“Ini anak Mas Lingga, Bu?”Bulan menggendong Baby Nadia disertai senyum yang terkembang di bibirnya. Selama ini, dia sangat merindukan sosok seorang anak hadir di kehidupannya. Dia tak menyangka kalau saat ini dia bisa menggendong dar4h d4ging Lingga yang sangat lucu. Namun anak itu, bukan terlahir dari rahim Bulan.“Agnes gak pernah menanyakan kabarnya, Bu?”Bu Ines menggeleng. Dia merasa iba dengan nasib sang cucu. Ayah dan ibunya pergi meninggalkannya sejak kecil. Kini, bayi kecil itu hanya bisa merasakan kasih sayang seorang nenek di hidupnya.“Nanti aku bantu cari Mas Lingga, Bu. Memangnya, terakhir dia kemana? Atau sudah tanya sama Clarissa belum?”Mendengar nama itu, Bu Ines semakin terdiam. Dia tak tahu harus berkata apa dengan Bulan. Dia memerlukan bantuan orang lain untuk mencari anaknya, tapi di sisi lain, Bu Ines juga tak mau menyusahkan Bulan yang selama ini sudah dia sakiti.“Sudah lah, Nak! Mungkin Lingga butuh waktu untuk sendiri. Nanti juga dia pulang. Kamu gak usah m
“Mas, sakit ….”Clarissa mengeluh sakit pada suaminya. Kaki dan tangannya harus dipasang gips karena mengalami cidera. Kondisinya ini dimanfaatkan oleh Clarissa untuk mendapatkan perhatian suaminya.“Suapin. Aku lapar ….”Sangat manja. Lingga terus diminta untuk berada di sampingnya. Lelaki itu hanya boleh beranjak dari sisi Clarissa saat ingin ke kamar mandi. Sedangkan makanan sudah disediakan dan diantar langsung oleh pegawai suruhan Tuan Anthony. Lingga seolah terkurung di dalam sangkar emas. Segala kebutuhannya terpenuhi, namun dia harus menjadi pelayan Clarissa untuk seumur hidupnya.“Nanti kalau aku sudah sembuh, kita jalan-jalan ke luar negeri, ya, Mas.”Lingga tetap tak menjawab. Tangannya masih sibuk menyuapi Clarissa, tapi pikirannya jauh melayang ke kontrakan sempitnya. Dia rindu. Dia khawatir akan keadaan anak dan ibunya.“Mas ….”Karena tak mendapat jawaban dari suaminya, Clarissa pun akhirnya berteriak. Tangan dan kakinya cidera, tapi dia masih bisa mengeluarkan suara te
“Ehh, Bu. Itu ada apa, ya, rame-rame?”Tiga orang wanita yang baru saja keluar dari salah satu rumah di lingkungan itu, tiba-tiba melihat keramaian di kontrakan Bu Ines.“Ya gak tahu. Udah lah! Gak usah kepo! Mending kita pulang dan pikirkan rencana lagi. Kita harus pinjam uang ke orang lain lagi demi kebutuhan kita,” ucap seseorang yang dipanggil Ibu.“Yeeh … mending kita lihat saja, Bu. Siapa tahu lagi pembagian sembako atau uang. Sekarang kan lagi musim pemilu.”“Oh, benar juga kata Nesi, Bi. Siapa tahu ada pembagian uang.”Iya. Tiga wanita yang sejak tadi mengamati keramaian yang ada di kontrakan Bu Ines adalah Bu Sulis dan kedua anaknya. Mereka baru saja berkunjung ke rumah salah satu teman Bu Ines dengan tujuan untuk meminjam uang sekaligus mencari belas kasihan. Sayang beribu sayang, rencananya tak berjalan mulus. Temannya itu tak bersedia meminjamkan uang untuk Bu Sulis. Untuk itulah mereka hendak kembali ke kontrakannya dengan wajah lesu. Namun siapa disangka? Ternyata mereka
Sebulan BerlaluUang sumbangan dari tetangga Bu Ines sudah mulai habis. Agnes dan keluarganya kembali kebingungan. Mereka tak tahu harus mencari uang dimana lagi. Mereka tak mau bekerja. Mereka hanya ingin mendapatkan uang dalam waktu cepat.“Gimana, nih, Bi? Uang kita sudah habis,” ucap Agnes.“Ya Bibi juga gak tahu. Kamu sih pake bawa bayi itu segala. Bukannya dikasi Lingga aja.”“Ini kan anakku, Bi. Lagian Lingga juga gak bisa dihubungi.”“Ya usaha, kek! Pergi ke rumah Clarissa lagi dan cari Lingga!” Bu Sulis terus memaksa keponakannya untuk mencari keberadaan Lingga.“Bibi gak lihat respon security di rumahnya waktu itu? Mereka galak banget. Kita diusir dan diperlakukan sehina itu. Gak mau, ah. Aku gak mau merendahkan diriku lagi.”Agnes tak setuju dengan usul bibinya. Dia trauma. Tak ingin lagi datang ke rumah Clarissa. Masih lekat di ingatannya bagaimana perlakuan security pada dirinya saat datang ke rumah mewah itu.“Trus gimana? Kalau kamu gak mau ke rumah itu … ya sudah, beso
“Bi … lihat ini! Ini bukannya Bibi dan Nadia? Kenapa Bibi bisa viral?”Agnes menyodorkan ponsel ke bibinya. Memperlihatkan tayangan dari seorang konten kreator yang di dalamnya terpampang wajah Bu Sulis dan Nadia.Bu Sulis merebut ponsel keponakannya dan memperhatikan baik-baik rekaman video itu.“Loh, kamu kok bisa dapat kuota, Nes? Jangan-jangan dari bos bengkel itu, ya?” tanya Nesi. Wanita itu belum tertarik dengan video viral tentang ibu dan keponakannya. Dia hanya fokus dengan paket internet yang dimiliki sepupunya. Darimana Agnes mendapat uang untuk membeli paket kalau bukan dari bos bengkel itu?“Diem dulu! Kami lagi fokus sama video viral itu.”Agnes menyuruh sepupunya untuk diam. Nesi menurut, namun bibirnya mencebik. Dia lantas ikut memerhatikan video viral di ponsel Agnes.Sedang asik menonton video itu, tiba-tiba Bu Sulis berteriak kegirangan. Dia seperti orang keset4nan.“Loh, Bu? Kenapa? Kok malah kesenengan? Bukannya ini pencemaran nama baik? Lihat judul videonya!”Iya
“Jadi Ibu tinggal di sini?”“Iya, Mas …,” jawab Bu Sulis dengan wajah sendu. Bu Sulis menggunakan tempat tinggal milik seorang pemulung untuk menjalankan aksi tipu-tipunya. Dia tahu bahwa para konten kreator itu akan mencarinya. Sehingga Bu Sulis membuat skenario seolah-olah menjadi seorang pemulung sekaligus nenek hebat—menghidupi cucu semata wayangnya dalam keterbatasan.“Jadi guys … Bu Sulis ini adalah seorang pemulung yang tinggal di kolong jembatan. Beliau juga harus merawat cucunya yang masih bayi dalam keterbatasannya. Biasanya, beliau akan mulai mencari rongsok saat subuh dan malam hari. Baby Nadia tak ada yang menjaga hingga dia juga harus ikut mencari nafkah dengan sang nenek.”Begitulah narasi salah seorang di antara beberapa konten kreator itu. Ponsel dan kamera mereka mengarah ke Bu Sulis dan bayinya. Mereka mengambil gambar dari berbagai sudut agar terlihat lebih dramatis. “Yang mau menyisihkan sedikit rezekinya untuk kebutuhan hidup Bu Sulis dan Baby Nadia, hubungi ka
TokTokTok“Permisi, Bu … Bu Jesika.”Lingga bertandang ke rumah pemilik kontrakan. Dia ingin meminta maaf sekaligus berterima kasih karena telah membantu proses pemakaman ibunya. Lingga juga ingin mengambil motornya yang kini terparkir di rumah Bu Jesika.“Siapa itu?”Pintu rumah belum terbuka, tapi dari dalam sudah terdengar suara si empunya rumah.“Saya Lingga, Bu,” jawab Lingga dari balik pintu.Setelah mendengar nama Lingga disebut, suara kunci pun terdengar diputar dari dalam.CeklekKini pintu rumah Bu Jesika telah terbuka. Memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan rambut dicepol dan memakai daster bermotif bunga-bunga.“Lingga?” tanya Bu Jesika dengan alis mengkerut.“Iya, Bu. Ini saya Lingga.”“Mau ngapain kamu ke sini? Ibumu sudah mati.”Tanpa basa-basi, Bu Jesika pun mengatakan apa yang terjadi selama Lingga tak ada di kontrakan. Respon Lingga pun cukup mengejutkan Bu Jesika. Pasalnya, Lingga hanya tersenyum tipis sambil mengusap-usap dad4nya. Bagi Bu Jesika, responn
“Bu … nasinya, 1, ya. Lauknya dicampur.”Dengan kondisi raga yang belum pulih akibat pukvlan prem4n pasar kemarin, Lingga tetap mencari makan di warung nasi dekat kos. Saat Lingga tiba di sana, warungnya cukup sepi. Hanya dia pelanggan satu-satunya di warung itu.“Adek tinggal dimana? Di komplek ini juga? Saya baru lihat,” ucap ibu-ibu penjaga warung. Mulutnya bertanya asal usul Lingga tapi tangannya tetap lihai mengisi piring dengan berbagai macam lauk sesuai pesanan.“Iya, Bu. Saya ngekos di depan sana,” ucap Lingga sembari menunjuk gang yang menuju ke tempat kos-nya.“Oh … kos di tempat Herman? Pantesan ke sininya cuma jalan kaki. Ternyata nge-kos di sana toh. Trus itu kenapa pipinya? Kok ungu-ungu gitu? Habis dipukvlin sama maling, ya, Dek? Di kos sana kan banyak k4sus pencuri4n dan penganiay4an.”Ibu-ibu penjaga warung itu ternyata cukup penasaran dengan kondisi Lingga yang penuh bekas leb4m akibat pukvlan kemarin. Dia sengaja berbasa-basi menanyakan tempat tinggal Lingga agar bi