“Jadi … selain buka usaha bengkel, kamu juga usaha jual beli motor bekas, No?” tanya Lingga keheranan. Dia tak menyangka kalau orang yang dulu dia remehkan, kini bangkit menjadi pengusaha sukses.“Iya, Ngga. Puji syukur Tuhan menitipkan semua ini padaku. Akan kurawat baik-baik.”Lingga menggeleng-gelengkan kepala. Dia begitu kagum dengan sosok Yono. Di saat dirinya menjalani hidup dengan penuh kesombongan dan kebohongan, Yono justru terus berlari mengejar mimpi dengan penuh ketulusan. Itu lah yang menyebabkan Lingga tertinggal begitu jauh. Tuhan dan semesta tak berpihak pada orang-orang sombong dan angkuh seperti dirinya. Tapi kini, saat dia baru meninggalkan semua sifat-sifat buruk itu, Lingga langsung dilimpahkan rejeki untuk memulai hidup yang baru. Tuhan begitu baik. Hanya kita yang terkadang terlalu bodoh untuk mengartikan maksud-Nya.“Jadi gimana? Apa kamu mau bekerja sama denganku, Ngga? Aku tak akan menjadi bos-mu, tapi rekan kerjamu.”Lagi-lagi, perkataan Yono membuat Lingga
“Loh, Mas. Mana pesenanku?” “Aku gak beli,” jawab Lingga dengan singkat. Dia hendak masuk ke kamarnya namun dicegah oleh Agnes. “Apa, Mas? Gak beli? Kamu gak denger aku ngomong apa di telpon? Beliin kami seblak dan cendol,” ucap Agnes dengan penuh penekanan. Dia berharap sang suami akan takut dan gegas kembali keluar rumah untuk membelikan apa yang dia mau. “Tolong sopan sama suami! Kamu gak boleh bentak-bentak aku seperti ini. Suami pulang, bukannya disediain makanan dan minuman, ini malah dimarahi. Kamu kan bisa beli sendiri.”“Ya uangnya mana?”“Aku kan udah kasi kamu uang tadi pagi. Dimana uang itu? Kamu habiskan?”Iya. Tadi pagi, sebelum Lingga keluar rumah, dia telah memberi istrinya uang sebesar dua puluh ribu. Itu untuk jajan Agnes pribadi. Walaupun sang istri tak terima dengan jumlah uang itu, Lingga tak peduli. Dia harus bisa mendidik sang istri untuk hemat. Dia dan ibunya mat1-mat1an banting tulang untuk mencari nafkah, sang istri justru menghambur-hamburkannya bersama d
Jam 4 pagi, Lingga sudah bangun dari tidurnya dan bersiap hendak kerja. Iya. Hari pertama masuk kerja, dia mendapatkan bagian shift pagi. Jam kerjanya dimulai jari jam 6 pagi hingga jam 2 siang. Di rumah Nyonya Sandra, terdapat 3 orang security, yang dibagi ke dalam 3 shift. Yang mendapat bagian shift malam, juga akan ditemani oleh tukang kebun di sana. Tukang kebun di rumah itu memang senang berjaga dan tidur di pos security. “Duuuh, dingin banget ….”Sehabis mandi, Lingga kembali masuk ke kamarnya. Dia melihat sang istri masih tertidur pulas. Padahal tadi malam, Lingga sempat memberi pesan pada istrinya untuk membuatkan dia sarapan. Dia harus berangkat kerja pagi-pagi buta.Tanpa menghiraukan sang istri, dia pun bersiap-siap untuk bekerja. Ibadah pagi juga telah dilakukan oleh Lingga sebelum memulai aktivitasnya. Sekitar 30 menit berada di kamar, Lingga kini pun keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap seorang security. Dia merasa, hidupnya kembali berwarna. Sempat terbersit ken
“Kok Ibu belum ke sini juga, ya?” Lingga mulai gelisah. Pasalnya, sang Ibu belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah Nyonya Sandra. Dia khawatir dan terus bertanya-tanya. “Aku harus telepon Ibu,” ucap Lingga sambil memencet nomor di ponselnya.Teleponnya tersambung, namun tak kunjung diterima. Kemana sang Ibu? Lingga terus bertanya-tanya.“Apa Ibu mendadak gak enak badan, ya? Tapi biasanya Ibu akan selalu mengabariku. Coba aku telpon Agnes, deh.”Lingga begitu sibuk mengkhawatirkan kondisi sang Ibu sampai tak menghiraukan kedatangan mobil Nyonya Sandra. Merasa pegawainya asik sendiri, Nyonya Sandra yang baru datang sehabis mengantar cucunya ke sekolah, lantas mendatangi pos security.“Lingga … Lingga,” panggil Nyonya Sandra. Saking sibuknya, Lingga sampai tak mendengar panggilan itu. Sampai akhirnya supir pribadi Nyonya Sandra menepuk bahu Lingga dan menyuruhnya menjawab sapaan majikannya. Tentu Lingga merasa terkejut. Dia terperanjat.“Maaf, Bu,” ucap pria itu sembari menund
“Kita mau kemana, Bu? Iiish … aku kesel banget sama Mas Lingga,” gerutu Nesi.Kini, ibu dan anak itu harus berjalan kaki di tengah teriknya mentari sembari membawa tas besar dan juga koper mereka. Bu Sulis hanya mengantongi uang sebesar 50 ribu yang diberikan oleh Lingga kemarin. Sebenarnya itu jatah makan untuk satu keluarga hari ini, tapi dia tak memasak atau membelanjakan uang itu tadi pagi. Hingga saat dia diusir oleh Lingga, uang itu masih terlipat di dompetnya.“Coba kamu hubungi Husein!” titah Bu Sulis pada anaknya.Nesi terkejut hingga mulutnya terbuka lebar. Mau apa lagi sang Ibu menyuruhnya menelpon Husein? Bukankah mereka pindah ke kontrakan Lingga karena kabur dari Husein? Setelah berhasil pergi, kenapa sang Ibu justru ingin menyerahkan diri kembali?“Husein? Mau ngapain, Bu? A … aku gak mau.”“Ya, mau gimana lagi. Hanya dia yang kita punya. Lagipula, dia cinta m4ti sama kamu. Pasti tak akan masalah jika kita memanfaatkannya lagi.”“Aku gak mau, Bu. Aku gak mau sama pria b
“Silahkan, Mas! Nyonya sudah menunggu di dalam.”Sampai di rumah majikannya, Lingga tak langsung kembali ke pos security. Tapi dia diminta masuk ke dalam rumah mewah itu oleh seorang ART.Baru kali ini, Lingga bisa masuk ke dalam rumah mewah milik Nyonya Sandra. Setiap barang yang terpajang di sana terlihat mewah dan tentunya memiliki harga yang mahal. Sempat terbersit angan-angan untuk memiliki rumah semegah itu. Tapi itu tak akan mungkin terjadi. Dia tak memiliki apapun yang dibanggakan selain rasa syukur dan tekad yang kuat untuk bekerja dengan rajin.TokTokTokART yang bernama Mbak Sarni terlihat mengetuk pintu salah satu kamar yang ada di lantai dua.“Ini kamar siapa, Mbak?” bisik Lingga, sebelum pintu itu terbuka dari dalam.“Nona Clarissa.”Nama itu. Nama yang membuat Lingga datang kembali ke rumah majikannya dalam waktu cepat. Nama yang membuat dia penasaran sejak tadi. Siapakah pemilik nama itu?CeklekPintu pun terbuka. Terlihat sosok Nyonya Sandra yang tersenyum ramah ke
“Terserah apa katamu! Toh, aku juga gak bakal menerima tawaran itu,” ucap Lingga tak peduli.“Apa, Mas? Kamu gak mau menikahi anak orang kaya itu?” tanya Agnes, penuh keheranan. Lingga menggeleng, menjawab pertanyaan istrinya.“Bod0h kamu, Mas. Benar-benar, bod0h. Kesempatan emas seperti ini malah dilewatkan begitu saja. Ini satu-satunya cara untuk keluar dari garis kemiskinan. Memangnya kamu betah jadi orang misk1n terus?”Mendengar perkataan Agnes, Lingga dan ibunya menggelengkan kepala pelan. Tak habis pikir dengan isi kepala Agnes. Baru kali ini mereka mendengar seorang istri begitu mendukung suaminya untuk menikah lagi. Apakah Agnes ingin mengejar surga dengan mengambil keputusan berbagi suami? Ataukah ini hanya tentang hart4 dan status sosial? Jika mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Agnes, sepertinya wanita itu menginginkan suaminya menikah lagi hanya karena calon madunya adalah anak orang kaya. Dia berharap mendapatkan bagian hart4 dari keluarga Nyonya Sandra.“Pikirkan,
“Apa-apaan ini, Mas?”Agnes langsung melempar ponsel ke raga Lingga. Pria itu kaget dan terbangun dari tidurnya. Dia merasakan sakit di ulu hati. Sepertinya benda pipih itu jatuh tepat di atas dad4nya dan terpental kembali ke kasur.Lingga mengambil ponselnya yang sudah terbuka. Kontak dengan nama “istriku” terpampang di sana. Ketahuan. Agnes sudah mengetahui semuanya.“Ngapain kamu simpan nomor wanita itu dengan nama istriku, huh? Kamu masih berharap sama dia?”“Apa-apaan sih, kamu? Dari tadi marah-marahin suami terus. Aku gak pernah disambut dengan makanan, minuman, atau senyum manis. Kamu selalu saja mencari masalah. Kalau gini, aku pusing di rumah terus,” ucap Lingga. Hal itu semakin memancing amarah Agnes.“Apa kamu bilang? Pusing? Harusnya aku yang bilang gitu, Mas. Sekarang jawab pertanyaanku! Apa kamu masih berharap sama wanita itu?”“Wanita yang mana?”“Jangan belagak beg0, Mas! Wanita tua, mantan istrimu itu. Kamu masih berharap sama dia, huh? Ingin rujuk lagi? Atau jangan-j
“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian
“Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas
“Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak
“Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt
“Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng
“Baru saja pulang, Pak. Dia pulang bersama kakeknya.”Tentu saja kakek yang dimaksud oleh petugas rumah sakit adalah lelaki tua yang membantu Nadya dan Maga tempo hari.“Apa mereka tak menitipkan pesan atau memberitahukan alamat mereka?”“Maaf, Pak. Tidak ada.”Jaka menghela nafas pelan. Dua hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan juga keluarganya. Dia harus menjadi tameng dan tembok pembatas bagi istri dan anak perempuannya yang sedang perang dingin. Sehingga ia lupa menemui pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan adik kembarnya.“Dia sudah pergi, Yan. Aku tak tahu dimana keberadaannya sekarang.”Jaka memberi laporan pada adik kembarnya yang lain. Dia gagal mencari tahu tentang asal-usul pemuda itu. Dia kehilangan jejak.“Sudah, tak apa-apa, Mas! Kalau memang benar dia keponakan kita, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.”Dari seberang telepon, Yanti berusaha menghibur kakaknya. Sebenarnya ia pun tak yakin kalau pemuda yang dimaksud oleh kakaknya adalah kepona
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat