“Bagaimana bisa Si Kanaya bersama Bima? Ini tidak bisa aku biarkan.”Melinda bersungut-sungut sebab wanita yang selalu membuatnya iri sedari dulu muncul di depan mata bersama lelaki yang masih sangat ia cintai.Tanpa meminta izin, Bima masuk ke mobil Kanaya lagi. Tujuannya hanya satu, ingin secepatnya menjauhi wanita yang urat malunya sudah putus itu. Tidak peduli dengan bibir Kanaya yang masih manyun-manyun tidak jelas.“Lha, kenapa masuk?”“Tolong nebeng, ya! Sampai persimpangan jalan di depan saja. Nanti saya turun.”“Kenapa tidak kamu saja yang mengemudi?”“Oh, ya.”Mereka pun hendak bertukar posisi duduk. Keduanya bersamaan bergeser hendak menukar tempat duduk. Karena tanpa perhitungan kepala mereka jadi tak sengaja terbentur.“Aw,” ringis Kanaya.“Eh maaf.”“Keras banget kepalanya.”“Ya namanya juga kepala.”“Aish, menyebalkan.”“Apa?”“Enggak,” ketus Kanaya. Sebetulnya ia ketus bukan karena terjedot kepala Bima, melainkan Bima masih juga belum berinisiatif menjel
“Begini Nay ….” Mira menggantung ucapannya dengan menarik napas panjang.“Iya, Bu.”“Anna dan Alya bisa tolong tinggalkan kami dulu? Nenek mau bicara penting sama mama dan papa.”“Oh, baiklah,” sahut Anna.Anna dan Alya cukup paham jika pembicaraan terkait urusan orang tua sebaiknya mereka memberikan privacy.“Sebenarnya Ibu ma--,” ucapnya terjeda karena ada ponsel milik Mira berbunyi dari dalam tas. “Sebentar,” sambungnya.Mira izin mengangkat telpon sebentar dan menjauh dari Kanaya juga Bima lantaran yang menelepon adalah Kamila.“Ya hallo, ada apa Mil?” tanya Mira setelah telpon tersambung.“Jangan bilang kalau ibu sedang di rumah Kak Naya!”“Tapi ini demi kebaikan anak yang kamu kandung Mila. Ibu tidak tega rasanya. Elang dan Kanaya harus tahu.”“Bu, sudahlah. Aku bisa melahirkan dan mengurus anak ini sendiri.”“Mila, status anakmu nanti gimana? Ini bukan hanya perkara biaya membesarkannya.”“Bu, aku mohon cukup. Ibu pulang sekarang juga,” tegas Kamila.Bukan tanpa al
Roda empat yang dibawa Bima sudah ada di depan pagar rumah Kanaya.“Masuk enggak, masuk enggak,” ucap Bima sambil menghitung kancing kemejanya.Ah, yang benar saja Bima! Masa depanmu dipertaruhkan oleh kancing baju. Kata hatinya.Tidak buang waktu, ia langsung turun dari roda empatnya. Sekuriti di balik pagar menghampiri.“Maaf, ada perlu sama siapa?” tanyanya ramah.“Bu Kanaya ada?”“Ada. Dengan bapak siapa? Biar saya lapor dulu,” ucap sekuriti. Sebenarnya sekuriti itu sudah hapal siapa yang datang. Ia juga masih ingat saat Bima bertingkah konyol sewaktu mengantarkan majikannya pulang.“Saya, Bima.”“Iya. Mohon tunggu sebentar.”Sekuriti itu gegas masuk ke rumah dan memberi tahu Kanaya.“Bima?” Kanaya masih tak percaya.“Iya, Bu. Pak Bima,” ulangnya.“Izinkan dia masuk, ya!” pesan Kanaya, lalu berlari menuju ruang ganti pakian.Di depan cermin Kanaya memutar-mutar badan dengan baju gantinya. Dirasa kurang cocok, ia menggantinya lagi dengan yang lain. Terus saja begitu samp
Melihat mulut Kanaya komat kamit juga ekpresinya yang berubah bete, Bima jadi tidak tega.“Baiklah, akan kutanggalkan rasa malu ini.” Bima berujar sambil menyodorkan ponselnya kembali ke Kanaya.“Yakin?”“Yakin.”Kanaya antusias mengambil ponsel Bima lagi dan langsung menuju folder galeri.“Bim, ini aku?” tanya Kanaya membeliak saat melihat beberapa foto yang tak jelas posenya.“Ya.” Bima jadi malu.“Bim, kamu paparazzi? Banyak sekali fotoku. Kenapa enggak bilang kalau mau fotoku?”Hati Kanaya langsung plong. Lega sekali karena yang hendak Bima sembunyikan darinya bukanlah sesuatu yang lain. Ia pun mengarahkan kamera depan ke dirinya sendiri. Kemudian berswafoto dengan beberapa pose.“Cantik,” puji Bima setelah Kanaya memperlihatkan hasilnya.Wajah Kanaya bersemu merah lagi. Padahal hanya satu kata biasa, tetapi saat keluar dari bibir Bima terasa berbeda.“Kita foto berdua yuk?”“Tidak. Saya tidak biasa berfoto.”Bima memang hampir tidak pernah berswafoto seperti Kanaya.
Tengah malam, Kanaya dikejutkan dengan Alya yang tiba-tiba demam tinggi. Saking tingginya, ia sampai meracau.“Pa-papa …,” racau Alya.Kanaya meneteskan air mata saat mendengar Alya memanggil-manggil Elang.Mas, anak-anak begitu mencintaimu. Batinnya.“Mah, kita harus ke rumah sakit,” ujar Anna.“Iya, Sayang. Mama telpon dulu papa.”Kanaya gegas menghubungi Elang, tetapi panggilannya sama sekali tidak diangkat. Sementara Elang yang melihat nama Kanaya memanggil malam-malam hanya membiarkannya saja. Ia masih sakit hati lantaran mantan istrinya menjalin cinta dengan Bima.Kanaya langsung membawa Alya ke rumah sakit terdekat dinatarkan sopir pribadinya, Ujang. Sedangkan Diman sudah tidak dipekerjakan lagi sebab sebenarnya dia sopir pribadi Elang.Sesampai di rumah sakit, Alya dilarikan ke IGD dan langsung ditangani oleh dokter jaga. “Bu, sudah berapa hari demamnya?" "Demamnya sudah 3 harian dok, tetapi kalau siang tidak dan baru malam ini saja panasnya tinggi. Kemar
Ya ampun Yaya, kamu ini menguji keimananku saja. Aku sudah berusaha jaga jarak, kamu malah menempel. Gimana coba kalau aku mau yang lain-lain? Gerutu hati Bima.Bimbim, kenapa kamu hangat sekali sih? Nyaman banget berada dalam pelukanmu. Jadi pengen cepat-cepat dihalalin. Eh hehe … kekeh hati Kanaya.Brakk! Daun pintu terbuka begitu saja. Tampak Elang di ambang dengan raut wajah murka. Ia terbakar api cemburu yang melahap akal sehatnya. Seketika Alya terbangun dari tidurnya, begitupun dengan Anna.“Papa,” lirih Alya.Namun Elang tak dapat mendengar. Ia tuli karena amarah telah memenuhi gendang telinga. Tanpa membuang waktu setelah merangsek masuk ruangan, Elang melayangkan pukulannya membabi buta sama halnya sewaktu kejadian di gudang sayur.Bugh-bugh!“Elang!” bentak Kanaya.“Apa kamu hah?” matanya melotot.Bima tak melawan bukan karena ia tak berani, melainkan pasti akan terjadi kegaduhan. Tidak pantaslah sebuah ruang rawat inap menjadi tempat adu jotos.Sedangkan Elang mem
Elang bersikukuh tidak akan menikahi Kamila, meskipun Mira terus mendesak.“Bu, saya akan tanggung jawab. Saya akan biayai anak ini, tetapi jangan minta saya untuk menikahi Kamila.”“Lang, ini demi anak yang Mila kandung. Kamu tidak peduli dengan status anak itu jika lahir?”“Sudahlah, Bu. Saya masih ada urusan.” Elang berujar seraya berlalu meninggalkan ruangan Kamila.Kamila tertunduk dan menangisi nasibnya sekarang. Ia merasa ini adalah hukuman yang Tuhan kasih atas perbuatannya kepada Kanaya.**Ini hari ketiga Alya dirawat. Melihat mood Anna yang buruk, Bima tidak berani menemani Kanaya lagi di rumah sakit. Anna juga sudah dua hari izin untuk tidak sekolah. Maka dari itu hari ini, pagi-pagi ia sudah rapi dan siap berangkat sekolah dari rumah sakit.“Ann, Mang Ujang sudah menunggu di parkiran.”“Iya, Mah. Aku bernagkat dulu.”“Hati-hati Sayang,” pesan Kanaya seraya mengecup dahi putrinya.“Awas Mama jangan genit-genit selama aku tidak ada,” pinta Anna.“Genit sama siapa
Setelah pamit kepada Anna dan Alya, Bima gegas meninggalkan ruang rawat inap tersebut. Kanaya pun turut serta mengantarnya. Namun di perjalanan menuju parkiran, hatinya resah lantaran rasa senang karena mendapat restu belum ia ekpresikan.Bagaimanapun Bima adalah lelaki dewasa yang lebih dari matang. Hasrat kejantanannya kini terus meronta tak terima jika harus dipendam lebih lama. Sementara wanita yang diinginkan setiap waktu ada tepat di sampingnya. Pikirannya yang sibuk berperang melawan nafsu justru terkesan mengacuhkan Kanaya.Dari pada balik ke kantor dengan keadaan tidak fokus, lebih baik ia menuntaskan dahulu hal yang membuatnya resah. Dalam lift akhirnya ia mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang yang bisa membantu dan berkuasa di rumah sakit ini.[Saya membutuhkan ruangan privasi yang tidak bisa diakses orang lain juga bebas cctv][Oh tentu. Kalau berkenan bisa gunakan ruangan privat saya di lantai 5 dengan kode sandi 737003][Ok][Senang bisa membantu Anda.]Tanpa
SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste