“Sayang, tunggu!”Lingga berlari mendekati Bulan.“Sayang, kamu mau berangkat kerja, ya?”“Emm … tolong panggil nama aja, Mas! Sebentar lagi kita sudah berstatus mantan.”Bulan berusaha melepaskan genggaman Lingga di tangannya. Dia merasa risih. Apalagi setelah melihat sosok Agnes memantaunya dari rumah tetangga.“Tapi kita belum resmi berpisah, Sayang. Apa salahnya kita bermesraan seperti dulu? Sebenarnya aku juga ingin sekali rujuk denganmu.”“Lepasin, Mas! Lihat di sana!” tunjuk Bulan ke rumah tetangga. “Istrimu lihat. Nanti dia dan keluarganya salah paham. Aku benar-benar malas berurusan dengan mereka lagi. Sudah, ya. Aku mau berangkat kerja.”“Eh tunggu dulu, Say ….”“Bulan, Mas. Bulan. Jangan panggil sayang lagi.”Lingga menghembuskan nafas kasar mendengar permintaan Bulan. Pada akhirnya dia menuruti keinginan wanita itu.“Iya, deh. Bulan. Emm … apa aku boleh nebeng?”Bulan terkejut. Kenapa tiba-tiba Lingga ingin ikut dengannya? Memangnya pria itu mau kemana? Bukankah dia sudah
“Habis ini gak boleh jajan lagi, ya!"Sella menasehati anaknya untuk irit. Tak boleh jajan terus.“Nih anak bener-bener, deh. Ngajakin keluar pas matahari lagi terik-teriknya.”Sella masih menggerutu. Sedangkan anaknya tetap mengekor di belakangnya. Anak itu tak banyak cakap maupun tingkah. Jika keinginannya mau dipenuhi, maka dia tak boleh membuat Sella semakin marah.Saat Sella ingin mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, tak sengaja mata indahnya menangkap sesuatu yang mengejutkan. Di rumah Bulan terdapat pergerakan yang mencurigakan. Ada dua orang wanita yang terlihat celingak-celinguk mengawasi sekitar. Dia menyasar pintu rumah Bulan.“Siapa itu?” Sella memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas.“Astaga. Nesi? Bu Sulis? Benarkah mereka? Mau ngapain mereka masuk ke rumah Bulan? Bukankah jam segini Bulan masih bekerja?”Sella mulai mendekat. Dia ingin mengintip aksi ibu dan anak itu. Tapi apa daya. Ada anak kecil di belakangnya yang menangis memanggil dirinya Ibu.“Ayo, Bu!
“Laporkan saja ke polisi, Mbak! Biar mereka jera. Biar mereka tak berani macam-macam lagi. Biar gak banyak tingkah.”“Iya. Laporkan saja! Biar komplek ini terbebas dari makhluk-makhluk macam mereka.”Orang-orang sangat bersemangat melihat keluarga Bu Sulis masuk penjara. Mereka memengaruhi Bulan untuk melaporkan keluarga itu ke polisi.“Lagian pak polisi kemana, sih? Dari tadi gak muncul-muncul. Beneran ditelponin kan, Pak?” tanya seorang tetangga pada security komplek.“Coba saya cek lagi, Bu. Tenang dulu, ya!"Security itu memeriksa ponselnya. Dan ternyata dia lupa memencet tombol kirim pesan ke salah satu temannya yang bekerja di kantor kepolisian.“Jadi dari tadi pesannya belum terkirim, Pak?” tanya para tetangga.“He he. Iya. Sekarang saya telepon, ya.”Melihat security komplek ingin menelpon pihak kepolisian, Bu Sulis kembali mengamuk. Dia benar-benar tak ingin dijebloskan ke penjara.“Sudah, Pak! Gak usah telepon polisi. Saya sudah memaafkannya. Kita selesaikan secara kekeluarg
“Heh, kamu jangan ngaku-ngaku istri Handi, ya! Mana mungkin Handi punya istri gemb3l kayak kamu,” ucap Bu Sulis.“Iya benar. Saya istri kedua Mas Handi. Lihat lah! Kita sangat jauh berbeda. Lagipula, Mas Handi itu orang kaya. Mana mungkin mau sama perempuan kayak kamu,” Nesi ikut menimpali.Perempuan lusuh itu nampak terkejut. Dia tak percaya dengan perkataan yang terucap dari mulut Nesi.“Apa? Istri kedua? Mas Handi menikah lagi?”Perempuan itu nampak bersedih. Dia bahkan jatuh lemas dan terduduk di teras depan. Merasa tak percaya dengan kenyataan ini.“Udah, udah! Gak usah drama! Gak akan ada yang percaya dengan aktingmu. Di lampu merah banyak nih muka memelas kayak kamu. Pergi kamu!” Bu Sulis segera mengusir perempuan itu.Tak mau beranjak. Perempuan itu tetap kekeh berdiri di depan pintu. Dia ingin bertemu Handi. “Duuuh, pusing. Minggir!”Bu Sulis mencoba mendorong perempuan itu untuk menjauh dari pintu. Dia ingin menutup pintu. Tapi salah satu kaki perempuan itu menghalangi.“Ak
“Kalian siapa, ya?”Seorang wanita paruh baya dengan penampilan mewah, menatap tiga orang di depannya dengan sinis.“Maaf, Nyonya. Mereka menerobos masuk begitu saja ke dalam.”Seorang pria dengan pakaian security terlihat ketakutan di hadapan tuannya. Takut dikatakan tak becus dalam bekerja hanya gara-gara tiga tamu asing ini.“Sudah, gak apa! Biar mereka, saya yang urus. Kamu balik ke pos!”Sangat berwibawa. Bahkan tiga tamu asing itu sempat terkesima dengan pembawaan si tuan rumah. Dalam hatinya, mereka kagum akan sosok wanita berpenampilan mewah itu.Tapi itu hanya sesaat, karena salah satu tamu asing itu mulai melancarkan aksi tak tahu dirinya. Dia adalah Bu Sulis.“Biarkan kami masuk. Minggir!”Bisa-bisanya Bu Sulis bersikap tak sopan di rumah orang. Tuan rumah di sana yang kini diketahui bernama Nyonya Anjani, berusaha untuk diam dan ingin melihat lebih jauh maksud tamu-tamu asing ini bersikap tak sopan pada dirinya.Sedangkan Bu Sulis sudah melenggang masuk tanpa memedulikan s
Enam bulan kemudianLingga dan Bulan telah resmi bercerai. Lingga semakin uring-uringan. Sampai saat ini, dia tak punya penghasilan tetap. Dia pun hanya mendapat harta gono-gini sebesar lima juta rupiah. Uang itu tak dimanfaatkan dengan baik olehnya maupun keluarganya.Lingga tak ingin pindah ke kampung. Dia menyuruh sang Ibu untuk menjual semua hartanya di kampung untuk biaya hidup di kota.“Gengsi lah, Bu. Apa kata orang kalau aku tinggal lagi di kampung? Apalagi istri yang kubawa beda. Ahhh … pokoknya ribet. Males denger pertanyaan-pertanyaan orang.”Begitu lah ucapan Lingga dulu saat ibunya meminta dia untuk kembali ke kampung. Karena terus didesak oleh anaknya, pada akhirnya Bu Ines menjual semua hartanya di kampung dan tinggal permanen di kota. Sayang beribu sayang, uang hasil penjualan harta itu tak cukup untuk membeli rumah di kota. Mereka hanya bisa mengontrak dan bertahan hidup dengan sisa uang itu.“Kamu gak nyari kerja, Ngga? Uang Ibu sisa sejuta saja. Sampai akhir bulan
“Astaga. Kenapa rumah berantakan gini? Kalian habis ngapain?”Bu Ines yang baru pulang kerja, merasa heran mendapati rumah kontrakannya penuh dengan sampah makanan. Piring dan gelas kotor juga tergeletak begitu saja di ruang tamu. Dia lantas mencari anak dan menantunya untuk meminta penjelasan. Ternyata pasangan suami istri itu sedang asik merajut mimpi di dalam kamarnya.Saking geramnya, Bu Ines lantas membangunkan mereka berdua dengan paksa. Menampar pipi Lingga dan juga Agnes. Mereka terbangun dan terkejut mendapati sang Ibu telah berada di rumah.“Loh Ibu udah pulang?” tanya Lingga.“Kok tumben pulangnya siang, Bu?” tanya Agnes.Iya. Bu Ines kini telah dua bulan menjadi ART di rumah majikan Mbak Yani. Walaupun lelah, tapi dia kini merasa bersyukur karena majikannya sangat baik. Bahkan dia terkadang lebih nyaman di rumah majikannya ketimbang di kontrakannya sendiri. Anak dan menantunya tak bisa menghargainya.“Gak usah banyak basa-basi! Sekarang katakan! Kenapa rumah bisa berantaka
“Kontrakannya sempit banget, Bu.”“Iya, ya. Kayak kandang ayam. Ihh, itu apa? Kok berantakan gitu?”Ibu dan anak itu mendorong Lingga. Dia ingin membuka jalan agar bisa masuk ke dalam rumah.“Minggir! Aku mau masuk. Mana Agnes?” ucap salah satu tamu tak diundang itu pada Lingga. Hidungnya ditutup. Alisnya mengkerut saat memasuki kontrakan Lingga. Hal itu diperparah saat mereka melihat kondisi ruang tamu yang berantakan seperti kapal pecah.“Bibi … Nesi. Aaah … aku senang kalian datang.”Tiba-tiba Agnes muncul dari dalam kamar dan berlari ke arah bibi dan sepupunya. Mereka bertiga saling berpelukan dan berbagi rindu. Iya. Tamu yang datang, tak lain dan tak bukan adalah Bu Sulis dan Nesi.“Beneran kamu hamil, Nes? Tapi perutmu belum kelihatan buncit, ya?” tanya Nesi pada sepupunya.“Coba muter!” titah Bu Sulis pada sang keponakan. Agnes menuruti ucapan bibinya.“Kamu kok kurus banget, sih? Trus ini apa? Daster? Sejak kapan kamu makasi daster, Nes? Kayak orang misk1n aja.” Bu Sulis menat