“Loh … Bulan mana, Mer?” tanya Nyonya Sandra pada iparnya. Sabtu malam, di saat muda-mudi asik menyusun rencana untuk memadu kasih, keluarga Bulan justru disibukkan dalam menghadiri undangan keluarganya. Iya, undangan dari keluarga Nyonya Sandra dan Tuan Anthony.“Ohh, Bulan. Sebentar lagi dia menyusul,” ucap Mama Mery sembari menyunggingkan senyum.Orang tua Bulan disambut dengan begitu baik oleh Tuan dan Nyonya. Sepertinya mereka telah benar-benar akur. Tuan Anthony pun lebih banyak melontarkan lelucon pada adik dan iparnya. Ia yang dulu kaku dan dingin pada Papa Kevin, kini justru begitu ceria. Ia tak lagi membenci Papa Kevin yang dulunya dianggap sebagai perusak hubungan kekeluargaan antara dirinya dan Mama Mery.Dulu, keluarga Mama Mery memang tak menyukai Papa Kevin. Pria itu dianggap tak selevel dengan mereka. Ketenaran serta kekay4an yang dimiliki keluarga Mery, membuat mereka menjadi congkak dan arogan. Dia menganggap orang lain begitu rendah. Hal itulah yang membuat Mama Me
“Kok baru dateng sih, Mas? Kami nungguin dari tadi loh. Baby Nadia mana? Gak diajak?”Clarissa langsung menghampiri pujaan hatinya itu. Tapi Lingga masih tak bergeming, begitupun dengan Bu Ines. Mereka kompak memandang ke satu arah, yaitu ke arah Bulan.Melihat ekspresi dari keluarga Bulan dan Lingga, Tuan dan Nyonya merasa kebingungan, begitupun dengan Clarissa. Sebenarnya ada apa ini? Begitulah isi pikiran mereka saat ini.“Mas … Bu. Kalian kenapa? Kok bengong?” tanya Clarissa pada Lingga dan ibunya.“Dek, kenapa? Kamu kenal sama Lingga dan ibunya?” Sedangkan Nyonya Sandra, mulai mencari tahu lewat adik iparnya. Dia bertanya pada Mama Mery tentang apa yang terjadi saat ini. Mama Mery pun mengangguk lemah.“Sudah … sudah! Kita bicarakan ini nanti. Sekarang ayo! Kita makan malam dulu!” titah Tuan Anthony pada semua orang di rumah itu.Mereka semua tak saling bicara. Tapi saat ingin menuju ke ruang makan, Clarissa menggandeng tangan Lingga dengan mesra. Pria itu justru memandang ke ar
“Nak ….”Bu Ines mendekati anaknya di kamar. Sejak kemarin, Lingga hanya bengong dan mengurung diri di kamar. Ibunya khawatir akan kondisi sang putra. Dia mencoba mengulik tanya tentang perasaan Lingga saat ini.“Cerita sama Ibu, Nak!” ucap Bu Ines dengan nada lembut. Dia tak ingin sang putra merasa risih dan memilih menutup bibirnya rapat-rapat. Saat ini, mereka hanya tinggal berdua. Mereka harus tetap kompak dan saling mendukung. “Bu … sepertinya aku gak bisa melanjutkan perjodohan ini,” ucap Lingga.Bu Ines hanya mengangguk. Dia sedikit tahu tentang kecamuk yang anaknya rasakan saat ini. Pasti di hatinya, masih ada Bulan yang menguasai tahta tertinggi. Bu Ines mencoba mengerti itu dan tak mau memaksa Lingga lagi. Dia tak ingin terjadi masalah di kemudian hari.“Apa kamu masih sangat mencintai Bulan, Nak?” tanya Bu Ines.Lingga mengangguk. Ada raut penyesalan di wajahnya. Hal itu semakin nampak sejak pertemuannya semalam dengan Bulan.“Ibu tak tahu harus bilang apa. Ibu hanya bisa
Kesal. Clarissa pun keluar dari mobilnya dengan amarah yang memuncak. Dia bergegas menyusul calon suaminya ke rumah wanita itu.“Mas ….”Clarissa berteriak dengan keras, hingga membuat beberapa tetangga terkejut dan mengintip dari jendela rumahnya.“Non ….” Lingga terkejut dan kembali berdiri. Sedangkan Bulan keheranan, dia mengerutkan keningnya.“Apa-apaan ini, Mas?” tanya Clarissa dengan nada marah.“Ma … maaf, Non.”“Kamu masih mengharapkan dia, Mas?” ucap Clarissa sembari menunjuk Bulan dengan tak sopan. Tak ada lagi panggilan Mbak atau Kak yang ditujukan pada Bulan oleh dirinya.“Maaf, Non. A … aku tak bisa denganmu. Aku masih mencintai Bulan.”Clarissa semakin kesal. Tapi amarahnya itu kini tertuju pada diri Bulan. Mantan istri Lingga itu semakin tak enak hati pada sepupunya. Baru saja membangun komunikasi dan hubungan yang baik, kini mereka justru akan berselisih paham karena seseorang. Dan lagi-lagi, orang yang membawa penderitaan di kehidupan Bulan adalah Lingga.“Maaf, Sa. A
“Ma …. Ayo bantu aku mempersiapkan pernikahan!”Pulang-pulang, bukannya menyapa orang tuanya, Clarissa justru menampilkan wajah kesal dan memberi kabar mengejutkan.“Apa? Pernikahan? Pernikahan siapa, Nak?” tanya Nyonya Sandra.“Pernikahanku dan Mas Lingga, Ma. Mana Papa?”“Papamu sedang keluar, Nak. Beliau mau bertemu Om Kevin dan Tante Mery.”“Ngapain Papa masih mau berhubungan baik dengan mereka? Putuskan saja tali persaudaraan kita lagi, Ma! Kita tak butuh saudara seperti mereka. Mereka lic1k.”Nyonya Sandra terkejut mendengar perkataan putrinya. Apa-apaan ini? Kenapa Clarissa begitu marah dengan keluarga Mama Mery? Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian semalam? Apa ini masih berkaitan dengan Lingga?“Nak. Siapa yang mengajarimu berbicara seperti itu? Mereka saudara kita. Tante Mery itu adik satu-satunya Papa. Oma dan Opa sudah memberi pesan pada kita untuk bersatu. Tolong jangan ngomong yang nggak-nggak, Nak! Jangan memperkeruh suasana!" “Gimana aku gak kesel dan marah, Ma?
“Ma, kenapa kamu gak bilang kalau Clarissa akan menikah besok?”Tuan Anthony menanyakan semua ini pada istrinya. “Aku juga gak tahu, Pa. Anak itu tiba-tiba pulang ke rumah dan memintaku untuk membantu mempersiapkan pernikahan.”“Trus gimana ini, Ma? Apa kita harus menuruti permintaan Clarissa?”“Pa … Lingga tak mencintai anak kita, Pa. Lingga masih belum bisa melupakan Bulan. Apa kamu tega menyerahkan Clarissa pada lelaki yang belum usai dengan masa lalunya?”Seketika Tuan Anthony terdiam mendengar perkataan istrinya. Benar yang dikatakan oleh Nyonya Sandra. Untuk apa dia menyerahkan sang putri ke penderitaan yang lain? Clarissa tak mungkin bahagia jika menikah dengan Lingga. Karena masih ada bayang-bayang Bulan di antara mereka.“Sebentar, Ma. Jika Clarissa memang ingin menikah besok. Aku akan kabulkan.”“Apa, Pa? Papa yakin?”“Iya. Tapi tidak dengan Lingga.”Tuan Anthony mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. Dia meminta orang itu datang hari ini juga ke kediaman mewahnya. “P
“Kamu apa-apaan, Sa? Kalau Mama dan Papa tahu gimana?”Amara menegur sang adik karena aksi nekatnya ini. Tapi Clarissa tak peduli. Dia tetap melanjutkan perilaku yang dianggapnya benar itu.“Mbak ini siapa?” tanya Lingga pada Amara.Mereka kini berada di depan kontrakan Lingga. Baby Nadia berhasil diselamatkan dan dibawa masuk oleh Bu Ines. Kini, hanya tersisa tiga orang yang berdebat.“Dia kakakku,” ucap Clarissa, masih dengan wajah juteknya.“Kenalin. Saya Amara.”Wanita itu mengulurkan tangan terlebih dahulu pada Lingga. Dia ingin berkenalan dengan sosok pria yang berhasil membuat adiknya berbuat nekat.“Saya Lingga. Salam kenal Mbak, eh … maksud saya, Non.”“Jadi kamu yang namanya Lingga?” tanya Amara dengan tatapan menyelidik. Dia memperhatikan penampilan Lingga dari atas sampai bawah.“Maaf, Non. Kita masuk ke dalam dulu, ya. Gak enak bicara di luar seperti ini. Gak enak sama tetangga yang lagi istirahat.”Clarissa pun menarik tangan kakaknya untuk masuk ke dalam kontrakan sempi
“Bagaimana saksi?”“SAH”Semua orang yang hadir di ruangan itu mengucap syukur atas pernikahan yang baru saja terlaksana dengan lancar. Iya. Pernikahan antara Lingga dan Clarissa. Acaranya diselenggarakan di rumah mewah keluarga Anthony. Tak begitu banyak tamu yang datang. Bahkan rekan bisnis Tuan Anthony pun tak terlihat batang hidungnya. Wajar. Pernikahan ini dilaksanakan secara tertutup dan mendadak. Si empunya acara tak sempat menyampaikan undangan bagi kerabat maupun rekan-rekannya.Kini, saatnya kedua mempelai melakukan sungkem pada kedua orang tua. Saat inilah dada Lingga merasa sesak. Ibu tersayangnya tak bisa hadir di hari itu. Bukan karena tak mau, tapi Clarissa tak mengizinkan Lingga keluar untuk menjemput ibunya. Bahkan janji-janji yang diberikan mengenai penjemputan Bu Ines pun seolah diabaikan. Sampai acaranya selesai, Bu Ines tak nampak hadir di rumah itu.Melihat raut kesedihan dan kekecewaan dari wajah sang menantu, Nyonya Sandra sangat mengerti semua itu. Saat Lingga
“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian
“Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas
“Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak
“Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt
“Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng
“Baru saja pulang, Pak. Dia pulang bersama kakeknya.”Tentu saja kakek yang dimaksud oleh petugas rumah sakit adalah lelaki tua yang membantu Nadya dan Maga tempo hari.“Apa mereka tak menitipkan pesan atau memberitahukan alamat mereka?”“Maaf, Pak. Tidak ada.”Jaka menghela nafas pelan. Dua hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan juga keluarganya. Dia harus menjadi tameng dan tembok pembatas bagi istri dan anak perempuannya yang sedang perang dingin. Sehingga ia lupa menemui pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan adik kembarnya.“Dia sudah pergi, Yan. Aku tak tahu dimana keberadaannya sekarang.”Jaka memberi laporan pada adik kembarnya yang lain. Dia gagal mencari tahu tentang asal-usul pemuda itu. Dia kehilangan jejak.“Sudah, tak apa-apa, Mas! Kalau memang benar dia keponakan kita, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.”Dari seberang telepon, Yanti berusaha menghibur kakaknya. Sebenarnya ia pun tak yakin kalau pemuda yang dimaksud oleh kakaknya adalah kepona
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat