kita lagi. Termasuk Mbak Bulan."Agnes menggantung kedua tangannya ke depan. Berharap sang suami akan menghampiri dan memeluknya. Tapi itu tak kunjung terjadi, hingga semua orang pun dibuat semakin keheranan.“Nak Lingga. Kamu kenapa? Liat Agnes! Dia begitu senang kamu bebas dari penjara. Peluk lah dia
“Sayang, tunggu!”Lingga berlari mendekati Bulan.“Sayang, kamu mau berangkat kerja, ya?”“Emm … tolong panggil nama aja, Mas! Sebentar lagi kita sudah berstatus mantan.”Bulan berusaha melepaskan genggaman Lingga di tangannya. Dia merasa risih. Apalagi setelah melihat sosok Agnes memantaunya dari rumah tetangga.“Tapi kita belum resmi berpisah, Sayang. Apa salahnya kita bermesraan seperti dulu? Sebenarnya aku juga ingin sekali rujuk denganmu.”“Lepasin, Mas! Lihat di sana!” tunjuk Bulan ke rumah tetangga. “Istrimu lihat. Nanti dia dan keluarganya salah paham. Aku benar-benar malas berurusan dengan mereka lagi. Sudah, ya. Aku mau berangkat kerja.”“Eh tunggu dulu, Say ….”“Bulan, Mas. Bulan. Jangan panggil sayang lagi.”Lingga menghembuskan nafas kasar mendengar permintaan Bulan. Pada akhirnya dia menuruti keinginan wanita itu.“Iya, deh. Bulan. Emm … apa aku boleh nebeng?”Bulan terkejut. Kenapa tiba-tiba Lingga ingin ikut dengannya? Memangnya pria itu mau kemana? Bukankah dia sudah
“Habis ini gak boleh jajan lagi, ya!"Sella menasehati anaknya untuk irit. Tak boleh jajan terus.“Nih anak bener-bener, deh. Ngajakin keluar pas matahari lagi terik-teriknya.”Sella masih menggerutu. Sedangkan anaknya tetap mengekor di belakangnya. Anak itu tak banyak cakap maupun tingkah. Jika keinginannya mau dipenuhi, maka dia tak boleh membuat Sella semakin marah.Saat Sella ingin mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, tak sengaja mata indahnya menangkap sesuatu yang mengejutkan. Di rumah Bulan terdapat pergerakan yang mencurigakan. Ada dua orang wanita yang terlihat celingak-celinguk mengawasi sekitar. Dia menyasar pintu rumah Bulan.“Siapa itu?” Sella memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas.“Astaga. Nesi? Bu Sulis? Benarkah mereka? Mau ngapain mereka masuk ke rumah Bulan? Bukankah jam segini Bulan masih bekerja?”Sella mulai mendekat. Dia ingin mengintip aksi ibu dan anak itu. Tapi apa daya. Ada anak kecil di belakangnya yang menangis memanggil dirinya Ibu.“Ayo, Bu!
“Laporkan saja ke polisi, Mbak! Biar mereka jera. Biar mereka tak berani macam-macam lagi. Biar gak banyak tingkah.”“Iya. Laporkan saja! Biar komplek ini terbebas dari makhluk-makhluk macam mereka.”Orang-orang sangat bersemangat melihat keluarga Bu Sulis masuk penjara. Mereka memengaruhi Bulan untuk melaporkan keluarga itu ke polisi.“Lagian pak polisi kemana, sih? Dari tadi gak muncul-muncul. Beneran ditelponin kan, Pak?” tanya seorang tetangga pada security komplek.“Coba saya cek lagi, Bu. Tenang dulu, ya!"Security itu memeriksa ponselnya. Dan ternyata dia lupa memencet tombol kirim pesan ke salah satu temannya yang bekerja di kantor kepolisian.“Jadi dari tadi pesannya belum terkirim, Pak?” tanya para tetangga.“He he. Iya. Sekarang saya telepon, ya.”Melihat security komplek ingin menelpon pihak kepolisian, Bu Sulis kembali mengamuk. Dia benar-benar tak ingin dijebloskan ke penjara.“Sudah, Pak! Gak usah telepon polisi. Saya sudah memaafkannya. Kita selesaikan secara kekeluarg