“Kalian siapa, ya?”Seorang wanita paruh baya dengan penampilan mewah, menatap tiga orang di depannya dengan sinis.“Maaf, Nyonya. Mereka menerobos masuk begitu saja ke dalam.”Seorang pria dengan pakaian security terlihat ketakutan di hadapan tuannya. Takut dikatakan tak becus dalam bekerja hanya gara-gara tiga tamu asing ini.“Sudah, gak apa! Biar mereka, saya yang urus. Kamu balik ke pos!”Sangat berwibawa. Bahkan tiga tamu asing itu sempat terkesima dengan pembawaan si tuan rumah. Dalam hatinya, mereka kagum akan sosok wanita berpenampilan mewah itu.Tapi itu hanya sesaat, karena salah satu tamu asing itu mulai melancarkan aksi tak tahu dirinya. Dia adalah Bu Sulis.“Biarkan kami masuk. Minggir!”Bisa-bisanya Bu Sulis bersikap tak sopan di rumah orang. Tuan rumah di sana yang kini diketahui bernama Nyonya Anjani, berusaha untuk diam dan ingin melihat lebih jauh maksud tamu-tamu asing ini bersikap tak sopan pada dirinya.Sedangkan Bu Sulis sudah melenggang masuk tanpa memedulikan s
Enam bulan kemudianLingga dan Bulan telah resmi bercerai. Lingga semakin uring-uringan. Sampai saat ini, dia tak punya penghasilan tetap. Dia pun hanya mendapat harta gono-gini sebesar lima juta rupiah. Uang itu tak dimanfaatkan dengan baik olehnya maupun keluarganya.Lingga tak ingin pindah ke kampung. Dia menyuruh sang Ibu untuk menjual semua hartanya di kampung untuk biaya hidup di kota.“Gengsi lah, Bu. Apa kata orang kalau aku tinggal lagi di kampung? Apalagi istri yang kubawa beda. Ahhh … pokoknya ribet. Males denger pertanyaan-pertanyaan orang.”Begitu lah ucapan Lingga dulu saat ibunya meminta dia untuk kembali ke kampung. Karena terus didesak oleh anaknya, pada akhirnya Bu Ines menjual semua hartanya di kampung dan tinggal permanen di kota. Sayang beribu sayang, uang hasil penjualan harta itu tak cukup untuk membeli rumah di kota. Mereka hanya bisa mengontrak dan bertahan hidup dengan sisa uang itu.“Kamu gak nyari kerja, Ngga? Uang Ibu sisa sejuta saja. Sampai akhir bulan
“Astaga. Kenapa rumah berantakan gini? Kalian habis ngapain?”Bu Ines yang baru pulang kerja, merasa heran mendapati rumah kontrakannya penuh dengan sampah makanan. Piring dan gelas kotor juga tergeletak begitu saja di ruang tamu. Dia lantas mencari anak dan menantunya untuk meminta penjelasan. Ternyata pasangan suami istri itu sedang asik merajut mimpi di dalam kamarnya.Saking geramnya, Bu Ines lantas membangunkan mereka berdua dengan paksa. Menampar pipi Lingga dan juga Agnes. Mereka terbangun dan terkejut mendapati sang Ibu telah berada di rumah.“Loh Ibu udah pulang?” tanya Lingga.“Kok tumben pulangnya siang, Bu?” tanya Agnes.Iya. Bu Ines kini telah dua bulan menjadi ART di rumah majikan Mbak Yani. Walaupun lelah, tapi dia kini merasa bersyukur karena majikannya sangat baik. Bahkan dia terkadang lebih nyaman di rumah majikannya ketimbang di kontrakannya sendiri. Anak dan menantunya tak bisa menghargainya.“Gak usah banyak basa-basi! Sekarang katakan! Kenapa rumah bisa berantaka
“Kontrakannya sempit banget, Bu.”“Iya, ya. Kayak kandang ayam. Ihh, itu apa? Kok berantakan gitu?”Ibu dan anak itu mendorong Lingga. Dia ingin membuka jalan agar bisa masuk ke dalam rumah.“Minggir! Aku mau masuk. Mana Agnes?” ucap salah satu tamu tak diundang itu pada Lingga. Hidungnya ditutup. Alisnya mengkerut saat memasuki kontrakan Lingga. Hal itu diperparah saat mereka melihat kondisi ruang tamu yang berantakan seperti kapal pecah.“Bibi … Nesi. Aaah … aku senang kalian datang.”Tiba-tiba Agnes muncul dari dalam kamar dan berlari ke arah bibi dan sepupunya. Mereka bertiga saling berpelukan dan berbagi rindu. Iya. Tamu yang datang, tak lain dan tak bukan adalah Bu Sulis dan Nesi.“Beneran kamu hamil, Nes? Tapi perutmu belum kelihatan buncit, ya?” tanya Nesi pada sepupunya.“Coba muter!” titah Bu Sulis pada sang keponakan. Agnes menuruti ucapan bibinya.“Kamu kok kurus banget, sih? Trus ini apa? Daster? Sejak kapan kamu makasi daster, Nes? Kayak orang misk1n aja.” Bu Sulis menat
“Jadi Ibu ini keluarganya Agnes?”“Iya, Bu. Saya bibinya. Nama saya Sulis. Dan ini anak saya, Nesi. Cantik, ‘kan?”Bu Sulis melancarkan aksinya pada tetangga kontrakan Agnes. Memulai pendekatan sebaik mungkin.“Waah … sekeluarga cantik semua, ya? Kulitnya putih dan mulus. Rambutnya juga hitam dan lurus. Benar-benar idaman semua pria. Kayak artis di TV.”Mendengar puja-puji dari semua orang, membuat ketiga wanita itu tersanjung. Pipinya merah, tak sanggup menerima semua pujian ini.“Dulu saya sampai heran. Kenapa Nak Agnes mau sama Nak Lingga, ya? Sepertinya dia itu pengangguran. Nak Agnes lebih pantas menjadi istri pejabat. Pembawaannya itu seperti orang kaya.”“Bener kan ibu-ibu? Ponakan saya ini memang pantas mendapatkan yang lebih baik. Entah apa yang membuat dia kesemsem sama Lingga.”Bu Sulis, dan dua anak perempuannya betah berkumpul dengan para tetangga yang senang bergosip. Apalagi mereka didukung oleh kumpulan ibu-ibu itu. Pujian selalu keluar dari mulut orang-orang akan keca
“Apa itu, Nes?”Bu Sulis dan Nesi ikut mendekat. Agnes mulai membuka amplop itu. Terlihat lembaran-lembaran merah di dalam sana. Mata ketiga orang itu semakin berbinar. Seolah memenangkan doorprize untuk hadiah utama.“Wah, uang. Uang, Bu, uang ….”Nesi terlihat begitu girang. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan. Mengambil tangan sang Ibu untuk berjoged.“Ayo kita lihat, berapa isinya,” ucap Bu Sulis.Tapi sebelum uang itu raib dan berpindah ke tangan para wanita menyebalkan, secepat kilat Lingga mengambil amplop miliknya.“Loh, Mas?” Agnes tak terima.“Biar aku yang simpan. Akan kugunakan uang ini untuk modal usaha,” ucap Lingga sambil berlalu ke kamarnya. Di sisi lain, Bu Sulis memberi kode pada Agnes untuk mengikuti Lingga ke dalam kamar. Dia menyuruh sang keponakan untuk memata-matai gerak-gerik suaminya. Mereka harus mencari tahu dimana amplop itu akan disimpan.Saat semua orang di rumah itu sibuk memikirkan amplop coklat, Bu Ines datang dengan membawa banyak makanan. Majikannya
“Duuuh, aku capek, Bu.”Nesi mencari ibunya ke halaman depan sambil membawa sapu.“Loh, kamu belum selesai nyapu di dalem, Nes?”“Aku capek, Bu.”“Pura-pura bentar apa susahnya, sih? Si kep4rat itu belum keluar rumah,” ucap Bu Sulis pada anaknya. Sedangkan netranya terus mengawasi Lingga yang masih asik menyantap nasi goreng buatannya.“Kenapa Ibu gak lawan aja, sih? Tumben banget Ibu mau ngalah.”“Ssst. Jangan keras-keras! Pokoknya ikutin aja apa kata Ibu! Kita gak selamanya mengalah, kok. Ibu punya rencana lain. Sudah, sana! Pura-pura nyapu dulu!”Nesi terpaksa masuk kembali ke dalam rumah dan menyapu ruangan. Tapi wajahnya tak bisa bohong. Wajahnya cemberut saat mengerjakan semua ini. Maklum, sejak dulu dia selalu malas mengerjakan pekerjaan rumah. “Aku berangkat dulu. Semoga hari ini keterima kerja,” ucap Lingga pada sang istri.“Iya, Mas. Hati-hati. Aku selalu mendoakan yang terbaik buat kita. Semangat, ya,” balas Agnes dengan wajah penuh kepura-puraan.Selepas Lingga dan Bu Ine
“Jadi … selain buka usaha bengkel, kamu juga usaha jual beli motor bekas, No?” tanya Lingga keheranan. Dia tak menyangka kalau orang yang dulu dia remehkan, kini bangkit menjadi pengusaha sukses.“Iya, Ngga. Puji syukur Tuhan menitipkan semua ini padaku. Akan kurawat baik-baik.”Lingga menggeleng-gelengkan kepala. Dia begitu kagum dengan sosok Yono. Di saat dirinya menjalani hidup dengan penuh kesombongan dan kebohongan, Yono justru terus berlari mengejar mimpi dengan penuh ketulusan. Itu lah yang menyebabkan Lingga tertinggal begitu jauh. Tuhan dan semesta tak berpihak pada orang-orang sombong dan angkuh seperti dirinya. Tapi kini, saat dia baru meninggalkan semua sifat-sifat buruk itu, Lingga langsung dilimpahkan rejeki untuk memulai hidup yang baru. Tuhan begitu baik. Hanya kita yang terkadang terlalu bodoh untuk mengartikan maksud-Nya.“Jadi gimana? Apa kamu mau bekerja sama denganku, Ngga? Aku tak akan menjadi bos-mu, tapi rekan kerjamu.”Lagi-lagi, perkataan Yono membuat Lingga
“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian
“Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas
“Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak
“Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt
“Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng
“Baru saja pulang, Pak. Dia pulang bersama kakeknya.”Tentu saja kakek yang dimaksud oleh petugas rumah sakit adalah lelaki tua yang membantu Nadya dan Maga tempo hari.“Apa mereka tak menitipkan pesan atau memberitahukan alamat mereka?”“Maaf, Pak. Tidak ada.”Jaka menghela nafas pelan. Dua hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan juga keluarganya. Dia harus menjadi tameng dan tembok pembatas bagi istri dan anak perempuannya yang sedang perang dingin. Sehingga ia lupa menemui pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan adik kembarnya.“Dia sudah pergi, Yan. Aku tak tahu dimana keberadaannya sekarang.”Jaka memberi laporan pada adik kembarnya yang lain. Dia gagal mencari tahu tentang asal-usul pemuda itu. Dia kehilangan jejak.“Sudah, tak apa-apa, Mas! Kalau memang benar dia keponakan kita, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.”Dari seberang telepon, Yanti berusaha menghibur kakaknya. Sebenarnya ia pun tak yakin kalau pemuda yang dimaksud oleh kakaknya adalah kepona
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat